Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA GENDERUWO (Part 2) - Pembunuhan Tanpa Jenazah

Jasad yang tercerai berai di pohon beringin itu hanyalah permulaan.
Tapi mengapa semua keanehan itu seolah mengarah kepada keluarga Kartosuwito?


TAMU DI TENGAH MALAM

Berita tentang warga desa yang mati dengan cara yang tragis sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Beberapa rumah warga sempat didatangi pihak polisi untuk dimintai keterangan.

Rumah Paklek yang paling besar di desa ini juga tak luput dari kedatangan mereka..

“Ada warga yang bercerita, katanya Pak Surono sempat bersitegang dengan Bapak Kartosuwito masalah tanah desa? Apa itu benar?”

Terdengar suara petugas kepolisian yang tengah meminta keterangan dari ibu.

“Iya benar pak, tapi sudah cukup lama. Itupun kami mengalah setelah di mediasi oleh pak kepala desa. Kami merasa Pak Surono lebih butuh untuk usahanya,” Balas Bulek dengan tenang.

Pak polisi itupun mengangguk sembari mencatat keterangan Bulek. Sementara itu, aku memperhatikan ada beberapa polisi yang memeriksa sekeliling rumah. Mereka mengitari rumah besar ini sembari membawa kamera foto.

Namun entah mengapa mereka sama sekali tidak tertarik untuk menuju ke pohon beringin di belakang rumah.Menoleh ke sanapun tidak.
“Baik Bu, sepertinya keteranganya sudah cukup. Tapi seandainya ibu atau bapak mendengar informasi lain, ibu bisa menghubungi kami ya,” ucap polisi itu.

“Baik Pak, pasti saya kabari kalau ada petunjuk. Tapi…”

“Tapi apa Bu?”

“Kalau boleh tahu, warga yang bercerita bahwa saya pernah bersitegang dengan pak surono itu siapa ya pak?”

Dari jauh aku melihat sekilas ekspresi Bulek sedikit berubah. Seperti ada rasa kesal yang disembunyikan.

“Oh.. untuk itu maaf Bu, kami tidak bisa memberitahukan.”

“Begitu ya? Baik, saya mengerti..”

Tak berapa lama setelah perbincangan itupun seluruh anggota polisi meninggalkan rumah ini. aku, Bunga, dan Bayupun keluar dari tempat mengintip kami dan menghampiri Bulek.

“Nanyanya kok begitu? seolah-olah kita pelakunya saja,” ucap Bunga dengan nada yang sinis.

“Nggak gitu Bunga, Polisi kalau nanya emang begitu. Kalau kita nggak salah, nggak usah takut,” balas Bulek sembari mengelus kepala Bunga.

“Bayu takut…”

“Takut sama polisinya?” Tanyaku.

Bayu menggeleng sembari memegang rok yang kukenakan.

“Bayu takut sama pembunuhnya,” ucapnya polos. Akupun berjongkok sedikit dan mencoba menenangkan Bayu.

“Tenang saja, pembunuhnya pasti tertangkap. Pak Polisinya hebat-hebat kok!”

“Iya, semoga cepet ketangkep,”

Bayupun melepaskan genggamanya dan mulai kembali bermain dengan mainan yang sebelumnya ia mainkan sebelum polisi itu datang.

Sebenarnya aku sedikit berpikir, apa aku perlu menceritakan tingkah aneh pak surono sebelum ia ditemukan meninggal.

Tapi kalau itu kulakukan, pasti akan banyak hal yang merepotkanku dan pasti melibatkan keluarga Bulek.
Akupun memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian itu ke siapa-siapa, dan menyimpanya sendiri.
...

Menjelang maghrib, suasana mulai berubah. Aku yang tengah mengangkat jemuran menyadari bahwa desa menjadi begitu sepi. Menurutku, wajar saja. Masih ada pembunuh di luar sana yang belum tertangkap.

Baru jam enam sore, suara kentongan warga yang tengah melaksanakan ronda mulai terdengar. Hanya merekalah yang diperkenankan keluar kecuali dalam keadaan terdesak.

“Mbak, sudah mau malam. Masuk ke rumah ya,” Tegur mereka yang mendapatiku masih berada di teras.

“Nggih mas, habis ini langsung masuk..”
Akupun mengangkat jemuran terakhirku dan segera masuk ke rumah.

Tok… Tok… Tok…

Suara kentongan itu terdengar berjalan menjauh.
Hanya suara itu yang terdengar di desa saat ini.

Suasana di dalam rumahpun ikut terbawa hening. Hanya suara televisi dan kami yang menonton dengan tenang. Tak banyak hal menarik di malam ini, dan kamipun memutuskan untuk tidur cepat.

“Mbak Kinan, temenin Bayu tidur ya. Bayu takut,” pinta Bayu.

“Heh, kamu kan sudah SD. Masa masih minta dikelonin?” Ucap Bunga.

“Nggak papa Bunga, sekali-kali. Toh keadaan juga lagi begini. Wajar kok,” Balasku.

