Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 10 END) - Kembalinya Sanjaya

"Rupanya iblis itu ikut membawa pergi sukmanya. Untuk sementara, kita urus jenazahnya. Dan tolong kosongkan dulu rumah ini selama 41 hari."


Bagian Akhir
KEMBALINYA SANJAYA

"Cepetan San. Hujan hampir turun."

Seru sesosok perempuan 45an, bertapi kain jarik dengan setelan kebaya hitam, nampak ayu dan anggun dengan sanggulan rambut berkonde.

"Iya, Buk." Sahut lelaki muda, yang mempercepat langkahnya setelah tangannya mengambil dan menenteng tiga bungkus kantong hitam, dari dalam mobilnya.

Lelaki muda berkemeja hitam lengan panjang kembali memelankan langkahnya, kala ia sudah bisa menyusul sosok wanita dengan wangi kasturi menyejukan. Keduanya kini berjalan beriringan menyusuri jalanan setapak yang di apit dua sungai kecil,-

sebagai sarana pengarian sawah-sawah milik penduduk, yang menghampar seluas mata memandang.

Hawa sejuk seketika terserap dalam tubuh keduanya, saat langkah mereka memasuki sebuah gapura terbuat dari bambu tanpa tulisan.

Sejenak, Sang pemuda tertegun, ketika wanita di depanya berhenti dan memejamkan matanya seraya menunduk, di depan tiga buah gundukan susunan batu-batu yang sudah berlumut.

"Sanjaya, ucapkan salam pada Eyang-Eyangmu." Tegur sang wanita ayu, saat melihat lelaki muda yang tak lain, SANJAYA, hanya terdiam di belakangnya.

"Baik, Buk." Sahut Sanjaya, seraya memejamkan matanya. Namun, dari gerakan bibirnya, ucapan salam yang di lakukan Sanjaya terlihat berbeda dengan sang Ibu.

Setelah selesai, Sanjaya mengedarkan pandanganya. Menatapi satu persatu tiga buah gundukan batu, dengan salah satu di antaranya paling tinggi dan memanjang. Terlihat aneh, saat Ibunya membakar masing-masing tiga dupa dan menancapkan pada -

tiap-tiap pangkal gundukan dengan sebuah nisan sedikit meninggi. Bukan karena aroma dupa yang menyengat, melainkan asap dupa yang menyebar, seolah membentuk sebuah bayang-bayang, seperti tengah menatapi dirinya.

"Bawa sini bunganya?" Sedikit kaget Sanjaya, saat Ibunya meminta tiga kantong hitam, yang ternyata berisi bunga tiga warna.

Sanjaya semakin terpekur, setelah menyerahkan bungkusan berisi bunga, yang kemudian di taburkan oleh Ibunya. Tak ada yang menarik bagi Sanjaya, kecuali kesan seram dari bangunan beratapkan genteng yang tampak tak terurus.

Mulai dari tiang-tiang penyangga yang mulai rapuh, hingga rumput yang lumayan tinggi mengitari luar bangunan.

Sejenak Sanjaya terdiam. Batinya tiba-tiba saja tercekat, manakala wangi dupa yang tercium semenjak di bakar Ibunya, mendadak bercampur bau aneh.

Sanjaya kemudian mengedarkan pandanganya mengelilingi sekitaran tempat makam leluhurnya. Namun hanya hembusan angin dingin dan sosok Ibunya yang tengah duduk bersimpuh menghadap tiga Makam, yang ia lihat.

Sanjaya semakin merasa hawa sekitar tempat itu terasa begitu lembab dan dingin, saat gelombang angin riuh masuk dengan membawa bau aneh, mengalahkan bau wangi kembang dan dupa yang awal menyebar.

Sampai beberapa saat kemudian, Sanjaya yang masih berdiri di belakang Ibunya, tersurut mundur, mendapati satu sosok Lelaki bertelanjang dada tengah berdiri di luar bangunan sedang menatapnya.

Wajahnya pucat, tatapanya sendu dan kosong menimbulkan rasa iba dalam jiwa Sanjaya sebelum berubah menjadi rasa takut, ketika melihat sebuah luka menganga di bagian dada sebelah kirinya.

"Jangan hiraukan sosok itu!" terjingkat Sanjaya mendengar sentakan Ibunya, yang tiba-tiba sudah berdiri dan menarik lengannya keluar dengan buru-buru.

Sanjaya yang terkejut, terpaksa menuruti langkah Ibunya, meski batinya menolak.

Apalagi, dirinya menangkap wajah tegang ibunya, seolah tau dan ikut melihat sosok Lelaki dengan bulatan hitam di kedua matanya, yang masih Sanjaya lihat tetap berdiri dan memandangi dirinya saat masih terus dalam seretan.

"Tunggu, Buk!" Seru Sanjaya, menghentikan langkah Ibunya. Setelah berjalan cukup jauh dalam seretan, sampai tak terlihat lagi bangunan Makam beserta sosok Lelaki yang membuatnya penasaran.

"Ada apa dengan Ibu?" tanya Sanjaya yang sedikit memelankan suaranya.

"Ibu, tidak apa-apa. Cuma takut kehujanan." jawab Ibunya, sambil mendongakkan wajah ayunya, yang memang saat itu langit sudah gelap tertutupi awan-awan hitam.

"Tidak! Ibu bohong. Ibu melihat sosok tadi kan? Dan...dan kenapa, Ibu sepertinya ketakutan sekali." sanggah Sanjaya, sedikit parau.

"Sanjaya! Sejak kapan, kamu berani membantah sengit Ibumu?" Seketika Sanjaya tertunduk, mendengar kalimat tegas Ibunya, yang baru kali ini ia dengar.

"Sudahlah, kita pulang sekarang." ajak Ibunya yang langsung bergegas mendekati Mobil.

Sanjaya masih diam termangu, sebelum ikut menyusul Ibunya yang lebih dulu berlalu. Namun, lagi-lagi langkah Sanjaya kembali harus tertahan.

Ketika matanya menangkap satu sosok perempuan berselendang merah, berdiri di pinggir persimpangan jalan masuk ke Makam leluhurnya, tengah menatap sambil tersenyum padanya.

"Sanjaya!" Kembali suara keras Ibunya memanggil, membuyarkan rasa penasaran pada sosok cantik yang masih tersenyum, seperti sudah begitu mengenalinya.

"Apa lagi yang kamu lihat?" tanya Ibunya sedikit ketus, saat ia mulai menjalankan mobilnya perlahan.

"Apa sosok lelaki tadi?" sambung Ibunya.

"Bukan, Buk. Tapi...." jawab Sanjaya terputus.

Entah kenapa Sanjaya enggan menyebut sosok wanita berkemben, dan berselendang merah, kepada Ibunya. Seperti ada satu kekuatan membisiki yang melaranganya.

Sejenak Sanjaya tertolong dari kejaran pertanyaan Ibunya yang terlihat bertambah penasaran dengan jawabannya yang terputus, ketika dering HP dari saku celananya, membuat Ibunya urung bertanya.

