Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ARWAH GENTAYANGAN MENAGIH HUTANG

JEJAKMISTERI - Cerita ini saya dapat dari beberapa narasumber yang tinggal di sebuah kampung terpencil yang salah satunya adalah Bpk. Jali.
Jadi di kampung tempat tinggal Bpk. Jali ini dulunya ada seorang renternir dan Bpk. Jali merupakan salah satu korbannya.

Hingga akhirnya si rentenir itu meninggal dan meninggalnya itu bukan karena sakit atau kecelakaan ataupun bunuh diri melainkan tanpa sebab. Dan meninggalnya itu dalam keada’an yang aneh hingga pada akhinya si rentenir itu gentayangan dan mendatangi satu-persatu rumah warga.

*******

Jali adalah seorang kepala keluarga. Beliau adalah seorang petani yang kegiatan sehari-harinya adalah ke ladang. Sebuah keluarga yang cukup sederhana, di rumah dia tinggal bersama istri dan dua anaknya. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga dia hanya mengandalkan hasil panen dari sawah yang dikelolanya.

Ya namanya juga petani, kalau hasil panen sukses ya untung tapi kalau gagal ya buntung.

Mayoritas penduduk di kampungnya adalah petani.

Pada suatu ketika datang musim hujan, dimana pada musim itu para petani di kampungnya ini berlomba-lomba untuk menanam padi, bebarengan dengan itu anak pertama Jali yang laki-laki lulus dari sekolah dasar dan dia harus melanjutkan sekolah ke SMP, otomatis sa’at itu Jali butuh dana lebih untuk membeli bibit padi dan pupuk sekaligus untuk membiayai anaknya masuk ke sekolah SMP.

Uang dari hasil panen tahun kemarin hanya cukup untuk membiayai anaknya masuk SMP. Tidak cukup sih, sebenarnya itu juga masih kurang karena dia juga harus membeli bibit padi dan pupuk untuk tanam di ladang.

Di sini Jali bingung harus cari uang kemana lagi, kalau uangnya dipakai untuk membiayai anaknya masuk sekolah otomatis dia tidak bisa membeli bibit padi dan pupuk, sedangkan kalau tidak membeli bibit padi dan pupuk dia tidak akan bisa panen nantinya, kalau tidak panen ya tidak ada uang.

Akhirnya dia berinisiatif untuk meminjam uang ke tetangga sebelah tapi kondisi keuangan tetangga sebelah sama dia hanya punya uang pas-pasan. Tanpa berputus asa Jali pergi ke tetangga yang lain dengan tujuan yang sama yaitu meminjam uang dan dengan hasil yang sama.

Di sini Jali benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan dan kemana harus mencari uang, lalu salah satu tetangganya Jali memberi saran agar meminjam uang kepada bu Anik aja.
Bu Anik adalah warga di kampung itu yang bisa dibilang sangat kaya, dia juga sudah biasa meminjamkan uang pada orang lain tapi dengan bunga yang semaunya sendiri. Dalam artian Bu Anik ini adalah seorang rentenir.

Mendengar saran dari tetangganya itu Jali mikir, "Apa iya aku harus pinjam uang ke Bu Anik, dia kan rentenir".

Karena memang itu adalah jalan satu-satunya dengan terpaksa akhirnya Jali memutuskan untuk pergi ke rumah Bu Anik dengan tujuan untuk meminjam uang.

Keesokan harinya diam-diam dia pergi ke rumah Bu Anik tanpa sepengetahuan istrinya, karena kalau bilang istri dulu pastinya tidak akan diperbolehkan karena istrinya Jali juga tahu kalau Bu Anik adalah seorang rentenir.

Sesampai di depan rumah Bu Anik dia mengetuk pintu pagar hingga akhirnya Bu Anik keluar, dengan ramah Bu Anik mempersilahkan Jali untuk masuk. Sesampai di dalam Jali menjelaskan kalau tujuan dia ke sini adalah untuk meminjam uang dan berjanji akan membayarnya nanti setelah panen. Tanpa keberatan Bu Anik memberi Jali pinjaman sesuai yang dia butuhkan.