Akupun menemani Bayu untuk sikat gigi dan masuk ke kamarnya.

Aku mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang berwarna kuning remang agar Bayu bisa tidur dengan nyenyak.

“Sudah, ayo tidur…” ucapku pada Bayu yang masih berpura-pura memejamkan matanya.

“Iya…”
Aku memperhatikan Bayu yang sudah memeluk gulingnya.

Sementara aku mengambil sebagian sisi kasurnya untuk meletakkan badanku.

“Mbak..”

Bayu memanggilku tanpa menoleh ke arahku.
“Kenapa Bayu?”

“Nanti, lewat tengah malam biasanya ada yang datang. Nanti dikasi nampan yang ada di seamping lemari saja,” ucap Bayu.

Aku setengah duduk menatap ke arah Bayu, “Datang? Siapa Bayu?”. Namun ia tetap tidak menengok. Sebaliknya, ia malah terlihat benar-benar sudah tertidur. Apa mungkin Bayu sedang mengigau?

Tak mau ambil pusing, akupun memilih untuk ikut memejamkan mata dan menyusul Bayu untuk tidur.
Krakkk!! Krrssaakk!!

Sebuah suara mulai mengganggu tidurku. Suaranya seperti suara hewan yang sedang menyenggol benda-benda di kamar.

Aku mencoba mengabaikanya dan berharap bisa kembali terlelap. Namun suara itu terus terdengar.

Krssaakk!!

Aku sudah mencoba cukup lama, tapi suara itu tidak kunjung menghilang.

Pada akhirnya suara itu berhasil membuatku gagal untuk kembali terlelap. Akupun ingin membuka mata dan mencoba mengusir makhluk itu.

Tapi.. saat itu juga aku teringat perkataan Bayu sebelum ia tertidur.

“Lewat tengah malam biasanya ada yang datang..”

Entah mengapa seketika aku merinding. Aku merasa bahwa sesuatu yang sedang berada di kamar ini bukanlah hewan seperti yang kubayangkan.

Sosok mengerikan seperti di atas lemarikupun mulai terbayang di pikiranku.

Akupun memutuskan untuk tetap memejamkan mata dan berharap makhluk itu akan pergi bila aku mengabaikanya.

Namun aku salah…

Seolah menyadari bahwa aku terjaga, sosok itu mendekat ke arahku. Ada suara geraman yang mendekat dan semakin mendekat ke arahku.

“Hrrrr… hrrrrr…”

Suaranya seperti suara nafas hewan buas yang siap menerkam siapa saja di hadapanya.

Aku tahu, mataku tidak bisa tenang dengan sempurna. makhluk itu pasti menyadarinya dan semakin mendekati diriku. Hingga suara nafas itu kini berada tepat di hadapan mataku.

Tak mampu menahan lagi, akupun membuka mata berusaha menghadapi sosok yang hampir menempelkan wajahnya di wajahku itu.

Tapi… aku salah.

Tidak ada sosok yang sedekat itu di hadapanku.

Akupun mulai merasa tenang, namun penglihatanku terhenti pada sosok yang berdiri di depan kasur di dekat kakiku.

“Bayu?”

Itu Bayu, ia menatapku dari sana dengan tatapan sayu.

“Bay, ngapain di situ? Sini tidur lagi.” Ucapku sembari menepuk kasur di sebelahku.

Tapi, masih ada seseorang di sebelahku. Bayu masih tertidur di persis di sebelahku. Lalu siapa sosok yang menyerupai Bayu di hadapanku? Wajahku pucat, nafasku begitu berat.

“Katanya, dia mau tidur sama Mbak Kinan,” ucap sosok Bayu yang ada di hadapanku.

Itu suara Bayu, benar-benar suara Bayu. kalau benar itu Bayu, siapa yang sedang tidur di sebelahku?

Akupun menyibakkan selimut yang menutupi sosok di sebelahku dan mendapati seorang anak berkulit pucat tengah berada di sebelahku.

Ia menoleh dan mengarah kepadaku dengan wajah yang penuh lubang. Bahkan aku tidak menemukan bola mata di lubang matanya.

“Se—setan! Setan!!” ucapku dengan suara yang lagi-lagi tidak mampu kuteriakkan.

Suaraku hanya berupa bisikkan yang keluar dari kerongkonganku.

Akupun menjatuhkan diri dari tempat tidur dan berusaha untuk berdiri, namun kakiku terlalu lemas.

Sosok itupun merayap di kasur dan ingin menghampiriku. Akupun menjauh dan tanpa sadar tanganku menyentuh nampan di sebelah lemari.

Ternyata nampan itu berisi berbagai macam kembang, segelas air, dan satu tusuk sate yang tidak kuketahui terbuat dari daging apa.

Akupun panik dan berusaha untuk menggapai pintu dan segera keluar dari kamar. Akupun menutup pintu dengan rapat dan menjauh dari kamar Bayu.

