Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA GENDERUWO (Part 3) - Keranda

Keranda bambu tua itu datang begitu saja di halaman rumah. Sebuah pertanda, harus ada satu orang yang dikurbankan...

Sementara itu bola api yang melayang, kunti sudah mengincar rumah kami


Aku duduk terdiam menatap pohon beringin di belakang rumah sembari membayangkan dengan apa yang terjadi dengan Pak Kasto beberapa hari yang lalu.

Bila Paklek juga melakukan perjanjian dengan sosok yang menghabisi pak Kasto, apakah di pohon ini juga ada sosok mengerikan itu.

Genderuwo?
Selama ini aku hanya mendengar sebutan itu dari desas-desus yang tidak pernah terbukti kebenaranya. Namun malam itu aku benar-benar melihat sosoknya. Jelas, ia jauh lebih mengerikan dari apa yang pernah kudengar dari orang lain.

Tapi, saat aku menghitung ulang satu-persatu hal-hal aneh yang kualami di rumah ini. Mulai dari sosok di lemari kamarku, sesaji di kamar Bayu, hingga sosok menyerupai Paklek di kamar Bulek. Apakah itu semua ada hubunganya dengan ucapan nenek itu?

Nenek itu berucap tentang yang Paklek lakukan ternyata lebih mengerikan dibanding apa yang kulihat kemarin di belakang rumah almarhum Pak Kasto.

Tanpa sadar akupun melamun di tempat itu hingga terdengar suara adzan berkumandang.

Akupun segera meninggalkan pohon yang semakin terlihat misterius itu dan kembali ke dalam rumah. Tapi malam itu hal yang tidak bisa kupikir dengan nalarpun terjadi lagi.

Tanpa sengaja aku dan Bunga melihat keluar rumah.

Saat itu kami tertegun melihat ada sebuah keranda yang tergeletak di halaman rumah.
Sebuah keranda yang terbuat dari bambu yang sudah lapuk yang secara sekilas mungkin saja sudah tidak mampu mengangkat jenazah.

“Buk, itu Buk…” Bunga berteriak dengan tubuh yang gemetar.

Jelas saja rasa takut menyelimuti tubuhku dan Bunga. Bagaimana mungkin kami bisa tenang menghadapi kejadian ini sementara beberapa hari lalu baru ada seseorang yang meninggal tanpa ditemukan jenazahnya.

“Ada apa to Nduk?” Bulek menghampiri kami dan terhenti saat melihat keranda yang ada di halaman.
Kali ini seketika wajahnya terlihat pucat tanpa bertanya-tanya seolah sudah mengerti dengan apa yang ada di hadapanya.

“Wis wayahe to?” (Sudah waktunya ?)

Paklek ikut mendatangi kami dan menanyakan hal tersebut kepada Bulek.

“Wayahe opo Paklek?” (waktunya apa Paklek?) Tanyaku yang tidak mau diam saja menjadi seseorang yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Wayahe bocah-bocah turu, ndang leren!” (Waktunya anak-anak tidur, sudah sana istirahat) Perintah Paklek.

Kamipun menuruti perintah Paklek dan meninggalkan keberadaan keranda yang berada di halaman rumah.

Aku mengira keranda itu adalah bentuk teror dari orang yang tidak suka dengan Paklek, namun anehnya ekspresi Bunga kali ini terlihat aneh. Wajahnya benar-benar pucat.

“Kinan, nanti malam aku tidur di kamarmu ya?” Pinta Bunga.

“Emang kenapa Bunga? Kok tumben?”

“Nanti saja aku ceritakan, yang penting malam ini aku nggak mau tidur sendiri,” Ucap Bunga.

“I—iya,”

Akupun segera merapikan kasurku agar muat untuk tidur berdua dengan Bunga. Tak berapa lama Bungapun datang dengan membawa bantal dan boneka miliknya untuk tidur bersamaku.

“Nggak papa kan Kinan?” Tanya Bunga.

“Yo ndak papa lah, kayak sama siapa saja,” ucapku yang mempersilahkan Bunga untuk tidur di kasurku, namun sepertinya ia belum berniat untuk segera tidur.

Sembari merapikan buku-buku pelajaranku di meja, aku melihat Bunga yang melamun dengan tatapan kosong.

“Sudah nggak usah khawatir, tadi aku dengar Paklek sudah meminta Mas Puguh buat menyingkirkan keranda itu,” ucapku.

Bunga menatapku sebentar dan kembali dengan wajah cemasnya.

“Ini.. bukan pertama kali, Kinan.” Ucap Bunga setengah tidak yakin.

“Maksudnya?”

Buga memainkan jari di pangkuanya dengan raut wajah cemas. Ia seolah merasa tidak yakin untuk bercerita.

“Iya, dulu waktu aku kecil pernah ada kejadian seperti ini,”

Sepertinya Bunga mencoba menceritakan sesuatu, namun ia seperti ragu-ragu dan cemas.

Bunga bercerita bahwa kemunculan keranda tadi seolah membuka ingatan Bunga akan sesuatu yang sebenarnya sudah lama ia lupakan.
“Dulu aku masih seumur Bayu, mungkin lebih kecil lagi,” Ucap Bunga.

Saat itu tiba-tiba Bulek kaget dengan kemunculan keranda di depan rumahnya. Bunga tidak begitu paham apa yang terjadi, ia hanya melihat Bulek menangis sembari memeluk Paklek. Sementara Paklek hanya menatap keranda itu dengan tatapan yang dingin.

