Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA GENDERUWO (Part 1) - Penghuni Gaib

"Apakah aku memang dilahirkan, hanya untuk ditumbalkan?"


“Kalau ibu udah nggak ada, kamu tinggal di rumah Paklekmu ya, Nduk..”

Sebuah kalimat lirih terdengar dari ibu yang sudah sangat lemah untuk melawan penyakitnya.

Aku menyuapkan sesendok bubur pada ibu dan membersihkan sedikit bubur yang berada di sekitar bibirnya.

“Ibu jangan ngomong gitu, Kinan percaya ibu bisa sembuh,” Balasku.
Perkataanku bukan hiburan semata, tetapi lebih kepada doa dan harapanku agar ibu bisa tetap bertahan hidup. Tanpa keberadaan ibu, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini.

Bapak sudah lebih dulu meninggal saat aku kecil sebelum aku bisa mengingatnya, dan di desa kecil ini tidak ada lagi yang mengurusku.

“Nanti di rumah Paklek, kamu bantu-bantu mereka sebisanya. Kamu bisa bantu ngurus Bayu, adik sepupumu untuk meringankan beban Paklek dan Bulekmu..” Lanjut ibu.

“Iya bu, tenang aja. Kan masih lama.. Kinan maunya ngurus ibu dulu aja,” balasku sembali menyuapkan kembali suapan terakhir dari mangkuk bubur ke mulut ibu.

Namun tanpa aku sadari, suapan itu ternyata adalah suapan terakhir untuk ibu. Aku dihadapkan pada kenyataan bahwa mata ibu tak kembali terbuka saat matahari kembali terbit. Jantung ibu tak lagi berdetak dan tidak dapat kutemukan nafas dari tubuhnya.

“Jadi, inikah yang dinamakan kematian?”
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tahu, setelah aku melaporkan ini kepada tetangga sekitarku, banyak orang datang ke rumah dan mengurus jasad ibuku.

Mereka memperlakukanya jasad ibu dengan baik. Beberapa dari mereka menitikkan air mata saat mengetahui kepergian ibu. Sementara itu banyak orang yang mendekat padaku berusaha menghiburku.

Tapi semua niat baik mereka hanya lewat begitu saja dihadapanku yang masih belum menerima kenyataan ini.
Sampai saat di pemakaman, diapun datang. Seseorang terburu-buru keluar dari mobil dan bergegas menghampiriku.

Ia tidak berbicara apapun dan langsung memelukku saat kedatanganya.
“Sekarang Kinan anak Bulek ya..”
Saat itu aku menatap wajah bulek sesaat dan tanpa sadar seluruh air mataku terurai deras.

Bulek terus memelukku sementara Paklek menghampiri warga untuk memperkenalkan dirinya sekaligus mengabarkan bahwa merekalah yang akan mengasuhku.
Aku mengingat bagaimana leganya wajah warga desa saat tahu ada yang akan merawatku.

Wajah mereka yang sebelumnya khawatir berubah menjadi wajah yang tenang. Memang sebaik dan sepeduli itu mereka padaku dan ibuku selama ini.

“Nanti kamu Bulek daftarin di SMP yang sama dengan SMA Bunga, jadi berangkatnya bisa bareng..”

Bulek berusaha menghiburku sembari menceritakan tentang bagaimana kehidupanku bersama mereka nanti. Aku percaya dengan ucapan mereka, namun aku juga memegang ucapan ibu bahwa aku harus sadar posisiku disana.

Biar bagaimanapun posisiku adalah menumpang, aku harus berguna untuk mereka dan harus bersiap bila tidak diperlakukan sama dengan Bunga dan Bayu.
Akupun meminta waktu untuk mempersiapkan barang-barangku dan menunggu setelah tujuh hari kepergian ibu.

Aku berjanji akan menyusul mereka setelahnya. Sebenarnya, mereka menawarkan untuk menjemputku, namun aku memilih untuk naik bus kota.

Lagipula desa mereka tidak terlalu jauh, dan rumah Paklek tidak terlalu sulit untuk ditemukan karena merupakan salah satu rumah terbesar di desanya.
Hampir setiap malam kuhabiskan dengan menangis.

Semua kenangan tentang ibu dan rumah ini terlalu lekat di pikiranku, namun aku sadar bahwa sudah saatnya aku meninggalkan rumah ini.
Malam sebelum aku berangkat, tiba-tiba ada suara kelukan lemah di pintu rumah.

Aku yang hampir saja tertidur meninggalkan ranjangku dan melangkah menuju pintu.

“Kulo nuwun…” (Permisi…)

Terdengar suara lemah seseorang perempuan yang cukup tua dari arah luar.

“Mbah Dar?”

Aku terheran dengan kedatangan Mbah Dar. Kami sudah bertemu sebelumnya di pemakaman ibu, namun aku tidak menyangka ia akan datang ke rumah.

“Piye kabare kowe, Nduk?” (Gimana kabar kamu nak?) tanya Mbah Dar.

“Sae Mbah, Wis boten kenopo kenopo,” (Baik Mbah, sudah tidak apa-apa.) balasku sembari mempersilahkan Mbah Dar untuk masuk.

Sebenarnya aku dan Mbah Dar cukup dekat. Ia tinggal sendirian di rumahnya dan tak jarang aku menghantarkan masakan ibu dan sedikit membereskan rumahnya.

Tak hanya aku, beberapa warga desa juga ikut merawat Mbah Dar.