Kucoba untuk mengatur nafas untuk menenangkan diriku di ruang yang juga gelap dan hanya satu lampu kecil yang menyala di ruangan sebesar ini. Aku ingin berlari ke kamar Bulek atau kamar Bunga, tapi aku tiba-tiba cemas dengan keadaan Bayu.

Bayu masih di sana, sendiri dengan makhluk itu… Aku menelan ludah sembari mencoba kembali membuka kamar Bayu. Jelas aku tidak bisa meninggalkan dia sendirian di kamar.
Dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, akupun membuka pintu itu perlahan dan sedikit mengintip.

Semua terlihat normal…
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam dan mendapati Bayu masih tertidur di tempatnya dengan posisi yang tidak jauh berbeda dari saat ia pamit tidur tadi.
Mimpi?
Ah, mungkin saja. Tapi semua kejadian tadi terasa begitu nyata.

Akupun memutuskan untuk mencuci wajahku dan kembali tidur di sebelah Bayu dengan menyalakan lampu kamar.

Satu-satunya cara terbaik untuk tenang adalah menganggap hal tadi benar-benar sebuah mimpi. Namun saat aku tidur membelakangi Bayu, tanpa sengaja mataku melihat sebuah nampan yang berada di sebelah lemari. Sebuah nampan yang sebelumnya berisi beberapa macam kembang, gelas berisi air, dan satu tusuk sate.

Tapi sekarang nampan itu kosong. Hanya tersisa sedikit kembang yang berserakan dan tusuk sate yang dagingnya telah habis…

***

TAMU DI SIANG BOLONG

Kejadian di kamar Bayu benar-benar membuatku berpikir. Apakah ada yang salah dengan pikiranku? Ataukah memang ada yang aneh dengan rumah ini? Tapi saat menyadari tidak ada hal buruk yang terjadi padaku dan seluruh keluarga di rumah ini, aku sedikit mengambil kesimpulan bahwa penglihatan itu adalah wujud depresiku atas kehilangan ibu dan ketakutan akan tempat baru.

Terbukti semakin lama aku tinggal di tempat rumah ini, hal-hal aneh itu mulai berkurang. Kejadian di kamar Bayu itu sudah berlalu lebih dari sebulan, dan memang tidak ada kejadian aneh lagi setelahnya.
Sekarang, aku sudah cukup sering bertemu Paklek. Walau sering pergi cukup lama, tapi saat sedang pulang ia juga di rumah cukup lama.

Dari perbincangan mereka, aku menangkap bahwa paklek mempunyai bisnis sejenis kontraktor yang harus ia awasi cukup lama. Tak hanya Bunga dan Bayu, akupun turut senang setiap Paklek pulang ke rumah.
Walau berkumis tebal dan berjanggut seperti tokoh-tokoh galak, paklek begitu baik.

Ia benar-benar memperlakukanku seperti Bunga dan Bayu tanpa membedakan. Satu hal yang pasti membuat kami senang, setiap pulang Paklek selalu memberi kami uang.

Sesekali aku ingin sekali keluar dan menjajakan uang dari paklek, namun aku merasa semua masakan dan yang disediakan Bulek sudah jauh lebih enak dibanding saat aku tinggal bersama ibu dulu hingga tidak ada alasanku untuk jajan. Akupun memutuskan untuk menyimpan uang dari paklek untuk tabunganku ketika sudah bisa mandiri nanti.
...

Hari ini aku terbangun terlalu pagi, akupun memanfaatkanya untuk menyapu membersihkan teras dari daun-daun kering yang berguguran untuk mengusir kantukku.
Sementara itu, aku melihat paklek yang sudah rapi keluar dari dalam rumah.

“Lha Kinan, rajin banget udah bangun?” Tanya paklek sembari mengambil posisi untuk mengenakan sepatunya.

“Iya, bangun kepagian. Nggak bisa tidur lagi. Paklek mau berangkat?”

“Iya, ada panggilan mendadak,” Balasnya singkat.

“Bulek belum bangun?”

“Belum, sudah biarin aja. Kan hari minggu, kasian kalau dibangunin jam segini.”

Aku baru tahu, rupanya paklek cukup perhatian juga dengan Bulek.

“Aku bikinin kopi dulu ya, Paklek? nggak pake gula kan?” ucapku sembari meletakkan sapuku.

“Nggak usah Kinan, terima kasih.”

Paklekpun berdiri memastikan sepatunya terpasang dengan nyaman. Aku mencium tangan paklek dan membukakan pagar mengantar keberangkatan paklek dengan mobilnya.

Ternyata menjadi orang kaya tidak sepenuhnya menyenangkan.

Entah seberapa banyak waktu yang Paklek habiskan untuk bekerja bila dibandingkan dengan menikmati kekayaanya.
Setelah selesai membersihkan teras, aku kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk mandi. Bayu dan Bunga masih terlelap, bahkan saat aku sudah selesai mandi.

Saat aku hendak menjemur handukku di atas, aku memperhatikan kamar Bulek setengah terbuka. Awalnya aku berpikir bahwa tadi Paklek lupa menutup pintu kamarnya. Tapi saat lewat di depanya aku melihat sesuatu yang janggal.