Uang yang dipinjam Jali itu sebenarnya tidak banyak tapi dia harus mengembalikan uang itu lebih banyak 50%.

Gila nggak tuh, misalkan nih Jali ini minjem uangnya 1 juta tapi dia harus mengembalikannya 1,5 juta

Berhubung waktu itu Jali ini memang benar-benar butuh uang jadi nggak apa-apa lah, lagian hasil dari panennya nanti cukup kalau untuk membayarnya. Setelah dapat pinjaman itu Jali pulang dan masalah keuangan Jali kali ini sudah selesai.

Sesampai di rumah Jali tidak bilang sama istrinya kalau uang itu dia dapat dari Bu Anik, dia bilang dia dapat uang ini dari temannya desa sebelah.

Setelah itu dia menggunakan uang itu untuk keperluan yang dibutuhkan, membiayai anak, beli bibit padi dan pupuk dan keperluan sehari-hari.

Hari berganti hari hingga berganti bulan. Padi yang ditanam Jali itu ternyata gagal panen, bukan hanya Jali yang gagal panen tapi juga beberapa warga kampung.

Sampai disini jali benar-benar bingung, bagaimana dia akan mengembalikan uang yang dipinjamnya pada Bu Anik tempo lalu, sampai-sampai dia ikut bekerja sebagai buruh tani di sawah orang lain tapi gaji buruh itu berapa sih, cuma 30rb sehari itupun tidak setiap hari ada.

Seiring berjalannya waktu tibalah saatnya Jali harus membayar hutang kepada Bu Anik dan hari itu itu dia tidak ada uang sama sekali untuk membayarnya.
Jali dan istirnya tidak tahu harus cari uang kemana lagi untuk membayarnya, karena setahu istrinya Jali ini meminjam uang ke orang lain sang istri meminta pada Jali untuk meminta keringanan pada temannya yang meminjamkan uang itu.

Jali pergi ke rumah Bu Anik untuk meminta keringanan dan sama Bu Anik diberi keringanan satu bulan tapi dengan syarat, bulan depan Jali harus membayar hutangnya itu dua kali lipat, kalau tidak mau barang-barang yang ada di rumahnya Jali terpaksa akan disita oleh Bu Anik.

Nah karena menurut Jali itu adalah jalan satu-satunya akhirnya dia setuju dengan syarat yang diberikan oleh Bu Anik itu, setelah itu dengan keada'an lemas dia pulang dan memberitahukan pada istrinya kalau temannya itu memberi keringanan satu bulan. Mendengar itu sang istri merasa lega tapi tidak dengan Jali.

Selama satu bulan itu Jali dan istrinya berusaha mati-matian mencari uang, dia ikut menjadi kuli bangunan sedangkan istrinya berjualan gorengan keliling kampung.

Singkat cerita 1 bulan sudah berlalu. Jali dan istrinya hanya mendapatkan setengah dari uang yang dipinjamnya itu.

Sang istri yang tidak tahu akan hal itu meminta Jali untuk membayarkan setengahnya dulu ke temannya. Dengan perasaan bingung dia pergi ke rumah Bu Anik dengan tujuan meminta keringanan lagi karena saat ini dia hanya mempunyai uang sekian.

Bu Anik memberinya keringanan lagi tapi dengan syarat lagi yaitu bunganya bertambah lagi 50% dari jumlah yang kurang itu.

Misal nih, awalnya Jali kan pinjamnya 1 juta dan bulan ini dia hanya mempunyai uang 500rb, berarti kan kurang 1 juta tuh. Dan bulan depan dia harus membayar lagi sebanyak 1,5 juta lagi. Makin gila lagi gak tuh?

Disitu Jali merasa keberatan, dia memohon pada Bu Anik agar bunganya tidak ditambah lagi tapi Bu Anik malah bilang gini,
"Kalau tidak mau tidak apa-apa tapi kamu harus bayar lunas sekarang juga atau barang-barang yang ada dirumahmu akan disita".

