Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 5)


JEJAKMISTERI - Sugik mengekor tanpa sepengetahuan Lasmini, ia terus menuju paviliun, sebuah bangunan dari kayu solid dengan pagar serta anak tangga yang menyerupai rumah panggung dengan gaya khas Jawa.

Lasmini membuka pintu paviliun, melangkah masuk sementara Sugik masih mengamati dari kejauhan. Dari kegelapan pohon-pohon besar yang menyembunyikan dirinya, Sugik melangkah mendekat. Mengendap-endap, Sugik bergegas melihat lebih dekat apa yang sedang dilakukan oleh istri Arjo Kuncoro di dalam paviliun tua. Sugik tak pernah tahu isi bangunan itu. la sempat bertanya kepada abdi-abdi lain kenapa ada bangunan tua yang jaraknya jauh dari rumah utama.

Namun tak ada satu pun dari para abdi yang punya jawaban. Sugik meraba pintu jati yang dilumuri minyak wangi. la menyentuh gagang pintu lalu mendorongnya pelan.

Rupanya Lasmini tidak mengunci pintu. Tak jauh dari pintu terdapat ruang sempit dengan tangga menurun. Sugik mengamati sekeliling, banyak benda-benda antik yang aneh, termasuk patung kambing yang dibuat dari keramik. Di bawah kaki kambing itu, ada persembahan dengan aroma kemenyan begitu menyengat. Sugik mengawasi pilar dekat anak tangga memastikan tak ada orang yang melihat. Apa Nyonya Lasmini menuruni tangga ini?

Sugik memutuskan untuk turun menuju lantai bawah tanah. Di sudut-sudut ruang banyak kendi tua dengan aroma rempah dan beberapa bilah keris digantung di sepanjang tembok kayu.

Sugik menganmati benda-benda itu, yang menurutnya terlihat seperti tempat pemujaan.

Tanpa sadar ia berjengit saat menyadari di hadapannya berdiri seekor kambing berbulu cokelat melihat ke arahnya. Sugik menelan ludah, berharap binatang itu tak bersuara dan membahayakan dirinya yang sedang mencari tahu keberadaan Lasmini.

Syukurlah, binatang itu seakan mengerti dengan apa yang sedang Sugik pikirkan. Terdengar sayup suara dari salah satu pintu di ujung ruangan.

Sugik mendekat sembari mengawasi kambing cokelat itu. la mengintip dari sela pintu. la melihat bayangan seperti manusia tetapi dengan sesuatu yang runcing di kepalanya, seperti tanduk.

Terdengar suara lenguhan Lasmini dari ranjang. Sugik mencoba bergerak sedikit mendorong pintu. la melihat lebih jeli apa yang sebenarnya terjadi. Lasmini telentang di atas dipan bertirai transparan.

Sosok hitam bertanduk berdiri menyetubuhi perempuan itu.

Sugik terguncang melihat kejadian ini. la melihat tubuh manusia dari pantulan bayangan di dinding, tapi anehnya yang berada di sana sebenarnya adalah seekor kambing. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Tiba-tiba kambing hitam yang ada di dalam ruangan menoleh ke pintu tempat Sugik berdiri. Terdengar suara mengembik dari kambing putih yang tahu-tahu muncul di belakangnya.

Bahaya. Sugik bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Lasmini meneriakinya, tetapi Sugik tak peduli.

Sugik menapaki tanah rumput, berlari sekuat mungkin menyusuri taman lalu bergegas masuk ke kamar, sebelum akhirnya ia mengunci pintu. la meringkuk di bawah ranjang, berharap apa yang dilihatnya barusan hanya mimpi belaka. Di tengah ketakutan itu, tiba-tiba terdengar suara mengembik yang datang entah dari mana.
 
Sugik berjalan menuju pintu dengan jantung berdebar-debar. la mengintip dari lubang pintu. Tak ada siapa-siapa di luar. Kemudian, Sugik terdiam sejenak memastikan sekali lagi.

Tiba-tiba Lasmini muncul, berdiri di luar memandang ke arah kamarnya dengan sorot mata tajam. Rambutnya terurai panjang berantakan.

la menyeringai seakan-akan tahu bahwa Sugik sedang melihatnya.

Tak lama kemudian, Lasmini melangkah pergi meninggalkan Sugik seorang diri dalam ketakutan hebat.