“Aku ini bukan anak pertama, Kinan,” ucap Bunga.

“Sing bener? Tapi dari dulu waktu aku kecil aku tahunya kamu anak pertama Paklek,” tanyaku.
Bunga menggeleng..

“Sebelumnya aku punya seorang kakak perempuan, tapi nggak ada yang pernah tahu tentang dia,” jelas Bunga.

“Hah? Tapi masak ibuku sampai nggak tahu juga?” Bunga menceritakan bahwa ia tumbuh dengan seorang perempuan yang mengasuhnya. Bi Sumi namanya. Ia tinggal bersama Bulek dan Paklek jauh sebelum Mbok Yatmi bekerja di rumah ini.

Sepengetahuan Bunga, Bi Sumi memiliki seorang anak perempuan. Bunga mengenalnya dengan nama Canting. Umurnya mungkin selisih lima tahun dari Bunga sehingga seringkali Ia membantu mengurus kebutuhan Bunga untuk membantu Bi Sumi.

Saat itu rumah Paklek belum sebesar sekarang. Ia hanya memiliki tanah dengan rumah yang ala kadarnya. Menurut Bunga, Paklek juga sering mendapat cemoohan dari warga desa. namun paklek hanya bisa menahan rasa kesalnya menerima cemoohan itu.

Bunga sendiri tidak bisa mengingat tentang cemoohan apa yang dilemparkan warga pada Paklek.
Sampai suatu ketika, keranda itu datang.
Paklek dan Bulekpun menyingkirkan keranda itu, namun keranda itu datang lagi di hari berikutnya.

Kalau sebelumnya Paklek menatap keranda dengan raut wajah yang dingin, kali ini Paklek menatapnya dengan raut wajah yang pucat seolah takut akan sesuatu.

Saat itu mereka meminta Bi Sumi membawaku ke dalam kamar dan menemaniku untuk tidur.

Sementara Paklek dan Bulek malah berada di depan bersama Canting sembari memeluknya. Malam itu sembari menemani Bunga, Bi Sumi sesekali terisak.

Ia benar-benar seperti menahan kesedihanya tanpa tahu harus melakukan apa.

Bunga penasaran, namun Bi Sumi meyakinkan Bunga agar tidak usah khawatir, hingga akhirnya Bungapun bisa tertidur.

Pagi setelahnya Bunga terbangun dengan seluruh rumah dalam keadaan tertutup dan lampu dimatikan.

Seluruh gorden tertutup dan kondisi rumah seolah terlihat tidak ada orang bila dilihat dari luar.
Bulek yang menyadari bahwa Bunga terbangunpun segera menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar lagi.

Namun saat itu, Bunga sudah sempat melihat keberadaan keranda dengan Canting yang berada di dalamnya. Bi Sumi berada di sebelahnya sembari menyiramkan air kembang beberapa kali dengan sebuah siwur.

Bunga saat itu takut hingga tidak mampu berkata-kata. Namun sebelum ketakutanya membuatnya bertanya pada Bulek, tiba-tiba Paklek datang menghampiri Bulek di kamar Bunga.

“Nek de’e wis weruh, nggo iki wae,” (Kalau dia sudah melihat, pakai ini saja)

Paklek memberikan dua buah daun hitam ke pada Bulek.

Bulekpun menutupi kedua mata Bunga dengan daun itu. Ia merasa pikiranya begitu tenang hingga akhirnya Bunga benar-benar melupakan kejadian itu, baru saat tadilah ia kembali teringat saat melihat keranda itu kembali.

Entah berapa hari setelah kejadian itu, di dalam kelinglunganya Bunga mengantar kepergian Bi Sumi pergi dari rumah itu. Ia sempat bertanya mengapa Bi Sumi pergi, namun Bulek hanya menjawab bahwa ‘tugasnya sudah selesai’.

Saat berpamitan untuk terakhir kalinya dengan Bi Sumi, Bunga sedih. Tapi saat itu Bunga juga sedang linglung.

Dalam keadaan itu Bi Sumi membisikkan sesuatu yang tidak Bunga hiraukan.

“Canting bukan anak Bi Sumi, ia kakak kandungmu,” ucap Bi Sumi yang setelahnya meninggalkan rumah. Entah mengapa ucapan itu baru teringat barusan saat Bunga melihat keranda tadi.
Ingatan yang muncul itulah yang membuat wajah Bunga seketika memucat.

“Itu kuburan Canting…”

Bunga menunjuk ke arah pohon beringin yang terlihat dari jendela kamarku. Kini terjawab sudah kuburan siapa yang berada di bawah pohon itu.

Aku menelan ludah mendengar cerita Bunga, ia terlihat pucat dan seringkali melihat ke arah pintu.

Namun aku berusaha membuatnya tenang dan meyakinkanya bahwa keberadaan keranda tadi pasti berbeda dengan yang ada di ingatanya itu. Aku tidur memeluk Bunga dengan selimut yang menyatukan kami.

Sepertinya aku berhasil melenyapkan rasa cemas Bunga hingga akhirnya kami berdua tertidur. Tapi.. suara ketukan pintu menggugah kami.

Tok.. tok.. tok…

“Bunga? Kamu tidur sama Kinan?”

Terdengar suara Bulek mengetuk pintu kamarku.

Aku melihat ke arah jam dinding dan mendapati jarum pendek mengarah di pukul satu dini hari.