Sebuah percakapan terdengar mengalir biasa saja antara Sanjaya dan seseorang yang baru saja menghubunginya lewat HP, seperti tak menarik perhatian sosok Ibunya yang duduk di sebelahnya, sebelum memasuki sebuah percakapan serius, hingga membuat Sang ibu mengerutkan kening dan menegang.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan rumah kita, Sanjaya?" tanya Sang ibu, setelah Sanjaya menyudahi obrolanya di HP.

"Ada orang mau mengontraknya, Buk." jawab Sanjaya, sambil menoleh ke arah Ibunya sebentar.

Nampak raut wajah Ibu dari Sanjaya yang tak lain adalah Wuri, menyiratkan rasa khawatir penuh kecemasan mendengar penuturan anaknya panjang lebar tentang rumah yang sudah terjadi kesepakatan di kontrakan.

Beberapa kali dirinya memberi suatu alasan agar membatalkan, tapi nampaknya Sanjaya juga bersikukuh dengan alasan sudah terlanjur bersepakat.

Wuri, yang baru saja di landa gelisah dengan kemunculan sesosok lelaki sama persis dengan satu sosok yang puluhan tahun sudah binasa dan lenyap, kini harus kembali di hadapkan dengan kecemasan tentang rumah peninggalan orang tuanya, yang ia tau masih di naungi satu kekuatan hitam BALAK PROJO dari tertanamnya LEMAH IRENG JALASUTO.

Apalagi, saat terakhir Laswati (Ibunya) dan Mayang (salah satu Eyangnya) sempat celaka saat nekat ingin menghancurkan kekuatan hitam itu oleh salah satu Makhluk yang bercokol dan sudah menjadikan Jenggolo di rumah itu.

"Semoga mereka mengurungkan!"

Satu gumaman lirih terdengar penuh harap, dari bibir seorang lelaki tua berkopiah lusuh.

Matanya menyorot lepas menatapi gerbang tak berpintu yang redup, tertutup sinungnya dua buah pohon besar nan tinggi yang berdiri di kanan kiri.

Wajahnya yang sudah mulai di penuhi kerutan, menggurat keresahan dan terlihat samar dari bayang-bayang kepulan asap tebal segulung rokok hasil olahan tangannya sendiri.

Sampai beberapa saat kemudian, wajahnya mendadak mempias seperti menahan rasa takut, kala telinganya mulai mendengar sesuatu dari belakang, tepatnya dari dalam rumah yang masih tertutup.

Sang lelaki tua berkain batik semakin memucat saat suara Tarhim terdengar nyaring, menandakan jika sebentar lagi masuk waktu Maghrib. Itu artinya waktu yang paling ia takuti saat berada di sekitaran rumah itu telah tiba, Surup.

"Mungkin mereka benar-benar urung datang," gumamnya sembari beranjak dan berlalu dengan cepat meninggalkan teras, setelah merasa yakin jika yang di tunggunya tak akan datang.

Namun, baru saja langkah kakinya menapak di halaman tanah berpasir, tiba-tiba matanya di kejutkan cahaya menyorot dari sebuah mobil yang baru saja berbelok dan masuk ke halaman. Tiga lelaki yang berada di dalam mobil, segera beranjak turun dan mendekati lelaki tua yang berdiri terpaku.

"Njenengan Mbah Toha?" tanya salah satu dari tiga lelaki muda, berkemeja kotak-kotak sambil menenteng tas hitam.

"Njeh, Pak." jawab leleki tua yang mengiyakan namanya di sebut, Mbah Toha.

"Ohh, Saya Fandi. Dan ini rekan-rekan kerja saya, Wasis dan Tanto." ucap laki-laki muda yang memperkenalkan diri dan kedua temanya, sambil mengulurkan tangan.

Mbah Toha langsung menyambut uluran tangan ketiga lelaki muda, yang sebenarnya ia sudah tau akan kedatangan dan tujuannya. Tampak seulas senyum yang di paksa keluar dari bibir tua Mbah Toha saat berbasa-basi sejenak,

sebelum mengantarkan ketiga lelaki itu memasuki rumah yang sama sekali belum pernah di masukinya saat malam, meski sudah hampir sepuluh tahun ia menjaga dan merawatnya.

"Waaooww, rumah lawas yang nyaman, sepertinya." Satu kekaguman terlontar dari lelaki muda yang memperkenalkan diri, Wasis, ketika lampu-lampu menyala terang, memperjelas isi rumah yang masih banyak menampilkan ciri khas Jawa.

Tak jauh beda dengan Wasis. Fandi dan Tanto juga terkesima melihat semua ornamen yang masih utuh, kental dengan Kejawen yang tak mereka mengerti sejarahnya.

Tak ada apapun yang ia lihat, kecuali barang-barang yang sudah di bersihkan Mbah Toha dan perabotan baru pesanan mereka. Namun, saat akan berbalik, dari salah satu kamar yang terletak paling belakang serta berukuran paling kecil di banding lainya,-

tiba-tiba Tanto berhenti dan terdiam sejenak. Wajahnya menciut dengan kening berkerut ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara wanita tengah melantunankan sebuah tembang dari dalam kamar itu.

Merasa kurang yakin dengan pendengarannya, Tanto melangkah pelan mendekati pintu kamar.

Hening, yang di rasa Tanto. Ketika ia menempelkan telinga kanannya pada daun pintu. Membuatnya sedikit lega dan merasa jika hanya perasaanya saja yang berhalu.

Tapi baru saja selangkah Tanto menjauh dari pintu, lagi-lagi suara lirih wanita layaknya Sinden, kembali terdengar oleh telinga Tanto. Bahkan, tak hanya itu, tubuh Tanto seketika merinding ketika suara tembang dengan syair menyayat di barengi-

bau harum kembang melati yang lembut tercium hidungnya.Tanto yang mulai tersusupi rasa takut, dengan jantung berdebar cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Kelegaan sejenak tersirat di wajah Tanto, setelah sampai di ruang tamu dan melihat Fandi tengah duduk di sofa. Meski jantungnya masih berdegup kencang, tapi setidaknya kini timbul sedikit keberaniannya dengan adanya Fandi.

Namun, perasaan itu bertahan sejenak. Berawal dari kecurigaan Tanto, saat suara sapaanya tak di jawab sama sekali oleh Fandi, menimbulkan segudang tanda tanya. Apalagi, ketika Fandi bangkit, sekilas mata Tanto melihat wajah Fandi yang pucat pasi.

Di tambah bau wangi Kamboja semerbak keluar dari tubuh Fandi yang berlalu, seketika membuat merinding Tanto.

"Aneh!" gumam Tanto lirih.