“Pak… masih pagi…” Terdengar suara Bulek melenguh dengan suara yang manja.

Bulek hanya mengenakan daster putih tanpa lengan dan seatas lutut. Ia terlihat gelisah menggerakkan tubuhnya. Akupun menggeser penglihatanku dan mendapati ada orang lain di kamar itu.

Itu Paklek..

Aku sedikit menahan nafas melihat adegan yang tersaji di depan mataku. Walau sedikit terhalang oleh pintu, aku bisa menyaksikan bagaimana Paklek mencumbui tubuh Bulek dengan penuh nafsu.

“Mmmhh.. pelan-pelan pak, belum basah,” ucap Bulek.

Namun Paklek malah dengan kasar memegangi tangan Bulek dan memaksanya.

Ia mengangkat sedikit daster yang dikenakan oleh Bulek dan mulai menikmati bagian intim milik Bulek. Bulek yang awalnya merasakan kesakitanpun perlahan mulai menikmati itu dan seolah kesulitan menahan diri.

Iapun melampiaskan kenikmatanya melalui desahanya.
Aku mulai merasa bersalah melihat pemandangan itu dan ingin segera meninggalkanya. Tapi, bukankah paklek sudah berangkat sejak subuh? Apa ia kembali lagi?
Sebelum pergi dari tempat itu, aku kembali sedikit menoleh ke arah mereka.

Dan tiba-tiba Paklek menoleh ke arahku. Ia menyadari keberadaanku dan menatapku dengan tatapan kesal.
Akupun segera pergi dan meninggalkan mereka untuk melanjutkan tujuanku menjemur handuk.

Tapi saat aku kembali melewati kamar Bulek untuk turun, sosok paklek sudah tidak ada. Hanya tersisa Bulek yang tertidur dengan tubuh yang lemas. Akupun berjalan dengan sedikit cepat ke bawah dan mengecek ke garasi mobil, dan mobil paklek tidak ada.

Tidak mungkin paklek meninggalkan Bulek dan pergi lagi dengan mobilnya secepat itu.
Lantas, apa itu tadi? Siapa sosok yang berhuBungan dengan Bulek?
Kejadian di kamar Bulek itu benar-benar menghantui pikiranku.

Akupun memilih untuk masuk kembali ke kamar sembari menunggu Bunga dan Bayu bangun.
Satu sisi aku terbayang-bayang tatapan marah paklek yang terasa menyeramkan itu, tapi satu sisi entah mengapa aku merasa menikmati pemandangan itu.

Apa ini pegaruh hormonku yang mulai tumbuh?
Atau ada pengaruh lain dari tempat itu.
Aku tahu dengan jelas bahwa apa yang kurasakan salah. Beberapa kali aku memukul-mukul pelipisku yang mungkin saja bisa membuatku berpikir lebih jernih.

Namun yang ada hanya rasa sakit yang menggantikan kebingunganku pagi ini.
Bunga mengetuk pintuku dan mengabari bahwa Mbok Yatmi sudah selesai memasak dan mengajakku untuk sarapan. Di meja makan Bayu sudah menunggu di sana sembari memainkan mobil-mobilanya di meja makan.

“Tuh, rajin kayak Mbak Kinan. Jam segini sudah mandi,” ucap Mbok Yatmi.
“Kan hari minggu Mbok, santai sedikit nggak papa,” balas Bunga yang dengan santainya duduk di meja makan dengan hanya mengenakan kaos tanktop dan celana pendeknya.

“Yang nyapu teras kamu juga ,Kinan?” Tanya Mbok Yatmi.
“Iya Mbok, daripada bingung mau ngapain,”
“Matur nuwun yo, Mbok jadi bisa langsung masak,”
“Iya Mbok,”
Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga.
Bulek turun ke bawah dengan rambut yang basah dan daster yang lebih panjang.

“Paklek sudah berangkat ya?” Tanyanya.
“Iya, Bulek. Tadi ketemu sama Kinan,” Jawabku sembari terbayang kejadian tadi.
Aku ingin bertanya tentang keberadaan paklek yang aneh tadi, tapi itu artinya sama saja aku mengakui bahwa aku mengintip mereka berdua tengah berhubungan intim.

“Paklek berangkatnya persis habis subuh..” ucapku lagi sembari berharap Bulek bisa meraba maksudku.
“Subuh? Bukan barusan?” Kali ini Bulek mengernyitkan dahinya menatapku.
“I—iya Bulek, pas Kinan lagi nyapu teras. Coba aja tanya Paklek,” Balasku dengan mantap.

“Nggak mungkin, tadi kan paklek habis…”

Bulek tidak melanjutkan ucapanya, jelas Wajah Bulek terlihat cemas, iapun mengurunkan niatnya untuk makan bersama kami dan naik ke kamarnya lagi.

Dari kegelisahan Bulek, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kejadian tadi.

***

PEMBUNUHAN TANPA JENAZAH

Prakk!!!