“Nek Mbah Isih kuat, Mbah pasti nawani kowe tinggal sama Mbah. Nanging ngapunten yo nduk, mbah wis sepuh raiso nulungi kowe..”

(Kalau mbah masih kuat, Mbah pasti nawarin kamu tinggal sama Mbah. Maaf ya nak, Mbah sudah tua nggak bisa nolongin kamu)

“Matur nuwun Mbah, Sing penting Mbah sehat, waras, dadi yen bali menyang desa iki Kinan iso mampir,”

(Terima kasih mbah, yang penting mbah sehat, waras, jadi kalau pulang ke desa ini Kinan bisa mampir) Balasku sembari mengelus-elus punggung Mbah Dar.
Iapun menggenggam tanganku dan mendoakan kesehatanku dan berbagai hal-hal baik.

Akupun mengaminkan sembari mendoakan balik dirinya. Aku sempat berpikir, saat sudah bekerja nanti mungkin saja aku bisa kembali ke desa ini dan merawat dirinya.

“Ini buat kamu, Nduk..”

Mbah Dar mengeluarkan sebuah benda berbentuk kalung. Tidak terlalu mencolok.

Hanya tali hitam bersama sebuah bandul yang terlihat cukup indah dengan desain kunonya.

“Ini emas kan mbah? Kok dikasi ke Kinan?” Tanyaku.

“Mbah sudah nggak punya anak lagi, Mbah mau kamu nyimpen ini. Satu-satunya yang tersisa dari warisan keluarga Mbah,” jelasnya.

Aku beberapa kali menolak, namun Mbah terus memaksa. Menurutnya dia merasa tenang saat benda miliknya yang paling berharga sudah di tangan yang tepat.

Akhirnya akupun menyetujuinya dan berjanji akan menjaganya. Iapun berpamitan dan sekali lagi mendoakan yang terbaik untukku.

***

KEDIAMAN KARTOSUWITO

Desa Lawangsari 1996,
“Gapura kiri yo Pak,” ucapku memberhentikan bus yang kunaiki dari terminal dekat rumah.
Pengemudi buspun melambatkan kendaraanya dan berhenti tepat di tempat yang kuminta.

Aku memastikan barang bawaanku sebuah tas yang kugendong di punggung ,dan satu tas yang kutenteng sudah kubawa.

“Matur nuwun, Pak!” (Terima kasih, Pak!) Ucapku yang dibalas dengan lambaian tangan singkat dari pengemudi bus yang sudah cukup sepuh itu. Desa Lawangsari…

Sebuah gapura bertuliskan nama desa terpampang di hadapanku. Akupun menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan diri untuk perubahan hidupku setelah ini.

“Mbak Kinan ya?” tiba-tiba seseorang menyapaku dari sebuah pos jaga di dekat gapura.

“Iya, Masnya siapa?” tanyaku.

“Panggil Mas Puguh saja, tukang kebunya Paklekmu. Saya disuruh nunggu di sini jemput Mbak Kinan.” Jawabnya.

Aku tidak menyangka Paklek sampai menyuruh seseorang untuk menjemputku. Memang rumah mereka masih cukup jauh dari gapura.

Kira-kira butuh waktu dua puluh menit berjalan kaki, sebenarnya akupun sudah siap dengan itu.

“Terima kasih Mas Puguh, malah jadi ngerepotin,” balasku.

“Hehe.. Ndak papa Mbak Kinan, kan anggapanya saya jadi libur setengah hari sambil nunggu Mbak Kinan,” ucapnya sembari sedikit tertawa.

“Sambil menyelam minum air ya mas?”

“Nah, betul! Airnya diangetin terus dikasi gula sama kopi, cocok!”

Mas Puguhpun membawakan tas tentenganku dan meletakanya di tanki motor dua tak di hadapanya. Dengan susah payah akupun menaiki motor berkenalpot bising yang suaranya menggema hingga ke kebun-kebun warga di sekitar.

Menuju rumah Paklek, kami melewati beberapa rumah yang jaraknya saling berjauhan. Beberapa malah cukup jauh dengan dipisahkan kebun-kebun tanaman palawija yang menjadi penghasilan beberapa warga di sana.

Namun dengan bantuan Mas Puguh, akupun bisa sampai ke rumah Paklek dalam waktu singkat.

“Mbak, selamat datang di kediaman keluarga Kartosuwito,” ucap Mas Puguh yang memarkirkan kendaraanya di depan pagar dan membantu menurunkan barang-barangku.

Sebuah rumah yang cukup besar terlihat di hadapanku. Dari balik pagarnya saja masih ada halaman yang cukup luas dengan beberapa pohon besar yang berdiri dengan tegap di sana. Kolam ikan dan tanaman yang sepertinya cukup mahal juga menghiasi taman di halaman itu.

“Kenapa Mbak Kinan?” tanya mas puguh yang bingung melihatku terpaku.

“Rumahnya gede ya mas, dulu belum sebesar ini,” balasku terpukau.

“Berarti Mbak Kinan sudah lama nggak main ke sini ya? Rumah ini sudah dibangun hampir lima tahun yang lalu, tapi saya baru kerja di sini tahun lalu,” Cerita Mas Puguh.

Aku mengingat rumah ini dulunya hanya tanah kosong dengan banyak kebun pisang dan bangunan yang hanya setengah dari rumah yang sekarang.