Tanto yang kini terduduk sendiri di sofa tamu, tertegun memikirkan sikap Fandi yang berlalu kebelakang dengan diam membisu. Ingin rasanya ia menceritakan terlebih dahulu kejadian yang dirinya alami di belakang, tepat nya di kamar paling ujung,-

di mana ia mendengar kidung tembang menyayat dari suara seorang perempuan dari dalam kamar itu. Tapi sayang, Fandi sudah keburu berlalu dengan kebisuannya.

Hampir setengah jam Tanto menanti kembalinya Fandi, namun yang di tunggunya tak juga muncul. Rasa heran dan gelisah mulai menggelanyut dalam benak Tanto, saat semilir angin malam masuk melalui celah-celah atas jendela, berhawa lembab.

Heran dengan apa yang tengah di lakukan Fandi, sampai begitu lama ia tak kembali. Gelisah dengan sapuan angin yang di rasanya berbeda dan tak seperti biasanya.

Kegelisahan Tanto seketika berubah bingung mencekam dalam benak, ketika pintu yang di sangkanya telah terkunci tiba-tiba terbuka dan muncul sosok yang tengah di tunggunya, Fandi, dari depan.

Tanto terhenyak dan bangkit, saat sosok Fandi yang baru masuk mendekatinya. Perasaanya mulai tak nyaman dengan segala yang baru saja ia alami. Matanya menatap lurus wajah Fandi yang terlihat bingung akan sikapnya.

"Kamu dari mana?" sedikit bergetar suara Tanto saat bertanya.

"Lho, Aku dari tadi di luar sedang menelfon. Terus Aku dengar kamu memanggilku untuk masuk karena pintu mau kamu kunci." Jawab Fandi heran, melihat sikap Tanto.

"Aku? Aku memanggilmu masuk? Bukanya kamu tadi sudah di dalem?" jawab Tanto dengan wajah penuh expresi.

Perdebatan kecil seketika terjadi antara Tanto dan Fandi yang sama-sama bersikukuh dengan keyakinan mereka masing-masing.

Bahkan, Fandi terlihat acuh saat Tanto mengungkap kejadian ganjil yang di alaminya.

Sampai akhirnya, Fandi yang merasa jengkel serta terlihat acuh memilih untuk menyudahi dan berlalu.

"Sudahlah, kita istirahat. Capek aku," ujar Fandi berlalu meningalkan Tanto yang mematung.

"Kamu mau tidur di mana?" tanya Fandi sebelum ia memilih salah satu kamar.

"Terserah, kamu mau tidur di mana." jawab Tanto datar, membuat Fandi menggelengkan kepala sambil melangkah masuk di kamar kedua dari depan.

Tanto masih berdiri terdiam. Merekam kembali kejadian demi kejadian yang betul-betul di rasa janggal dalam rumah itu. Padahal belum juga semalam ia dan kedua temanya menempati, tapi sudah beberapa kali mengalami hal yang tak masuk akal.

"Pasti ada sesuatu di rumah ini."

Baru saja Tanto membatin, mendadak bulu-bulu halusnya meremang. Tengkuknya menebal saat menyadari dirinya sendiri di ruang tamu seperti tengah di awasi puluhan pasang mata.

Tak mau berlama-lama dalam ketakutan, Tanto segera memutuskan untuk masuk ke kamar bersama Wasis. Kamar pertama dari depan, yang pernah di tempati sesosok wanita cantik, Wuri Handayani.

Bebeda dengan Fandi, yang memilih tidur sendiri di kamar kedua. Meski terlihat bersih dan rapi, namun ada rasa tak nyaman menyusup benaknya ketika ia merebahkan tubuhnya di ranjang empuk bertilam kain putih nan halus.

Bukan hanya hawa lembab yang membuatnya tak nyaman, tapi juga isi dalam kamar.

Fandi merasa jika kamar yang ia tempati sedikit menyeramkan, mulai dari pencahayaan yang remang, bentuk ranjang dan segala ornamen kesemuanya dari kayu berukir Jawa kuno,

membuatnya seperti tengah berada di alam jauh.

Malam sudah merambat jauh, kesunyian sudah melelapkan sebagian hamba-hamba di bumi. Namun bagi Fandi, malam pertama di rumah itu, yang ia kontrak selama urusan kerja bersama kedua temanya, terasa begitu panjang penuh kejanggalan.

Ia yang awal menampik anggapan Tanto, sediki demi sedikit mulai membenarkan dan merasakannya sendiri.

Berawal dari telinganya mendengar suara pintu depan terbuka dan tertutup berulang-ulang seolah tengah untuk mainan.

Beberapa saat ia diamkan suara itu, sampai akhirnya Fandi yang sudah merasa terganggu beranjak dari pembaringan untuk memastikan.

Tak ada yang aneh di lihat Fandi. Pintu yang ia yakini sebagai sumber suara berisik, terlihat aman dan masih tertutup rapat.

Sebentar Fandi memastikan dengan memeriksa keadaan pintu yang ternyata sudah terkunci, sebelum beranjak kembali ke kamar. Namun, baru saja kakinya selangkah masuk kamar, tiba-tiba tubuhnya merinding saat hembusan angin lembut teramat dingin menyapu wajah dan lehernya.

Ada keraguan dalam diri Fandi saat itu, kala rasa takutnya mulai terbangun dengan satu hal yang baru saja ia rasakan. Belum lagi suasana kamar yang semakin lembab dan menyeramkan selepas tiupan angin yang seperti ikut masuk.

Tapi, Fandi masih mencoba untuk bertahan dan memberanikan diri kembali berbaring.
Mata Fandi mulai mengerjab setelah beberapa kali mulutnya menguap, menandakan rasa kantuknya sudah menyerang. Akan tetapi, belum sempat ia terlelap penuh, kembali Fandi terjaga dengan keterkejutan.

Matanya dengan cepat mengedar sekeliling, menatapi tiap-tiap sudut kamar mencari sumber suara tangisan lirih yang mengusik tidurnya.

Untuk beberapa saat, Fandi terdiam. Seperti tengah memastikan kesadarannya. Sampai akhirnya wajah Fandi berubah memucat ketika dirinya benar-benar memastikan jika nyata mendengar suara tangisan meratap seorang wanita.

Suara tangisan yang kadang di iringi rintihan, kini Fandi bisa pastikan berasal dari kamar sebelah.

Sebuah kamar yang berukuran paling kecil di banding kamar lainya, dan sempat di singgung oleh Tanto saat debat dengannya. Namun baru sekarang, Fandi percaya jika ada kejanggalan di kamar itu.

Fandi mulai ketakutan saat suara tangisan dan rintihan, sebentar kemudian berubah sebuah jeritan menyayat berkali-kali. Apalagi, saat itu Fandi juga merasa jika di dalam kamarnya, seperti banyak sosok-sosok yang berdiri mengelilingi ranjang sedang menatapinya.

Fandi akhirnya bangkit dari pembaringan. Ia sudah tak mampu membendung ketakutan yang menyelimuti dirinya. Langkahnya cepat meninggalkan kamar dan berniat masuk ke kamar pertama bersama kedua temannya. Tapi, lagi-lagi langkah Fandi harus terhenti.

