Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 1) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil

“Pakaianku dilucuti satu persatu, kemudian lelaki berwajah sangar itu menyetubuhiku dengan brutal!
Setiap inci dari tubuhku di gores dan di sayat dengan keris miliknya. Aku merintih kesakitan. Dan Mami hanya melihatku dengan tawa yang sangat puas.

Ingin rasanya aku berteriak, tapi mulutku di bungkam dengan kain. Berkali-kali aku meronta, memohon, sampai air mataku habis. Tak ada rasa kasihan sedikit pun dari mereka berdua yang sedang melihatku kesakitan.

Yang ada di pikiranku saat itu, mungkin ini adalah hari terakhir aku hidup. Dan bisa aku pastikan! Dendamku dengan orang-orang ini akan tumbuh meski jasadku sudah mati!”


KINASIH Part 1
Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil

“Aku ngerti, koe ki seko keluarga ra mampu! Tapi mbok ya nek kerjo ki sik bener! Mosok pelanggane do protes kabeh! Jane koe ki iso nglayani ora to!”

(Aku tahu, kamu itu dari keluarga yang tidak mampu! Tapi mbok ya kerja itu yang benar! Masak pelanggan pada protes semua! Sebenarnya kamu itu bisa melayani tidak, sih!)

Sengit dan keras, suara yang keluar dari bibir wanita umur 60an, yang ada di hadapanku. Wanita yang selama ini memperkerjakanku dan beberapa gadis setengah matang, menggaji, memberikan seluruh fasilitas yang ada di sebuah rumah bak istana ini.

Ingin sekali aku memaki dan menghantam dengan pukulan, namun aku tahu siapa dia. Tapi dengan sikapnya yang arogan itu, membuatku muak dan tidak betah. Kalau saja bukan karena dia, mungkin aku tidak sekaya ini. Aku masih mencoba untuk menerima dan sabar.

Untuk terakhir kali ini saja, setelahnya, mungkin akan aku habisi.

“Lastri! Koe ki ngrungoke omonganku ora! Kae lho deloken Murni, pinter! Awakmu ki apik, tapi ngopo pelayananmu ra apik! Opo kurang bayarane!”

(Lastri! Kamu itu mendengarkan tidak! Itu lho Murni, pintar! Tubuhmu itu bagus, tapi kenapa pelayananmu tidak bagus!)

Masih sengit dan ketus wanita paruh baya yang biasa di panggil Mami oleh anak-anaknya, termasuk aku. Sampai sekarang pun Murni yang menjadi perbandingan.

Aku memang mengakuinya. Dia memang primadona di sini, tapi aku tahu rahasia dibalik Murni sebenarnya. Kenapa dia bisa seberuntung itu, kenapa dia selalu unggul, itu karena sesuatu yang dipakainya.

“Iya, Mi. Maafin Lastri.”

Aku masih mencoba untuk tetap tenang. Tapi setenang apa pun itu, wanita yang sudah bau tanah itu tidak mudah menyerah untuk memaki semua pekerjanya, jika melakukan kesalahan. Apalagi kalau pelanggannya sampai tidak puas dengan pelayanan kami.

“Awas! Kalau sampai aku menerima keluhan lagi! kamu! Lastri! Tidak akan aku gaji!” seru dan bernada mengancam, ucapan Mami kepadaku.

“Iya, Mi. Sekali lagi maafkan Lastri.” Jawabku, sebelum meninggalkan ruangan yang penuh dengan energi kematian. Sesekali aku bergumam.
“Bagaimana caranya mematikan wanita tua itu! Aku masih mencari cara dan waktu yang tepat.-

-Mungkin aku bisa mengajak salah satu pekerja untuk bersekongkol!”

Selepas dari itu, aku masuk ke kamar. Sejenak aku berdiri di belakang pintu sembari menangis terisak penuh amarah. Ingin sekali aku mengakhiri semua ini. Entah mematikan dia atau aku yang harus mundur.

Tapi aku tahu betul bagaimana isi perjanjian pekerjaan ini. Kalau sampai aku keluar dari pekerjaan ini, mungkin keluargaku yang akan menanggung malu. Aku tidak bisa dan aku tidak mau membuat keluargaku demikian.

Malam itu aku sendirian dikamar, tak ada satu pun tamu atau pelanggan yang mau memilihku. Mungkin ini karena Mami masih kecewa denganku. Ah sudahlah... aku tak mau mikirin masalah ini lagi, paling besok baikan lagi. gumamku penuh harap.

Sementara hanya musik yang menjadi temanku malam ini, rasanya mataku lelah, ingin terpejam namun masih enggan untuk terlelap. Entah itu karena masih emosi atau hanya perasaanku saja.

***

“Tok... tok... tok.”

