Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUNTILANAK WARIA


Berawal dari obrolan antara dua jomblo di sebuah kafe, menjelang tengah malam.

"Dan... kuntilanak itu jenis kelaminnya apaan?" tanyaku pada Wildan, sahabat yang selalu menemani dalam suka dan duka, tapi... bohong.
 
"Ya cewe lah," balasnya ngegas.

"Lu tuh tiap hari liat begituan masa gak tau Kuntilanak itu cewek, dodol amat," lanjutnya.

"Ah... lu yang dodol. Pengetahuan lu tentang dunia perhantuan masih cetek," ejekku.

"Heh...." Wildan udah siap-siap ngegas, tapi teralihkan oleh kedatangan seorang wanita cantik pramusaji.

"Udah siap pesan, Mas?" tanya Pramusaji itu dengan senyuman menawan. Sukses membuat Wildan tidak mengedipkan kedua matanya. 

"Bentar lagi ada yang ngeces nih," sindirku menganggu lamunannya.

"Minta menunya aja dulu, Mbak," sambungku.

Pramusaji itu meletakan menu di atas meja, lalu berjalan ke dekat kasir.

"Udah woy, diliatin mulu. Mana mau dia sama cowo jarang mandi kaya lo."

"Apa sih, Amirudin! Lu tuh yang jarang mandi. Kebanyakan nongkrong sama Kuntilanak."

Kulanjutkan obrolan yang tadi sempat terpotong. "Ngomong-ngomong soal Kuntilanak. Lu tau gak kalau ada Kuntilanak Waria." 

Wildan tertawa kencang saat mendengar ucapanku. "Hahahaha ... ada-ada aja lu, Mir! Mana ada Kuntilanak Waria sih!"

"Lu aja yang gak tau. Mau denger ceritanya, Gak?"

"Seru, Gak?"

"Mayanlah."

"Boleh lah."

***

Saat malam tahun baru, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, aku ke luar rumah. Waktu itu pukul 11 malam. Jalanan sangat ramai dan banyak orang berjalan kaki menuju lapangan tengah kota, karena ada acara musik.

"Nah... sekolah SMPku kan deket sama tuh lapangan. Jadi aku parkirin motor di sana. Emang kebetulan jalan depan sekolahku itu jadi tempat parkir motor," ceritaku.

Berhubung acara didominasi dengan musik dangdut. Aku pun memilih pulang lebih cepat. Sebelum puncak acara. "Pas banget aku ambil motor, eh ada yang manggil dong!" ucapku.

"Bentar-bentar aku haus, pesen makan sama minum dulu," potong Wildan.

"Aku yang ngomong daritadi napa lu yang haus," timpalku, kesal.

Wildan mengangkat tangan, tanda sudah siap memesan makanan. Kali ini yang datang bukan Pramusaji wanita, melainkan pria. Mungkin Pramusaji tadi merasa risih dengan  tatapan liar sahabatku itu. 

"Satu Signature Sandwich sama Vanilla Milk Shake," pesanku. Kemudian pramusaji itu menulisnya di secarik kertas.

"Lu apaan, Dan?"

"Gw Doubel Shot Espresso." 

"Udah itu doang?"

"Ya kan makanannya tinggal minta punya lu," balasnya cengengesan.

"Kebiasaan... itu aja, Mas." Pramusaji itu pun pergi meninggakan meja kami.

"Arghh... gara-gara lu sih, Mir. Si Mbak yang tadi jadi ogah ke mari."

"Lah, lu yang melotot terus ngeliatin dia. Ntar copot tuh biji mata."

"Dah sana, lanjut ceritanya."

"Tadi sampe mana, Ya? Aku lupa."

"Ada yang manggil."

"Oh iya. Pas aku deketin motor, tiba-tiba ada yang manggil kaya gini...." 

"Mas, Mas, ehem...." Aku berusaha menirukan suaranya yang manja. Spontanku menengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada orang. Hanya ada seorang bapak penjaga warung di pinggir jalan. Rasanya tak mungkin dia memanggilku dengan manja. 

Tidak lama kemudian, suara panggilan itu kembali terdengar. Kali ini terasa sangat dekat. Aku menoleh ke atas pohon di sampingku. Ternyata sudah ada sosok mirip Kuntilanak, duduk di salah satu batang pohonnya.

"Aku liat mukanya, Dan. Bukannya takut, malah ngakak," ucapku kembali membayangkan momen itu.

"Kenapa emang?"

"Coba dah lu bayangin! Cowok, mukanya pake bedak putih tebel, matanya pake eyeshadow item, terus rambutnya pendek acak-acakan. Dipakein baju daster khas Kuntilanak. Aku panggil aja Maskun."

"Hah? Emang ada Kuntilanak yang transgender?"

"Ya gak lah, dia tuh dulunya cowok kok."

"Masa sih? Kan Kuntilanak tuh cewek." Wildan menggaruk-garuk kepala, kebingungan. 

"Jadi... dulunya jalan itu sering dijadiin tempat mangkal para waria. Nah si Mbak ini, eh si Mas ini, salah satu dari mereka."