Ini adalah pilihan yang sangat berat bagi Jali hingga akhirnya dia setuju dengan syarat yang diberikan Bu Anik itu.

Dengan keadaan lemas dia pulang, sesampainya di rumah sang istri bertanya,

"Gimana Pak udah dibayarkan"?
"Udah kok Buk", jawab Jali dengan lemas.
“Gpp kan pak kurangannya menyusul?”, tanya istrinya lagi.
“Gpp bu, tenang aja biar sisanya bapak sendiri nanti yang cari”. Jawab Jali tanpa memberitahu sang istri tentang semua ini.

Kali ini Jali harus menanggung semua itu sendiri karena dia tidak mau membebani istrinya. Hari-hari dia lalui dengan penuh beban, dia selalu memikirkan resiko kalau dia tidak bisa membayar hutangnya pada Bu Anik nanti.

Nah pada suatu hari ketika Jali akan berangkat nguli ke kampung sebelah, dia melihat ada tiga orang yang dua diantaranya berpenampilan seperti preman sedang berjalan menuju ke salah satu rumah warga dengan menggunakan mobil pickup, sesampai di salah satu rumah warga itu,

“Brak.. brak.. brak”, mereka mengetuk pintu rumah dengan sangat keras sambil bilang,
“Woe, Bari metuo bayaren utangmu”.
(Woe, Bari keluar bayar hutangmu)

Sepertinya nama pemilik rumah yang didatangi preman itu adalah Bari.

Tidak lama kemudian pemilik rumah membuka pintu dan terdengar preman itu bilang,

“Bayaren utangmu!”, ucap salah satu orang itu sambil menadahkan tangannya. Dengan gugup si pemilik rumah menjawab,
“Maaf pak, saya belum ada uang tolong kasih waktu”, jawab pemilik rumah itu memohon welas asih.
“Koen iku wes sak ulan gak mbayar, arep jaluk pirang ulan maneh?”, jawabnya dengan penuh emosi.
(Kamu itu udah satu bulan gak bayar, mau minta berapa bulan lagi?)

Kemudian salah satu orang itu memerintahkan dua temannya untuk mengambil barang-barang yang ada di rumah itu kemudian di angkut dan dibawa, sementara Bari, dia terlihat sedang sibuk dengan istrinya yang pingsan.

Kejadian ini disaksikan beberapa tetangganya. Setelah para tiga orang itu sudah pergi para tetangga berdatangan memintanya agar bersabar atas kejadian ini.

Melihat kejadian itu Jali bertanya pada salah satu orang yang ada disitu,

"Buk itu kenapa kok barang-barangnya pada dibawa gitu?"
"Dia gak bisa bayar hutang sama orang desa sebelah, emang dasar rentenir moga cepet mati", jawabnya dengan kesal.

Melihat kejadian ini Jali takut, bagaimana nasibnya kalau nanti dia tidak bisa bayar hutangnya pada Bu Anik, si rentenir itu?
kemudian Jali melanjutkan niatnya untuk pergi nguli.

Nah beberapa minggu kemudian terdengar sebuah kabar kalau Bu Anik meninggal dunia dan semua warga tidak tau karena apa Bu Anik meninggal padahal sebelumnya dia terlihat sehat-sehat saja. Menurut tetangga sebelah rumahnya, Bu Anik ini meninggal secara tiba-tiba dan tanpa sakit apapun.

Sore itu Jali pergi ke rumah Bu Anik untuk ikut mengurus jenazahnya dan sore itu tidak banyak warga yang ikut mengurus mayatnya karena mungkin kebanyakan warga tidak suka dengan kelakuan Bu Anik sebagai rentenir.