Suara pintu kamarku di ketuk, entah siapa yang mau masuk, aku belum tahu. Yang pasti aku sedang merias wajahku secantik mungkin, agar siapa pun yang akan masuk kali ini, terpesona dengan kecantikanku.

Tak lama, seorang lelaki mungkin seumuran, masuk. Tampaknya dia masih malu-malu, mungkin ini adalah pertama kalinya dia masuk ke dunia gelap seperti ini. Tapi aku tetap bersikap profesional, aku tetap akan melayani dengan sepenuh hatiku.

Kalau di lihat dari pandangannya, sepertinya lelaki ini terpesona denganku. Terlihat dari bagaimana cara dia memandangiku dari atas hingga bawah.

Tatapan matanya seolah ingin menerkam tubuhku yang hanya berbalut kain tipis warna putih, membuat kemolekan tubuhku jelas terlihat walau samar. “Kamu tidak salah memilihku, Mas.” batinku

Karena cerita selanjutnya, tanpa ada obrolan apapun, dia langsung mengajakku bergumul di atas ranjang tebal yang sudah tersedia di kamar. Entah berapa menit, jam berlangsung, karena setelah itu, kepuasan yang aku dapatkan dari seorang lelaki berwajah tampan tersebut.

Sebentar lelaki itu merogoh saku celana, mengeluarkan beberapa lembaran uang, sebelum keluar meninggalkanku dengan kecupan dari bibir tipisnya.

“Terima kasih, Mbak.” ucapnya sebelum menutup pintu dan berlalu.

“Ah... rasanya seperti terbang ke langit dengan seorang pangeran berkuda terbang. Apalagi dengan tips tambahannya.”

Itu adalah kali pertamaku melakukan hubungan dengan lelaki setampan itu.

Karena bisa ditebak, pelanggan atau tamu yang datang kebanyakan pria paruh baya yang sudah beristri. Entah sampai kapan aku harus seperti ini? Sebenarnya aku lelah, aku ingin hidup normal dan mempunyai suami seperti orang-orang yang di luaran sana.

Tapi, keadaan yang mengharuskan aku seperti ini. Entahlah.

“Dug... Dug... Dug” Suara benturan antara tembok dan benda keras lainnya terdengar. Sesekali juga terdengar suara perempuan bernada mengerang, yang semua orang pasti tahu maksudnya. Membuatku terkejut dan terbangun.

Sejenak aku terdiam sembari melirik jam dinding yang tertempel di atas pintu.

“Ah... masih jam 1 malam! Ternyata aku mimpi.” Gumamku.

Sedangkan ponselku yang sedari tadi menyala, baterainya sudah hampir habis. Memaksaku untuk bangkit dan mencolokkan charger ke stopkontak.

Awalnya aku ingin keluar kamar, tapi tertahan oleh sesuatu yang sedikit mengganggu pandanganku. Tepatnya di sudut kamar sebelah kiri, bersebelahan dengan meja rias. Di sana, tepatnya di balik horden warna abu-abu, aku melihat sekilas ada sepasang mata sedang memperhatikanku.

Tapi setelah aku sibak horden tersebut, aku tidak menemukan apapun di sana. Mungkin efek bangun tidur, aku jadi berhalusinasi. Pikirku.

***

Entah sudah berapa menit aku terpaku dalam kesunyian malam, rasa kantuk menuntun mataku untuk terlelap. Pulas dan nyenyak, tak terganggu lagi oleh suara apapun sampai tengah malam berganti pagi. Melupakan sejenak masalah pekerjaan dan kejadian yang membuat emosi sesaat.

Satu sentuhan di lengan, segera mengakhiri buaian mimpiku. Aku terbangun dengan tergagap kala netraku mendapati sosok perempuan cantik sudah berada di hadapanku.

Aku masih terpaku dengan kecantikan perempuan ini, rasanya aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Apakah dia pekerja baru? Atau siapa pun dia, yang jelas benar-benar cantik. Aku bangkit dan kemudian duduk bersender ditembok kasur.

“Kenapa heran, Las? Ini aku Murni. Apakah penampilanku cantik sampai kamu tidak bisa mengenali? Hihi...” celetuk perempuan yang dirinya sebut Murni, yang di akhiri dengan ketawa kecil manja.

“Oh enggak, Mur. Aku sudah tahu kalau itu kamu. Lagian, kamu mau apa masuk ke kamarku?” sahutku beralasan, balik bertanya.

“Ada perlu apa?” sambungku.

“Tenang, Las. Aku kesini cuman mau membangunkan saja.” Jawab Murni, sembari menyibak horden, yang membuatku memalingkan wajah karena silau.

“Ah sialan!” gumamku.

“Kalau tidak ada kepentingan, mending kamu keluar deh.”

Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Murni kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di kamar dengan sedikit rasa jengkel. Kalau di pikir-pikir, Murni masuk ke kamarku kalau tidak untuk pamer, apalagi? Dasar perempuan pamer. Cantikmu itu karena susuk, bukan seperti namamu, Murni!.

