Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 9) - Akhir Riwayat


Bagia 9
AKHIR RIWAYAT

"Brruukk"

Wito terduduk lemah. Wajah dan tubuhnya seputih kapas, melihat seringaian mengerikan dari dua sosok wanita tua buruk rupa. Ingin ia menunduk, atau memejamkan matanya. Agar tak melihat semua kengerian di dalam kamar sempit, bercahayakan lampu obor.

Tapi, seolah ada kekuatan yang menahan kepalanya untuk tetap menengadah. Bahkan, kelopak matanya terasa kaku, tak mampu ia pejamkan.

Kini, dengan jelas Wito melihat ceceran darah dan gumpalan hitam berdenyut, keluar dari mulut Mbah Lenggono.

Akibat dari jilatan dua sosok wanita tua itu. Lagi dan lagi, cairan kental hitam pekat berbau busuk mengalir. Setiap dua lidah panjang menjilat dari pusar naik sampai ke dada Mbah Lenggono.

Lenguhan, erangan lirih, dari mulut Mbah Lenggono seakan ledakan hebat yang menghentak jiwa Wito. Tubuhnya bergetar. Kepalanya terasa berat, melihat beberapa gumpalan hitam kembali di muntahkan Mbah Lenggono.

Kengerian itu terus berlanjut di saksikan Wito, sampai beberapa saat lamanya. Tak ada celah sedikitpun untuknya beranjak dari tempat itu. Sampai akhirnya, tubuh Wito mengejang kuat dan roboh, bersamaan hilangnya dua sosok wanita dan lengkingan panjang Mbah Lenggono.

"Krieett...."

Wito terhenyak, spontan memalingkan wajahnya. Mendengar pintu terbuka, di susul derap langkah kaki masuk ke dalam.

Sekilas matanya melirik dua sosok lelaki yang medekat ke arahnya. Menumbuhkan harapan untuk ia bisa lepas dari kengerian dan satu kekuatan aneh yang melumpuhkan tubuhnya.

Namun, saat dua sosok tak lain Sudiro dan Suyuti sampai di sampingnya, keduanya hanya melewati tubuhnya yang terlentang tanpa daya. Mereka seolah tak memperdulikan keadaannya. Mereka lebih perduli dengan sosok Mbah Lenggono, di dalam kamar terkapar bersimbah darah hitam pekat.

Wito berteriak, menjerit, memohon untuk bisa lepas dari cengkraman hawa aneh yang membekukan aliran darahnya. Tapi sayang, suaranya hanya sampai di tenggorokan. Membuatnya menangis dalam ketakutan.

Berbeda dengan Sudiro dan Suyuti. Meskipun mereka terlihat bergidik ngeri menyaksikan kondisi Mbah Lenggono. Namun tampak dari wajah keduanya satu kelegaan. Sebab, arti dari gumpalan hitam berceceran di samping tubuh Mbah Lenggono, sebagai tanda kembalinya Pancer-Pancer, dan hanya berbalik menyerang pada diri Mbah Lenggono saja.

"Apa, Mbah Lenggono sudah terbebas, Pak?" Suyuti yang penasaran melihat mata Mbah Lenggono terpejam dengan kondisi mengenaskan, memberanikan diri bertanya.

"Belum." Dingin, jawaban Sudiro.

"Tak semudah itu! Mbah Lenggono akan terbebas jika segera di tebus dengan darah Laweyan Lenggan. Jika tidak, sukmanya tak akan kembali lagi, saat pengantin anyar tiba kembali."

Suyuti membisu, berpikir mengartikan kalimat Diro, yang jauh dari dugaannya.

"Lalu? dengan...."

Suyuti tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya sesaat melirik pada Wito. Sebagai satu isyarat dari pertanyaannya.

"Aku masih membutuhkan Mbah Lenggono. Terpaksa Wito harus menjadi penyambungnya," ucap Diro, penuh keseriusan.

"Sekarang semuanya tergantung keberhasilanmu, Kang. Waktu kita tak banyak. Nyawa Mbah Lenggono, Wito dan Kang Suyuti sendiri, tinggal sepenggal purnama lagi."

Memucat wajah Suyuti seketika. Tak terbersit sebelumnya, jika nyawanya bakal ikut di pertaruhkan dalam lingkaran hitam persekutuan Sudiro. Laweyan Lenggan, Sepenggal purnama, dua kalimat itu, menanda kuat dalam benaknya. Sebab, gagal berarti nafasnya terputus.

"Sekarang, yang penting kita bawa tubuh Mbah Lenggono dan Wito, pergi dari sini," ucap Diro, memberi isyarat pada Suyuti.

Tak lama, Suyuti yang masih tegang, dengan terpaksa dan bersusah payah membopong tubuh lemah Mbah Lenggono lebih dulu. Mual di perutnya akibat bau busuk dari tubuh Mbah Lenggono, tak seberapa terpikir oleh Suyuti.

Terkalahkan oleh kondisinya, membuat dirinya merinding ngeri.

Sesudah tubuh Mbah Lenggono, Suyuti kembali ke dalam. Di angkatnya tubuh tak kalah mengenaskan Wito. Suyuti sejenak menatap wajah dan mata Wito yang masih terbuka penuh rasa iba.

Sebab, Karena dirinyalah, Wito ikut mengalami nasib naas.

Suyuti tau, bila Wito merutuki dirinya. Dan mungkin sumpah serapah terucap di batin Wito saat itu. Melihat sorot tajam penuh amarah terpancar dari mata Wito.

Untung saja, saat itu Wito sudah tak berdaya, akibat SUSUR PANCER yang sudah masuk ke dalam tubuhnya, menjadi penyambung dan bakal menemani kesengsaraan Mbah Lenggono.

Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Suyuti berpikir tentang penyelamatan dirinya. Ia benar-benar takut, takut akan sebuah kegagalan. Karena dirinya tau, darah Laweyan Lenggan bukanlah hal mudah. Meski tak begitu mengenalnya, Suyuti sedikit mengerti dengan hal itu.

Bukan mustahil, jika nyawanya juga bakal menjadi taruhan, saat berhadapan secara batin dengan sang pemilik gelar Laweyan Lenggan.

Suyuti tak begitu hafal jalanan yang ia tempuh. Ia hanya mengikuti arahan Sudiro. Menyusuri jalanan beraspal hitam yang lengang, sampai masuk sebuah jalanan sempit berkerikil dengan pepohonan tinggi menjulang di kanan kirinya.