Sesampai di sana terlihat hanya ada pak ustadz dan pihak keluarganya saja, lalu Jali ikut memandikan mayat Bu Anik dan sepertinya Bu Anik ini meninggalnya sangat tidak wajar, darah terus mengalir keluar dari kedua lubang telinga dan kedua lubang hidungnya hingga akhirnya pak ustadz memutuskan memakamkan Bu Anik kini besok dengan tujuan agar darah yang terus mengalir itu mampet dulu, tapi sampai tengah malam darah yang keluar itu tidak juga mampet, sampai-sampai kain kafan bagian kepala itu merah karena basah oleh darah.

Karena kain kafan itu sudah basah dilumuri oleh darah keesokan harinya Pak ustadz meminta Jali untuk membeli kain kafan baru untuk diganti sebelum dimakamkan. Karena pagi itu jenazah Bu Anik ini sudah basah oleh darah pak ustadz mengajak yang lain untuk memandikan ulang tapi meskipun sudah dimandikan darah itu masih tetap saja keluar dari dua lubang telinga dan hidung jenazah meskipun sudah di tutupi kapas.

Nah, karena memang darah tidak bisa mampet akhirnya mereka semua memutuskan untuk tetap membawa jenazah Bu Anik untuk dimakamkan, jenazah Bu Anik kemudian dimasukkan ke dalam keranda kemudian dibawa ke pemakaman desa dengan dipikul sanak familinya.

Sesampai di kuburan yang sudah disiapkan mereka membuka keranda itu. Dan... Kain kafan di bagian kepala terlihat sudah dilumuri lagi oleh darah yang terus keluar dari lubang telinga dan hidung jenazah.

Entah apa yang sebelumnya terjadi pada Bu Anik hingga dia jadi seperti ini. Jenazah Bu Anik kemudian diangkat dari keranda dan dimasukkan ke liang lahat dengan kondisi yang seperti itu kemudian dikubur.

Sungguh kasihan melihat keadaan keluarga Bu Anik, tidak banyak warga yang ikut memakamkannya hingga tujuh hari tahlilan pun tidak.

Setelah meninggalnya Bu Anik itu Jali merasa antara senang dan kasihan, senang karena dia punya banyak waktu untuk mengumpulkan uang agar dia bisa membayarkan hutangnya dan sedih karena melihat keadaan keluarga yang ditinggalkan.

Rumah sebesar itu sekarang hanya ditempati suami almarhumah Bu Anik seorang diri tidak dengan anaknya. Menurut tetangganya sebelumnya anak-anak almarhumah memang sudah tidak tinggal di rumah itu karena tidak suka dengan kelakuan ibunya sebagai rentenir, anaknya lebih memilih untuk tinggal bersama neneknya yang sederhana.

Tujuh hari setelah meninggalnya Bu Anik itu rumahnya selalu terlihat sepi, pintunya selalu tertutup entah suaminya ini kemana. Pernah ada satu warga yang melihat suaminya Bu Anik ini sedang berjalan mengelilingi rumahnya dengan hanya mengenakan celana dalam. Entah apa yang dia lakukan yang jelas dia terlihat seperti orang yang sedang dalam gangguan jiwa.

Karena banyak warga yang tidak suka dengan sifat Bu Anik, kebanyakan warga tidak memperdulikan soal itu bahkan kebanyakan warga malah senang atas meninggalnya Bu Anik, apalagi yang masih mempunyai hutang.

Sekitar 10 hari setelah meninggalnya Bu Anik itu tepatnya tengah malam, ketika sedang tidur tiba-tiba, “Tok.. tok.. tok...”. Terdengar ada suara seseorang yang mengetuk pintu rumahnya hingga membuat Jali terbangun.
Karena mungkin itu adalah tetangga yang buruh bantuan Jali segera membuka pintu rumahnya untuk melihatnya, setelah pintu di buka ternyata kosong, tidak ada saru orang pun disana.

Jali tidak berfikir kesana dulu, dia menganggap mungkin memang itu tadi tetangganya tapi karena Jali lama membuka pintu jadi dia sudah pergi. Dia kembali melanjutkan tidurnya.