Harapan pagiku yang cerah, sirna karena kelakuan Murni. Aku tidak akan tinggal diam. Lihat saja siapa yang akan menjadi primadona selanjutnya. Kurenggangkan otot-otot tubuhku yang kaku, kemudian beranjak dari kamar dan memulai aktivitas pagi ini seperti biasanya.

Pergi ke warung makan dan kembali lagi bekerja. Hampir setiap hari seperti itu. Entah kenapa, rasanya malu untuk bersosial di alam luar sana, yang aku takutkan hanyalah jika ada seseorang yang mengenaliku, mengetahui kalau aku bekerja di daerah sini.

Apalagi jika sampai Mami tahu, Mami tidak akan membolehkan semua pekerjanya untuk keluar berlama-lama. Keluar hanya untuk membeli makan, karena untuk keperluan lainnya sudah di siapkan di sini.

Seperti halnya malam itu, selepas isya. Para pelanggan dan tamu mulai berdatangan. Beberapa pria hidung belang yang kebanyakan sudah berusia 50an dan berkeluarga, mulai menampakkan wajahnya. Beberapa dari mereka juga sudah sering mampir selepas bekerja.

Alasan klasik, rapat atau meeting pasti mereka ucapkan kepada istri-istri mereka.

Akhirnya setelah melayani hasrat dari beberapa tamu dan pelanggan, tubuhku rasanya lelah sekali. Ingin rasanya aku tidur secepatnya, tapi lagi-lagi tertahan oleh sesuatu yang ada di balik horden.

Sejenak aku terpaku, memandangi horden yang tiba-tiba saja bergerak, padahal tidak ada angin yang masuk. Rasa penasaran menuntunku untuk mendekat, memastikan ada apa dibalik horden itu.

Dengan langkah pelan aku dekati, mungkin dua langkah lagi aku sampai, tapi kenapa perasaanku mendadak tidak enak seperti ini. Sebenarnya ada apa di sana? Ku hembuskan nafas berat, pelan-pelan tanganku memegang horden.

Dan “Sreeeeek” horden terbuka lebar. Kosong! Tidak ada apapun di situ. Lalu kenapa tadi bisa bergerak sendiri? Sebentar. Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang janggal di kamar ini. Baru kali ini aku merasakan demikian.

Aku masih berdiri dalam diam. Masih mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tapi rasa takut mulai muncul. Sepertinya ada seseorang sedang berdiri di ujung sudut kamarku. Tepatnya di belakang. Perlahan aku menoleh, pelan sekali.

Hingga kepalaku bisa sepenuhnya menoleh, di sana, persisi seperti yang aku katakan sebelumnya, tepat di ujung sudut kamar. Sosok perempuan sedang berdiri menunduk, mengenakan setelan daster motif bunga, tapi wajahnya tertutup rambut panjangnya.

Aku palingkan wajahku kembali seperti semula, jantungku mulai berdetak tak beraturan, rasa takut mulai menjalar. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba ada di sana?
Suasana malam yang semakin mencekam. Tiba-tiba ada suara perempuan menangis, suaranya lirih tapi sangat menyayat sekali.

Seperti orang yang sedang merasakan sakit. Aku beranikan untuk menoleh kembali. Ternyata dia masih ada di sana, namun posisinya sudah berbeda. Iya.. dia sekarang sedang duduk di sudut kamar sembari menutup wajahnya dengan kedua lutunya.

Perlahan aku mendekat, bagaimana caranya agar tidak menimbulkan suara. Takut jika dia tiba-tiba mengetahui kalau aku sedang ke arahnya. Nyaris sampai, tapi kali ini aku di buat terkejut. Bukan dari suara tangisannya, melainkan sosok perempuan itu menghilang.

Sejak kapan dia menghilang? Padahal aku benar-benar memperhatikan. Nyaris saja aku pingsan karena ketakutan, tapi aku masih bisa menahan. Mencoba untuk tenang dan berhasil. Aku bisa menenangkan diriku sendiri.

Sembari terduduk di kursi rias, aku menarik nafas dalam-dalam, masih mencoba mencerna semua kejadian janggal malam ini. Pikiranku melayang, apa sosok perempuan ini ada hubungannya dengan catatan yang aku baca di almari itu?

Sejenak aku melamun sembari menerka-nerka, mencoba mengumpulkan potongan-potongan puzzle yang selama ini membuatku penasaran.
Aku bangkit dan berjalan ke arah almari kayu warna coklat. Sembari mengingat kembali, di mana aku menyimpan catatan itu.

“Oh iya, aku ingat, ada di loker.”
Setelah menemukan buku kecil, aku coba untuk membacanya kembali. Tertulis sebuah nama di halaman paling depan “Kinasih”. Siapa dia? Apakah dia adalah penghuni kamar ini sebelumnya?