Hampir satu jam, Suyuti menapaki jalanan gelap nan sunyi. Sebelum akhirnya, dari sorot cahaya putih lampu mobil, matanya melihat sebuah rumah panggung bercahaya obor-obor besar yang terang.

Suyuti menghentikan Mobil hitam milik Diro, tepat di depan tangga naik penghubung pintu rumah. Tak lama, sesosok wanita tua sedikit gemuk keluar dari dalam.

Menatap tajam ke arahnya sebelum Sudiro turun menghampirinya.

Suyuti yang masih berada di belakang kursi kemudi, hanya memandang penuh rasa heran dengan tempat sangat asing baginya. Juga, dengan sosok nenek tua berwajah angker, yang tengah berbicara serius dengan Sudiro.

Meski ia tak mendengar apa yang tengah di bicarakan antara mereka. Tapi, menangkap gelagatnya, Suyuti yakin jika keduanya tengah bersepakat sesuatu. Terbukti, sebentar kemudian.

Suyuti melihat satu isyarat dari Diro, agar dia menurunkan tubuh Mbah Lenggono dan Wito, serta membawanya masuk ke dalam.

Sedikit merinding Suyuti pertama kali masuk dan melihat isi ruang tamu berkarper kain tanpa kursi. Di mana, matanya menangkap kepulan asap kemenyan dari sebuah tampah besar di sudut ruangan.

Dari tempat itu juga terdapat aneka bunga warna-warni beserta beberapa bungkusan daun pisang serta beberapa gelas berisi air. Namun, dari sekian banyak isi tampah sesajen, satu yang membuat

Suyuti merinding takut adalah, berjejernya tiga tengkorak kepala manusia persis menghadap ke arahnya.

"Jangan kamu tatapi batok kepala itu! Bisa buta matamu."

Suyuti terkejut, kaget, tapi lebih bergidik ngeri, mendengar ancaman dari nenek tua itu.
Suyuti mundur, setelah membaringkan dua tubuh tanpa daya di karpet ruang tamu berukuran 3x4. Ia memilih menjauh, dari ruangan di penuhi aroma kemenyan menyengak.

Meski sudah biasa dengan bau dupa, kemenyan dan sesajen, tapi Suyuti merasakan hawa berbeda dari cara penyajian sosok wanita tua berbibir tebal merah, hasil dari kinangan menyumpal mulutnya.

"Tak mudah merawat dua Susur Pancer cenayangmu ini. Kamu harus secepat mungkin mendapatkan secawan darah Laweyan Lenggan. Kalau tidak! Aku tak bisa menjamin hidup mereka," ucap sang wanita tua, di sela-sela meludahkan air merah kinangan ke dalam bambu bulat yang di pegangnya.

"Kenapa tak kamu bawa ke tempat Ambar! Bukankah dia yang membawamu pada persekutuan ini?" sambungnya, bertanya.

"Maaf, Nyai Angen. Nyai Ambar sekarang sedang tirakat ngramen, jadi, terpaksa saya harus merepotkan Nyai dengan masalah ini," jawab Diro, sedikit menjelaskan.

"Hemhhh... Adikku satu itu, memang tak pernah puas dengan ngilmunya. Pantas Nyai Dewi Ratu Pambayun selalu mengabulkan keinginannya." sahut sosok wanita tua yang Diro panggil Nyi Angen, tak lain dan tak bukan adalah kakak dari Nyi Ambar.

Sejenak Diro terdiam. Membiarkan Nyi Angen larut dalam pandangan lurusnya, mengingat kenangan tentang Ambar, adiknya.

"Sudah! Cepat kamu pergi dari sini. Dan jangan kembali ke sini tanpa membawa secawan darah Laweyan Lenggan." Nyi Angen yang tersadar dari lamunannya, segera memberi perintah pada Diro.

Tepat, setelah Diro dan Suyuti pamit dan perlahan meninggalkan rumah panggung milik Nyi Angen, terdengar suara kokok ayam bersahutan. Menandakan, jika fajar akan segera menyingsing. Kelegaan menghiasi wajah Sudiro yang menyandarkan kepala dan memejamkan mata dijok mobil mewahnya.

Berbeda dengan raut Suyuti. Awal ia biasa saja, fokus dengan jalanan lurus berkerikil, sebelum wajahnya berubah menegang penuh keterkejutan, saat baru beberapa meter melajukan mobilnya, matanya tak sengaja melirik dari kaca spion di sisi kanan.

Dan satu kejadian aneh kembali nyata di matanya. Rumah panggung bercahaya obor milik Nyi Angen, tiba-tiba menghilang. Berganti sebuah gumuk berbatu tertutupi kabut-kabut hitam melayang.

***

Suasana hangat dalam baluran cahaya matahari pagi, di rasakan sesosok wanita berkerudung coklat gelap, berwajah pucat. Ia termenung, tertegun tanpa expresi. Kilat kesedihan sangat jelas memancar dari dua bola mata beningnya.

Membuat lelaki yang berada di sampingnya, tertunduk, seolah ikut merasakan beban batin yang mendera jiwa wanita yang tak lain istrinya sendiri.

"Kita belajar Ihklas, Buk. Mungkin, ini sudah jalan hidupnya Win. Ingat, Kan? Apa yang di katakan Abah? Bila semua bakal kembali kepada Allah." Sang lelaki tak lain adalah Lasno, mencoba menghibur dengan ucapannya, pada Murni yang baru saja tersadar dari lingkaran Lirang Pancer.

Murni hanya diam. Matanya masih menatap kosong, melawan arah matahari. Meski ia bersyukur bisa selamat, namun jiwanya benar-benar terguncang. Mendapati jika anak satu-satunya sudah tiada. Bahkan, cucu yang baru beberapa hari melengkapi kebahagiaanya kini entah dimana.

Memikirkan hal itu, membuat mata Murni terlihat berkaca, dan tak berapa lama, buliran-buliran bening akhirnya tak terbendung menetes, membasahi kulit pipinya yang masih putih lemir.

Lasno yang menyadari akan rasa kehilangan dan kepedihan batin Murni, merengkuh kepala wanita yang telah menemaninya kurang lebih 25 tahunan. Guratan penyesalan lagi-lagi membelenggu diri Lasno. Membuat matanya ikut merabak merah, seolah marah. Marah pada dirinya sendiri.

Sudah tiga hari Murni tersadar dan dalam tahap pemulihan. Tak ada yang janggal, aneh, dengan sikapnya. Namun, di hari ke empat, Murni menunjukan gelagat tak biasa. Berawal dari keinginannya yang kuat, untuk datang ke rumah Win dan Diro.