Dulu saja aku sudah menganggap rumah ini cukup mewah bila dibandingkan dengan rumahku dan ibu di desa, tapi sekarang aku harus menyebut rumah ini apa? Istana?

Suara langkah kaki seseorang menghampiri kami keluar. Sepertinya ia terpanggil dengan suara knalpot motor Mas Puguh yang memecah keheningan desa.

“Eh, udah sampe! Ayo cepetan masuk Kinan!”
Sambut Bulek segera menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke arah tas tentenganku, namun Mas Puguh memberi isyarat aku untuk mengikuti bulek saja sementara ia membantu membawakan tasku.

“Bayu, Bunga, sini.. masih inget Kinan kan?” Panggil bulek pada kedua anaknya.

Ada seorang anak laki-laki dan seorang perempuan yang sedikit lebih tua dariku menghampiri Bulek.

“Inget donk Bu! Tapi dulu masih kecil, masih segini nih,” Jawab Bunga sembari memperagakan tanganya diantara pinggangnya.

Dia Bunga, anak tertua Bulek dan paklekku. Kalau tidak salah umurnya tiga tahun lebih tua dariku.

Kalau sekarang aku masuk kelas tiga SMP, berarti dia saat ini sudah di kelas tiga SMA.

“Halo Mbak Bunga,” balasku cukup senang kalau dia masih mengingatku.

“Bunga aja, dari dulu juga manggilnya begitu. Apalagi ibumu kan lebih tua dari Bapak,” Balasnya.

“Iya Bunga,”

Ada seorang lagi yang tengah bersembunyi di belakang Bulek, dia adalah anak terakhir dari keluarga pakleku. Bayu namanya.. Bayu Kartosuwito.

Dia cukup canggung, mungkin karena terakhir bertemu denganya dia masih baru belajar jalan.

Sedang sekarang sepertinya dia sudah bisa mengenali seseorang.

Akupun sedikit berjongkok dan menyamakan pandangan mataku denganya, “Bayu ya? Udah sekolah belum?”

Bayu menatapku dengan sedikit malu-malu sembari terus menggenggam rok ibunya.

“Ke—kelas satu,” jawabnya singkat sembari memasang raut wajah malu-malu.

“Wah sudah besar ya! Di sekolah belajar apa? Mbak Kinan bantu ajarin mau?” Tanyaku.

Bayupun mulai keluar dari persembunyianya di belakang ibunya.

“Belajar tambah-tambahan, gambar-gambar, tulis-tulis..” Jawabnya polos. Namun setelahnya Bayu malah memamerkan hasil gambarnya dan ingin banyak bercerita.

Tapi sebelum terlalu jauh, Bulek menghentikan Bayu dan memintanya untuk kembali ke kamarnya dulu agar aku bisa beristirahat.

Sayangnya Bayu tetap kukuh ingin ikut meramaikan di sini.

“Nanti kalau Bayu sudah mandi sore, Mbak Kinan temenin main deh,” Rayuku.

“Bener?” Tanya Bayu.

Aku mengangguk. Bayupun melambaikan tangan dan bergegas mengikuti Bunga menuju ke kamar.

“Hati-hati, itu anak nggak ada capeknya lho,” ucap Bulek.

“Wah, berarti seru donk Bulek,” balasku.

“Coba saja sendiri, Bulek nggak nanggung kalau kamu sampe ngos-ngosan,” ucapnya.

Ternyata kesan pertamaku di rumah ini cukup menyenangkan.

Kekhawatiranku bahwa aku akan canggung sepertinya sudah sirna. Namun aku masih belum tenang sebelum aku menemui Paklek. Setidaknya aku harus ijin padanya walau hanya formalitas.

“Nyariin Paklek?” Tanya Bulek yang sadar dengan sikapku yang memandang sekitar rumah.

“Iya Bulek, kok nggak keliatan?”

“Paklekmu lagi emang jarang di rumah, kalau kerja bisa tiga hari baru pulang. Tenang aja, Paklek udah tau kalau kamu dateng. Malah dia yang nyuruh siapain semuanya,” jelas Bulek.

“Syukurlah Bulek.”

Akupun dihantarkan di sebuah kamar tak jauh dari kamar bayu, tapi cukup jauh dengan kamar bunga yang di lantai atas. Mungkin ini yang dulu dimaksud oleh ibu, agar aku bisa sedikit berguna di rumah ini dengan membantu mengurus Bayu.

“Sudah, kamu istirahat dulu saja. Nanti kalau Mbok Yatmi sudah selesai masak, kita makan bareng-bareng,” ucap Bulek.

“Iya Bulek, matur nuwun,” balasku.

Setelah Bulek pergi, matakupun menyisir ruangan yang menjadi kamarku.

Tidak sebesar kamar Bayu dan bunga, namun ini jauh lebih baik dari kamarku di rumah sebelumnya.
Tapi bukan berarti aku senang…

Kalau aku disuruh memilih, aku akan tetap memilih di gubuk sederhana namun tetap bersama ibu.

Ada sebuah lemari kayu tua dengan cermin di pintunya dan kasur dengan dipan kayu yang cukup kokoh. Selain itu hanya ada meja kecil di sebelah kasur yang bisa kugunakan untuk menaruh barang. Semua perabotan yang disediakan bulek sangat mencukupi kebutuhanku.