Keesokan harinya ketika akan ke ladang, tidak di sengaja Jali melihat suami Bu Anik sedang sibuk mengangkat benda-benda ke atas mobil pickup, terlihat akan pindah rumah, lalu Jali bertanya,

“Mau dinawa kemana pak? Mau pindahan ya?”
“Enggak pak Jali, mau dijual soalnya penuh-penuhin rumah”. Jawab suami Bu Anik.
“Oh gitu, kirain mau pindahan. Yaudah pak monggo saya ke sawah dulu”, ucap Jali kemudian dia lanjut jalan ke ladang.

Malam harinya kejadian itu terulang lagi, saat tengah malam terdengar suara ketukan pintu yang membangunkan Jali dan dan istrinya,

“Pak, siapa malam-malam gini ketuk-ketuk pintu?”, tanya sang istri.
“Gak tau bu biarin aja, semalam juga ada tapi pas bapak buka gak ada orang”, jawab Jali dengan keadaan ngantuk tuh.

Akhirnya mereka membiarkannya lagi pula ngapain malam-malam gini ketuk-ketuk pintu ganggu orang tidur memangnya tidak ada hari siang.

Besoknya ketika Jali sedang sibuk dengan kopinya sebelum berangkat ke ladang, tiba-tiba istrinya yang baru pulang dari pasar bilang ke Jali, katanya banyak warga desa yang pintu rumahnya juga di ketuk pintu rumahnya dan... tidak banyak juga yang bilang kalau mereka didatangi arwah Bu Anik untuk menagih hutang.

Mendengar itu Jali tidak percaya, mana ada orang sudah mati bisa menagih hutang, kan gak logis aja gitu. Setelah kopi sudah habis Jali segera berangkat ke ladang untuk mencangkul ladangnya yang sudah sekian lama tidak ditanami itu.

Di ladang Jali bertemu dengan salah seorang warga kampungnya dan dia mengatakan hal yang sama dengan istrinya tadi bahwa banyak warga kampung sini dan beberapa kampung lain yang didatangi arwah Bu Anik.

Jali yang masih tidak percaya akan hal itu masih mengabaikannya, dia segera menyelesaikan niatnya untuk mencangkul di ladang. Sepulang dari ladang dia menjumpai sebuah mobil pickup yang akan menurunkan barang di rumah Bu Anik.

Jali bertanya pada sopir pickup itu,

“Loh pak barang-barangnya kok dibawa balik? Bukannya ini kemarin udah dijual ya sama pemiliknya?”

Menurut sopir pickup, memang dia yang membeli semua barang ini dan sengaja dikembalikan karena setelah membeli barang ini setiap malam dia ini selalu didatangi sosok wanita yang mengatakan suruh mengembalikan barang ini ke rumahnya.

Mendengar itu Jali tidak habis pikir, “Apa mungkin Bu Anik ini gentayangan”.

Dan benar saja, menurut warga kampung tidak sedikit dari mereka yang pintu rumahnya di ketuk pada tengah malam.

Beberapa malam selanjutnya kalau lebih dari jam 8 malam kampung itu sangat sepi karena warga di kampung itu tidak ada yang berani keluar rumah.

Kejadian itu berlangsung beberapa hari, sampai pada suatu ketika Jali mengalaminya sendiri. Tepat jam 1 malam terdengar ada suara orang yang mengetuk pintu rumahnya. Mendengar pengakuan dari beberapa warga sebelumnya awalnya Jali tidak berani membukakan pintu tapi disisi lain dia juga penasaran, “Apa benar arwah Bu Anik ini gentayangan hingga mendatangi rumah warga”.

Jali yang kebetulan malam itu tidur di kursi ruang tamu memberanikan diri membukakan pintu rumahnya untuk membuktikan. Setelah pintu terbuka terlihat tidak ada orang, tapi dari sebelah pintu terlihat ada sebuah bayangan orang yang sedang berdiri tersorot lampu tapi tidak ada wujudnya.