Tok… tok… tok…

Bunga terbangun, ia memberi isyarat padaku dengan menggeleng untuk tidak memberitahukan keberadaan dirinya pada Bulek.

Bunga ketakutan, tubuhnya gemetar mendengar suara ibunya sendiri…

“Kinan? Bunga di kamar?” Tanya Bulek.

Memang aneh, jarang sekali Bulek mengganggu jam tidur kami. Seketika aku membayangkan kejadian yang diceritakan Bunga tadi.

Beruntung aku mengunci pintu kamar, sehingga Bulek tidak bisa masuk sebelum aku menyiapkan mentalku.

Sayangnya beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki lain yang mendekat.
“Buka pakai kunci ini saja,”
Itu suara Paklek. Mengetahui bahwa Paklek memiliki kunci serep.

Kamipun kembali ke posisi tidur dengan menutupi kepala kami dengan selimut.

Krieeeeet!!!

Pintu kamarpun terbuka. Suara langkah kaki dua orang mendekat ke arah kami.

Dari balik selimut aku berusaha berpura-pura tidur berharap mereka tidak menyadari keberadaan Bunga, namun jelas saja itu mustahil.

“Bunga, kenapa tidur di sini? Ayo ibu temenin tidur di kamar,” Terdengar suara Bulek yang kini berada di dekat kasur.

“Bunga mau disini Buk, sama Kinan,” balas Bunga dengan berpura-pura baru saja terbangun.

“Nggak bisa, Kinan harus istirahat,” Kini suara Bulek terdengar lebih tegas.

Ia setengah memaksa Bunga hingga akhirnya Bunga berdiri dan berjalan meninggalkan kamar dengan tangan ibunya menggandengnya dengan memaksa.

Aku ikut terbangun saat ia meninggal kamar. Bunga hanya menoleh padaku dengan wajah sedihnya.

“Bulek, aku ikut tidur kamar Bunga ya,” aku mencoba menawarkan diri untuk itu.

Bulekpun menatapku dengan mata yang tajam, ia seperti tidak menyukai perkataanku.

“Kamu tetap disini,”

Hanya itu balasan dari Bulek, namun anehnya ucapan Bulek yang sesingkat itu bisa membuatku tertahan dan tidak berani untuk mendekat kepada mereka.

“Bunga semoga yang kamu ceritakan itu hanya mimpi buruk,” doaku saat itu.

Entah apa yang terjadi saat itu, namun rasa ngantuk benar-benar mengalahkanku hingga akupun tertidur.

Pagi itu aku terbangun seperti biasa, akupun bergegas bersiap untuk berangkat sekolah sekaligus membantu mempersiapkan Bayu untuk berangkat denganku juga.

Tapi Bunga tidak terlihat juga…
Akupun teringat ceritanya semalam dan segera naik ke atas dan menghampiri kamar Bunga.

“Bunga?”

Ucapku sembari mengetuk kamarnya, namun tidak ada jawaban. Aku yang khawatirpun segera membuka kamar Bunga yang tidak terkunci.

Lampu kamarnya masih mati dan terlihat seseorang tertidur di kasurnya.

“Bunga sakit, dia nggak sekolah dulu..”
Tiba-tiba suara Bulek mengagetkanku dari belakang. Aku yang hendak menghampiri Bungapun mengurunkan niatku saat melihat kedatangan Bulek.

“Saya siapin obat buat Bunga, Bulek?” aku menawarkan diri.

“Nggak usah ya Kinan, biar Mbok Yatmi saja” Bulek menjawab dengan tatapan dingin. Kali ini aku merasa perasaan yang aneh yang membuatku takut terpancar dari Bulek.

Dengan ragu aku menutup pintu kamar Bunga dan berangkat ke sekolah dengan Bayu. Namun sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya memikirkan Bunga.

Setelah malam itu, semua hal mulai menjadi aneh. Bunga hampir tidak pernah keluar dari kamarnya.

Untuk makan, Mbok Yatmi selalu mengantarkan makananya ke dalam kamar.

Pernah saat Bulek dan Paklek tidak ada, aku mencoba mengetuk kamar Bunga dan melihat keadaanya. Namun saat itu ia hanya berdiri dengan tubuhnya yang kurus dengan tatapan mata yang kosong.

“Bunga?” aku mencoba menegurnya, tapi ia malah menoleh sembari tersenyum aneh dengan wajah pucatnya ke arahku. Ia tidak mengatakan sepatah katapun sama sekali. Tapi saat aku mendekat, terdengar suara Mbok Yatmi yang memasuki rumah.

Sekali lagi aku mengurunkan niatku. Entah mengapa aku merasa bahwa mendekati Bunga saat ini adalah hal yang dilarang.

Hari-hari semakin berlalu, namun keadaan Bunga tidak kunjung membaik.

Sebaliknya, Bulek malah memberi tahu bahwa Bunga tidak lagi bisa bersekolah dan harus dirawat di rumah.

Sempat beberapa perwakilan sekolah datang untuk menjenguk, namun mereka hanya melihat Bunga sekilas dan Bulek segera menjauhkan mereka dari Bunga.

Satu yang aku takutkan. Tubuh Bunga terlihat semakin kurus. Sebelum malam itu, Bunga adalah remaja perempuan yang cantik diantara perempuan seumuranya.

Aku sempat mendengar gosip ada beberapa teman sekolahnya yang naksir dengannya.

Tapi kondisinya sekarang sangat jauh dari itu..
Tubuhnya kering, seolah hanya tersisa sedikit daging dibalik kulitnya. Sekitar matanya menghitam dengan wajah yang pucat.