Tak butuh waktu lama untukku membereskan barang-barang yang kubawa. Mayoritas hanya baju-baju dan buku pelajaran yang memenuhi tasku. Selain itu yang harus kuperhatikan adalah sebuah kotak berisi pemberian dari Mbah Dar.

Aku membukanya dan memandangi kalung sederhana dengan liontin emas yang cukup besar berbentuk segitiga terbalik dengan ukiran-ukiran. Ada permata akik hitam di tengahnya yang menjadi asesoris utamanya.

Krieeeeekkk….

Saat tengah memperhatikan kalung itu tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Akupun menoleh, dan secara tiba-tiba salah satu pintu lemari terbuka dengan sendirinya.
Akupun berdiri dan mengecek lemari itu. dan memang tidak ada apa-apa, hanya lemari kosong.

Mungkin saja pintunya sudah longgar dan sering terbuka sendiri. Saat mengetahui lemari itu tidak memiliki kunci, akupun memutuskan untuk mengenakan kalung itu dan menutupinya dengan bajuku agar lebih aman menempel di badanku. …

Suasana makan malam di rumah ini cukup ramai. Ada Bayu yang harus dirayu untuk makan, ada Bunga yang malas makan di meja dan memilih makan di depan televisi, Dan Bulek yang sering memberi saran pada masakan yang dibuat Mbok Yatmi.

Selepas makan, aku dan Bunga banyak bertukar cerita. Ia memberiku beberapa barang dan kebutuhan sekolah miliknya untukku, ia sempat mengatakan bahwa ingin memiliki adik perempuan dan kali ini bisa terpenuhi.

Hari pertamakupun berakhir dengan tenang. Sepertinya aku tidak perlu khawatir berbaur dengan keluarga paklek. Yang perlu aku khawatirkan adalah bagaimana caraku bisa menerima kepergian ibu dan menahan rasa sepiku.

***

SALAM PERKENALAN

“Kinan, kamu tolong bersihkan itu ya,” suara Bulek terdengar lirih memerintah kepadaku. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh bulek.

Sebuah gumpalan berwarna merah yang tak berada jauh dariku. Entah mengapa melihatnya saja membuatku merinding.

“I—itu? Itu apa Bulek?” Tanyaku.
Di ruangan dengan cermin yang begitu besar bulek menarik tanganku dan membawaku mendekat ke benda menjijikkan itu.

“Lihat sendiri..”

Itu adalah gumpalan daging yang diselimuti darah segar.

Beberapa bagian sudah terpisah, namun dari bentuknya jelas aku bisa menilai bahwa itu adalah tubuh dan organ tubuh manusia. Sontak tubuhkupun lemas

“I—itu tubuh manusia?” tanyaku yang ketakutan.

“Iya, Bersihkan!” Perintah Bulek.

Tubuhku menolak dan mataku hanya terus melihat wajah bulek dengan tatapan mata yang sayu. Tapi saat aku ingin mencoba berbicara, tiba-tiba ada sepasang mata merah menatap dari dalam kegelapan. Ia ada di belakang bulek.

“Bersihkan!” Kali ini bulek berteriak dengan penuh amarah.

Akupun menoleh kembali ke gumpalan itu dan menyadari, bahwa baju yang robek itu adalah baju yang sama dengan yang dikenakan oleh Bayu..

“Kinan, bangun Kinan!” terdengar suara teriakan Bunga dari luar sembari mengetuk pintu.

Aku tersadar dari mimpiku dengan tubuh yang dipenuhi keringat. Entah mengapa mimpi itu terasa begitu nyata.
Saat mulai mendapatkan kesadaranku, aku mulai tersadar bahwa aku sudah tidak berada dirumahku sendiri dan buru-buru melihat jam.

Sungguh tidak sopan bila sudah menumpang tapi malah bangun paling siang.
Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Mungkin inilah jam mereka biasa bangun pagi. Akupun merapikan rambut seadanya sembari mencari perlengkapan mandiku.

Tok tok tok…

“Kinan, sudah bangun?” Bunga memanggil lagi dan aku segera membuka pintu.

“Sudah, maaf kesiang…”

Perkataanku terhenti…

Baru saja aku mendengar Bunga mengetuk pintu dan memanggilku. Padahal aku membuka hanya selisih beberapa detik. Tapi aneh..

Tidak ada siapapun diluar…

Bahkan lampu di ruangan tengah dan atas masih mati seolah memang belum ada satupun anggota keluarga yang bangun.

“Bu—Bunga?” panggilku pelan,Tapi benar-benar tidak ada jawaban.

Seluruh tubuhkupun merinding seolah ada sosok yang tengah menatapku dari suatu tempat, tapi aku lebih memilih percaya bahwa suara tadi hanya pikiranya yang masih terbawa dengan mimpi buruk tadi. Semoga…

***

“Kinan, pagi banget bangunya. Nggak bisa tidur?” Tanya Bulek yang sudah sibuk di dapur bersama Mbok Yatmi saat aku keluar kamar.

“Bisa Bulek, nyenyak kok.” Balasku yang segera berinisiatif ke dapur untuk membantu mereka berdua.

Tidak mungkin aku menceritakan mimpi semalam pada Bulek yang sudah memberiku tempat tinggal.

“Udah Kinan, biar Bulek sama Mbok Yatmi aja. Kamu bangunin anak-anak aja gih,” ucap Bulek.

“Oh, baik Bulek..”

Akupun segera naik ke atas dan mengetuk kamar Bunga.