Bersamaan dengan itu terdengar suara lirih wanita yang mengatakan,

“Bayaren utangmu... bayaren utangmu... bayaren utangmu...”
(Bayar hutangmu... bayar hutangmu... bayar hutangmu...)

Mendengar suara yang tidak ada wujudnya Jali segera menutup kembali pintu rumahnya sambil dalam hati dia bilang,

“Iya Bu Anik, saya akan bayar”.

Karena memang banyak warga yang di teror arwah Bu Anik seluruh warga kampung kompak untuk patungan untuk membantu para warga yang masih mempunyai hutang pada Bu Anik, karena menurut pak ustadz di kampungnya semua ini bisa terselesaikan kalau hutang-hutang Bu Anik sudah dibayarkan.

Setelah mendapat bagian dari patungan warga itu Jali dan beberapa warga kampung yang masih punya hutang itu datang ke rumah Bu Anik dengan tujuan membayar hutang ke suaminya, tapi pagar rumah Bu Anik selalu tertutup rapat begitupun dengan pintunya.

Para warga bingung kemana mereka harus membayar hutang kalau rumahnya selalu tertutup seperti ini, apa harus memayar hutang ke kuburan Bu Anik? Itu tidak mungkin.

Akhirnya para warga berinisiatif untuk membayarkan hutang itu ke pihak keluarganya yaitu anaknya yang sekarang masih tinggal bersama neneknya. Anaknya Bu Anik menolak uang dari warga itu dan dia bilang kalau semua ini sudah diikhlaskan tapi warga tetap memberikan uang itu pada anaknya dengan tujuan agar mereka tidak dihantui arwah Bu Anik lagi , jadi mau tidak mau anaknya Bu Anik menerima uang dari warga itu tapi hanya pokok dari pinjaman saja tidak dengan bunganya.

Setelah sudah dibayarkan beberapa hari selanjutnya arwah Bu Anik sudah tidak pernah lagi menghantui warga kampung dan tepat 40 hari setelah meninggalnya Bu Anik tempo lalu terdengar kabar kalau suaminya Bu Anik juga meninggal dunia di dalam rumahnya tanpa di ketahui penyebabnya.

Rumah sebesar itu akhirnya kini menjadi kosong, pihak keluarga termasuk anaknya tidak mau menempati rumah itu karena rumah itu dibangun dengan uang hasil rentenir.

Sampai sa’at ini sudah puluhan tahun rumah itu masih dibiarkan kosong oleh warga dan tidak ada yang berani menggusur atau merobohkan bangunannya meskipun rumah itu sekarang sudah tidak layak pakai, beberapa atapnya sudah roboh dan hampir seluruh temboknya ditumbuhi lumut dan rumput liar yang tumbuh tinggi di sekitarnya.

Dan tau nggak kenapa tidak di gusur atau dirobohkan saja oleh warga?

Karena banyak pengakuan dari warga kalau di dalam rumah itu berhantu, mungkin arwah dari Bu Anik masih menempati rumah itu bersama suaminya. Di hari atau malam-malam tertentu tidak sedikit dari warga pernah melihat kalau kipas angin atap di rumah itu berputar sendiri begitupun dengan lampunya, padahal rumah itu sudah tidak ada saluran listriknya.

Tidak hanya itu, di malam-malam tertentu beberapa warga juga sering mendengar ada suara tangisan wanita di dalam rumah itu, tangisannya ini seperti orang yang sedang kesakitan.

Lantas kenapa tidak ada warga yang berniat mencari tau atau menolongnya?

Semua itu memang segaja dibiarkan biar kapok, karena sebelumnya semua warga sudah terlanjur tidak suka dengan pemilik rumah itu yang suka menggandakan hutang seenaknya sendiri.
Jangankan warga, anaknya sendiri pun tidak suka dengan kelakuan ibunya sebagai rentenir semasa hidupnya sampai dia tidak mau menempati rumah sebesar itu.

~~SEKIAN~~

close