“Kak Bunga sakit apa sih Bu?”

Pernah Bayu menanyakan hal itu pada Bulek, namun Bulek hanya menjawab seadanya dan tidak pernah menjelaskan dengan lebih rinci. Akupun pernah menawarkan diri untuk membantu mengurus Bunga, namun Bulek melarang. Hanya Mbok Yatmi yang diijinkan mengurus Bunga.

“Mas Puguh, tahu tentang sakitnya Bunga gak?” Aku pernah mencari tahu tentang permasalahan Bunga dari Mas Puguh, namun Mas Puguhpun tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Ia malah mengelus kepalaku dengan tatapan mata cemas.

“Rajin-rajin ibadah ya Kinan... Doain saja yang terbaik buat Bunga,” ucap Mas Puguh.
Entah mengapa aku merasa hanya Mas Puguh yang sedikit berbeda di rumah ini. Semenjak Bunga sakit, ia juga sering terlihat cemas.

Aku ingin menceritakan apa yang Bunga ceritakan di malam itu padanya, namun aku masih merasa takut.
Kadang aku suka merasa merinding dengan tiba-tiba saat berada di rumah. Aku merasa seolah ada sosok lain yang tinggal di rumah ini selain kami semua.

Pernah saat aku membersihkan halaman belakang, aku merasa ada yang mengawasi dari jendela kamar Bunga.
Memang, ada Bunga yang sedang memperhatikanku dari jendela itu. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa itu tidak seperti tatapan Bunga.

Beberapa kali aku juga melihat Mas Puguh yang sedang bekerja terhenti oleh sesuatu. Ia sesekali terhenti sembari menatap kaca jendela seolah ada yang mengawasinya.

Hal itu sepertinya mempengaruhinya hingga beberapa bulan kemudian, Mas Puguh memutuskan untuk mengundurkan diri dan tidak bekerja lagi di kediaman Kartosuwito.
Saat berpamitan Mas Puguh sempat mengatakan padaku sesuatu yang membuatku berpikir.

“Seandainya memungkinkan, sebaiknya Mbak Kinan tidak tinggal bersama mereka,”

Aku menanyakan maksud dari ucapan itu, dan mengapa Mas Puguh bisa berkata seperti itu. Tapi ia tidak mau menjawab.

“Kalau saya sampai menyinggung Bapak, saya bisa mati kapan saja,”

***

DERITA BUNGA

Suara isak tangis terdengar di tengah malam. Aku mencoba keluar dari kamar untuk mencari asal suara itu, namun Mbok Yatmi tengah duduk di kursi kayu yang diletakkan di ruang tamu. Ia menunggu di sana dengan penerangan sebatang lilin.

Aku berpikir apakah sudah dari malam-malam sebelumnya Mbok Yatmi selalu berjaga di ruangan ini? Ia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam seolah memberi isyarat agar aku kembali ke kamar.

Saat itu aku bertahan sebentar untuk menajamkan telingaku dan mencari suara isak tangis itu sembari berpura-pura ke kamar mandi. Setelah beberapa saat di luar, aku tidak mendengar suara lagi dan memutuskan untuk kembali ke kamar.

Sayangnya saat kembali mencoba menutup mata, suara itu tidak terdengar lagi. Akupun tidak punya pilihan lain selain memaksa diri untuk menutup mata dan tidur.

Itu Bunga,
Aku melihat sekelilingku dan mendapati tubuhku ada di sebuah tempat yang kukenal. Dengan mudah aku mengenali bahwa ini adalah kamar Bunga.
Aku tak sempat mencari tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Keberadaan Bunga di hadapanku benar-benar membuatku cemas.

Bunga menangis dengan tubuh yang mengenaskan. Ia takut akan sesuatu yang menghampirinya. Ada sosok hitam mengerikan yang mendekat ke arah Bunga. Sosok besar bertaring dengan mata yang merah dan tubuh penuh dengan bulu.

Bunga seolah tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Ia hanya terkulai lemas dan terus menangis saat makhluk itu mendekat. Aku ingin menghampiri Bunga, namun aku tidak dapat melihat tubuhku, entah bagaimana aku menjelaskanya. Aku hanya bisa melihat tanpa berbuat apapun.

Apa yang terlihat di hadapanku saat ini begitu mengerikan.
Makhluk hitam itu melucuti pakaian di tubuh Bunga hingga tubuh kurusnya terpampang begitu saja.
Bunga menangis, namun makhluk itu malah semakin beringas. Ia menjilati kemaluan Bunga dan menikmati setiap bagian tubuhnya.

Tak peduli seberapa keras Bunga menangis, setan itu tetap melampiaskan nafsunya. Aku tidak bisa melupakan bagaimana ekspresi Bunga saat makhluk itu memperkosanya dengan beringas hingga darah berceceran di kasur Bunga.

Setelahnya ,Bunga yang tak mampu melawan hanya terkulai lemas kembali dengan tatapan mata yang kosong.

“Kowe lungo yo nduk, iki wis keterlaluan,” (Aku pergi ya nak, ini sudah keterlaluan) terdengar suara seorang nenek dari belakangku, namun tetap saja aku tidak bisa melihat selain apa yang ada di hadapanku.