Bukan saja bau gosong menyengat tercium pekat di hidungnya, yang membuat tubuhnya gemetar, melainkan satu sosok hitam yang tingginya dua kali dari dirinya, sudah berdiri di depan kamar.

Keringat mengucur deras membasahi tubuh Fandi, sebelum berubah kaku dan dingin ketika ia menengadahkan wajahnya, menatap wajah sosok hitam di depannya yang hanya terlihat sorot matanya saja yang putih rata.

Fandi menjatuhkan tubuhnya yang sudah tak mampu untuk berdiri. Ia terduduk berselonjor menyandar ke dinding. Nafasnya tersengal dengan mata mulai sayu dan mengerjab perlahan, sebelum semua terlihat gelap serta hitam, sehitam sosok di depannya.

***

"Ini awal yang buruk"

Satu suara berat dari Mbah Toha, membuat Tanto dan Wasis saling pandang. Kening keduanya berkerut, menatap penuh rasa penasaran pada wajah tua di hadapan mereka.

"Apa maksudnya, Mbah?" Wasis yang tak sabar, memberanikan diri bertanya.

Mbah Toha sendiri seperti mengacuhkan ucapan Wasis, ia tampak fokus memeriksa sekujur tubuh membiru, Fandi, yang di temukan Tanto tergeletak di lantai depan kamar.

"Mbah, hal buruk apa? Yang Mbah Toha maksud?" kembali Wasis yang di rundung rasa penasaran mengulang pertanyaanya pada Mbah Toha.

Sejenak tangan Mbah Toha terhenti dari mengurut kening Fandi. Ia memalingkan wajah sebentar pada Wasis, yang terlihat begitu mengharap sebuah jawaban.

"Omah Iki ora keno gawe sembarangan. Akeh Cikal Pancer seng wes ketandur sak kelilinge. Mulo tak saranke, golek kontrakan liyane ae."

(Rumah ini tidak bisa untuk sembarangan. Banyak Sukma buangan yang sudah tertanam di sekelilingnya. Maka dari itu Saya sarankan, cari kontrakan lainya saja.)" Jelas Mbah Toha.

"Opo maneh, koncomu iki wes ketemu Rojo Jenggolone kene. Bakal dowo urusane yen tetep nekat mbok teruske manggon kene."

(Apa lagi, temanmu ini sudah bertemu Pimpinan dari semua mahluk yang bersemayam di sini. Akan panjang urusannya jika tetap nekat meneruskan untuk tinggal di sini.)" Sambung Mbah Toha, dengan penuh expresi kekhawatiran.

"Ada apa sebenarnya di rumah ini, Mbah? Dan siapa yang sudah mencelakai teman saya ini?" sahut Wasis yang seperti belum percaya dan mengerti dengan penjelasan Mbah Toha.

"Maaf, Saya tidak bisa menceritakannya," jawab Mbah Toha, sambil berdiri.

"Lalu, bagaimana dengan keadaan teman saya ini, Mbah?" Tanto, yang sedari tadi hanya diam, ikut bertanya.

Mbah Toha terdiam sebentar, matanya kembali menatap tubuh lemah Fandi yang sudah tertutup selimut, menyiratkan keprihatinan tersendiri yang mendalam dengan apa yang sudah menimpa pada diri Fandi.

"Temanmu tersandra sukmanya. Dan hanya Sang Pewaris, yang bisa mengembalikan ke Badalnya." jawab Mbah Toha, seraya menarik nafas panjang.

"Sang Pewaris? Apakah, Sanjaya yang Mbah maksud?" tanya Tanto, yang kemudian di jawab anggukan kepala oleh Mbah Toha.

"Kalau begitu Saya akan meminta tolong pada Sanjaya, Mbah. Kebetulan Saya juga mengenalnya." sahut Tanto, penuh antusias.

"Bukan hanya Mas Sanjaya saja, tapi juga Ibunya, sebab ini ada kaitan erat dengan masa lalu Nduk Wuri." Terang Mbah Toha, membuat Tanto terdiam.

"Biar saya saja yang menemui Mas Sanjaya dan Ibunya. Kalian jaga saja teman kalian ini. Dan satu lagi, jangan pernah menyentuh atau bahkan membuka kamar paling ujung belakang." Tegas suara Mbah Toha berpesan setelah menyanggupi untuk menemui Sang Pewaris, SANJAYA.

Sepeninggalan Mbah Toha, Wasis yang seperti tak percaya akan semua cerita tentang rumah itu, menarik paksa Tanto ke belakang. Tak ada penolakan saat itu dari Tanto. Namun, ketika Wasis berhenti tepat di depan pintu kamar ujung, Tanto seketika terhenyak mundur.

"Apa yang akan kamu lakukan, Sis!" Sedikit bergetar suara Tanto melihat kenekatan Wasis.

"Aku tak percaya jika ada syetan bisa mencelakai manusia. Lagian, kenapa juga dengan kamar ini? Kok sampai gak boleh di sentuh."

Wasis dengan tegas mengutarakan rasa ketidak percayaanya, dan bersikeras ingin membuka pintu yang sudah 20 tahun lamanya tertutup. Tapi, ketika tanganya baru menyentuh gagang pintu, Tanto dengan cepat menepisnya.

"Jangan gila, Kamu! Apa bukti Fandi yang sudah seperti itu belum cukup untuk membuka pikiranmu!" Tanto dengan cepat menarik mundur Wasis dari depan pintu, dan menyeretnya kembali ke depan.

"Apa-apaan, kamu ini! Aku hanya ingin membuktikan! Apa benar dalam kamar itu ada makhluk yang sudah mencelakai Fandi. Itu saja!" ujar Wasis bersungut-sungut.

"Terserah, km mau percaya atau tidak. Tapi yang jelas, dengan adanya keadaan Fandi seperti ini, saya harap, kamu jangan menambah urusan tambah runyam. Ingat! Kita hanya tamu di sini." Tegas, kalimat yang di ucapkan Tanto, sebelum ia beranjak ke kamar depan, dimana tubuh Fandi terbaring.

Tak berapa lama, Tanto kembali ke depan sambil menenteng tas hitam. Di tatapnya lekat-lekat Wasis yang duduk terdiam dan menyandar di sofa, sebelum menyerahkan HP milik Fandi ke tanganya.

"Saya akan melapor ke kantor dan sekalian surfei lapangan. Tolong kamu jaga Fandi, dan ini HP Fandi, kalau sewaktu-waktu nanti Istri atau keluarganya ada yang nelfon, Kamu angkat. Tapi, ingat! Jangan Kamu katakan keadaan Fandi yang sebenarnya."

Pesan Tanto pada Wasis yang hanya menerima HP milik Fandi, tanpa menyahut ucapan apapun.

"Kalau ada apa-apa, kabari." Sekali lagi Tanto berpesan sebelum beranjak meninggalkan rumah itu, guna mengurus pekerjaan yang seharusnya mereka bertiga.