Sayangnya, sebuah kejadian tragis menimpanya. Saat ada razia Satpol PP, dia berniat kabur, lari ke arah sungai. Saking paniknya, dia lompat ke sungai itu. Celakanya, dia lupa kalau tidak bisa berenang.

"Terus?" tanya Wildan. 

"Ya metong lah," balasku menirukan gaya bicara si Maskun.

"Kok dia bisa pake daster Kuntilanak?"

"Ya mana aku tau, mungkin nyolong jemuran Kuntilanak kali."

Pesanan kami pun datang. Aku langsung meneguk Vanilla Milkshake dan mengambil sepotong Sandwich.

"Lu bohong, Ya?" tanya Wildan sambil menyeruput kopinya.

"Beneran," balasku sambil tersenyum ke arahnya, lalu melanjutkan makan.

Di sela-sela mengunyah makanan, aku terus melempar senyum ke arah Wildan. Dia pun mulai merasa risih.

 "Apaan sih, Mir? Lu kerasukan si Maskun, Ya?" 

Aku menggelengkan kepala, masih tersenyum menatapnya.
 
"Terus... napa dari tadi senyum-senyum liatin aku? Jijik tau ih."

Kutelan makanan, lalu kembali meminum Milkshake kesukaanku itu.

"Dia ada di belakang lu," ucapku pelan.

"Siapa?" Wildan menengok ke belakang, lalu kembali menyeruput kopinya. 

"Siapa lagi, ya... si Maskun."

Wildan pun kaget, hingga tersedak. Cipratan kopinya sampai mengenai wajahku. Sontak aku pun tertawa puas.

"Dia lagi ngelus-ngelus rambut lu tuh, katanya mau ikut sama lu sampe rumah," ucapku.

Wildan melotot ke arahku, mengepalkan tangan kanannya.

"Aku pukul lu, Mir! Kalau sampe dia ngikut," ancamnya.

"Lah, tadi katanya gak percaya."

"Dia lagi ngapain sekarang? Kok leher kaya dingin gini. Asli dah! Merinding aku."

"Dia lagi cium-cium plus jilatin leher lu tuh! Ganjen banget emang."

"Udah dong, Mir. Suruh pergi."

"Gak mau dia."

"Nah sekarang pundak ku kesemutan. Napa nih?" ucap Wildan sambil mengusap-usap pundaknya. 

"Dia lagi meluk lu dari belakang," balasku dengan suara datar.

Wildan pun akhirnya percaya. Namun si Maskun tidak pergi begitu saja. Dia malah terbang, kemudian duduk di dekat lelaki yang sedang meminum kopi, di pojok.

***

Selesai makan dan mengobrol, kami pun pulang.

"Mir, dia gak ngikut aku, Kan?" tanya Wildan sebelum menaiki motornya. 

"Gak kok, aman. Lu liat cowo itu!" Aku menunjuk lelaki yang duduk sendirian tadi.

"Nah, dia lagi duduk di atas mejanya, sambil ngeraba-raba muka tuh cowok."

"Oh, okelah! Aku balik dulu, daripada ntar dia ngikut. Bisa berabe." Wildan pun menyalakan motornya, pulang lebih dulu. Tak lama kemudian, aku pun menyusul. 

Di perjalanan pulang, tiba-tiba punggung ini terasa kesemutan. Motor pun terasa lebih berat. Argh! Sepertinya ada yang menumpang di belakang.

Aku berkonsentrasi. Seketika itu terlihat ada tangan kekar yang merangkul pinggangku dari belakang. 

"Eike ikut ya, Cin!" bisik Sosok itu dengan suara manjanya. Siapa lagi kalau bukan si Maskun. Padahal terakhir kulihat, dia masih sama lelaki di kafe itu.

"Pergi! Berat tau!" sentakku.

"Hayo hayo hayo... tadi ngomongin eike. Kangen eike peluk pas tidur, Ya?" Dia menyandarkan kepalanya ke pundakku. Jelas sekali terlihat dari kaca spion.

Aku jadi teringat dengan kejadian itu. Saat pertama kali bertemu dengannya, tidak sadar kalau ternyata dia ikut sampai rumah. Sadar-sadar ketika dengusan nafasnya mengganggu tidurku. Saat membuka mata, ternyata dia sudah ada di sampingku, memelukku sambil tertawa kegirangan.

"Pergi gak! Atau aku panggil si Tebo, biar kamu dibawa sama dia," ancamku sambil memanggil si Tebo Genderuwo yang tinggal di dekat rumah.

"Tuhkan, tuhkan, tuhkan, ngacem. Jahat ih! Padahal kan eike cuman mau curhat." Selain tingkah dan nada suaranya yang menyebalkan, dia juga suka sekali curhat. 

Pernah, saat sedang sendirian di rumah, dia tiba-tiba nangis di ruang tamu. Katanya habis dicampakan oleh seorang lelaki keturunan Belanda, hantu juga. Bayangkan, sesama hantu saja malas dengannya, apalagi aku.

"Ih... beneran dipanggil loh. Jahat banget sih, Cin!" 

Tuk! Dia mengetuk helmku, lalu menghilang.

SEKIAN
close