“Bunga, sudah pagi. Ayo bangun..” Baru sebentar aku memanggil, pintu kamar sudah terbuka.

“Iya, sudah bangun kok. Kamu pagi banget bangunnya?”

“Iya, udah kebiasaan,” balasku tanpa berniat menceritakan kejadian subuh tadi.

Setelahnya aku kembali turun dan membangunkan Bayu. Sebelum aku mengetuk pintu kamar Bayu, seketika aku teringat mimpiku semalam.
Aku berharap semoga saja itu hanya mimpi tanpa arti.

“Bayu, ayo bangun.. sudah pagi,” panggilku sembari mengetuk pintunya.Tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar bayu.

“Masuk aja Kinan! Bayu susah bangung kalo nggak dipaksa,” teriak Bulek dari dapur.
Akupun membuka pintu kamar Bayu dengan perlahan.

“Lho Bayu, udah bangun kok nggak jawab Mbak Kinan,” Tanyaku yang melihat bayu sedang duduk di pinggir ranjangnya.

Ia duduk sembari menatap dengan tatapan mata yang kosong ke arah lemari kamarnya.

“Bayu..?”

Aku bingung apakah Bayu emang biasa seperti ini. ia benar-benar tidak menjawab panggilanku. Akupun mendekatinya dan hendak menyentuhnya.

“DOR!!!”

Seketika bayu menoleh ke arahku dan mengagetkanku. Akupun tersentak sementara Bayu malah tertawa cekikikan.
“Bayu! Ngagetin aja..”

“Hahahaha.. Mbak Kinan kaget kan? iya kan,” ledek Bayu.

“Awas ya kamu, berani-beraninya ngerjain Mbak Kinan,” ucapku sembari membalasnya dengan mengelitiknya.

“Ampun, ampun mbak kinan,” balasnya yang segera berlari keluar.

Bunga yang melihat tingkah Bayu hanya menggeleng sembari sedikit menertawakanku.
“Dasar, kamu iseng lagi ya, Bay?” Ucap Bunga yang menghampiri kami sembari meminum segelas air yang ia ambil dari dapur.
“Weeee biarin,” balas Bayu sembari kembali berlari kabur dariku.

Akupun tersenyum membiarkanya dan memilih mengambilkan handuk untuknya. Belum pernah aku merasakan keadaan seramai ini di rumah.

“Nih, cepet mandi..” perintahku pada Bayu.
Iapun mendekat mengambil handuk di tanganku dan berlari menuju kamar mandi.

“Jangan lari-lari, nanti kepeleset,” teriakku.
Aku melihat Bulek sudah berada di kamar bayu dan mempersiapkan seragamnya.

“Saya aja Bulek,” ucapku.

“Terima kasih lho Kinan, tapi nggak usah. kamu juga siap-siap. Nanti kamu ikut bunga ke sekolahnya buat ngurus pendaftaran, Bulek juga ikut nanti,” ucap Bulek.

“Baik Bulek..”

Setelah mempersiapkan bayu, akupun buru-buru bersiap dan mengenakan seragam dari sekolahku sebelumnya.

Aku yakin seragam putih biru di sekolah manapun pasti sama.

Sekolah Bayu dan Bunga tidak begitu jauh dari rumah. Kami hanya perlu berjalan kaki selama beberapa menit. Walau begitu kata bunga kalau bapak sedang ada di rumah, mereka sering minta diantarkan ke sekolah dengan mobil.

Di sekolah, aku bertemu dengan beberapa guru dan melihat-lihat sekolah yang akan menjadi sekolahku. Bangunanya masih merupakan bangunan tua, namun sangat terawat. Yang jelas sekolah ini jauh lebih besar dari sekolahku.

Aku hanya diminta mempersiapkan beberapa berkas dan mengumpulkanya saat mulai bersekolah besok.
Dalam beberapa hari, aku sudah mulai bisa membiasakan diri di rumah ini. Bayu juga mulai dekat denganku, bahkan malah mulai semakin manja.

Bunga banyak membantuku di sekolah, guru-guru banyak mengenal bunga dan dia memperkenalkanku sebagai adiknya sehingga aku tidak begitu kesulitan. Walau begitu aku masih belum memiliki teman akrab di sekolah.

Mungkin karena aku dan Bunga masih sering bertemu setiap jam istirahat dan pulang sehingga jarang memiliki waktu untuk berkenalan lebih dalam denan teman-teman di sekolahku. Tapi, walau begitu masih ada satu hal yang masih membuatku penasaran.

Sudah lebih dari satu minggu aku tinggal di rumah ini, namun sampai sekarang aku masih belum bertemu dengan Paklek.

***

SANG PEMILIK RUMAH

Hujan deras mengguyur desa sudah sejak siang tadi. Sesekali hujan mereda menjadi rintik-rintik, namun sesekali juga kembali deras kembali. Hal ini membuat aku dan yang lain memutuskan untuk tidur lebih cepat dan menikmati suara hujan dari kamar masing-masing.

Lewat tengah malam, aku tidak sengaja terbangun dengan suara pintu luar yang terbanting. Ada suara langkah kaki seseorang yang masih menggunakan sepatu masuk dengan terburu-buru.

Menyusul hal itu terdengar suara pintu kamar yang terbuka bersama suara seseorang yang menuruni tangga. Ada suara bulek dan seorang pria yang berbicara dengan berbisik. Aku tidak bisa mendengar dengan pasti apa pembicaraan mereka.