Meski, berulang-ulang Lasno memberi pengertian, tapi Murni tetap kekeh. Bahkan, nasehat dari Ahlul Bait yang sudah menolongnya, juga tak di gubris. Murni terus bersikeras untuk datang dengan alasan ingin mengunjungi makam Win.

Sampai akhirnya, Lasno mengalah.

Dengan terpaksa ia menuruti kemauan Murni, walaupun benaknya di liputi perasan tak nyaman. Apalagi, sepanjang perjalanan, Lasno melihat binar aneh dalam wajah Murni.

Ia hanya terdiam, meski berkali-kali Lasno bertanya membuka percakapan, tak ada respon apapun dari Istrinya.

Lasno semakin merasa hawa tak enak, saat mobilnya memasuki jalanan Desa, menuju rumah terkutuk yang hampir membunuhnya. Ingin rasanya ia memutar mobil dan kembali, andai tak memikirkan Murni saat itu.

Keraguan sesaat menggurat di wajah Lasno, untuk turun dari dalam mobil, setelah ia sampai dan memarkirkan di halaman rumah suram beraura pekat. Namun, melihat Murni yang lebih dulu turun, pikiran liar dan keraguannya ia tepis jauh-jauh.

Sedikit takut Lasno ketika mengikuti langkah pelan Murni. Masih jelas membayang di pelupuk matanya, kejadian-kejadian mengerikan di rumah itu, di halaman itu, di tanah yang tengah ia pijak.

Sampai satu pemandangan, tanpa sadar menghentikan langkahnya. Di sudut sana, di ujung batas tembok halaman belakang, tepatnya di sisi sebelah kiri, Lasno melihat puing-puing dari bangunan yang terbakar.

Entah apa yang ada dalam pikiran Lasno saat itu. Ia seperti tertarik sesuatu untuk mendekati bangunan yang tampak hitam pada dinding-dindingnya. Tanpa menyadari, jika dirinya datang bersama Murni.

Tak ada apapun, tak ada siapapun yang di lihat, sesampainya ia di tempat itu. Kecuali, hitam arang dan sisa kayu yang hangus terbakar. Lasno kembali melangkah pelan, berkeliling, mengamati tiap-tiap sudut bangunan kecil yang sudah porak-poranda.

Lasno terdiam sebentar, seperti baru menyadari jika tujuan utamanya adalah menuruti istrinya. Seketika itu juga, Lasno berbalik dan setengah berlari saat teringat Murni. Ia mencoba memanggil, menyebut nama Murni ketika kakinya sampai di ambang pintu belakang.

Hening, sunyi. Tak ada sahutan apapun dari dalam, membuat perasaannya di cekam rasa takut. Sebab ia tau, jika di dalam bangunan mewah itu tersembunyi puluhan Iblis yang mengerikan. Walau rasa takut menyusup kencang dalam benaknya.

Lasno memberanikan diri menapaki lantai ruang belakang rumah Win dan Diro. Perlahan suara derap langkahnya terdengar mengiringi suaranya yang terus memanggil nama Murni.

Hawa lembab benar-benar di rasakan tubuh Lasno. Padahal, saat itu matahari bersinar terang. Tapi, seolah terik dan panas sang surya tak sedikitpun menyentuh atau merubah hawa dalam rumah yang sudah ketiga kalinya Lasno rasakan.

Lasno terus melangkah setapak demi setapak. Menyusuri tiap-tiap lorong, membuka satu persatu kamar yang di laluinya dengan jantung berdebar. Ketika tinggal satu kamar yang terletak di ujung, Lasno sejenak menghentikan kakinya.

Wajahnya tiba-tiba saja mempias penuh ketegangan, saat sayup-sayup suara tertawa lirih tertangkap pendengarannya.

Suara itu, tawa cekikikan itu, di rasa telinga Lasno tak asing. Membuat jantungnya semakin berdebar kencang.

Lasno terus saja menguatkan dirinya, dengan memanggil kembali nama Istrinya. Tapi, suara tawa itu, lagi-lagi yang seperti menyahutinya.

Ciut nyali Lasno, keberaniannya sudah menipis, namun demi menemukan Murni, kakinya ia langkahkan mendekati kamar terakhir.

Belum sampai tangan Lasno menekan handle pintu, ia sudah di sambut angin tipis yang membawa bau wangi bunga melati. Membuatnya lagi-lagi menunda sebentar. Di tambah suara tawa ngikik jelas berasal dari dalam kamar, semakin mencampur aduk pikiran dan perasaan Lasno saat itu.

Lasno terdiam sebentar. Mengingat beberapa doa yang sudah di ajarkan Sang Ahlul Bait. Setelahnya, Lasno mantap menekan dan membuka pintu kamar itu. Sekejap, tubuh Lasno terasa dingin, demi mendapati pemandangan pertama dalam kamar itu,-

satu bayangan putih melayang dengan suara tawanya yang lirih. Namun, bukan itu yang membuat jantung Lasno seperti berhenti berdetak. Melainkan, sosok Murni, Istrinya, tersimpuh di samping ranjang bersimbah darah.

Darah yang mengalir deras dari pergelangan tangan kiri Murni, tersayat pisau kecil mengkilap masih dalam genggaman erat di tangan kanannya.

Lantunan kidung merdu khas Jawa, terdengar mendayu dari teras rumah penuh ukiran sore itu.

Sebuah rumah lawas nan kokoh yang baru beberapa hari terlihat dan terdengar nafas kehidupan di dalamnya.

Tembang-tembang Jawa berlirik, terus mengalun merdu penuh penjiwaan.Tapi kali ini, tembang berirama yang bila di artikan sebuah pujian dan nasehat, bernuansa keceriaan.

Adalah sesosok perempuan sedikit sepuh, yang melantunkan sembari mengayun pelan seorang bayi mungil dalam gendongannya. Rautnya penuh kebahagiaan, menatapi wajah polos calon Geteh Pengarep yang tertidur dengan nyaman dalam dekapan sang Nenek.

Seakan tau makna dari kidung, melambangkan sebuah ungkapan kasih sayang.

Tak berapa lama, dari dalam rumah, muncul seorang wanita muda berwajah cantik, menyunggingkan senyum ceria.

Mendekat dan ikut menimang bayi laki-laki yang telah ia jaga selama sembilan bulan dalam rahim, dengan bertaruh nyawa.

"Wes surup, gowonen mlebu Sanajaya. Mulai akeh seng moro." (Sudah petang, bawa masuk Sanjaya. Mulai banyak yang datang.)