Terdengar suara benda yang menghantam jendela rumah. Suaranya begitu keras dan mungkin saja bisa memecahkan kaca bila mengenai titik yang tepat.

Spontan kamipun keluar mencari tahu asal suara itu.

Saat mengintip keluar, ada seseorang yang tengah menggenggam batu dan bersiap melempar lagi.

“Jangan keluar, bahaya!” Tahan Bulek.
Kamipun menurut sementara Bayu gemetar ketakutan di belakangku.

“Kartosuwito! Tidak usah pura-pura! Kau yang bertanggung jawab atas kematian Sarono!” Teriak orang itu.
Ucapan itu sontak membuat kami bingung.
Bagaimana orang itu bisa menuduh paklek sementara paklek sedang di luar kota?

Lagi pula cara kematianya terlalu tidak mungkin untuk dilakukan orang seperti paklek.

Bulekpun sedikit mendekat dan menatap tajam orang itu. Itu Pak Kasto, aku bisa mengetahuinya dari suaranya dan apa yang kulihat dari sini.

Ia memang tidak dekat dengan keluarga Pakde dan cenderung seperti sering menatap sinis.
Entah ada masalah apa diantara mereka, namun Bulek terus menatap Pak Kasto dengan tatapan penuh kebencian.

“Bu, kalau Pak Kasto begitu lagi gimana? Kalau kita berpapasan di jalan gimana?” Bunga yang pagi ini ingin berangkat sekolah merasa khawatir dengan kejadian kemarin.

“Ibu sudah bilang Pak RT, dan Pak Kades kemarin dia sudah didatangi dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga kita,” ucap Bulek.

“Bener bu?”

“Iya,” sudah sana berangkat.

Aku memang sedikit khawatir, namun karena aku tidak tahu bagaimana sebenarnya huBungan antara Pak Kasto dan keluarga ini, aku tidak sekhawatir Bunga.
Memang saat berangkat kami tidak menghadapi masalah apapun, namun saat aku pulang. Aku benar-benar berpapasan dengan Pak Kasto.

Langkahku terhenti saat melihat Pak Kasto. Ia menatapku dengan tajam, akupun berjalan lambat dan menunggu ada orang lain yang lewat agar saat melewati Pak Kasto, aku tidak sendiri.

Beruntung ada beberapa ibu-ibu yang berjalan di belakangku.

Akupun menyamakan langkahku dengan mereka dan melanjutkan berjalan.

“Sebaiknya kau cepat-cepat pergi sebelum terlibat lebih jauh dengan keluarga terkutuk itu,” ucap Pak Kasto tepat saat aku melewatinya.

Aku tidak begitu menghiraukanya dan mempercepat langkahku, saat sudah menjauh baru aku berani menoleh dan memikirkan apa yang ia katakan.

“Keluarga terkutuk?”
Walau ingin mencoba tidak menghiraukanya, tapi kata-kata itu terus muncul di pikiranku.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian di jalan kepada Bulek.

Aku memang tidak mengatakan apa yang diucapkan Pak Kasto. Tapi Bulek yang khawatir segera meminta tolong Mas Puguh untuk menjemput Bunga dengan motornya.
Menjelang maghrib aku meninggalkan kamar dan mendapati Paklek sudah pulang ke rumah.

Aku ingin menghampiri Paklek untuk mengucap salam, namun aku terhenti dengan suasana aneh di meja makan.

Bulek dan Paklek tengah berbicara dengan serius. Sementara itu Mbok Yatmi masih berada di dapur dengan mempersiapkan sesuatu.

Awalnya aku menduga ia menyiapkan makan untuk Paklek, tapi aku salah.

Paklek menyiapkan sesuatu di nampan bambu. Ada beberapa jenis kembang dan selembar kain kafan kecil.

Pintu kamar Bayu sedikit terbuka, ia melihatku dari dalam dan memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya seolah memberitahuku agar tidak mendekat ke Paklek dan Bulek.

Akupun melangkah dengan hati-hati menuju ke kamar Bayu dan menutup pintunya perlahan.

“Bayu, kamu tau mereka lagi ngapain?” Tanyaku sembari berbisik.

“Nggak tahu, tapi kalau bapak dan ibu lagi ngomong serius dan ada Mbok Yatmi. Mereka nggak mau diganggu,” jelas Bayu.

Akupun teringat tentang benda yang disiapkan oleh Mbok Yatmi.

“Terus itu Mbok Yatmi bikin apaan? Buat di kamar kamu?” Tanyaku.

“Bukan, yang itu isinya lebih banyak. Bayu nggak mau tahu, takut.” Jawabnya. Sayangnya ucapan Bayu malah membuatku semakin penasaran.

Saat makan malam aku bersikap seolah tidak melihat percakapan mereka tadi.

Kami hanya berbicara tentang kejadian di sekolah dan tidak membahas tentang Pak Kasto.
“Bayu takut kalau rumahnya dilemparin lagi,” Sekali saat Bayu membicarakan tentang Pak Kasto, padahal aku dan Bunga berusaha untuk tidak membahasnya.