Tapi setelah itu, kembali terdengar suara pintu depan tertutup setelah terdengar suara dua orang yang mengarah keluar.
Aku merasakan hening sesaat. Hanya suara rintikan hujan yang terdengar di telingaku.

Tetapi beberapa saat kemudian, aku melihat ada cahaya yang sekilas menyinari jendela kamarku yang menghadap ke kamar belakang.
Aku sedikit menyibakkan gorden jendela dan mendapati ada dua orang yang sedang melakukan suatu hal di bawah pohon besar itu.

Itu bulek, ia membawa payung dan memayungi seorang pria yang tengah memasang sesaji dalam sebuah nampan besar. Ia menyiapkan sesuatu hingga terlihat sedikit asap yang akhirnya sirnah oleh tetesan hujan. Pria itu duduk bersila seperti melakukan suatu ritual.

Aku tidak mengerti dengan apa yang kulihat, yang pasti pemandangan itu berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
Brakk!!!
Tiba-tiba suara keras terdengar dari belakang kamarku. Aku menoleh dan mendapati pintu lemari terbuka dan menutup dengan sendirinya.

Kini pintu itu terbuka perlahan lagi. Aku tahu hanya ada pakaianku yang menggantung di sisi lemari itu, tapi dalam kondisi lampu yang tidak menyala, aku merasakan ada sesuatu yang menatapku dari sana.

Akupun menyalakan lampu kamar dan melihat ke arah lemari lagi. Benar, tidak ada apapun di sana.
Tapi aneh, benar-benar aneh. Aku yakin pintu yang digebrak itujelas bukan karena angin.
Akupun memutuskan untuk menutup kembali lemari lagi dan kembali mengintip ke halaman belakang.

Tapi, kedua orang itu sudah tidak ada lagi di sana. Hanya tersisa sisa-sisa sesajen yang sudah basah terguyur hujan.
Aku melamun mempertanyakan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Ini jelas sesuatu yang tidak biasa.

Akupun menganggap bahwa mungkin memang setiap keluarga memang punya tradisinya masing-masing.
Sekali lagi aku mematikan lampu dan kembali ke tempat tidur. Hujan masih turun dengan deras, aku kembali mencoba menutup mataku dan melupakan semua kejadian itu.

Suara petir menyambar mengganggu tidurku. Sulit untukku untuk kembali terlelap dengan rasa penasaran atas kejadian tadi. Apalagi suara petir cukup sering mengagetkanku.

“Srek… srek..”
Di tengah kesulitan tidurku aku mendengar suara yang berasal dari dekat lemari.

Aku menduga itu adalah suara cicak ataupun mungkin hewan yang melintas. Tapi entah mengapa aku merasa sangat tidak tenang.
Suara itu semakin berbunyi bersama pintu lemari yang kembali terbuka.

Aku ingat, aku sudah mengganjal sela pintu itu dengan kertas agar tertutup rapat, bagaimana mungkin pintu itu bisa terbuka dengan sendirinya. Akupun membuka mata dan menatap di dalam kegelapan. Pintu lemariku benar benar bergerak terbuka dan menutup dengan aneh.

Tidak ada angin sebesar itu yang bisa membuat pintu lemari bergoyang seperti itu.
Ditengah kebingunganku, tiba-tiba kilatan petir menyambar.

Cahaya kilat itu masuk melalui jendela dan menunjukkan apa yang sedang berada di sana.

Aku salah…

Sesutu menatapku, tapi bukan dari dalam lemari. Ada sosok makhluk berbaju putih lusuh dan berambut panjang di atas lemari. Ia dan berkulit hitam dengan rambut yang sangat panjang hingga menutupi atas lemari.

Makhkluk itu berjongkok dan merunduk sembari meratapku dengan kepala berada diantara kakinya. Satu tanganya memegang daun pintu lemari dari atas dan memainkanya.

Krieeek… kriekkk….

Tubuhku gemetar…

Setiap kilat menyambar, sosok itu kembali terlihat. Beberapa kali aku mengucek mata namun tetap saja aku melihat ada makhluk itu di sana.
Aku ingin berteriak, namun suaraku seperti tertahan. hanya suara seperti bisikan yang keluar dari tenggorokanku.

Di tengah ketakutanku, aku memutuskan untuk meninggalkan ranjang dan menyalakan kembali lampu kamar. Dengan kakiku yang lemas aku meraba dinding untuk menggapai saklar lampu yang berjarak beberapa langkah dari ranjang.

Setiap kilat kembali menyambar, aku melihat sosok itu menoleh mengikutiku dengan mata yang terus menatapku.
Brakk!!!
Makhluk itu kembali membanting pintu lemari.
Aku tercekat dan semakin ketakutan, namun saklar lampu sudah berada di jangkauanku.

Dengan cepat aku menyalakanya dan aneh…
Sosok itu tidak lagi berada di sana.
Aku terduduk lemas dengan masih terus menatap ke arah lemari. Tidak ada apapun diatas sana dan hanya tersisa daun pintu yang masi sedikit bergoyang.

Nafasku tersengal dan memutuskan untuk mencuci wajahkau di kamar mandi. Namun saat aku keluar dari kamar, terlihat di ruang tamu Bulek sedang berada disana bersama seorang Pria.

“Paklek?” Tanyaku yang menyadari bahwa pria yang sedari tadi bersama Bulek adalah suaminya.

“Kebangun Kinan?” Tanya Bulek.