“Wong-wing iki wis ra duwe ati, De’e tego nglacurake anake dhewe kanggo demit kuwi”

(Keluarga ini sudah tidak punya hati, mereka bahkan tega melacurkan anaknya sendiri pada setan itu)

Sebelum sempat bertanya lebih jauh, tiba-tiba aku terbangun dengan tubuh yang penuh keringat.
Tubuhku begitu lemah seperti seseorang yang kehabisan tenaga.

Aku hanya terduduk sembari memikirkan apa maksud mimpi tadi? Apakah itu benar terjadi atau hanya sekedar kekhawatiranku akan keadaan Bunga.

***

Aku hanya anak SMP, apakah mungkin aku bisa hidup bila harus meninggalkan rumah ini. Tinggal di desa ibu seorang diri jelas tidak mungkin. Tapi aku mulai yakin bahwa ada sesuatu di rumah ini yang tidak beres.

Tanpa adanya Bunga, aku dan Bayu berusaha mengacuhkan perasaan aneh itu sembari menghabiskan waktu menonton televisi atau bermain bersama Bayu. Sebisa mungkin aku berusaha bersikap biasa seolah tidak mengetahui apapun.
Sampai suatu malam, aku mulai merasakan keanehan lagi.

Kami di dalam rumah, namun udara dingin berhembus meniup tubuh kami semua. Sudah dipastikan semua pintu dan jendela terkunci, hal itu jelas terasa tidak wajar.
Beberapa saat kemudian, Paklek Ambruk.

Ia terjatuh lemah dengan tiba-tiba. Paklek menjerit kesakitan hingga tubuhnya kejang.
Bulek panik, namun itu tidak lama. Tiba-tiba pintu kamar Bunga terbuka dengan sendirinya.
Bersamaan dengan itu, pakde terhenti dari kejangnya.

“GHrrrrr….”

Suara itu terdengar menggema di rumah membuatku merinding seketika.

Prangg!!!
Bola lampu pecah, kursi bergeser dan berjatuhan begitu saja.
“Bayu takut…”

Aku memeluk Bayu dan membawanya mendekat ke pintu bersiap-siap bila kami harus keluar dari rumah ini.

“Jangan keluar!” Perintah Mbok Yatmi.
Ia memerintahkanku dan Bayu menjauh dari pintu dan jendela-jendela rumah. Dan benar saja, seketika seluruh listrik di rumah saat itu mati tanpa sebab.

Merasa tak tahu harus berbuat apa, aku memilih untuk mendekat kepada Mbok Yatmi dan Bulek.
Paklek sudah kembali mendapatkan kesadaranya dan berusaha mengatur nafasnya.
Seketika saat itu suasana di rumah begitu hening.

Sebegitu heningnya hingga aku bisa mendengar suara nafasku sendiri. Namun dengan jelas aku masih merasakan seolah nyawaku ada di ujung tanduk.
“Bulek, ini kenapa?” Tanyaku mencoba mencari jawaban dari mereka yang masih terdiam.

“Ini ulah mereka, orang-orang yang tidak tahu diuntung..” Paklek menggantikan Bulek menjawab pertanyaanku.

Dari jauh aku memperhatikan kaca jendela.

Samar-samar aku melihat ada sesuatu yang aneh, semakin kuperhatikan semakin kudapati bahwa itu adalah sosok api yang melayang-layang mengitari rumah. Api itu melayang tanpa adanya obor atau orang yang membawanya.

“Gimana ini Pak?” Bulek terlihat cemas.

“Tenang, kita hanya lengah..”
Paklek mencoba menenangkan Bulek, namun tak jauh dari ucapan itu tiba-tiba Bayu terlepas dari pelukanku. Ada sesuatu menariknya menjauh hingga terseret.

“Bayu!” Aku mencoba menggapainya, sementara itu di sisi lain terlihat keanehan dari Mbok Yatmi.

Matanya melotot dengan tubuh yang kaku, ia tak bergerak seperti ada sosok yang mencekiknya.

“Mbok! Mbok Yatmi!” Paklek dan Bulek memegangi tubuh Mbok Yatmi dan berkali-kali mencoba menyadarkan dirinya.

Tapi… kenapa Mbok Yatmi?

Kenapa mereka tidak lebih berusaha menolong Bayu yang hampir saja hilang dari pandangan mereka.

“GHrrrrr…. Hrrrrr!!!”

Suara mengerikan itu terdengar lagi, saat itu Juga Mbok Yatmi tergeletak dan kembali bernafas. Sesuatu yang menarik Bayu sudah tidak ada lagi.

Saat itu aku memeluk Bayu di sudut tembok, dan benar saja mereka tidak peduli dengan Bayu. Mereka ketakutan, namun mereka seperti mengandalkan sesuatu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Mbok Yatmi berdiri.

Seketika wajahnya pucat, ia menoleh pada Paklek dan Bulek sembari menyeringai dengan raut wajah yang berbeda dari Mbok Yatmi yang kukenal.

“Ora ono sing bakal nulungi kowe, wis akeh sing dendam karo kowe.. kowe bakal mati wengi iki”

(Tidak ada yang akan menolongmu, sudah banyak yang dendam dengan dirimu.. Kamu akan mati malam ini)

Itu bukan suara Mbok Yatmi, suaranya terdengar serak dan berat. Ia mendekat kearah Paklek dan Bulek yang sudah menyadari keanehan dari dirinya.

Namun Paklek dan Bulek segera menjauh.
Mbok Yatmi yang tengah kerasukan tidak membiarkan mereka pergi. Dengan langkah yang cepat Mbok Yatmi mengejar Bulek dan menarik tubuhnya hingga terjatuh.