Kalau di lihat dari tulisannya, ini benar-benar rapi dan bagus. Aku penasaran dengan isi tulisannya, pasti orangnya cantik. Dia seperti menuliskan semua kisahnya di dalam buku kecil ini. Tapi kenapa ada kalimat yang membuatku merinding. Ini maksudnya apa?

“TOLONG... TOLONG AKU! SIAPA PUN KAMU YANG SEDANG MEMBACA TULISAN INI! TOLONG AKU!”

***

Jawa Tengah di tahun yang tidak bisa disebutkan.

“Nduk, kamu beneran jadi mau berangkat?”
“Iya, Buk. Ini sudah menjadi keputusanku.”
“Terus besok kalau Ibuk mau nanyain kabar, gimana caranya? Ibuk gak bisa pakai hp.”

“Kulo sampun ngabari Dwik, Buk. Mbenjang saget tanglet Dwik mawon.” (Sudah saya kabari Dwik, Buk. Besok bisa tanya Dwik saja)

“Oh yowes, Nduk. Koe sing ngati-ati yo kerjone.” (Yasudah, Nduk. Kamu yang hati-hati ya kerjanya)

“Njih, Buk.”

Malam itu, aku yang baru saja mendapatkan kabar penerimaan pekerjaan, tak mau lagi melewatkan kesempatan ini. Karena dari semua pekerjaan yang sudah aku lamar, menolak semua karena tingkat pendidikanku yang tidak sesuai standar.

Perkenalkan namaku Kinasih. Biasa dipanggil Asih. Aku terlahir di sebuah keluarga yang bisa dikatakan kurang mampu.
Setelah meninggalnya Bapak, Ibuk harus berjuang keras untuk menghidupi keluarga. Walaupun masih cukup untuk bertahan hidup sebulan,

tapi setelah mengetahui pekerjaan Ibuk yang begitu berat, membuatku tak tega. Apalagi adikku yang harus melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP. Membuat pengeluaran bertambah banyak lagi. Aku tidak mau kalau Ibuk harus bekerja keras sendirian.

Di samping aku juga tidak mau kalau adikku berakhir seperti diriku yang hanya lulusan SMP.
Aku tahu, bagaimana perasaan Ibuk yang begitu berat untuk melepas kepergianku. Tapi ini semua juga untuk keluargaku.

Aku tidak mau berakhir hidup seperti ini terus, aku mau membahagiakan Ibuk dan adikku. Aku ingin membangun rumah yang layak, ingin membelikan adik sepeda baru, ingin membelikan apapun yang bisa membuat Ibuk dan adikku senang. Apapun itu akan aku lakukan.

***

Ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja belajar, yang awalnya aku abaikan, kini memaksa untuk menggeliat, merenggangkan otot-otot yang awalnya tegang, mulai melemas.

Awalnya aku masih malas untuk beranjak, tapi setelah ingat kalau hari ini aku ada janji dengan seseorang, akhirnya aku bangkit.
Pagi ini tak seperti biasanya, aku paksa untuk semangat memulai pekerjaan baruku. Setelah sarapan, aku berpamitan dengan Ibuk yang-

kebetulan sedang menjemur pakaian di belakang rumah, sedangkan adikku sudah berangkat sekolah. Sebentar aku teringat dengan adikku, setiap hari adikku harus merepotkan tetanggaku, berangkat bareng menuju sekolah. Sebenarnya aku malu, tapi karena tetanggaku orangnya baik hati,-

ia ikhlas dan sudah menganggap adikku seperti adiknya sendiri. Namanya Dwik, teman sekaligus tetanggaku yang selama ini mau direpotkan.
Sesampainya aku di belakang rumah, aku melihat Ibuk begitu tegar dan kuat. Aku tahu wajah keriputnya yang selama ini menutupi keresahannya,-

mulai tampak ketika beliau melihat penampilanku yang berbeda. Aku juga tahu apa yang sedang dipikirkan waktu itu. Mungkin Ibuk berpikir, sebenarnya pekerjaan apa yang di ambil Asih? Kok sampai dia bisa merubah penampilannya?

Ya... kurang lebih seperti itu, karena dari raut wajahnya aku bisa menangkap keresahannya.
“Buk...”

“Iya, Nduk. Mau berangkat sekarang? Sudah sarapan belum? Itu Ibuk masak masakan kesukaanmu dan adikmu.” jawab Ibuk, yang mulai nampakkan raut wajahnya yang begitu berat untuk melepas kepergianku.

“Sampun, Buk. Enak masakannya. Aku bakal kangen masakan Ibuk kalo kayak gini.”
Sebenarnya aku ingin menangis, tapi aku tahan. Aku tidak mau melihat Ibuku begitu cemas.