“I—iya, petirnya besar,” balasku yang segera menghampiri mereka sekaligus memberi salam pada Paklek.

Aku salim sebentar kepada paklek. Ini pertama kalinya kami bertemu saat aku sudah berada di sini.

“Kamu sakit, Kinan? Kok pucat?” Tanya Paklek.

“Nggak paklek, cuma kaget aja pas tadi kebangun,” Balasku.

Kami tak banyak berbicara saat itu. Setelah berbicara seperlunya, akupun berpamitan dan kembali melanjutkan niatanku untuk mencuci muka.

Selain karena aku masih merasa sedikit gelisah, aku juga merasakan bahwa kehadiranku mengganggu mereka berdua. Aku merasa ada yang perlu diobrolkan hanya oleh mereka.

***

Sepulang sekolah aku menyempatkan diri untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Aku memutari rumah dan menghampiri sebuah pohon beringin besar yang berada di belakang halaman rumah. Dari kamar, beringin itu terlihat seperti pohon biasa.

Tapi saat berada di bawahnya, pohon itu benar-benar terasa begitu besar hingga membuatku kesulitan menatap langit.

Aku melangkah mendekati titik dimana aku melihat bulek dan paklek berada di sana sebelumnya. tempat dimana ada sisa-sisa sesajen yang sudah berantakan oleh hujan.

Ada sesuatu di sana yang menarik perhatianku. Akupun menahan langkah tepat setelah mengetahui ada apa di bawah pohon beringin besar itu.

Sesajen itu diletakkan diatas sebuah tanah yang sedikit menyembul dengan sebuah batu nisan yang tidak bertuliskan.

Ya, itu sebuah kuburan..

Aku menelan ludah mendapati pemandangan ini. Begitu banyak pertanyaan yang berada di kepalaku. Pasti ada alasan Bulek dan Paklek memberi sesajen ke kuburan ini, dan aku berharap semoga itu bukanlah hal yang buruk.

Setelah selesai dengan tempat itu, aku berbalik arah melihat ke arah rumah. Ternyata kamarku terlihat dari sini dengan jelas. Tak hanya kamarku, kamar Bunga dan kamar Bulek juga terlihat di lantai dua.

Sekilas aku melihat gorden kamarku bergerak. Aku menduga itu karena angin yang berhembus masuk ke jendela kamarku yang terbuka.

Tapi nafasku tertahan saat melihat ada seseorang di sana.

Gorden kamarku tersibak dengan sesosok wajah yang menatapku dari dalam kamar dengan rambut yang begitu panjang.
Aku tak bisa lupa dengan wajah itu. Itu adalah wajah makhluk yang berada di atas lemari.

Tapi saat aku mengedipkan mataku, tiba-tiba sosok itu tidak lagi terlihat di kamar.
Gorden kamarpun terlihat diam seolah tidak pernah bergerak oleh angin atau apapun.
Ah, aku tidak mengerti. Mungkin aku terlalu lelah, atau mungkin aku masih belum tenang atas kepergian ibu.

“Gimana sekolahnya Kinan? Betah?” Tanya Paklek yang kali ini bisa bergabung makan malam bersama kami.

“Betah Paklek, cuma masih butuh waktu buat ngikutin pelajaran,” Balasku.

“Bohong, Kinan itu pinter lho Pak. Guru-guru yang cerita ke Bunga,” ucap Bunga.

Aku menyenggol lengan bunga sedikit karena merasa malu dengan ucapan Bunga. Memang aku sedikit belajar lebih keras di sini. Dengan begitu mungkin saja aku bisa mendapatkan beasiswa dan mengurangi beban finansial mereka.

“Bagus itu, bisa-bisa nanti Kinan masuk SMA Favorit, nggak Kayak kamu Bunga,” Ucap Paklek yang kutahu dengan jelas bahwa itu adalah ledekan untuk anaknya.

“Yee bapak malah ngeledek, tapi nggak papa Nan kalau kamu bisa masuk SMA Favorit. Aku juga ikut bangga,” Balas Bunga.

Aku menoleh ke arah bayu, ia terlihat cemberut dengan makanannya yang belum berkurang begitu banyak.

“Kenapa Bayu? kok cemberut?” tanyaku.

“Nggak ada yang nanyain sekolahnya Bayu?” balasnya sembali melirik dengan mata sayunya.

Astaga, ternyata Bayu juga ingin diperhatikan dan ditanyakan. Raut wajahnya saat itu benar-benar menggemaskan. Kamipun menertawakan kejadian itu.

“Oiya Mbak lupa, gimana sekolahnya Ba…”

“Jangan!!” tahan Bunga yang segera menutup mulutku.

Aku tidak mengerti maksud Bunga, tapi setelah aku menyelesaikan ucapanku tiba-tiba Bayu meninggalkan meja makan dan kembali dengan membawa tumpukan buku miliknya.

“Nah mulai..” ucap Bunga.

Bulek hanya tertawa melihat kejadian itu.

“Bayu belajar gambar! Banyaaaak banget! Ada gambar gajah, gambar beruang…” Dengan semangat Bayu menceritakan setiap gambar yang ada di bukunya.

Bunga yang sudah selesai makan segera mengangkat piringnya dan meninggalkan kami.

“Nah, Monggo.. tanggung jawab nemenin Bayu ya,” Ucap Bunga yang segera meletakan piring kotornya.