Sugeng benar, tak seharusnya ia mencari tahu semua ini sampai seperti ini.

Malam itu juga di sisi lain Sabdo melihat seseorang tengah duduk di kursi tua. Wajahnya tertutupi bayangan gelap. Kulitnya kurus kering. la tengah memandang Sabdo.

"Kamu sudah melihatnya," katanya.

Sabdo penasaran dengan siapa dia berbicara. Perlahan Sabdo berjalan mendekati sosok asing itu. la ingin melihat wajahnya dengan jelas.

"Aku akan mewariskan Canguksonoku. Tapi kuperingatkan kepadamu, dia belum melihat bahwa kamu pantas mendapatkanya. Dia belum mengakuimu walaupun dia  sendiri  yang memilihmu."

"Siapa?" tanya Sabdo.

"Siapa yang belum mengakuiku?"

Tiba-tiba dari belakang Sabdo mendengar suara rintihan tangis.

Sabdo menoleh, mendapati seorang perempuan yang terlihat familier.

"Ibu... Sabdo mendekati sosok perempuan yang meringkuk menundukkan kepala. Wajahnya tertutup rambut panjang. Saat Sabdo menyentuh bahu perempuan itu, ia mengangkat wajah. Ibu melotot sembari menyeringai. Bola matanya mengeluarkan air mata darah.

Dengan cepat sosok itu mencengkeram wajah Sabdo dengan kuku jarinya. Suaranya terdengar parau dan keras, "ling-iling Nak, iling pesen lbu!"

Sabdo mengenal sorot mata itu, meski tidak yakin apakah ia benar-benar ibunya, kata-katanya seperti ingin memperingatkannya. Ojok dituruti, ojok dituruti wong bajingan kui.

"Siapa?" tanya Sabdo.

"SIAPA BU?"

"Kamu tahu siapa orangnya"

Dari belakang Sabdo, terdengar suara tertawa terbahak-bahak. Sabdo menoleh, sosok asing itu kembali berbicara kepadanya.

"Kamu akan menghadapi sebuah pilihan yang sulit. Pilihan ini yang akan menentukan nasib kehidupanmu di masa depan"

Terdengar suara embikan. Seekor kambing hitam tiba-tiba muncul. Binatang itu melihat ke arah orang asing di kursi tua. Sosok di kursi tiba-tiba lenyap bersamaan dengan perempuan yang menyerupai wajah lbu.

Binatang hitam itu menatap Sabdo. "Aku akan mengabdi kepadamu, tapi kamu harus memberiku tumbal. Aku ingin darah dari Ranum"

Sabdo tersentak mundur, terkejut mendapati kambing itu dapat berbicara.

"Ranum apa?"

"Kamu tahu siapa yang kumaksud"

Sabdo menggeleng benar-benar tak mengerti arah pembicaraan ini.

"Bila kamu dapat memenuhi permintaanku, akan kubantu dirimu sampai ke puncak bunga Wijayakusuma. Kamu akan mendapatkan
kekayaan, kehormatan serta keinginan apa pun. Bersamaku maka kamu akan memenangkan pertarungan ini"

"Pertarungan"

Dari belakang binatang itu, tiba-tiba muncul sesuatu yang hitam dan begitu besar menjulang, melihat Sabdo dengan bola matanya yang merah.
Sabdo tersentak dari tidurnya. Mimpi itu lagi. Apa sebenarnya maksud dari mimpi-mimpi ini? Apakah mungkin ada hubungannya dengan Trah Kuncoro?

Pintu kamar Sabdo diketuk dari luar. Sabdo turun dari dipan kemudian membuka pintu. Di sana berdiri seseorang yang membuat Sabdo terkejut. Intan Kuncoro menemuinya dengan gaun tidur yang cantik. Mereka saling menatap. Apa yang dilakukan perempuan ini tengah malam begini?

Tanpa berkata apa-apa, intan melangkah masuk ke kamar Sabdo, menarik tangan Sabdo dan akhirnya menutup pintu, membiarkan malam menelan mereka ke dalam kesunyian.

Keesokan harinya pas Siang itu Sabdo tengah duduk di teras rumah bersama Arjo. Arjo bercerita bahwa orang yang mengajukan lamaran untuk putrinya, Intan Kuncoro, akan datang. Sabdo sebetulnya tidak terlalu terkejut mendengarnya.
Namun ia memasang mimik seolah-olah baru
mendengar tentang hal ini. Dengan tenang, ia kemudian siapa saja yang akan meminang Intan.