Dengan kesetanan, Mbok Yatmi mencakar tubuh Bulek hingga kukunya dipenuhi dengan darah Bulek.

“Mati!! Kowe pantes mati!!” Teriak Mbok Yatmi.

“Toloong!!” Bulek berteriak kesakitan dengan tubuhnya yang sudah penuh dengan luka cakaran. Pranggg!!!

Sebuah guci besar pecah tepat di kepala Mbok Yatmi. Itu adalah perbuatan Paklek.
Mbok Yatmi tergeletak di lantai dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Ia terbaring dengan mata terbelalak.

Mati? Mbok Yatmi mati?

Aku gemetar melihat pemandangan itu. Entah aku harus bersyukur karena Bulek selamat atau mengkhawatirkan kondisi Mbok Yatmi yang tidak sadarkan diri.

“Pak, kalau Mbok Yatmi mati gimana?” Bulek juga khawatir.

“Kita pikirkan nanti, yang penting kita selamat..”

Paklek membantu Bulek berdiri dan meninggalkan tubuh Mbok Yatmi begitu saja, namun sebelum mereka melangkah lebih jauh aku menyadari ada sesuatu di belakang mereka.

“Paklek! Awas!!”

Paklek dan Bulek menyadari teriakkanku dan menoleh ke belakang, Namun mereka terlambat.

Mereka tercekik oleh dua tangan yang menangkap mereka. Itu adalah Mbok Yatmi..
Ia masih hidup dengan seluruh darah yang masih mengucur dari kepalanya. Pakaianya sudah penuh dengan darah dan sebagian darahnya berceceran di lantai rumah.

Harusnya tenaga seorang perempuan tidak akan kuat menahan Paklek dan Bulek, namun entah mengapa cekikan itu membuat Paklek dan Bulek tak berdaya. Mereka tak mampu bernafas dengan leher yang mereka yang mulai berdarah dengan cengkeraman Mbo Yatmi.

Aku ingin berusaha memberanikan diri untuk melakukan sesuatu. Hanya ada sebuah kursi kayu di dekatku yang mungkin bisa kulemparkan kepada Mbok Yatmi.

Brakkk!!!

“Lepasin!!!” Teriakku.

Aku sudah melemparnya sekuat tenaga, namun kursi itu hanya menghantam tubuh Mbok Yatmi tanpa membuatnya bergerak sedikitpun.
Ditengah kebingunganku, tiba-tiba Mbok Yatmi menatap ke satu sisi. Ia menatap ke arah kamar Bunga.

Dalam sekejap wajah Mbok Yatmi yang mengancam berubah menjadi waspada. Ada Bunga disana…

Ia berjalan selangkah demi selangkah menuruni anak tangga. Matanya sayu dengan wajahnya yang pucat.

Tapi tepat saat Bunga sampai di bawah, Mbok Yatmi berteriak-teriak tidak karuan.

Ia jatuh berguling-guling di lantai. Bunga berjalan ke arah pintu utama dan seluruh jendela bergetar secara bersamaan.

“Bu—Bunga!” Aku mencoba memanggilnya.

“Diam!!!” Bulek membentakku dengan keras. Ia melarangku untuk mengusik Bunga.

Aku takut, sangat takut. Aku hanya bisa memeluk Bayu dan melihat semua kejadian itu terjadi begitu saja.

Pintu rumah terbuka, Bungapun keluar dari rumah. Angin berhembus begitu kencang masuk ke dalam rumah bersama berbagai suara yang tidak dapat dijelaskan dengan nalar.

Ada suara tangisan, teriak kesakitan, hingga suara geraman hewan buas mengelilingi rumah ini.
Semua itu begitu memekakan telinga hingga aku menutup telingaku rapat-rapat.

Saat itu, Bulek yang menahan rasa sakitnya menarik tanganku dan Bayu dan membawa kami masuk ke dalam kamar.

Ia segera menutup pintu kamarku rapat-rapat dan menguncinya.

“Mbak Kinan, Mbok Yatmi gimana? Bapak? Ibu?” Bayu ketakutan hingga menangis.

Akupun kebingungan menghadapi kejadian ini. Sebisa mungkin aku menenangkan Bayu dan berusaha untuk menidurkannya.

Sementara itu, bahkan dari dalam kamar kami masih merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Suara-suara aneh itu masih terdengar dari sekeliling rumah bersama kaca jendela yang beberapa kali bergetar.

Kami berdua hanya bisa bersembunyi di dalam selimut hingga kami tidak ingat kapan akhirnya kami dapat menutup mata.

Hal itu terjadi lagi…
Aku bermimpi melihat Bunga. Ia jauh lebih lemah dibanding mimpi sebelumnya.

Ada Paklek dan Bulek di sana, terdapat luka-luka di tubuh mereka persis seperti luka yang disebabkan Mbok Yatmi tadi.
Mereka mengantar Bunga ke dalam kamar dan membukakan pintu untuknya. Wajah Bunga ketakutan saat melihat ke dalam kamarnya.

Di kamar itu ada sosok hitam yang kulihat sebelumnya memperkosa Bunga, namun kali ini tidak hanya satu. Ada banyak dari mereka berkumpul di kamar Bunga.
“Bayaran kami…” Salah satu dari makhluk itu menjulurkan tanganya kepada Paklek dan Bulek.