Ternyata begitu. Aku mengulangi kesalahan yang sama. Bayu benar-benar tidak berhenti bercerita kepadaku,

saat itu aku menggunakan kesempatan itu untuk menyuapi Bayu hingga makananya habis. Tapi walau begitu, ia masih terus bercerita hingga waktunya untuk tidur.

“Jangan kapok ya,” ucap Bulek yang ikut memastikan Bayu sudah tertidur.

“Iya Bulek, tenang. Semua aman terkendali,” balasku.
Setelah itu akupun kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. sebelum tertidur, sekali lagi aku melihat Bulek dan Paklek ke Pohon beringin di belakang. Tapi kali ini aku tidak seingin tahu kemarin dan memutuskan untuk tidur.

***

SEBUAH FIRASAT

Siang ini aku pulang sekolah seorang diri. Bunga sedang ada pelajaran tambahan untuk persiapan ujian.
“Nak Kinan, pulang sendiri?” Salah seorang ibu yang berpapasan denganku menyapaku.

“Iya Bu Fitri,” balasku singkat.

Warga Desa sudah mulai mengenalku setelah beberapa lama tinggal di sini.

Tetapi aku masih berusaha keras untuk menghafal nama-nama tetanggaku di sini.

“Tolong…”

Sayup-sayup aku mendengar suara lemah dari seorang pria.

Aku menoleh ke segala arah dan tidak menemukan asal suara itu.

“Tolong…”

Kali ini suara itu terdengar bersama langkah kaki seseorang. Seorang pria berjalan dengan lemah dari hadapanku. Wajahnya pucat seperti sedang tidak sehat.

“Bapak, bapak kenapa?” Tanyaku.

Pria itu bahkan tidak menoleh ke arahku sama sekali. Ia terus saja melangkah melewatiku tanpa menoleh walau aku sudah beberapa kali mencoba menanyakan keadaanya.

Akupun memilih untuk tidak menghiraukanya dan segera kembali ke rumah.

Walau begitu, aku masih menoleh beberapa kali ke arah belakang. Keberadaan Bapak itu benar-benar membuatku tidak tenang.

Hari itu aku menghabiskan waktu dengan bermain dengan Bayu. Sedangkan Paklek sudah pergi lagi untuk bekerja.

Sebenarnya aku masih penasaran apa sebenarnya pekerjaan paklek. Tapi sepertinya aku masih harus menahan pertanyaanku sampai benar-benar bisa menyatu dengan keluarga ini.
Malam itu kami baru saja selesai menonton acara televisi favorit kami.

Kamipun masuk ke kamar masing-masing dan bersiap untuk tidur. Tapi sebelum sempat tertidur kami mendengar suara dari poskamling.

Tok…Tok…Tok…Tok…Tok…Tok…

Suara kentongan memecah keheningan malam.Itu suara kentongan yang diketuk sekali jeda sekali.

Aku mencoba mengingat apa arti suara kentongan itu, namun suara langkah kaki dari atas sudah terdengar turun dengan buru-buru.

“Ada yang meninggal?” ucap Bulek yang melihatku juga keluar dari kamar. Bayu dan Bungapun ikut keluar penasaran dengan suara kentongan itu.

“Bayu, di rumah dulu ya sama Mbok Yatmi..” Bunga menahan Bayu agar tidak mengikuti kami yang sudah bersiap mencari tahu apa yang terjadi. Tidak seperti awal tadi kentongan itu berbunyi.

Semula kentongan itu berbunyi di suara keheningan. Tapi saat kami keluar sudah banyak warga yang penasaran dan datang ke tempat kejadian.

Saat mengecek ke poskamling, warga sudah beralih ke tempat kejadian. memang aku menyadari sudah ada kerumunan di salah satu sisi desa.

Kamipun mengarah ke sana dan mendapati pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Kepala seorang manusia tersangkut di salah satu pohon beringin di pemakaman desa. aku memutari pohon beringin itu dan mendapati tubuhnya berada di ranting belakang pohon beringin itu.

Darahnya masih menetes dari leher yang sudah terpisah dari kepalanya.
Beberapa aparat dan perangkat desa sudah mulai berdatangan untuk mengecek lokasi. Garis polisipun mulai dibentangkan sehingga aku dan warga desa tidak bisa lebih mendekat lagi.

Tapi tunggu, aku seperti pernah melihat orang itu. Pakaian yang ia kenakan persis seperti dengan seseorang yang berpapasan dan meminta tolong tadi siang. Aku menutup mulutku saat yakin bahwa kepala itu adalah kepala pria yang berpapasan denganku tadi.

Nafasku berderu kencang, apa yang terjadi denganya? Apa tadi dia bermaksud meminta pertolongan karena ini?

“Kinan, ayo pulang. Jangan lama-lama,” Bunga yang melihatku mulai panik segera menarikku dan mengajakk pulang.

“I—iya,”

Kami bertigapun akhirnya segera meninggalkan keramaian itu. Namun saat hendak menjauh aku merasakan hal yang aneh.

Ada beberapa warga.

Mereka tidak melihat jasad itu lagi dan berbalik menatap dengan mata yang tajam ke arah Bulek. Aku yakin itu bukan tatapan biasa. Tatapan itu seperti tatapan kesal dan penuh emosi.

Aku khawatir dengan Bulek. Tapi saat aku menoleh ke arahnya, entah mengapa samar-samar aku melihat seolah ada sedikit senyuman di bibirnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close