Namun, di karenakan keadaan Fandi, maka Tanto terpaksa mewakili kedua temanya. Di samping dirinya sebagai seorang pelaksana lapangan sekaligus penyuluh, Tanto juga terhitung orang paling lama di banding kedua temanya di sebuah Perusahaan penanaman kabel dan proyek Tower.

Sepeninggalan Tanto, Wasis masih terdiam di ruang tamu. Ia masih termenung dengan segala rasa tak percayanya. Tapi, ketika mengingat ucapan-ucapan Tanto, ia mengendurkan saraf penasaran yang mengencang bila mengingat dengan apa yang ia dengar tentang rumah itu.

***

Setelah beberapa jam melewati jalanan ramai, sepi, dan mengitari perbukitan kecil, Mbah Toha, akhirnya bisa merenggangkan otot-ototnya yang kaku, saat sepeda Motor yang memboncengnya berhenti di halaman sebuah rumah Joglo bergaya ciri khas Jawa.

Rumah yang di penuhi dengan lekukan dan ukiran indah bernuansa keraton, menggambarkan jika sang pemilik rumah adalah orang yang menjujung tinggi satu nilai budaya dan tradisi begitu kuat.

Mbah Toha yang tau tentang siapa dulunya pemilik rumah itu, sedikit sungkan saat berjalan keteras berpilar kayu jati berlekuk ukiran. Langkahnya pelan penuh hati-hati yang di ikuti seorang pemuda pemboncengnya.

Dengan memberanikan diri, Mbah Toha mengetuk pelan daun pintu tebal yang mengkilap. Sejenak Mbah Toha bersabar menunggu, sampai akhirnya terdengar sahutan lembut dari dalam, lalu di susul terbukanya daun pintu, Mbah Toha dan sang pemuda seketika menunduk penuh hormat,-

saat muncul di hadapan mereka sesosok wanita Ayu bergelung, selaras dengan kebaya batik dan kain jarik sebagai bawahannya.

"Mbah Toha... Monggo, masuk Mbah." Pelan dan penuh wibawa suara wanita anggun mempersilahkan tamu yang sudah di kenalnya.

Mbah Toha mengangguk pelan dan langsung mengikuti langkah gemulai wanita yang sebenarnya terpaut jauh usianya lebih muda. Akan tetapi, dengan beberapa alasan, membuat Mbah Toha yang lebih tua, seakan lebih menghormatinya.

"Sepertinya ada hal yang sangat penting, sampai Mbah Toha menyempatkan diri datang kesini?" ucap Sang wanita setelah berbasa-basi sebentar, seraya menuangkan air teh ke dalam dua cangkir yang di suguhkan untuk Mbah Toha dan pengantarnya.

"Benar, Nyai. Ini ada kaitannya dengan tiga orang yang menempati rumah Prabon di sana." jawab Mbah Toha, setelah sedikit meneguk teh yang di suguhkan.

Sosok wanita yang tak lain adalah WURI, mengernyitkan keningnya dan sebentar kemudian berubah menegang, kala Mbah Toha mulai menceritakan semua kejadian yang menimpa Fandi.

Beberapa kali Wuri menarik nafas panjang seperti tengah menahan satu beban berat dalam batin, saat Mbah Toha menyinggung nama-nama yang ia tau sebagai penunggu rumah Prabon, dan sudah menjadikanya sebagai sebuah Jenggolo.

Suasana sesaat hening, setelah Mbah Toha selesai bercerita. Ia menunduk menunggu Wuri yang terdiam seperti tengah mencerna semua cerita dari Mbah Toha. Yang mau tidak mau memaksa ia mengulas balik peristiwa demi peristiwa di rumah itu.

Sampai membuat matanya panas dan menggulirkan dua air bening, tanpa terasa.
Sebentar Wuri mengusap air matanya, seraya menatap Mbah Toha dengan seulas senyum yang di paksa, membuat Mbah Toha terlihat iba.

"Maaf, Mbah. Untuk urusan ini, saya akan bertanggung jawab dengan Sanjaya. Tapi, karena Sanjaya masih pergi, jadi saya menunggu Sanjaya dulu, Mbah." ucap Wuri sedikit parau.

Mbah Toha terlihat mengangguk pelan, mengerti dan menyadari dengan apa dan semua yang tengah di rasakan sosok Ayu Trah terakhir Rengko Sasmito, yang juga pemegang pusaka simbol Laweyan Lenggan dari Penguasa Pesisir Selatan.

Hari beranjak sore. Wasis, yang sudah di hinggapi rasa bosan, terlihat mondar-mandir. Sesekali matanya menatap gerbang tak berpintu, berharap Tanto segera datang. Namun, dari Langit dengan semburat kemerah-merahan sampai berangsur tertutup awan hitam,-

orang yang di tunggunya tak juga muncul. Bahkan, sudah tak terhitung ia mencoba menghubungi lewat HP, tapi sayang, juga tak bisa tersambung dengan Tanto.

Bosan, penat, dan jengkel membaur di benak Wasis. Ia kemudian memutuskan menutup pintu dan berniat untuk mandi. Akan tetapi, ketika kakinya berada tepat di depan pintu kamar ujung, lagi-lagi rasa penasaran menghinggapinya.

Terdiam Wasis menatap pintu yang tinggal berjarak dua langkah dari tempatnya berdiri. Seperti sedang menimbang-nimbang antara keraguan dan rasa penasarannya. Sampai akhirnya, kakinya mantap melangkah mendekati pintu yang terdapat ukiran bunga di tengahnya.

Perlahan, tangan Wasis mendorong gagang kayu yang menempel di daun pintu tak berkunci. Terdengar suara derit pelan saat sedikit demi sedikit pintu terbuka, lalu berganti sunyi saat pintu sudah terbuka lebar.

Wasis tertegun, menatap ruang kamar yang gelap dan berhawa lembab. Tak ada apapun yang bisa di lihat oleh matanya, namun justru membuat Wasis semakin diburu rasa penasaran.

"Apa yang aneh dari kamar ini? Sampai-sampai tak boleh di buka?" gumam Wasis, sembari melangkah masuk ke dalam kamar.

Wasis kembali mengedarkan matanya, menatapi seluruh ruang kamar yang gelap saat ia sudah berada di dalam kamar.

Tapi, lagi-lagi ia tak menemukan apa-apa. Sesaat, sebelum Wasis yang sudah berniat meninggalkan kamar itu, tiba-tiba matanya di kejutkan dua kerlipan berwarna merah, tepat lurus di depannya.

Seketika Wasis mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kamar, ia beralih dan tertarik dengan dua larik kerlipan yang di rasa menarik baginya.

Setapak demi setapak Wasis lalui sambil terus menatapi dua larik merah, yang di rasanya begitu dekat.