Sisanya sudah bersiap menunggu Bunga dengan wajah penuh nafsu dan begitu beringas.
Paklek memerintahkan Bunga untuk masuk ke dalam, namun Bulek ragu dan menahannya. Tapi tatapan mata salah satu makhluk itu menggetarkan mental Bulek dan membuatnya melepaskan Bunga.

“Peliharaan yang kuat membutuhkan bayaran yang besar,” ucap Paklek dengan raut wajah yang dingin.
Bulek juga serupa, namun saat melihat Bunga masuk diantara kerumunan setan itu bibir Bulek tergetar.
“Ibu…” Bunga menangis ketakutan.

Raut wajahnya menggambarkan bahwa ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Saat pintu tertutup saat itu juga tubuh Bunga menjadi bulan-bulanan makhluk hitam tak berperikemanusiaan itu.

Mereka benar-benar setan yang hanya melampiaskan nafsunya pada Bunga yang sudah begitu lemah.
Aku ingin menjerit dan berteriak, namun sekali lagi aku tidak bisa. Semua ini hanya penglihatan. Makhluk-makhluk itu terlalu keji memperlakukan Bunga.

Mereka merobek baju Bunga, menjilati tubuhnya, menggilirnya satu sama lain dengan begitu kasar, dan mereka baru berhenti ketika tubuh Bunga menjadi rebutan dan satu persatu bagian tubuh Bunga terpisah dari tubuhnya.

Jantungku serasa ingin meledak saat melihat Bunga berakhir dengan tubuh yang tercerai berai di kamarnya sendiri.

Sebuah kamar yang seharusnya menjadi tempat teraman untuknya namun saat ini menjadi sebuah tempat terkutuk dimana kedua orang tuanya menumbalkan dirinya untuk makhluk biadab peliharaan mereka.

***

Suara mobil Ambulance terdengar memekakan telingaku. Aku terbangun dan mendapati Bayu masih tertidur tepat di sebelahku. Matahari bersinar begitu terang tidak seperti pagi yang biasanya, aku menoleh ke arah jam dan mendapati hari sudah melewati setengahnya.

Bagaimana aku bisa tidur hingga sesiang ini?
Aku menduga Paklek pasti memanggil Ambulance untuk menolong Mbok Yatmi, namun ternyata perkiraanku salah.

Saat sampai di luar, keadaan sudah ramai dengan orang-orang yang menonton petugas ambulance mengevakuasi jasad-jasad yang bergelimpangan di jalan desa.

“Gila, ada yang bola matanya sampai keluar,”

“Pak Toyo tubuhnya terbelah jadi dua,”

Ucapan-ucapan itu terdengar dari perbincangan orang-orang yang membicarakan jasad-jasad itu.

“Pak, ini ada apa? Pembunuhan lagi?” Tanyaku pada warga yang sedang menonton.

“Iya Kinan, ini lebih mengerikan. Pembunuhnya kayak bukan manusia,” jawab salah satu dari warga.

“Hewan buas?” tanyaku.

“Bukan, Bisa jadi… setan…” Balasnya lagi.

Sontak aku teringat semua kejadian semalam saat Paklek dan Bulek hampir mati oleh serangan sosok yang merasuki Mbok Yatmi.

Beberapa orang-orang tua menggeleng melihat jasad-jasad itu.

Mereka terlihat seolah mengerti akan kejadian ini. Namun, diantara mereka ada seseorang yang wajahnya tidak asing.

Mas Puguh..

Aku berjalan mendekat ke arah Mas Puguh untuk mencari tahu tentang apa yang ia ketahui tentang kejadian ini.

“Mas!” aku mendekat dan menepuk pundaknya.

“Mbak Kinan?” Mas Puguh terlihat bingung sembari celingak celinguk memeriksa sekitarku.

“Aku sendirian kok..” ucapku yang mencoba meyakinkan Mas Puguh bahwa kami aman untuk berbicara.

Aku ingin mulai bertanya, namun Ia menarikku ke tempat yang lebih sepi sebelum berbicara.

“Mas Puguh tahu ini kenapa?” tanyaku.

“Sebaiknya Mbak Kinan nggak usah tahu, mungkin saja mbak Kinan bisa selamat hingga sekarang karena ketidak tahuan mbak Kinan,” ucap Mas Puguh.

Mungkin saja ucapan Mas Puguh ada benarnya. Namun aku tidak yakin bahwa berpura-pura tidak tahu akan terus bisa menyelamatkan hidupku.

“Aku sering dapet mimpi, yang terakhir aku melihat Bunga ditumbalin buat sosok hitam yang mirip sama Genderuwo,” aku memberanikan diriku untuk bercerita.

Namun bukanya mendengarkan, Mas Puguh malah menutup mulutku.

“Sudah, cukup.. Mas keluar dari pekerjaan agar selamat. Jangan menyeret Mas ke masalah Kartosuwito lagi!” Ucap Mas Puguh.

“Tapi, sekarang saya harus gimana? Mayat-mayat ini ada huBunganya dengan Paklek dan Bulek kan?” Tanyaku sembari berbisik.

Sekali lagi Mas Puguh mengecek keadaan di sekitar kami. saat memastikan keadaan sudah aman, ia mulai berbicara.

“Semalam kediaman Kartosuwito diserang secara ghaib oleh orang-orang yang dendam dengannya. Beberapa warga mengaku melihat penampakan makhluk halus hingga api yang melayang-layang.” Cerita Mas Puguh.

Saat mengingat apa yang terjadi semalam, semua ucapan Mas Puguh menjadi masuk akal.