“Nduk, sebenere pekerjaanmu apa? Kok penampilanmu ngene banget?” (Nduk, sebenarnya pekerjaanmu apa? Kok penampilanmu gini banget)

“Bikin pangling ya, Buk? Tambah ayu njih, Asih?” jawabku mengalihkan saja. Sebenarnya berat kalau aku harus jujur, tapi mau bagaimanapun aku tidak bisa berkata demikian kepada Ibuku sendiri. Aku tahu itu dosa, tapi... sudahlah yang penting aku ingin Ibuk dan adikku bahagia.

Itu saja tujuanku.

“wis buk. kinasih budhal dhisik. ibuk kalian Ratih sehat-sehat njih ten omah. Mangkeh yen pun dugi, kulo kabarin, ben dwik sing ngaturi.”

(Sudah Buk. kinasih berangkat dulu. ibuk sama Ratih sehat-sehat ya di rumah. nanti kalau sudah sampai, aku kabarin, biar Dwik yang menyampaikan.)

“Yowes, Nduk. Sing ngati-ati ya. Ojo sampe lali ibadah. Ibuk neng kene ndongakne anake ben sehat lan sukses.” (Yasudah, Nduk. yang hati-hati. Jangan sampai lupa ibadah. Ibuk disini mendokan biar kamu sehat dan sukses.)
“Njih, Buk. Asih pamit.”

“Maafkan Asih, Buk. Asih tidak bisa jujur sama Ibuk. Aku tahu Ibuk pasti akan membenciku. Mungkin Ibuk bisa saja tidak menganggap aku anakmu lagi. Tapi aku terpaksa, Buk. Sekali lagi maafkan aku, Buk. Biar Asih yang menanggung dosa ini.” Gumamku.

Iringan isak tangis dari ibuku, menghantarkan suasana haru di sebuah persimpangan jalan tanah bergelombang, yang di kanan kiri masih banyak perkebunan tebu dan jagung. Sesekali aku mengangguk dan bertegur sapa ketika berpapasan dengan warga.

Aku tahu ini akan menjadi terakhir kali aku menginjakkan kaki di tanah kelahiranku.
Kurang lebih 30 meteran, setelah melewati belokan yang menjadi jalan akhir aku bisa melihat sosok Ibu, sebelum sebuah bus merangkak pelan, melaju meninggalkan tempat kelahiranku, menuju tempat di mana bakal menjadi sejarah kelam nan panjang.

Antara sedih dan bahagia, mungkin itu yang sedang aku rasakan. Sejenak aku terdiam, menatapi tepian jalan yang di lewati kendaraan yang aku tumpangi, terhanyut dalam pikiranku sendiri.

Tak berapa lama, sekira perjalanan setengah jam, bus berhenti di sebuah toko pinggir jalan. Menghampiri seorang perempuan berperawakan tinggi, berkulit bersih dengan setelan layaknya orang kaya.

Sosok perempuan yang bakal membawaku dan menjanjikan pekerjaan dengan upah lumayan. Sebenarnya aku sendiri juga masih bingung, pekerjaan apa yang mengharuskan aku berpakaian seseksi ini, lantaran perempuan yang baru saja memperkenalkan namanya Mami itu,-

belum jg menjelaskan secara detail. Ternyata penumpang yg sama denganku di dalam bus ini tidak hanya aku saja, melainkan ada sekitar sepuluh perempuan yg berpakaian nyaris sama, sama-sama seksi. Itu terlihat ketika si Mami berjalan ke belakang, mengecek jumlah orang yg ia bawa.

Obrolan ringan dengan si Mami menemaniku dalam perjalanan. Selingan canda tawa, terkadang meramaikan dalam bus, mencerminkan suasana keakraban dari semua penumpang. Sebab perjalanan kali ini, khususnya bagiku adalah sebuah pengalaman pertama.

Bukan saja karena jarak tempuhnya yang menjadi alasan, tetapi juga tempat calon untukku bekerja, menjadi bayang harapan untuk kehidupan yang layak dan masa depan lebih baik.

Sekitar lima jam perjalanan, sampailah aku di sebuah tempat pemberhentian bus atau sering disebut terminal. Tak lama menunggu, ternyata sudah di tunggu oleh tiga mobil warna hitam. Aku masuk bersama Mami dan dua perempuan lagi. Selebihnya masuk ke mobil yang lain.

Aku belum tahu nama mereka, mungkin sesampainya aku di tempat kerja, aku akan berkenalan.

***

Cahaya penerang yang menyusup di sela kain tebal pelindung sebuah kamar, menjadi penghantar awal hari. Udara segar segera terhirup, tak kala aku mencium aroma segar dari kipas angin dingin yang tertempel di dinding.