Dua wanita yg tak lain Laswati dan Wuri, saling pandang. Mendengar suara tua dari dlm, memberi perintah untuk segera masuk membawa Sanjaya. Sebentar Laswati dan Wuri mengedarkan pandangannya. Menatapi tiap-tiap sudut halaman berbatasan dengan jalan, yang memang mulai terlihat gelap.

"Gowonen mlebu, Nduk. Ancen arep peteng delok ngkas." (Bawalah masuk, Nduk. memang mau gelap sebentar lagi.) ucap Laswati seraya menyerahkan Sanjaya kecil dari gendongannya.

Wuri yang menerima segera melangkah masuk ke dalam. Mendahului Ibunya yang tengah menyalakan obor, di tiap-tiap pilar kayu sudut teras rumah. Langkah Wuri baru berhenti di sisi sesosok wanita sepuh berwajah pucat yang sedang duduk di kursi goyang.

Mata wanita itu sepintas menatap Wuri dan Sanjaya kecil, sebelum kembali memandangi keremangan suasana luar dari jendela kayu di depannya.

"Wes tok toto bubur jenange, Nduk?" (Sudah kamu susun bubur jenangnya, Nduk?) tanya wanita Trah garis kedua Rengko Sasmito, Mayang.

"Sudah, Mbah," jawab Wuri pelan.

"Iku ngono ojo sampek mbok lalekne, sak durunge pancere Sanjaya kisat, lan mbalek nang sungkut selongmu."

(Itu semua jangan sampai kamu lupakan, sebelum tali sukma Sanjaya mengering tuntas, dan kembali pada tempat ruang rahim khususmu.)

"Mergo... Mbok deloen dewe, kae." (Karena... Kamu lihat sendiri, itu.)

Mayang tak meneruskan alasannya. Tapi ia memberi isyarat pada Wuri, untuk menyaksikan sendiri satu pemandangan di luar.

Tubuh Wuri seketika merinding. Matanya membelalak lebar, melihat puluhan makhluk menyeramkan dari wujud yang berbeda dan beraura hitam.

Mereka berdiri, berjejer, mengelingi halaman depan dengan tatapan satu tujuan, Sanjaya.

"Demit iku kabeh pengen nduweni getihe Sanjaya. Mulo nek mongso surup ngene, ojo ucul seko gendongan lan ojo lali jenang abang putih.

Syarat kanggo bature Sanjaya ben ora ke gowo mlebu alam lembut."

(Demit itu semua ingin memiliki darahnya Sanjaya. Maka kalau sudah masuk waktu surup begini, jangan lepas dari gendongan dan jangan lupa jenang merah putih.

Syarat untuk empat pancer galangan limo Sanjaya supaya tidak ke bawa masuk jagad lelembut.)

"Lungguho njero kono, Nduk. Makhluk iku ora bakal iso mlebu teko njero kene, tenango." (Duduklah ke dalam sana, Nduk. Mahluk itu tidak akan bisa masuk sampai dalam sini, tenang saja.)

Laswati, yang baru saja masuk setelah merampungkan tugas rutinnya, ikut angkat bicara. Meski ada sedikit guratan kekhawatiran, namun tak sampai terlihat seperti wajah Wuri.

Wuri mengangguk pelan, mendengar perintah Ibunya. Lalu melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan dua sosok wanita kuat yang selalu menjaganya.

Hari demi hari selalu Wuri rasakan hal yang sama ketika petang menjelang. Aktifitasnya bersama Sanjaya di luaran, hanya terbebas saat waktu siang. Selebihnya, ia akan habiskan dalam cengkraman dan kungkungan suasana mencekam dalam rumah.

Walau tak sekalipun makhluk-makhluk bermacam bentuk, yang selalu datang di kala senja bisa masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, Wuri, Laswati dan Mayang tetap waspada. Mereka tak ingin kejadian di Banyuwangi, tepatnya di rumah peninggalan Mbah Sinom terulang.

Mereka sadar, jika banyak manusia penganut golongan ilmu hitam mengincar Sanjaya. Untuk itu, setiap hari mereka memilih menutup diri dan menyamarkan status Sanjaya dari khalayak ramai.

Laswati, menjadi garda depan perlindungan untuk Wuri dan Sanjaya, menggantikan Mayang yang mulai melemah akibat kenekatannya melawan sosok Jrangkong. Ia tak mampu lagi melakukan ritual-ritual apapun. Kesemuanya ia serahkan pada Laswati, mengingat luka dalamnya tak kunjung sembuh.

Hening, sunyi, setiap malam keadaan rumah peninggalan dari Mbah Rengko Sasmito. Seorang tokoh paling di segani, di hormati sekitaran wilayah desa Krajan. Menjadi Trah golongan putih, meski menganut aliran Kejawen.

Tak ada kegiatan apapun, tak pernah sekalipun pintu rumah terbuka, layaknya rumah-rumah penduduk lainnya bila malam telah merambah. Tapi semua itu tak sampai membuat kecurigaan tetangga dan Warga sekitar. Sebab mereka tau dan mengenal asal-usul, siapa sosok Mayang dan Laswati.

Keadaan dan kehidupan seperti itu bertahan dan di jalani ketiganya sampai beberapa lama. Sebelum satu malam, tepat di malam ke 41 mereka menempati rumah itu. Satu kejadian merubah segalanya.

Berawal dari datangnya sapuan angin kencang susul menyusul, membuat Laswati berniat untuk keluar rumah guna menghidupkan obor dan dimar yang padam. Namun baru saja selangkah kakinya menapak lantai teras, Laswati sudah di kejutkan satu suara keras dari Mayang.

"Ojo mbok teruske! Cepet mlebu, tutupen lawange!" (Jangan kamu teruskan! cepat masuk, tutup pintunya!)

Sejenak Laswati terdiam heran, mendengar suara Mayang yang panik dan penuh kecemasan. Tapi setelah dirinya masuk dan kembali menutup pintu, baru dirinya menyadari jika sapuan angin itu membawa hawa aneh di dalam rumah.

Hawa yang membuat jiwanya tercekat, tercekam, dalam kekhawatiran. Karena ia tau dan telah beberapa kali merasakan hawa anyep itu, menjadi satu tanda sebuah kematian.

"Ada apa ini, Buk?"

Wuri, yang mendengar suara keras Mayang terlihat panik. Tak berapa lama, ia pun ikut merasakan ketegangan sama halnya dengan Laswati dan Mayang.

"Ojo mbok tinggal dewe Sanjaya! Cepet gendongen, gowo metu rene." (Jangan kamu tinggal sendiri Sanjaya! cepat kamu gendong, bawa keluar sini)

Wuri tersentak, setelah pertanyaannya di jawab satu perintah oleh Mayang.