Arjo menatap Sabdo nanar, mengamati pemuda yang duduk di hadapannya ini. la tersenyum, sadar bahwa Sabdo sudah banyak berubah. Kemarin ia nasih melihat Sabdo seperti anak kecil yang polos, tetapi siapa yang menduga hanya dalam hitungan bulan sejak Sabdo tinggal di rumah ini, ia menjelma menjadi pemuda yang begitu mengagumkan. Cukup membuat Arjo merasakan karisma seorang Kuncoro yang terwarisi dari garis Canguksono.

"Sekti Jerok, ia seorang dokter yang begitu disegani di sini, Dia mengelola empat dari lima rumah sakit yang ada di wilayah ini. Namun sayang, di balik gelimang harta yang dia miliki, ia tak pernah awet dengan para istrinya. Sampai saat ini ia belum juga dikaruniai keturunan di usianya yang sudah berkepala lima. Tidak pernah ada yang sanggup mendampingi dirinya lebih dari satu tahun."

"Kenapa bisa seperti itu?" tanya Sabdo Penasaran.

"Karena dia seorang Bahu Lawean. Dia pikir Intan, anakku akan menjadi sosok perempuan yang tepat mengingat Kuncoro adalah salah satu Trah yang diberkahi dengan kuasa tinggi"

Arjo menatap ke arah taman, sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang tak dapat Sabdo baca. "Satu dari tiga kandidat yang menawarkan mahar kepadaku adalah Menur Arya, tuan tanah yang disebut sebagai tuan pewaris kekayaan setelah kematian saudara-saudaranya. la adalah pewaris tunggal, ia ingin menjalin ikatan saudara dengan kita, Kuncoro Trah Balasedo untuk anak lelakinya"

"Anak lelaki," gumam Sabdo.

"Berapa usia beliau?"

"Menurutmu berapa usianya?"
Namun sebelum Sabdo menjawab, dari gerbang utama kediaman Kuncoro, dua mobil hitam datang mengiringi sebuah mobil merah marun.

Arjo berdiri dari tempatnya duduk, menyilangkan kedua tangannya ke belakang menunggu dari puncak anak tangga.

Sabdo berdiri mendampingi. Seorang lelaki tua gundul yang jalannya dibantu dengan tongkat berjalan mendekat. Di belakangnya, seseorang lain yang tak kalah tua mengikuti. Penampilan mereka menunjukkan kesan yang sama saat pertama kali Sabdo melihat Arjo.

Mereka pasti bukan orang sembarangan, batin Sabdo menatap dua lelaki tua itu.

Kuncoro memberi sambutan yang baik sebagai tuan rumah. Makanan berlimpah tersaji di atas meja. Sabdo memandang kedua orang di
hadapannya. Mereka tampak begitu menikmati sajian ini sementara. Arjo tak banyak bicara, menunggu tamunya selesai menyantap makanan. Setelah itu barulah peretemuan ini dimulai selayaknya perjamuan biasanya.

Para tamu undangan menyampaikan keinginan mereka.  Hal ini disambut baik oleh Arjo, meski ia balum memutuskan siapa yang pantas untuk mendapatkan kehormatan itu. Arjo mengingatkan tamunya bahwa ia akan melakukan prosesi adat unduh mantu dengan sebuah perjanjian darah. Dua orang itu tampak saling pandang tak mengerti.

Arjo menyesap teh dari gelas keramik. "Mahar apa saja yang akan ditawarkan kepada Kuncoro?"

Sekti Jerok menjawab akan memberikan keris peninggalan turun temurun keluarganya. Hal ini disambut baik oleh Arjo. Sedangkan Menur Arya memilih untuk memberikan pusaka pemberian keluarga Atmojo berupa tusuk konde keemasan yang selama ini ia jaga. Ini untuk meyakinkan Arjo bahwa ia sudah menggadaikan kepercayaan dari
tuannya serta maksud dari keseriusan keluarganya untuk meminang putri Kuncoro ini.

Sabdo hanya mendengarkan percakapan mereka, ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran dua orang ini.

Suara tawa terdengar, mereka saling menunjukkan kehormatan satu sama lain meskipun bersaing. Tak ada ketegangan.