Tanpa di sadari jika keganjilan sudah terjadi. Wasis terus melangkah menembus gelap ruang yang ia lalui, sampai ketika kakinya mulai merasakan lantai teramat dingin, di saat itulah baru ia merasakan keanehan.

Wajah Wasis mendadak pucat, saat menyadari ada hal yang tak masuk akal. Di mana ia awal memasuki sebuah kamar yang hanya berukuran 2x3, tapi kini dirinya seperti menyusuri lorong-lorong gelap tanpa ujung.

Wasis benar-benar panik, tanganya meraba-raba seperti ingin memastikan. Namun, hanya dinding lembab yang tersentuh jarinya, membuat ketakutannya mencuat setelah yakin jika ia memang berada di suatu tempat yang tak dirinya ketahui.

Sebentar Wasis terdiam, mencoba berpikir tenang sembari sesekali berteriak meminta tolong. Tapi, teriakan-teriakan Wasis hanya menghasilkan pantulan suaranya sendiri yang menggema. Dengan tubuh gemetar Wasis kembali berjalan menyusuri lorong lembab nan gelap tanpa tau arah.

Berharap akan ada jalan baginya untuk bisa keluar. Sampai pada titik di mana tubuhnya terduduk lemas, Wasis di kejutkan dengan suara riuh dari arah depanya.

Setitik harapan seketika memancar dari sorot mata Wasis. Yang kemudian memaksa tubuhnya untuk bangkit, mengayunkan langkah kaki penuh semangat dan berharap bisa segera lepas dari ketakutan yang menderanya.

Wajah Wasis sejenak menyirat satu kelegaan, ketika menemukan ujung lorong bercahaya terang. Bukan hanya itu, suara riuh yang membuat dirinya bersemangat juga terdengar dari arah ujung lorong, membuatnya yakin jika itu adalah jalan keluar dari lorong menakutkan berhawa lembab.

Wasis terlihat bisa bernafas lega, setelah sampai di ujung lorong dan mendapati tempat terang yang ramai. Ia sempat terduduk dan sebentar membaringkan tubuhnya, melepas rasa takut dan meredam nafasnya yang masih memburu.

Namun tak berapa lama setelah Wasis terlihat tenang, mendadak wajahnya kembali menegang, ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau wangi Kamboja yang teramat menyengat. Buru-buru Wasis bangkit untuk memastikan bau kembang, yang ia tau adalah kembang kuburan.

Matanya menatap tempat lapang yang terang dengan banyak manusia bersliweran hilir mudik. Satu persatu Wasis menatap tiap-tiap orang yang berjalan dekat dengan tempatnya berdiri. Lama Wasis terbengong, bingung dengan keadaan di sekelilingnya.

Keanehan kembali ia rasakan ketika mengamati seluruh tempat layaknya tanah lapang yang sangat asing baginya. Apalagi, saat dengan seksama matanya melihat orang-orang yang berlalu lalang, Wasis semakin merasakan keganjilan.

Di mana, wajah dan kulit tubuh mereka semuanya putih memucat serta terdapat bulatan hitam di mata luarnya.

Tapi, yang membuat tubuh Wasis seketika merinding ketakutan adalah bau wangi bunga Kamboja, ternyata bersumber dari tubuh mereka.

***

"Di mana Aku?"

Wasis bergumam dalam hati. Ia benar-benar merasa asing dengan tempat dan setiap sosok yang ada di sekitarnya. Suatu tempat berhawa lembab tanpa Wasis tau arah Timur dan Barat.

Perlahan, Wasis yang sudah tersusupi rasa takut, melangkahkan kakinya. Melewati dan bersimpangan dengan sosok-sosok berwajah pucat, serta tubuh beraroma wangi bunga Kamboja. Mereka berjalan, berlalu lalang dengan diam. Tatapan mereka kosong, tak memperdulikan kehadiran Wasis.

Selangkah demi selangkah Wasis menapak lantai tanah dingin. Berharap akan menemukan jalan ataupun sesorang yang mungkin di kenalnya. Namun, sampai beberapa saat lamanya, Wasis tetap tak menemukan apapun yang menjadi harapannya.

Wasis baru menghentikan langkahnya sejenak, kala melihat sebuah gapuro bersusun batu bata merah dgn tinggi tiga kali tubuhnya. Meski merasa aneh, Wasis dengan sisa-sisa keberanian tetap meneruskan langkahnya, menjejaki lima tingkat tangga batu berlumut dan masuk ke dalam gapuro.

Tapi, sebentar kemudian, setelah menuruni dan dua langkah masuk, tubuh Wasis diam terpaku. Matanya terbelalak, menatap ngeri puluhan sosok di dalam gapuro.

Sosok-sosok bertubuh jangkung, kurus kering kerontang tanpa daging, dan hanya seperti tulang berbalut kulit berwarna hitam gelap. Namun, saat sosok-sosok itu bersamaan menatap Wasis, kengerian kembali terlihat dari bola-bola mata mereka yang putih rata.

Lutut Wasis seketika goyah. Tubuhnya gemetar hebat, ketakutanya memuncak, manakala sosok-sosok yang menyadari kehadirannya perlahan mendekat. Langkah mereka pelan tak bersuara, seolah tak berpijak tanah.

"Brrukk!"

Wasis tersungkur, tertunduk dengan lutut menopang.

Sekeilas ia masih melihat kaki-kaki kurus hitam tinggal beberapa jengkal dari tempatnya, sebelum sesuatu ia rasakan melilit kuat tubuh lemahnya.

Wasis mencoba mencari tau tentang apa yang membekap tubuhnya, ia mengangkat wajahnya, melihat lembar-lembar putih yang entah datangya dari mana tib-tiba sudah menempel kuat. Ia berusaha memberontak, dengan sisa tenaga yang tak seberapa, namun sia-sia.

Sebentar mata Wasis menatap lurus ke depan, di mana dari sebuah bangunan seperti pendopo, keluar sesosok tinggi, dua kali lebih tinggi dari sosok-sosok yang berada di depannya. Matanya menyorot putih tajam sebesar kepalan tangan,-

menunjukan satu amarah yang meletup, saat kilat-kilat merah menyambar di sekitaran tubuhnya.
"Pllaakkk!"

Tubuh Wasis mendadak panas, setelah merasakan tamparan lumayan kuat pada bagian kepala belakang, hingga sesaat kemudian membuat kepalanya sangat berat dengan mata melemah meski hanya untuk sekedar mengerjap.

"Bbblluukkk"

Kuat, tubuh Wasis terhempas ke tanah, membuatnya kembali tersadar dan membuka mata perlahan.

Erangan dan lenguhan pertama kali yang keluar dari mulut Wasis, saat merasakan tulang-tulang di tubuhnya seperti remuk. Ia hanya mampu terbaring lemah sambil meringis, sebelum beberapa tangan mencengkram lenganya dan cepat-cepat menyeretnya menjauh dari tempat itu.

"Bocah ora sopan! Kakean polah! Kewanen! Kemendel!" (Anak tidak sopan! Kebanyakan tingkah! Terlalu berani!)"