Menyadarkannya akan keadaan Sanjaya yang ia tinggal sendiri di dalam kamar.

Buru-buru Wuri melangkah masuk. Mendekap dan membawa keluar tubuh kecil terbungkus kain jarik milik Sanjaya.

"Laswati, siap-siappo. Ono dayoh kurang ajar seng teko," (Laswati, siap-siaplah. Ada tamu kurang ajar yang datang,) ucap Mayang memberi peringatan Laswati.

Tertatih langkah Mayang mendekati Wuri. Rasa sakitnya seolah hilang mendapati hawa anyep menyliring, seperti mengurung dalam rumah.

"Tamu siapa yang Mbah maksud?" tanya Wuri, setelah Mayang berada di sampingnya.

"Belum tau, Nduk. Kelihatannya tamu ini bukan sembarangan. Ia mampu menembus Jangkar Semeti yang di pasang Romo," jawab Mayang resah.

"Bluuukk...!"

Keras, seperti benda terjatuh di halaman depan. Membuat ketiganya terdiam saling pandang.

Laswati yang saat itu berada tepat di samping jendela, menempelkan matanya. Mencoba melihat sesuatu yang ada di halaman. Kosong, hanya kesunyian dan kegelapan yang tertangkap pandangannya.

Namun, hal itu justru membuatnya semakin cemas. Sebab tak lama, setelah suara sesuatu terjatuh, hawa anyep dalam rumah berganti hawa panas.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Mayang pada Laswati, terlihat masih terpaku di samping jendela.

"Tidak ada apa-apa, Bulek," jawab Laswati.

"Aneh!" gumam Mayang lirih.

"Apa yang aneh, Mbah?" tanya Wuri, semakin di rundung kecemasan.

"Sepertinya ada maksud lain. Bukan Sanjaya tujuannya." sahut Mayang, mencoba menerka keadaan.

"Lalu, apa tujuan tamu itu Bulek?" Laswati yang baru saja mendekat, ikut merasa penasaran dan bertanya.

"Entahlah, belum bisa di tebak," jawab Mayang, seraya menatap sayu Sanjaya kecil tertidur dalam dekapan Wuri.

Lama ketiganya duduk dalam ketegangan. Saling mengatur degupan jantung masing-masing sembari berdoa dalam hati. Mengingat, suasana hening namun sangat di rasa mencekam.

Kepanikan seketika kembali menjalar. Saat Sanjaya yang terpejam tenang, mendadak menangis keras memecah kesunyian. Berulang-ulang Wuri, Laswati dan Mayang berusaha mendiamkannya. Akan tetapi, suara tangis Sanjaya semakin mengeras dan melengking.

Sadar akan keganjilan pada tangisan Sanjaya, Mayang berdiri. Mengedarkan pandangan sejenak, sebelum meminta Laswati untuk memapahnya melangkah ke dalam kamar. Tak berselang lama, keduanya kembali dengan membawa secarik kain hitam beraroma wangi melati.

"Coba, Nduk. Kamu tempelkan di kening Sanjaya." Perintah Mayang, seraya menyerahkan secarik kain wangi itu.

Sayang, usaha itu pun tak membuahkan hasil. Sanjaya masih saja terus menangis, seolah tak merasakan apa-apa dengan kain hitam yang menempel di keningnya. Namun dari semua itu, ada yang aneh.

Mayang, setelah melihat sepintas Sanjaya. Ia terlihat manggut dan menyunggingkan senyum sinis dari sudut bibir sepuhnya. Seakan ada yang sudah ia pahami dari semua keganjilan malam itu.

"Nduk Wuri, bawa saja Sanjaya ke dalam. Rupanya bukan Geteh pengarep yang mereka inginkan," ucap Mayang setelah menyandarkan punggungnya di kursi.

"Apa maksud, Bulek? Mereka? Mereka siapa? Dan apa yang di inginkan?" Laswati mencerca pertanyaan, kala mendengar dan menyimak perubahan pada wajah Mayang.

"Antara aku dan kamu, Laswati. Mereka menginginkan darah Laweyan Lenggan," lirih suara Mayang. Tapi sanggup membuat Wuri serta Laswati saling tatap dan tergetar.

"Cepat, Nduk! Bawa masuk Sanjaya! Biar Aku yang menyambut mereka. Dan kamu Laswati, jaga Wuri." Sambung Mayang kali ini dengan suara tegas.

Keanehan lagi-lagi di rasa Wuri dan Laswati, melihat Sanjaya tetiba saja berhenti menangis, setelah mendengar ucapan-ucapan Mayang. Seakan tau arti dan maksud, bakal semua kejadian malam itu.

Wuri yang sekali lagi melihat anggukan kepala Mayang sebagai isyarat, segera melangkah ke dalam di ikuti Laswati. Tapi belum sampai lima langkah, mereka di kejutkan suara pintu depan terbuka dengan keras.

"Buk'." jerit Wuri tertahan seraya merapatkan tubuhnya pada Laswati. Tangannya mendekap erat Sanjaya kecil yang sudah kembali terlelap dengan raut penuh kecemasan.

"Tenang, Nduk. Ada Ibu di sini," sahut Laswati, seraya menamengkan dirinya di depan Wuri.

Suasana sepintas hening. Tak ada sesuatu apapun muncul dari pintu yang sudah terbuka lebar. Hanya hembusan angin dingin di rasa sedikit menyejukkan hawa di dalam. Sampai akhirnya, dua tarikan nafas kemudian, sekelebat bayangan hitam memanjang terlihat masuk ke dalam.

Terus dan terus, klebatan hitam berbau anyir masuk ke dalam rumah. Berputar cepat memenuhi ruangan dan mengurung Mayang, Laswati dan Wuri. Ketiganya terpaku. Merasakan ruangan menjadi lembab, anyir, terselimuti bayangan hitam pekat tak berujung.

"Laswati cepat, bawa Wuri dan sanjaya masuk!" Teriak Mayang, tersadar akan keadaan saat itu.

"Tapi....?"

"Jangan membantah! Ini bukan main-main!" sahut Mayang memotong ucapan Laswati yang ragu.

Tak menunggu lagi. Laswati segera menggandeng Wuri untuk meninggalkan ruangan itu. Namun sayang, belum lagi Wuri mengayunkan kakinya, ia sudah terpekik. Ketakutanya semakin mencuat, mendapati suara mendesis panjang dari seekor Ular hijau bermata merah.