Namun Paklek hanya mengelus kepala Bayu dan menenangkanya.
“Tenang saja, besok Pak Kasto sudah tidak bisa mengganggu kalian,” jawab Paklek sembari tersenyum.
Besok hari libur, mungkin saja Paklek ingin langsung bertemu dengan Pak Kasto bersama perangkat desa yang menengahinya.
...

Malam ini terjadi lagi..
Paklek dan Bulek datang ke pohon besar di belakang rumah. Mereka menghantarkan sesaji ke pohon besar itu lagi. Aku sudah tidak heran dengan hal itu lagi dan kembali mencoba untuk tertidur. Sayangnya aku melupakan satu hal.

Setiap Bulek dan Paklek mengunjungi pohon itu. dia pasti akan muncul..
Tepat saat pintu lemari terbuka dengan perlahan.
Aku segera menarik selimutku dan menutup wajahku.
Aku yakin makhluk di atas lemari itu pasti akan muncul…

Sosok itu beberapa kali menggoyangkan pintu lemari dan menggeram. Kali ini aku hanya berusaha menahan rasa takutku dengan menutup wajahku dengan selimut hingga sosok itu menghilang.

Darr!!!

Aku terbangun saat terdengar suara dentuman yang keras dari dalam rumah. Lampu kamar tidak menyala, aku mencoba menyalakanya namun tak berhasil. Sepertinya listrik di rumah ini mati.
Akupun segera meninggalkan kamar ingin mencari tahu asal suara itu.

Tapi Mbok Yatmi tiba-tiba menahanku sembari membawa sebuah lilin. Ia seolah berjaga diantara kamarku dan kamar Bayu.

“Nduk, malam ini tidak ada yang boleh keluar kamar.” ucap Mbok Yatmi dengan wajah yang terlihat begitu serius.

“Kenapa Mbok? Ada apa?”

“Sudah, tidak usah banyak tanya. Cepat masuk ke dalam!”

Perintah Mbok Yatmi yang tiba-tiba menjadi lebih tegas dan lebih misterius dari biasanya.

Satu saat aku melihat bayangan yang besar terpantul dalam cahaya api lilin Mbok Yatmi.

Bayangan itu bergerak seperti berjalan secara perlahan. Saat itu bulu kudukku berdiri merasakan keanehan.

“Masuk, sebelum terlambat…” Kali ini Mbok Yatmi berbicara tanpa menoleh ke arahku.

Kali ini aku memilih membunuh rasa penasaranku dan masuk ke dalam kamar.

beberapa kali suara dentuman terdengar. Sangat sulit buatku untuk tertidur.
Hujanpun mulai turun menimbulkan suara yang membuatku semakin gelisah. suara hujan itu tidak seperti biasa. Terkadang suara seolah mereda dan kembali deras. Tapi tidak seperti itu.

Suara itu lebih mirip seperti ada sosok besar yang melintas dan menghalangi hujan jatuh langsung ke tanah..
Tiba-tiba malam itu terasa semakin mencekam, apalagi saat daun jendelaku bergetar dengan sendirinya.

Aku yakin sudah mengunci jendelaku, apa mungkin sesuatu membuatnya longgar?

Akupun meninggalkan kasurku untuk memeriksa dan mengencangkan jendela. Namun baru saja aku menyibakkan kain gordenya. Aku terjatuh.

Apa itu tadi?

Aku terjatuh saat melihat sesuatu dari kaca jendela.
Ada sebuah mata…
Ada sebuah mata besar berwarna merah dari makhluk yang merunduk seolah mencoba mengintip ke dalam ruangan ini. makhluk yang begitu besar dengan bulu-bulu berwarna hitam.

Walau hanya sesaat, aku mengingat wajah itu penuh dengan kulit dan bulu yang terkelupas. Rasa penasaran membuatku berdiri dan mencoba menyibakkan gorden itu lagi. Tapi kakiku gemetar. Bagaimana kalau sosok itu masih berada di sana.

Akupun memilih untuk menahan niatku dan menjauh dari jendela. Aku mengambil selimutku dan meringkuk sembari mengawasinya.
Setelah menunggu beberapa lama, terlihat ada bayangan sesuatu yang besar bergerak meninggalkan jendela.

Gorden yang sebelumnya gelap kini terlihat sedikit lebih terang dengan cahaya bulan yang menerpa kaca jendela.
Beberapa saat kemudian, lampu dan listrik rumah mulai menyala.

Akupun memberanikan diri untuk kembali mengecek jendela dan tidak mendapati apapun di sana selain pemandangan pohon beringin besar yang tertutupi hujan yang mulai reda.
Apa yang terjadi dengan malam ini?
Biar sebagaimanapun aku memikirkan,aku tetap tidak akan bisa mengetahui apa yang terjadi pada malam itu.

Pagi itu kami terbangun dengan suara ramai di luar. Beberapa kali lemparan batu menghantam ke rumah dan sampai memecahkan kaca.