Umpatan-umpatan keras dan sengit, mendadak memenuhi rongga telinga Wasis. Membuatnya kembali berpikir dan berusaha memulihkan ingatannya.

Sedikit demi sedikit Wasis mencerna, mencoba mengenali sekitar tempatnya kini berada. Ingatan Wasis sebentar terbantu dengan beberapa sosok yang berdiri membelakanginya, menyadarkannya, jika ia kini tengah terduduk menyandar di tembok dinding teras.

Meski belum sepenuhnya mengerti tentang apa sebenarnya yang tengah dirinya alami, tapi Wasis kini tau dan yakin, bahwa ia telah berada di alam nyata. Bertambah keyakinanya saat melihat dengan jelas salah satu sosok yang baru saja mengumpat dirinya dengan sengit, Mbah Toha.

Wajah Wasis bertambah lega, dengan kemunculan seorang teman kerjanya, Tanto, yang mendekati dan menyodorkan segelas air putih padanya.

"Syukur, Sis, Kamu selamat. Nih, minum dulu."

Wasis segera menerima segelas air yang di sodorkan, tanpa menghiraukan ucapan Tanto. Tapi baru dua teguk, mendadak Wasis memuntahkan air di mulutnya. Wajahnya menegang menatap Tanto, yang terlihat santai.

"Air apa, ini To?" tanya Wasis lirih, sambil mengusap lidahnya pelan.

"Ini air sudah di doain sama Beliau, biar kamu bebas dari pengaruh Syetan yang memburumu," sahut Tanto, seraya menunjuk sesosok lelaki bersorban yang berdiri berdampingan dengan seorang lelaki muda, tengah menghadap sebuah pohon besar nan tinggi menjulang.

"Udah, kamu habisin aja. Jangan dipikir rasanya, yang penting kamu bisa pulih kembali." Tanto kembali menyodorkan gelas berisi sisa air yang tadinya tak ingin Wasis minum lagi. Namun setelah mendengar penjelasan Tanto, Wasis akhirnya memaksakan diri meneguk habis sambil meringis.

Setelah merasa lebih baik, Wasis kembali mencoba mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami. Dari awal sampai akhir ia menuntut, tapi sebelum semua terekam dalam memori otaknya,-

ia di kejutkan dengan suara bising disertai gemuruh angin dari pohon besar yang berada di hadapan dua sosok lelaki bersorban dan lelaki muda.

"Cepat! Bawa temanmu masuk ke dalam!" satu perintah tegas dari suara nyaring sosok perempuan yang berdiri di samping Mbah Toha,-

menambah rasa tegang mencekat dalam diri Wasis, yang baru saja sedikit dan sebentar merasakan kelegaan.

Sepintas Wasis masih bisa melihat ketegangan dan suasana mencekam tempat itu, sebelum Tanto memaksa mengangkat tubuhnya dan memapah masuk ke dalam.

Namun dalam batin, Wasis yakin jika yang tengah terjadi di halaman belakang itu, ada kaitannya dengan apa yang baru saja ia alami.

"Sekarang jadi urusanmu. Abah, akan membantumu dengan Do'a."

Seraut wajah tenang penuh wibawa, dengan seulas senyum berkharisma, menatap dan menepuk pelan pundak sesosok lelaki muda, yang berada di sampingnya.

Meski keadaan saat itu, di halaman belakang, tepatnya di depan sebuah pohon besar nan tinggi menjulang, sangat mencekam.

Namun, tak tersirat sedikit pun rasa takut di wajah sesosok lelaki bersurban yang perlahan mundur, menjauh dari tempatnya berdiri bersama sang lelaki muda. Memberi kesempatan pada sang pemuda untuk merampungkan urusanya.

Sang pemuda sendiri hanya mengganguk pelan, menunduk sebentar, dan kembali tegak berdiri menghadap pada pohon di depannya.

Bersamaan dengan itu, dari arah pohon, angin kencang kembali bergemuruh kencang, menghempaskan daun-daun dan ranting kering berguguran ke tanah.

Tak hanya itu, satu helaan nafas kemudian, dari balik pohon tua yang tinggi menjulang, bau gosong menyengat tiba-tiba tercium pekat, menjadi awal kemunculan puluhan siluet hitam, melayang dan berdiri mengelilingi sang pemuda.

Kini, nampak jelas wujud dari puluhan sosok yang sudah tegak, meski hanya terpapar cahaya redup dari lampu teras. Wujud layaknya tulang belulang tanpa daging, terbungkus kulit hitam. Hanya saja mata sosok-sosok itu tampak putih rata, menyorot tajam pada Sang pemuda.

Ketegangan terlihat dari wajah sang pemuda. Walaupun tak tersirat rasa takut, saat dirinya harus berdiri sendiri menghadapi puluhan Mahluk mengerikan. Padahal, di belakangnya, di dalam teras, nampak tiga sosok laki-laki dan sesosok perempuan ikut menyaksikan.

Dari ke empat orang itu, hanya wajah sosok perempuan berkebaya hitam dan bersanggul tampak menggurat kecemasan. Sebab dirinya tau, yang tengah di hadapi sang pemuda bukanlah Makhluk sembarangan.

Tapi dirinya juga sadar, jika yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk tinggi hitam itu adalah sang pemuda, di karenakan dalam darahnya mengalir darah Pancer dari dua TRAH besar yang menjadikanya seorang Getih Penggarep.

"Duh, Gusti. Lindungi dan bantu Anakku!"

Gumamnya lirih, saat melihat puluhan Makhluk tinggi hitam mulai berkelebat mengerumuni Sang pemuda.

Sang pemuda sendiri yang tak lain, Sanjaya, terlihat tak bergeming. Ia masih tegak berdiri menyungging senyum sinis, meski aura hitam pekat mengelilinginya.

Sejenak, suara gemeretak panjang mengeluarkan percikan-percikan api, membuat hawa sekitar panas. Suasana semakin mencekam manakala Sanjaya, mengeluarkan sebilah keris bergagang kepala naga, bermata batu hijau.

Riuh ramai sesaat halaman belakang. Di mana kilatan-kilatan hitam saling bertemu, berbenturan, menimbulkan suara gemuruh. Angin semakin berhembus kencang, menyamarkan pandangan, ketika sosok-sosok jangkung,-

menjadi siluet-siluet membentuk gumpalan hitam berkabut, bergulung-gulung mengurung Sanjaya.

Tak lama setelahnya, hawa panas tiba-tiba begitu kuat menyengat, yang di susul satu dentuman keras terdengar, saat gumpalan-gumpalan hitam pecah dan memudar menjadi bayang-bayang.

Kelegaan sejenak terpancar dari wajah merah Sanjaya, melihat puluhan sosok jangkung hitam yang mengroyoknya sirna. Namun, itu tak bertahan sampai lima tarikan nafas, sebab sebentar kemudian,-

mendadak kabut-kabut hitam lebih tebal dan pekat muncul bersama liringan bola-bola api memancar putih, dan menghantam Sanjaya.