Meski tak terlalu besar, ada keanehan tertangkap mata Wuri dan Laswati, dari ular yang melingkar memenuhi ruang pintu menuju kamar.

"Mundur kalian!"

Lagi-lagi, Mayang berteriak parau. Memberi perintah Laswati dan Wuri untuk kembali. Setelah dirinya sekilas ikut melihat ular bermata merah menyala, dengan kepala di tumbuhi rambut-rambut hitam berbau anyir menghadang langkah keduanya.

Kini, Mayang berganti melangkah ke arah pintu, ketika Wuri dan Laswati sudah mundur menjauh. Langkahnya yang pelan tertatih sebentar berhenti tepat di depan pintu.

Di mana Ular itu masih melingkar dan mendesis, memperlihatkan lidah hitam menjulur di sela-sela dua taring panjang dari mulutnya.

"Opo karepmu!?" ucap Mayang sengit, kepada sosok Ular yang tinggal berjarak beberapa jengkal saja. Seolah Mayang tau jika Ular itu hanya sebuah jelmaan.

Benar saja, ular itu perlahan bergerak. Memudarkan lingkarannya seakan mengerti, mendengar ucapan Mayang. Dan setelah memanjangkan tubuhnya, Ular itu merayap lurus menuju pintu keluar sampai menghilang di ikuti lenyapnya bayangan hitam pekat dalam ruangan.

Wuri dan Laswati yang masih di rundung ketakutan, sedikit tertegun menyaksikan kejadian antara Mayang dan sosok ular hijau yang sudah berlalu. Tanpa mereka ketahui alasan kepergian Ular itu, bakal terjadinya satu hal mengerikan bagi mereka.

"Laswati, Nduk Wuri. Mari iki, tetep manggon kene. Omah iki ojo mbok tinggalno. Rumaten, uripo soko peninggalane Romo. Jogonen kabeh opo seng di tinggali leluhurmu."

(Laswati, Nduk Wuri. Setelah ini, tetap tinggal di sini. Rumah ini jangan kamu tinggalkan. Rawatlah, hiduplah dari peninggalan Bapak. Jagalah semua apa yang di wariskan leluhurmu.)

Terperanjat Laswati dan Wuri mendengar penuturan Mayang. Mereka terlihat bingung, akan ucapan Mayang bermakna sebuah pesan mendalam.

"Apa maksud, Bulek? Bukankah Iblis itu sudah pergi?" tanya Laswati, belum bisa menangkap arti sesungguhnya.

"Yang di inginkannya darah Laweyan Lenggan. Dia sekarang menungguku di luar," jawab Mayang sembari menatap sendu.

"Siapa sebenarnya yang melakukan ini? Dan... bukankah saya-lah Law...."

"Cukup, Laswati! Jangan kamu teruskan." Tegas ucapan Mayang memotong kalimat Laswati.

"Jangan bodoh kamu. Ingat! Wuri, Sanjaya, masih membutuhkanmu. Kita tak mungkin bisa mengalahkan atau lari dari mahluk kiriman itu,"

"Nduk Wuri, jangan lagi percaya dengan sang Abdi Sasongko. Penghianatan ini akan menjadi tetesan tumbal terakhir baginya dari Trah Rengko. Sekaligus pemutus pertalian darah antara Sanjaya dan keturunan dari Trah Suyono, sampai kapanpun."

Sambung Mayang dengan menyunggingkan seulas senyum, sebelum kakinya mengayun pelan menuju pintu dan keluar.

Laswati yang ingin mengikuti, harus rela tertahan bersama Wuri. Ia tak berani lagi membantah atau melawan perintah serta larangan Mayang.

Mereka hanya bisa berdoa dengan tetesan bulir bening dari kelopak mata.

Tubuh Wuri dan Laswati semakin terbasahi oleh keringat yang mengucur deras. Sama halnya dengan air mata mereka, ketika tak lama, telinga mereka mendengar dentuman-dentuman kecil disertai pekikan-pekikan tertahan.

Laswati goyah, tubuhnya bergetar hebat, sebelum berubah dingin dan tersimpuh, saat satu jeritan menyayat lalu di susul tawa nyaring melengking dari luar, membuatnya yakin akan kekhawatiranya telah terjadi. Yaitu, kematian Mayang.
"Buk."

Laswati tak bergeming, meski berkali-kali Wuri memanggil dan menyentuh bahunya. Ia terhanyut dalam lamunan amarah dan kesedihan, melihat kenyataan satu-satunya sisa darah Trah Rengko yang selama ini menjadi pelindung Wuri dan dirinya, harus tertumpah kembali oleh keserakahan Abdi Sasongko, Sudiro.

Seonggok tubuh tergeletak di depan pintu, tanpa nafas, putih bagaikan kapas membujur kaku, menjadi awal tangisan Wuri dan Laswati. Raungan keduanya menyayat menggema,-

memecah sunyi malam dan mengundang beberapa orang yang mendengar, untuk ikut menyaksikan kengerian dari jasad melotot Mayang.

Dalam, sangat mendalam duka di rasa Laswati. Kehilangan Mayang, sama saja dengan kehilangan separuh nafasnya. Membuat gumpalan rasa dendam teramat sengit, mengobarkan semangatnya untuk bisa membalas.

Berbeda dengan Sudiro. Ia terlihat semringah, menatap cawan keemasan berisi cairan kental merah kehitaman di depannya. Suka citanya atas keberhasilan Suyuti dengan bantuan seorang lelaki tua. Membunuh guna mendapat darah Mayang, menghidupkan harapannya kembali.

Sesekali, matanya melirik ke arah dua tubuh terbaring bertelanjang dada. Membujur lemah tanpa daya dgn keadaan memprihatinkan. Dua tubuh milik Mbah Lenggono dan Wito. Semakin menghitam dan tersisa kulit membungkus tulang, membuat satu kengerian tersendiri siapapun yg melihatnya.

Sementara di sisi lain. Tak jauh dari tempat Diro berada, atau tepatnya di depan sebuah tampah berisi sesajen, menghadap pada tiga tengkorak kepala, juga terbujur seonggok tubuh bertutup kain hijau. Sepintas terlihat seperti jasad kaku tanpa sukma.

Namun jika di lihat lebih dekat, ada gerakan naik turun dari dada tubuh itu. Menunjukan jika masih ada nafas dan nyawa bersemayam di dalamnya.

Satu lantunan iringan mantra dari suara lelaki tua, tak lama menyibak kain hijau dan membangkitkan tubuh pucat di dalamnya.