Entah ini efek dari kelelahan atau ada hawa yang lain, karena semenjak aku terbangun dari tidur, aku sudah berada di sebuah kamar yang luas, mungkin berukuran 4x5 meter persegi. Di dalamnya ada sebuah almari kayu warna coklat berukir, meja rias yang bagus, dan kasur tebal.

Berbanding terbalik jauh dengan isi dalam kamarku, yang hanya ada kasur tipis dan almari plastik. Tapi aku tidak perlu mencemaskan lagi, karena pikirku ini adalah kamar yang di katakan Mami, sebuah mes.

Sedikit ramai suasana pagi oleh suara orang dari luar kamar. Aku penasaran suara siapa saja di sana. Akhirnya aku beranjak keluar kamar, berniat untuk berkenalan dengan yang lain, yang sempat terjeda semalam.

Sesampainya aku di sana, beberapa sorot mata yang memandangiku seolah mengintimidasi ketika aku berjalan ke arah mereka. Ada rasa takut dan juga was-was. Namun itu teralihkan oleh suara Mami yang tiba-tiba mengejutkan.

“Halo selamat pagi, Nduk? sudah bangun ya?”
Suara serak dan berat keluar dari bibir Mami, mengejutkanku ketika turun dari tangga.
Aku hanya mengangguk ragu, sembari tersenyum.

“Mreneo, Nduk. Kenalan karo kanca-kancamu.” (Kesini, Nduk. Kenalan sama teman-temanmu)

Tak ada pembahasan yang penting, karena hari pertama aku memulai aktivitas di rumah ini, hanyalah berkenalan dengan seisi penghuni. Ada satu nama yang sampai saat ini aku ingat, namanya Murni.

Dia perempuan paling cantik di sini. Entah kenapa setiap aku berpapasan dengannya seolah ada energi yang menarikku untuk selalu mendekat. Mungkin karena dia mempunyai paras yang cantik atau sesuatu yang lain, atau hanya perasaanku saja? Entahlah aku belum tahu pastinya.

Beberapa peraturan juga di sampaikan oleh Mami kepada kami semua. Awalnya aku masih bingung, kenapa peraturannya seketat ini. Tapi setelah beberapa kali Mami menjelaskan secara merinci, aku baru paham,-

mungkin maksud Mami kenapa dia membuat peraturan sedemikian ketat, agar para karyawannya aman dari kejahatan.

Sore menjelang malam, suasana masih sepi. Aku masih bingung, sebenarnya aku harus bekerja yang bagaimana, karena selama aku ada di dalam rumah ini,

Mami belum memberi instruksi. Akhirnya aku hanya bisa berdiam diri di kamar sembari menulis catatan kecil yang biasanya aku lakukan di rumah. Sampai aku baru tersadar, kalau aku sudah janji dengan ibuk untuk memberi kabar kalau aku sudah di tempat kerja.

“Dwik, ini aku sudah di tempat kerja. Tolong bilangin ke ibuk aku, ya. Di sini aku baik-baik saja. Dan titip pesan juga buat ibuk, jangan terlalu khawatir, karena aku di sini mendapat tempat yang layak.”

Setelah itu, satu kejadian perih harus aku dapatkan. Bagaimana tidak, karena aku harus melayani nafsu lelaki yang ternyata itu adalah tamu pertamaku. Awalnya aku belum tahu maksud Mami memasukkan lelaki ke dalam kamar,-

tapi setelah mendapatkan beberapa bentakan dan tamparan keras, akhirnya aku hanya bisa pasrah. Karena ini sudah menjadi keputusanku untuk bekerja seperti ini. Betapa senangnya tamu pertamaku, gadis desa yang tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan ini,-

harus menjalani perintah dari seorang wanita brengsek demi uang haram. Jadi aku di pekerjakan sebagai pekerja sex komersial. Yang aku kira pekerjaan ini adalah sebagai karyawan yang menjualkan produk lokal, ternyata dugaanku salah besar.

Produk lokal yang di maksud itu adalah para perempuan yang bekerja di sini.

Mulai detik itu, keperawananku hilang dengan lelaki yang bukan suamiku. Aku mulai depresi, stres dan lain sebagainya. Hingga seiring berjalannya waktu, aku bisa menerima pekerjaan ini karena satu hal.

Hal yang tertulis di dalam perjanjian kerja. Kalau sampai aku keluar dari pekerjaan ini, maka seluruh keluargaku harus menanggung malu. Aku tidak bisa membuat keluargaku demikian.

Bulan pertama hingga bulan berikutnya, semua aku kerjakan sesuai prosedur. Aku mulai bisa menikmatinya walaupun dalam hatiku ini berat rasanya. Mungkin kalau ada kesempatan kedua, aku tidak akan mengambil pekerjaan ini. Tapi itu hanya angan-angan yang menurutku mustahil.