Sanjaya terpekik, terkejut dengan kekeuatan besar di balik bola-bola api itu.

Hingga saat kembali benturan tak terhindari, tubuh Sanjaya terpental jauh kebelakang.

Wajah Sanjaya kini terlihat pucat. Matanya nanar menatap gumpalan kabut hitam yang di kelilingi bola api, berubah dalam sekejap menjadi satu sosok hitam yang tingginya tiga kali dirinya.

Sosok dengan sepasang mata putih rata sebesar kepalan tangan terdengar menggeram berat, seperti sedang menahan sebuah letupan amarah.

"Jahanam! Tak akan ku biarkan siapapun menghancurkan Jenggoloku. Termasuk, Kamu! Hai....Anak manusia!" Keras menggelegar, suara bentakan dari sosok yang menatap nyalang pada Sanjaya.

Bukan hanya Sanjaya, saat itu terlihat panik. Tapi juga pada ketiga sosok yang berdiri menyaksikan dari teras. Hanya satu wajah yang terlihat masih tenang, wajah dari seorang lelaki berbadan tegap yang terhitung dan memiliki gelar AHLUL BAIT.

Sanjaya perlahan bangkit, setelah mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Rasa sesak serta nyeri di dadanya, seolah tak terasa lagi ketika mendengar amarah sosok mengerikan di depannya.

Ia kembali menggenggam erat keris kecil berkepala naga yang berada di tangannya, bersiap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya.

"Sanjaya! Teteskan darahmua pada keris itu, cepat!"

Sedikit terkejut Sanjaya mendengar suara melengking, di belakangnya. Suara yang sangat ia kenal milik Ibunya, seketika mengingatkannya akan pesan awal sebelum ia dan Ibu serta Sang Ahlul Bait,-

gurunya, datang untuk membebaskan rumah prabon yang di jadikan Jenggolo oleh sosok Jrangkong yang kini ada di hadapannya.

Sadar akan hal itu, Sanjaya mundur dua langkah. Lalu dengan setengah memejamkan mata, ia menggoreskan ujung keris pada tangannya.

Seketika darah merah mengalir dari bekas goresan. Walau tak deras, namun cukup untuk membaluri ujung keris hingga pada lekukan ke tiga.

Tawa keras dari sosok hitam sesaat menggema, melihat kesiapan Sanjaya, dengan sebilah keris kecil Laweyan Lenggan yang sejatinya milik Ibunya. Tanpa menyadari jika keris yang kini telah terolesi darah dari sang Getih Pengarep, mengandung sebuah kekuatan luar biasa.

Dengan di awali bentakan dan teriakan keras, Sanjaya berlari maju ke depan, sambil menghunuskan keris. Kilat-kilat kuning ke emasan seketika memenuhi dan menerangi tempat sekitar, berasal dari keris Laweyan Lenggan yang di sabetkan Sanjaya.

Kini riuh desingan angin bercampur kilatan berasap kembali memenuhi halaman belakang.

Entah berapa kali letupan-letupan kecil terjadi saat kilatan keemasan menghantam gumpalan hitam yang melindungi tubuh jangkung sosok Jrangkong.

Sampai akhirnya, di satu kesempatan, Sanjaya yang tepat berada di depan sosok Jrangkong, menerjang kencang dengan hunusan keris ke tubuh hitam Jrangkong.

Seketika itu, asap hitam membumbung tinggi, sebelum suara layaknya ledakan dan geraman terdengar keras membahana sampai menggetarkan sekitaran halaman. Jeritan tak kalah melengking juga sebentar kemudian menyusul,-

saat Wuri, Ibu Sanjaya, melihat Sang Geteh Pengarep, Anaknya, terpental jauh dan terguling-guling.

Saat itu juga, Wuri berlari menghampiri Sanjaya. Naluri sebagai seorang Ibu seketika tergugah mendapati Anaknya terkapar berlumur darah.

Tangis Wuri tak mampu terbendung saat mengusap darah yang keluar dan mengalir dari bibir dan hidung Sanjaya.

"LAA HAULAA WALAA QUATA ILLAA BILLAAH"

Sejenak Wuri menolehkan kepalanya, mendengar suara lantunan Kalimah Suci dari Ahlul Bait yang memang ia percaya sebagai penuntun Anaknya. Lenguhan juga sebentar terdengar dari Sanjaya, yang mencoba bangkit dari pangkuan Ibunya.

"Apa ini sudah berakhir?" lirih suara Sanjaya, bertanya.

"Sudah, Nak. Makhluk itu sudah kembali ke asalnya."

Kelegaan seketika memancar dari wajah Sanjaya, mendengar jawaban sosok yang sedikit demi sedikit telah menuntunya keluar dari garis hitam, leluhurnya.

Akan tetapi, baru saja Sanjaya yang berjalan tertatih dengan di bantu Ibu dan Gurunya baru memasuki teras, mereka di kejutkan satu teriakan dari dalam.

Buru-buru ketiganya masuk dan memastikan yang terjadi.

Sesaat, ketiganya terhenyak, melihat Tanto menangis pilu di samping sebujur tubuh membiru yang tengah di pangku Mbah Toha. Tubuh itu kaku meregang. Matanya melotot, mendongak ke atas, seolah merasakan sakit luar biasa, sebelum nafasnya terputus.

"Fandi...!" Tanto masih begitu histeris, melihat kematian Fandi, yang tak di sangkanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un," ucap Sang Ahlul Bait, ketika ikut memeriksa keadaaan Fandi yang benar-benar sudah tak bernyawa.

Sanjaya dan Wuri terlihat saling pandang. Bibir keduanya sama-sama kelu, melihat satu korban lagi, akibat kutukan Lemah Ireng Jalasuto. Meskipun kini Jenggolo sudah berhasil di hancurkan oleh Sanjaya, namun harus di bayar nyawa Fandi, sahabat Sanjaya.

Wasis, yang belum sepenuhnya pulih terlihat bibirnya bergetar, melihat sahabatnya meninggal dengan tragis. Air matanya deras mengalir tanpa ia sadari. Jiwanya sangat terguncang saat itu, hingga hanya isakan yang mampu keluar dari tenggorokannya.

"Rupanya iblis itu tak mau melepas dan ikut membawa pergi sukma nak Fandi," ucap Mbah Toha yang baru saja selesai mengatupkan kedua mata Fandi.

"Untuk sementara, kita urus jenazahnya. Dan urusan rumah ini, tolong kosongkan dulu selama 41 hari. Setelah itu, Insya Allah saya sendiri yang akan membersihkannya dari aura hitam lainya."

Sang Ahlul Bait, sejenak menarik nafas panjang setelah berucap. Kemudian menatap tubuh Fandi yang sudah tak bernyawa sembari melantunkan doa, membuat yang lain terdiam mengamini.

SELESAI
close