Suyuti, nampak sedikit bingung saat membuka mata. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih dan baru kembali setelah tiga tiupan dari mulut bergigi hitam lelaki tua di sampingnya, menyapu wajah pucatnya.

Pikiran Suyuti seketika melayang jauh. Mengingat semua dari awal, dari pertama tubuhnya, raga kasarnya, yang menjadi media kiriman untuk menyerang dan membunuh, demi kepentingan mengambil darah sang Laweyan Lenggan.

"Wes rampung, Le. Koe wes berhasil. Koe wes bebas seko ritual Kemayen Pati iki," (Sudah selesai, Nak. Kamu sudah berhasil. Kamu sudah bebas dari ritual Kemayen Pati ini,) ucap lelaki tua, tak lain sahabat dari Nyai Angen.

Mbah Atmo, salah satu dari sekian banyak penganut ilmu hitam yang di cari Diro atas saran Nyai Angen. Kemampuan ilmu kiriman melalui media raga kasar seseorang tak bisa di ragukan.

Terbukti, dengan media tubuh Suyuti, ia berhasil membunuh dan menumpahkan darah Mayang ke dalam cawan melalui sebuah ritual. Kemayen Pati, satu ritual Iblis yang akan membunuh dengan cara menghisap habis darah korbannya.

"Kono adus banyu kembang, ben mbalek utek menungsomu," (Sana mandi air bunga, biar kembali pulih otak manusiamu,) Kembali Mbah Atmo berucap memberi perintah. Lalu tak lama, Suyuti bangkit dan melangkah kebelakang, guna menuruti perintah Mbah Atmo, Mandi Kembang.

"Angen, urusanku wes rampung. Saiki geteh iki dadi urusanmu." (Angen, urusan saya sudah selesai. Sekarang darah ini jadi urusanmu.)

Satu sunggingan senyum merekah sinis dari bibir Nyai Angen, yang baru keluar dari kamar saat mendengar penuturan Mbah Atmo.

"Maturnuwun, Kang Atmo. Bakal tak urus geteh iki gawe nyambung nyowone wong-wong iku. Upahmu, urusane Pak Sudiro,"

(Terima kasih, Kang Atmo. Akan saya urus darah ini untuk menyambung nyawa orang-orang itu. Bayaranmu, urusanya Pak Sudiro,) jawab Nyai Angen sembari menatap tubuh Mbah Lenggono dan Wito.

"Heheheheee... Iku urusan gampang. Seng penting kabeh iso rampung sesuai kekarepanmu." (Heheheheee... Itu urusan gampang. Yang penting semua bisa selesai sesuai keinginanmu.)

Terkekeh Mbah Atmo sebelum menjawab ucapan Nyai Angen. Memperlihatkan deretan gigi hitam dan bibir tebalnya.

Sebentar kemudian, tangannya menyalakan sebatang klobot yang ia ambil dari saku baju dombornya.

Menghembuskan perlahan kepulan asap putih berbau menyengat, menikmati sebuah kemenangan sementara.

Sedang Nyai Angen, tampak bersimpuh di depan tampah sesajen bersampingan dengan Sudiro. Tujuh kerlipan api kecil dari ujung dupa yang baru saja terbakar,-

menyebarkan bau wangi menyeruak, mengalahkan bau rokok klobot Mbah Atmo. Juga menjadi awal di mulainya suara gumaman lirih pelan berbait mantra, di baca bibir berbau kinangan Nyai Angen.

Erangan dan rintihan sahut menyahut antara Mbah Lenggono dan Wito. Keduanya sesaat mengeliat, mengejang, ketika tubuh kering mereka tersiram air bercampur aneka bunga warna-warni. Mata Mbah Lenggono dan Wito seketika terbelalak, terbuka melotot,-

saat Nyai Angen mengucurkan darah dalam cawan bergantian. Dan tak lama, suasana terasa hening. Setelah secawan darah kental masuk ke dalam tubuh Mbah Lenggono serta Wito. Tubuh keduanya terdiam kaku, sama dengan menegangnya wajah Nyai Angen, Sudiro dan Mbah Atmo.

Nafas mereka terdengar memburu, tak sabar menanti reaksi dari ritual darah milik Mayang.

Hal itu terjadi sampai beberapa menit lamanya. Namun tak ada tanda2 tubuh Mbah Lenggono dan Wito membaik. Membuat Sudiro dan Nyai Angen saling pandang, bingung dengan keadaan saat itu.

"Ada apa, Angen?" tanya Mbah Atmo seraya melangkah mendekati tempat Nyai Angen di samping tubuh kaku Mbah Lenggono dan Wito.

Tepat, ketika kaki Mbah Atmo berhenti dan sampai di belakang Nyai Angen, raungan keras keluar dari mulut Mbah Lenggono dan Wito.

Tubuh keduanya mengejang kuat, mata semakin melotot lebar sebelum dari mulut keduanya bebarengan menyemburkan gumpalan darah hitam pekat berbau teramat busuk.

Kaget, terkejut, bersamaan dirasakan Nyai Angen, Mbah Atmo dan Diro. Mereka spontan mundur dengan wajah menegang kuat. Melihat kenyataan yang jauh dari harapan mereka.

"Celaka! Ada yang salah dengan ritual ini." Geram Nyai Angen, panik.

"Apa yang salah, Mbah?" timpal Diro yang ikut terlihat panik.

"Darah... darah itu bukan darah dari tubuh Laweyan Lenggan." Terbata, gugup, suara Nyai Angen. Setelah tau dan menyadari kesalahan serta penyebab kegagalan ritualnya.

Detik-detik genting semakin menyelimuti ruangan berhawa lembab kediaman Nyai Angen. Manakala raungan dan jeritan keras melengking dari Mbah Lenggono serta Wito, berganti geraman marah dari dua suara wanita berbeda bersahut-sahutan.

Menandakan bila ada sosok lain dalam diri keduanya. Membuat sedikit ketakutan memancar dari wajah keriput Nyai Angen.

Lalu, tak lama kemudian, sebuah pemandangan mengerikan pun terjadi. Kala tubuh hitam kurus kering Mbah Lenggono dan Wito, mendadak bangkit terduduk. Mata keduanya nyalang. Menatap, serta menengadahkan wajah ke atas.

Mengeluarkan lolongan panjang menyayat, sebelum kembali roboh dengan simbahan darah yang keluar dari lubang telinga, hidung, mulut, bahkan mata mereka. Menjadi akhir dari sebuah ritual hitam, serta arti pengorbanan yang di berikan Mayang.