Sudahlah, jalani saja. Pikirku.
Hingga suatu ketika, aku menyadari sesuatu ada yang tidak beres dengan Mami. Tepatnya dini hari, ketika aku tidak sengaja ingin keluar kamar dan menemui Murni di kamarnya.

Langak-langkah ringanku menyusuri lorong rumah selebar 1,5meteran, melewati pintu demi pintu kamar. Sesekali pandanganku melihat di kanan kiri lukisan yang tertempel di dinding. Ada kengerian saat itu yang aku rasakan, melihat beberapa sorot mata dari lukisan tersebut, seolah ada amarah yang terpendam.

Dari beberapa lukisan itu, salah satunya membuatku lama menatap. Lubang matanya yang sebelah kiri, terlihat seperti meneteskan air mata.

Selagi aku menerka-nerka, perhatianku teralih ke satu sosok lelaki berambut sebahu, berpakaian dombor setelan warna hitam, berjanggut tebal, selaras dengan ikat kepala hitam menggelambir ke belakang.

Lelaki yang bisa aku tebak umurnya 60an itu muncul dari balik ruangan, di mana ruangan itu milik Mami. Meski sedikit jauh dan penerangan hanya menggunakan lampu remang, tetapi suasana dalam lorong ini membuat pandanganku begitu jelas -

melihat sosok berwajah hitam itu berjalan ke arah ruangan lain. Yang ternyata di belakang lelaki itu, ada wanita yang mengikutinya. Tidak salah lagi, kalau itu adalah Mami.

“Mau kemana mereka?” gumamku penasaran.

Dengan langkah pelan, aku ikuti mereka. Aku penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan. Apalagi lelaki tua tadi membawa sesuatu di tangannya. Seperti bungkusan hitam. Batinku semakin bergejolak, rasa penasaran menuntunku untuk segera mengetahui rahasia apa yang di sembunyikan oleh Mami.

Semakin dekat, aku merasai jantungku terpacu, kala sosok lelaki berwajah sangar itu menoleh ke belakang.

“Aduh! Sialan! Kalau sampai ketahuan bisa bahaya!” gerutuku lirih.

Aku tahu, kalau lelaki tua itu melihatku sedang mengekor di belakang. Tapi untungnya tembok sebagai penyekat kamar ini bisa membantuku bersembunyi. Sebenarnya aku sudah melewati pintu kamar Murni,

tapi ada satu hal yang membuat batinku lebih memilih untuk lanjut mengikuti mereka berdua. Mungkin setelah ini aku akan menemui Murni dan menceritakan semuanya.

Sesampainya aku di depan ruangan yang biasa untuk menyimpan beberapa barang persediaan, yang mereka masuki, aku membaui satu aroma yang membuatku harus mengusap hidung. Aroma ini kalau tidak salah kemenyan, tapi ada aroma lain lagi, perpaduan bunga setaman dan minyak wangi.

Sebenarnya apa yang mereka lakukan di dalam? Aku masih menerka-nerka, karena aku tidak sekali menemui hal seperti ini di kampung. Biasanya mereka melakukan sebuah ritual pemujaan atau ritual lainnya yang mengarah kepada setan.

Tapi karena pintu ini di tutup, aku belum bisa mengetahui apa yang mereka lakukan, aku baru bisa menduga, kalau Mami sedang melakukan ritual khusus.

“Sebentar! Aku samar-samar mendengar ada obrolan yang menyebut sebuah nama dan nyawa! Berarti dugaanku benar! Kalau Mami sedang melakukan ritual pemujaan iblis yang harus memakan tumbal nyawa!”

“Tidak! Tidak bisa! Aku harus segera memberitahukan ini kepada Murni. Karena hanya dia yang selama ini dekat denganku.”

Baru saja aku mempunyai pikiran seperti itu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka lebar. Aku begitu terkejut, ternganga mendapati apa yang aku lihat di sana.

Tapi bukan itu yang membuat jantungku lebih terpacu lagi, melainkan sosok Mami sudah ada di hadapanku dengan wajah merah padam, seperti ingin menerkamku saat itu juga.

“Baji****! Wedokan ra toto!” ucap Mami berteriak, suaranya keras dan berat, menggema seantero ruangan. Membuatku seketika tersulut mundur hampir terjatuh.

“Ampun Mami... Ampun... Asih tidak sengaja...” jawabku terbata dengan nada ketakutan.

Aku benar-benar ketakutan, ingin rasanya aku meninggalkan tempat itu, tapi tertahan oleh cengkraman tangan kuat Mami. Berkali kali aku meminta maaf, tapi tetap saja amarah Mami sudah meluap.

Malam itu juga aku diseret masuk ke dalam kamar. Aku sudah mencoba berontak dan ingin melepaskan diri, namun tetap saja, cengkraman Mami lebih kuat.