"Baiklah, jadi kesepakatan sudah jelas. bila aku tak menghendaki pernikahan yang kalian tawarkan terhadap putriku Intan Kuncoro, tentu kaiian semua sudah tahu risikonya. Mahar utama yang sudah kalian tawarkan sejak keputusan ini dibuat tak dapat dibatalkan"

Kedua orang tersebut mengangguk, mengerti maksud perkataan Arjo. Sabdo merasakan gejolak perasaan dingin, seakan kehangatan seakan tadi menguap begitu saja, Sirna berganti menjadi rasa yang ia rasaka canggung yang mengutuk pertemuan ini.

Seorang lelaki tua berkepala plontos meraih gelas keramik berisi teh menyesapnya  lalu meletakkannya kembali di atas meja. la Sakti Jerok yang terkenal suka berbicara dengan suara lantang..

"Aku sudah cukup lama hidup, menikmati semua momen bahkan saat aku melihatmu tumbuh, anakku Arjo. Aku mengenal baik siapa bapakmu, jadi aku tak akan mundur setelah memutuskan siap meminang putrimu, Intan Kuncoro, ke dalam dekapan keluargaku. Dan bila kamu menerimaku, kupastikan tidak akan ada penyesalan atas perjalinan hubungan keluarga kita. Aku akan menyokong keluargamu. Namun bila pilihan unduh mantu ini tak jatuh kepadaku, maka aku sudah siap untuk menerima segala risiko yang sudah kita semua sepakati"

Risiko? batin Sabdo, mencoba mencerna maksud kata-kata lelaki tua plontos itu. Gelagat lelaki plontos itu memberikan sorot mata mencemooh kepada sosok pria di sampingnya. Hal yang tak pernah Sabdo duga sebelumnya.

Menur Arya menyeringai sebelum berkata, "Arjo Kuncoro, aku tahu apa yang coba Sekti Jerok katakan, tetapi bukankah ini terdengar seperti penghinaan?"

Hening. Pertemuan hangat seketika berubah menjadi seperti pertemuan sengit di mana satu sama lain terlihat mulai saling
memprovokasi.

"Kamu mengenal bagaimana keluarga Arya dalam mengambil sikap, keluarga Arya tak pernah takut dengan sumpah yang sudah diucapkan."

Arjo menatap kedua lelaki itu secara bergantian sebelum kembali menyesap teh di atas meja. Sementara Sabdo menunduk diam, merasa tak enak hati terjebak di dalam pertemuan yang canggung seperti ini. HAHAHAHAHAHAHA Arjo tiba-tiba tertawa, di ikuti dua orang di hadapannya.

"Aku akan menyerahkan keputusan kepada Canguksono-ku. keputusan ini akan jadi keputusan mutlak tentang siapa yang pantas bersanding dengan putriku" putus Arjo.

Dua orang itu menatap Sabdo. Sekti Jerok bergumam, terdengar benarkah pemuda yang ada di hadapanku ini adalah Canguksono?"

"Benar, anakku Sabdo Kuncoro, adalan seorang Canguksono baru di keluarga Kuncoro."

Tak ada lagi tawa di wajah mereka. Ekspresi mereka tak tertebak. Termasuk saat Arjo kemudian berkata. "Keputusan ini akan segera kami bicarakan, sehingga tak perlu waktu lama bagi kalian untuk mengetahui siapa di antara kalian yang pantas bersama putriku."

Sekti Jerok mengangguk memberi hormat kepada Sabdo. la membalas hormat tersebut, tetapi Menur Arya memilih tak melakukannya.

la hanya menatap meja lalu pamit pergi. Arjo mengantarkan mereka berdua, sementara Sabdo masih belum mengerti makna dari pertemuan ini, juga arti sebenarnya dari kata Canguksono yang selalu dibicarakan.

Saat kedua mobil perlahan meninggalkan kediaman milik Kuncoro, Arjo berjalan mendekati Sabdo lalu berkata, "Siapa diantara mereka yang pantas untuk mati lebih dahulu?"

Arjo tak pernah mau mendengar kata gagal di hidupnya semua keinginannya  harus terpenuhi. Setidaknya itu yang Sabdo dengar dari mulutnya intan Kuncoro pada malam ia datang ke kamar Sabdo. Intan bercerita bahwa ia tak pernah mau di jodohkan dengan siapa pun, tetapi di mata Arjo, ia hanyalah seorang anak yang harus mematuhi perintah orang tua. Tak ada pilihap selain bersiap, bila Arjo sudah memutuskan kepada
siapa kelak dirinya menikah.