“Awas kau Kartosuwito! Sampai terjadi apa-apa dengan anakku, kubunuh kau! Aku tidak takut padamu!” teriak Pak Kasto dan beberapa pria lain yang kuduga adalah saudaranya.
“Kau akan membayar atas semua yang kau lakukan!” seorang pria lain ikut membela Pak Kasto menuding Paklek.

Sementara itu Paklek hanya berdiri di pintu rumahnya sembari melipat tanganya. Ia hanya menatap orang-orang itu dengan sombong tanpa rasa takut terhadap orang-orang itu.

“Sebaiknya kalian pergi sebelum kalian berurusan dengan polisi,” ucap Mas Puguh sembari memotong rumput dengan aritnya.
Ia juga bersikap santai menanggapi Pak Kasto dan orang-orangnya itu.

“Lebih baik kau berhenti bekerja dengan setan itu , Puguh! Sebelum kau ikut mati!” Teriak Pak Kasto.
Mendengar ucapan itu, Mas Puguh mendekati mereka dari dalam pagar sembari menggenggam aritnya.

“Akan sangat kasihan bila anakmu sakit sementara ayahnya mendekam di tahanan. Kamu kenal sendiri bagaimana majikan saya bisa melakukan itu,” ucap Mas Puguh yang segera meninggalkan mereka dan kembali mengerjakan kebun.

Mendengar ucapan itu Pak Kasto dan teman-temanyapun meninggalkan rumah sembari terus mengancam pada Paklek.
“Harusnya kau tidak perlu melakukan itu,Puguh.” Ucap Paklek.
“Biar saja Pak, mereka mengganggu pekerjaan saya,” balas Mas Puguh sembari terus melanjutkan pekerjaanya.

Kalau sebelumnya kami berani menanyakan tentang Pak Kasto pada Bulek, kali ini aku, Bunga, dan Bayu hanya terdiam tanpa berani membahas kejadian pagi itu pada paklek.
Kamipun sarapan pagi dengan tenang tanpa banyak perbincangan.

“Kalian tidak usah khawatir. Setelah ini Pak Kasto tidak akan mencari gara-gara lagi,” ucap Paklek tiba-tiba.

“I—iya pak…” Balas Bunga yang terlihat menjaga sikap dengan ayahnya.

Walau begitu, sebenarnya kami penasaran dengan apa maksud dari ucapan Paklek barusan.

***

Matahari mulai tenggelam dan aku baru saja ingin mengajak Bayu untuk mengerjakan Prnya. Tapi dari luar terdengar suara langkah kaki orang yang tengah berlarian.

“Ono opo mas?” (ada apa mas?) Tanya Bunga yang penasaran dengan hal yang sangat tidak biasa itu.

“Pak Kasto, Bunga! katanya ada yang aneh di rumahnya Pak Kasto,” jawab salah satu warga.

Bungapun buru-buru mengenakan sandalnya ingin mengikuti warga tersebut.

“Bayu, sama Mbok Yatmi dulu ya,” ucapku yang juga penasaran.

“Aku ikut Bunga!”

Tak hanya aku dan Bunga. Mas Puguh rupanya juga penasaran dan mengikuti arah keramaian warga desa.

“Tadi Pak Kasto teriak-teriak nggak jelas, awalnya kami mengacuhkan. Tapi setelah teriakanya semakin histeris, kamipun menghampiri Kasto dan keadaan rumahnya sudah seperti ini,” ucap seorang ibu yang bertetangga dengan Pak Kasto.

Ia ditemani suaminya yang sedang menjelaskan hal serupa ke Pak Kades.

Aku dan Bunga mencoba menembus kerumunan dan melihat ke arah rumah tersebut dan mendapati keadaan rumah Pak Kasto sungguh mengerikan.

Dinding rumah itu diwarnai dengan cipratan darah yang tak beraturan seolah baru saja terjadi pertengkaran yang mengerikan. Tak hanya itu, di lantaipun terdapat darah yang menggenang mengelilingi sebuah benda.

Ada tungku kecil yang digunakan untuk membakar kemenyan bersama sisa-sisa kembang yang berserakan. Bahkan, aroma kemenyan masih tercium dari luar pintu dan jendela tempat kami mengintip.

“Bubar! Bubar! Sebentar lagi polisi datang. Jangan merusak TKP,” ucap pak Kades yang memperhatikan warga yang semakin berkerumun.

“Pak Kasto meninggal?”

“Nggak tahu, tapi nggak ada mayatnya. Anaknya juga ikut menghilang.”

“Istrinya?”

“Istrinya sudah menghilang lebih dulu beberapa bulan lalu,”

“Kok aneh ya?”

“Makanya jangan cari gara-gara sama Keluarga Kartosuwito. Itu Si Sarono sama Kasto, setelah bersitegang dengan pak Kartosuwito nasib mereka jadi begini…”

Suara-suara itu terdengar dari warga yang berada di tempat ini dan belum menyadari keberadaanku dan Bunga.
Saat aku hendak meninggalkan rumah itu, aku terhenti saat menyadari ada sebuah pohon beringin yang cukup besar juga di belakang rumah Pak Kasto.