***

"Ini adalah peninggalan Kakekmu, yang dulu menjadi tempat bermain Ibumu, sebelum semuanya tercium Ilmu Iblis." Ucap Lelaki tua berkain batik lengan panjang, pada pemuda bercelana dasar dengan paduan kemeja lengan pendek garis-garis.

Sang pemuda, seperti tak begitu tertarik dengan semua ucapan lelaki tua itu. Ia lebih fokus pada benda-benda yang penuh debu dan tertutupi sarang laba-laba. Satu persatu tanganya menyentuh semua barang dalam kamar berhawa pengap.

Namun sepertinya tak ada satu barangpun yang menarik perhatiannya. Sang pemuda kembali memasuki kamar-kamar berikutnya, tapi tetap sama, hanya melihat dan menyentuh tanpa ada rasa tertarik.

Hingga sampai di kamar paling ujung belakang yang terlihat paling kecil, langkah kakinya tertahan sejenak ketika akan menapak ke dalam.

Ada keraguan dalam hatinya saat akan menyentuh gagang pintu terbuat dari kayu tua yang halus dan mengkilap. Sedikit aneh hawa yang ia rasakan dari kamar berukuran 2x3, berbeda dengan kamar-kamar sebelumnya.

"Jangan kamu buka!" Satu bisikan tegas, masuk gendang telinganya, membuatnya sedikit terjingkat.

"Ini kamar siapa dulunya, Mbah?" ucapnya, bertanya pada Lelaki tua yang mengekor di belakangnya.

"Mbah, tidak tau pastinya, tapi menurut beberapa orang yang dekat dengan orang tua dulu, kamar ini adalah kamar ritual Nenekmu. Sebab keluargamu dulu..."

"Sudah, Mbah. Jangan di teruskan!" Sahut Sang pemuda, memotong ucapan Lelaki tua yang seketika terdiam sembari membetulkan kopiah lusuhnya.

Nyeri dalam dadanya sangat terasa jika ia mengingat semua cerita masa lalu keluarganya. Meskipun sudah berlalu puluhan tahun, toh masih saja ada bekas yang sulit ia hilangkan. Sang pemuda yang urung membuka pintu kamar terakhir,-

melangkah mundur dan membuka pintu yang menghubungkan dengan halaman belakang yang lumayan luas.

Tampak daun-daun kering berserakan menumpuk sampai menutup tanah berpasir, berasal dari beberapa pohon besar tinggi menjulang, tanpa buah.

Sinung dan lembab, itulah yang di rasakan Sang pemuda saat menapaki langkah demi langkah menjejaki halaman memanjang. Siutan angin sore tak seberapa kencang namun membawa kabut-kabut tipis, sejenak mengaburkan pandanganya. "Aneh" pikirnya.

Bagaimana mungkin alam sore dengan langit begitu cerah, memunculkan kabut hitam?

"Ahh... Mungkin kebetulan saja" gumamnya, cepat-cepat membuang pikiran liarnya, meski dalam hatinya tak mengingkari hawa aneh yang kembali menyusup di benaknya.

Sang pemuda mempercepat langkahnya menyusuri halaman, dan segera kembali ke dalam rumah, di mana sang lelaki tua sudah menunggunya di teras depan, dengan wajah penuh kecemasan.

"Ada apa, Mbah?" tanya sang pemuda heran, saat menangkap raut wajah penuh khawatir dari lelaki tua yang tengah meremas jemarinya sendiri.

"Nggak apa-apa, Mas. Mbah hanya tidak terbiasa di sini saat Surup, seperti ini." Jawab Lelaki tua, masih dengan kecemasan.

"Ya sudah, Mbah. Saya pamit. Maaf tak bisa mampir, karena saya ada urusan lain. Terima kasih, Mbah, sudah mau menemani saya. Ohh, ya. Besok kalau yang mau ngontrak rumah ini jadi,

tolong Mbah yang urus semuanya." Ucap Sang pemuda, berlalu setelah menjabat tangan dan sedikit membungkukkan badan pada sang Lelaki tua.

Termangu, sang Lelaki tua, sepeninggalan Pemuda tampan, pewaris rumah yang sudah beberapa tahun ini ia jaga. Ada kesan tak enak saat rumah yang di kosongkan puluhan tahun, kini akan di tempati kembali.

Sebab ia tau, sedikit banyak tentang sejarah kelam rumah peninggalan dari Kakek dan Nenek Pemuda tadi, yang terkenal penganut KEJAWEN. Namun bukan itu yang membuatnya khawatir, tapi tragedi di balik kosongnya rumah tersebut.

Hal yang sama juga tengah di lakukan seorang Pemuda berkemeja dengan setelan jas hitam. Ia nampak berjalan menyusuri tiap lorong rumah mewah berlantai dua, yang sepertinya lama di kosongkan.

Di belakangnya, tampak seorang lelaki tua dan lelaki setengah baya, mengikuti langkahnya.

Sang lelaki muda terlihat biasa-biasa saja menatapi tiap-tiap jengkal bangunan, berornamen kental khas Jawa. Tapi berbeda dengan sang lelaki tua berblangkon.

Wajahnya menyiratkan ketakutan dengan pandangan menunduk. Apalagi, saat ketiganya memasuki halaman belakang, di mana sebuah pendopo dan bangunan kecil bersebelahan masih tampak kokoh berdiri, Sang lelaki tua, tampak sedikit gemetar dengan wajah memucat.

"Siapa yang merawat rumah ini, Mbah?" tanya Lelaki muda pada lelaki tua berblangkon, tanpa menoleh.

"Giman dan Tarji, Mas. Mereka warga sekitar. Tapi hanya siang saja. Setelah menghidupkan lampu sore, mereka pulang." Jawab Sang lelaki tua, menunduk.

"Kenapa kalau malam gak ada yang nunggu? Apa takut? Karena cerita angker rumah ini?" sahut Sang lelaki muda, dengan sunggingan sinis dari sudut bibirnya.

Tak ada jawaban dari lelaki tua. Bahkan ia semakin menunduk mendengar penuturan Lelaki muda, yang kini mewarisi Rumah Tua berlantai dua, peninggalan seorang tokoh yang amat di segani dan paling tersohor puluhan tahun silam.

Sang lelaki tua tak menampik anggapan yang di ucapkan lelaki muda tersebut. Sebab ia tau, bahkan masyarakat sekitar pun banyak yang tau akan sejarah hitam Rumah itu.

Di mana, di setiap sudut dan pilar bangunan, dari depan dan belakang, tercium aroma angker dari kekuatan hitam yang sudah menelan banyak nyawa.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close