“Asih! Kamu sudah mulai kurang ajar! Apa akibatnya kalau kamu melanggar aturan! Hah!” bentak Mami, dengan luapan amarah yang begitu jelas di wajahnya.

“Maafkan Asih, Mih. Asih tidak sengaja...”

“Maaf..Maaf! kamu sama saja sudah tahu rahasia Mami! Jadi tunggu saja, korban selanjutnya kamu!”

Kali ini bukan hanya bentakan saja, tapi juga ancaman yang harus aku dapatkan.

“Mami sebenarnya sudah tahu! Kalau kamu selalu menguntit. Tapi Mami biarkan dulu!”

Lagi-lagi aku hanya bisa meminta maaf, hanya itu yang bisa aku lakukan. Tapi wanita ini masih pada pendiriannya, dia tetap ingin menghabisiku. Tapi aku belum tahu waktunya. Karena setelah ini, lelaki tua yang sedari tadi menunggu di depan kamar, masuk.

Dan cerita selanjutnya, apa yang dilakukan oleh Mami dan lelaki tua tadi?

Pakaianku dilucuti satu persatu, kemudian lelaki berwajah sangar itu menyetubuhiku dengan brutal! Setiap inci dari tubuhku di gores dengan keris miliknya. Aku merintih kesakitan.

Dan Mami hanya melihatku dengan tawa yang sangat puas. Ingin rasanya aku berteriak, tapi mulutku di bungkam dengan kain. Berkali-kali aku meronta, memohon, sampai air mataku habis, tak ada rasa kasihan sedikit pun dari mereka berdua yang sedang melihatku kesakitan.

Yang ada di pikiranku saat itu, mungkin ini adalah hari terakhir aku hidup. Dan bisa aku pastikan! Dendamku dengan orang-orang ini akan tumbuh meski jasadku sudah mati!

***

Tubuh tergeletak dengan tanpa busana sudah biasa aku lakukan di kamar, namun pagi ini, rasa sakit yang bisa aku rasakan. Sayatan dan goresan yang ada di setiap inci tubuhku menjadi bukti kekejaman Mami dan Dukun biadab itu.

Karena aku sudah tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa. Harapanku hanya satu, menghabisi semua orang-orang yang sudah menyakitiku! Karena esok aku tidak tahu lagi nasibku seperti apa. Jadi sampai paragraf ini, aku menuliskan kisahku di dalam buku kecil ini.

Satu pesan yang akan aku sampaikan kepada siapa pun yang membacanya!

“TOLONG... TOLONG AKU! SIAPA PUN KAMU YANG SEDANG MEMBACA TULISAN INI! TOLONG AKU!”
“Dan satu lagi, temui lelaki yang bernama Digjaya Adiguna Gama! Dia tahu semuanya!"

***

Satu dua menit aku masih terpaku. Semakin di buat merinding kala ada hawa lain tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

“Oke, jadi Kinasih ini adalah salah satu korban pembunuhan. Terus sosok perempuan yang aku lihat beberapa jam yang lalu siapa? Apa itu sosok Kinasih?”

“Gak! Gak mungkin! Gak mungkin kalau itu Kinasih! Dia sudah meninggal lama!”
“Aku sedang mimpi....”
“Aku mimpi...”
“Plak..plak..”
Aku mencoba menampar pipiku sendiri, sakit dan berasa. Aku benar-benar dalam kondisi yang aku sendiri saja tidak tahu seperti apa.

Yang jelas aku ketakutan, karena tiba-tiba ada siutan angin menerpa leher belakang. Aku merinding. Aku takut untuk menoleh ke arah sebaliknya. Takut kalau di belakangku ada sosok Kinasih yang muncul tiba-tiba.

Terlalu fokus dengan suasana di kamar, aku tersentak kala tangan dingin tiba-tiba mencengkram pada satu lenganku. Jantungku berdebar, bertalu kian kencang saat tangan itu mulai turun dan semakin erat meremas jariku yang basah karena keringat.

Merasakan hawa yang tak biasa, kuputuskan untuk mengatur nafas sejenak, perlahan aku menoleh pada kaitan tangan. Di balik remang cahaya kamar, aku melihat tangan kecil yang pucat, menggenggam telapak tanganku.

Mengesampingkan rasa takut yang menyesakkan dada, aku menyisir lengan si pemilik, dan saat itulah kudapati wajah perempuan pucat pasi dengan beberapa sayatan luka di tangannya, sembari menatapku sayu.

“Tolong saya, Mbak!” tatapan perempuan itu berubah mengiba, sementara satu tangannya menggenggam tanganku semakin erat.

Tubuhku kaku, tak bisa di gerakan. Sedangkan pandanganku yang seolah terpatri, menatap lurus ke arah wajah perempuan yang sekarang berdiri di hadapanku, sembari kata-kata minta tolong itu terucap berkali-kali dari bibirnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close