Pohon itu berbatasan dengan sungai kecil yang mengalir dengan tenang.

Sebelum kembali ke rumah aku menyempatkan diri untuk memutar ke belakang rumah Pak Kasto.

“Kinan mau kemana?” Tanya Bunga.

“Tinggal aja, Bunga! Pulang duluan saja sama Mas Puguh. Nanti aku nyusul,” balasku.

Kinan yang sudah merasa tidak nyaman dengan tempat inipun mengiyakan ucapanku dan meninggalkanku.

Pohon beringin itu tidak sebesar yang berada di belakang rumah, namun perasaan saat memandanganya tidak jauh berbeda seolah ada sesuatu yang misterius di sana.

Ada suara aneh dari atas pohon yang sulit kudefinisikan. Tapi suara itu memancing rasa penasaranku untuk mendekat.
Di atas pohon dengan akar yang menggantung itu terlihat sesuatu yang tidak begitu jelas. Aku menajamkan mataku untuk memperjelas penglihatanku di gelapnya malam ini.

Dan benar, ada sesuatu di atas pohon beringin itu. Tak dapat kupercaya…

Aku gemetar dengan mata merah dari balik dedaunan yang menyadari kehadiranku. Sosok itu menoleh ke arahku sejenak dan kembali berpaling melanjutkan apa yang tengah ia lakukan seolah tidak peduli kepadaku.

Akupun mendekat untuk melihat lebih jelas. Namun apa yang ada di hadapanku jauh lebih mengerikan dibanding apa yang ada di dalam rumah.

Di atas pohon itu, sosok makhluk besar yang mungkin tingginya tiga kali manusia normal tengah mencabik-cabik dan menggit tubuh yang bisa kukenali bahwa itu adalah Pak Kasto. Ia menggerogoti tubuhnya dan menarik tangan dan kakinya hingga terpisah.

Aku menahan mual melihat pemandangan itu. Tak jauh dari makhluk itu, ada sesosok wanita berambut panjang tersangkut tanpa busana. Aku mengenali itu adalah tubuh dari anak perempuan Pak Kasto.

Aku gemetar, tapi aku ingin segera berlari dan memberitahukan apa yang kulihat pada warga desa.

“Percuma, mereka tidak ada yang bisa melihat ini semua,” Tiba-tiba terdengar suara nenek tak jauh dari tempatku berada.

Aku menoleh dan mendapati seorang nenek yang sudah kurus dengan rambutnya yang putih tengah bersandar di balik pohon sembari memandangi hal yang sama.

“Eyang siapa? Kenapa yang lain nggak bisa lihat?” Tanyaku bingung.

“Mereka adalah anak dan cucu eyang..”

Aku semakin kaget, berarti nenek itu adalah ibu Pak Kasto. Mengapa ia bisa begitu tenang melihat pemandangan itu?

“Itu makhluk apa Nek? Kenapa dia membunuh Pak Kasto?” Aku penasaran.

Nenek itu menghela nafas sebelum memutuskan untuk bercerita kepadaku.

“Genderuwo, anakku memeliharanya sepanjang hidupnya”
Genderuwo? Aku setengah percaya mendengar cerita itu. Sayangnya apa yang kulihat di hadapanku benar-benar tidak terbantahkan.
Aku teringat dengan kejadian tadi pagi dan perkataan Paklek mengenai Pak Kasto.

Apa ini yang dimaksud olehnya?

“Eyang… apa ini perbuatan Paklekku?” Tanyaku. Nenek itu menoleh ke arahku sebentar.

“Mungkin iya, mungkin tidak... Ingat saja ucapan anakku. Jangan terlalu jauh masuk dalam Keluarga Kartosuwito.”

Ucap nenek itu yang ingin segera meninggalkan tempat itu. Sepertinya ia tidak tega melihat apa yang terjadi pada anaknya.

“Memangnya keluarga Paklek kenapa, eyang?” Nenek itu mendekat kepadaku dan melihat ke wajahku.

Ia mengangkat tanganya dan menyentuh kalung yang tersembunyi di balik bajuku. Ia mengeluarkan liontin itu dan memandangnya sebentar.
Setelahnya ia mengembalikanya ke dalam bajuku lagi.

“Yang Paklekkmu lakukan, jauh lebih mengerikan dari apa yang kau lihat sekarang..”

Nenek itupun tidak melanjutkan ucapanya dan melangkah meninggalkanku menuju ke keramaian warga di depan rumah.
Aku menoleh kembali sesaat ke arah pohon itu dan tidak lagi menemukan pemandangan mengerikan tadi.

Mengapa aku bisa melihat pemandangan mengerikan itu sedangkan warga desa tidak? Apakah memang ada yang berbeda dari diriku?

Atau aku bisa melihat karena ada nenek itu di sana? Semua ini begitu membingungkan dan membuat aku berfirasat buruk. Sebenarnya… Apa yang sudah Paklek lakukan? 

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close