“Kalau Paklek dan Bulekmu selamat, pasti dia melakukan pertukaran dengan bayaran yang besar.

Sebaiknya Mbak Kinan jangan terlibat dan pergi sejauh mungkin,” lanjut Mas Puguh.

Bayaran yang besar? Seketika aku teringat akan mimpiku dan khawatir dengan Bunga. Namun masih ada satu pertanyaan yang membuatku penasaran.

“Memangnya apa yang diperbuat Paklek dan Bulek sampai banyak orang yang ingin membalas dendam sama mereka?” Tanyaku pada Mas Puguh.

Mas Puguh hanya menarik nafas dan menggeleng. Ia seolah sulit mengatakan jawaban atas pertanyaanku.

“Kekayaan Paklekmu, hingga rumah yang sebesar itu, itu semua berdiri diatas sekian banyak darah dan nyawa manusia..”

Setelah mengucapkan kalimat itu Mas Puguh merasa perbincangan kami sudah tidak aman. Iapun segera buru-buru pergi meninggalkanku.

Apa maksud Mas Puguh?

Biar berpikir bagaimanapun, aku tidak bisa menemukan jawaban dari ucapan Mas Puguh.

Saat itu aku hanya memikirkan bagaimana keadaan Bunga saat ini.
Akupun berlari kembali ke rumah. Keadaan rumah masih sepi. Aku mencari keberadaan Mbok Yatmi namun tidak ada tanda-tanda keberadaanya.

Kamar Paklek dan Bulek masih tertutup, sementara kamar Bunga terbuka namun tidak ada seorangpun di kamar itu. Kamarnya sudah rapi dengan selimut yang terlipat.

“Bunga…” Aku mencoba memanggil berharap ada jawaban dari Bunga.

“Bunga!” Aku mengeraskan suaraku dan mulai melihat ke bawah dan ke beberapa sudut rumah. Namun tanda-tanda keberadaan Bunga juga tidak kutemukan.

Aku bingung, jantungku berdetak begitu cepat saat teringat mimpi semalam. Semoga saja mimpi itu hanyalah sebuah mimpi.

Tapi, satu pemandangan membuatku terhenti.
Gorden di kamar Bunga tersibak menunjukkan betapa besarnya pohon beringin di belakang rumah terlihat dari kamar Bunga. Aku mendekat ke jendela kamar itu dan melihat sesuatu yang berbeda di bawah pohon beringin itu.

Kuburan…

Tidak hanya satu, kini ada satu buah kuburan lagi bersanding di sebelah kuburan yang Bunga katakan adalah kuburan kakaknya yang bernama Canting.

Tubuhku lemas, akupun segera berlari kebawah memastikan milik siapa kuburan yang baru itu?

Mbok Yatmi? Atau Bunga? Apa aku boleh berharap bahwa kuburan itu bukanlah kuburan mereka berdua?

Tapi baru saja aku sampai di samping rumah, aku terhenti dengan sebuah benda yang digeletakkan di samping rumah.
Sebuah keranda bambu…

Aku terjatuh saat melihat ada sebuah jasad di keranda itu. Sebuah jasad yang dililit dengan kain jarik, namun wajahnya terlihat dengan jelas dengan kapas menyumpal hindungnya.

Itu adalah Mbok Yatmi…

Ia digeletakkan begitu saja di sebuah keranda, bahkan dengan mata yang masih terbuka. Seketika aku menangis dan mendekati jasad Mbok Yatmi untuk menutup matanya. Namun tidak bisa, matanya masih terbuka seolah ia masih belum tenang. Aku membacakan doa bersama air mataku yang menetes.

Keberadaan jasad Mbok Yatmi di tempat ini seolah memastikan kuburan siapa yang berada di bawah pohon itu.
Akupun melangkah dengan lemah menuju pohon itu.
Berbeda dengan kuburan Canting yang tak bernama, kuburan yang baru ini tertuliskan nama di sebuah nisan kayu sederhana.

Bunga Gita Kartasuwita…
Entah berapa lama aku menghabiskan waktuku meneteskan air mata di kuburan Bunga. Bukan hanya sedih akan kepergian Bunga, namun aku juga harus berpikir bagaimana dengan nasibku dan Bayu setelah ini.

“Di rumah Paklek dan Bulek, kamu bisa ngebantu mengurus Bayu…”
Tiba-tiba kata-kata ibu ituterngiang di pikiranku.
Seketika perbincangan itu seolah seperti sebuah titipan bahwa aku harus membawa Bayu pergi dari keadaan ini.

Saat sudah mampu mengendalikan emosiku, akupun berdiri dan melihat rumah besar yang ada di belakangku itu. Aku mengusap air mataku dan memandang satu persatu jendela kamar di rumah itu.
Saat ini aku merasa teka-teki di pikiranku mulai terbuka satu persatu.

Dari jendela atas terlihat Paklek dan Bulek menatapku dengan tajam. Di kamarku, aku melihat sosok makhluk hitam dengan rambut panjang yang selalu muncul di atas lemari. Dan aku juga teringat sosok makhluk yang berada di kamar Bayu.

Apa mungkin bila waktunya tiba, aku dan Bayu juga akan menjadi santapan makhluk-makhluk yang ada di kamar kami?

Namun bagaimana cara kami untuk pergi dari keadaan ini? Sementara mungkin saja, Paklek dan Bulek sudah bersiap untuk mempersiapkan aku ataupun Bayu sebagai pengganti Bunga.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close