Sabdo tak dapat berkata apa-apa, meski sebenarnya ia ingin menghibur Intan. Pandangannya tertuju pada garis mata sembab Intan. Adapun, Intan memiliki mata indah mengingatkannya dengan mata milik lbu.

Malam itu mereka saling bercerita, menikmati kebersamaan sembari melampiaskan perasaan yang selama ini mereka pendam. Intan bercerita bagaimana ia tumbuh di dalam keluarga Kuncoro. Rasanya aneh saat melihat Sabdo, Intan seperti menemukan sesuatu yang selama ini tak ia temukan pada orang lain. Sabdo mengingatkannya
dengan Paman Kondoto yang meninggal. Intan juga berkata, bahwa ia tahu kenapa Canguksono begitu berharga di mata Arjo. Sebelumnya Canguksono dimiliki oleh Kondoto, hal ini ia dengar sendiri dari mulut ibunya saat berbicara dengan Arjo. Hanya Canguksono yang depat mengendalikan ingon, keturunan dari para pendahulu Kuncoro.

Sabdo bingung kenapa Canguksono bisa menurun ke dirinya. la sama sekali tak mengerti. Tak lama, Intan mengatakan kebenaran yang tak banyak diketahui orang. Ini tentang dua kakaknya, Pras Anum dan Batra Kuncoro yang ternyata anak Arjo bersama wanita lain. Sama seperti Sabdo, hanya saja mereka tumbuh di kediaman Kuncoro sejak kecil, sehingga hal ini tak diketahui oleh para abdi baru. Hanya Intan yang berstatus sebagai anak kandung dari pernikahan Arjo dengan Lasmini. Hal ini mematahkan argumen sugeng, bahwa Lasmini tak dapat memberikan keturunan.

Lalu, kenapa Sabdo yang mendapat Canguksono? Kenapa bukan Pras Anum atau Batra? Intan hanya menggeleng tak tahu. Di dalam keheningan, Sabdo melihat Intan, ia benar-benar teperdaya dengan kecantikan gadis itu.

Intan tiba-tiba berdiri, kemudian berbisik kepada Sabdo, sesuatu yang membuat dirinya terperanjat. Perlahan-lahan Intan mulai menanggalkan satu per satu pakaian yang dia kenakan di depan mata Sabdo. Intan ingin menunjukkan semua luka itu, goresan dari sayatan pisau yang selama ini ia lakukan akibat depresi berkepanjangan. la benar-benar tak ingin menikahi orang yang tak pernah ia kenal. Tak ada yang tahu hal ini kecuali beberapa orang.

Sabdo terdiam memandang goresan luka di tubuh Intan. Inilah kebiasaan Intan yang diceritakan Lina kepada Sugik tempo hari.

Nasib Intan seperti binatang yang terbelenggu dalam riak panas di dalam tungku. Intan adalah sosok dari betapa menderitanya hidup di bawah bayang-bayang nama keluarga Kuncoro.

Sabdo termenung menatap lantai, dia merasa bimbang, apakah diriku sama seperti Intan, terbelenggu?

Kini, Sabdo memalingkan muka, berharap Intan menutup kembali tubuhnya. la tak ingin nafsu yang ada di dalam pikiran menguasainya.

Namun siapa sangka, bila malam ini justru terjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga. Kegelapan malam menyembunyikan mereka dalam pilu pelik. Akhir pertemuan ini justru menjadi awal hubungan yang tak bisa mereka tolak. Intan merengkuh tubu Sabdo. Di dalam ruang itu, Intan melakukannya bersama Sabdo.

Malam itu menjadi malam yang tak perna mereka lupakan seumur hidupnya. 

Setelah pertemua dengan tamu-tamu itu, Arjo menatap dua lembar foto di kedua tangannya. la menyodorkannya pada Sabdo, bertanya siapa yang tak pantas untuk mendapatkan putrinya. Sabdo menatap dua lembar foto itu, Sekti Jerok dan Menur Arya.

Sabdo memperhatikan setiap detail yang ada di foto. Tak satu pun dari kedua orang itu menurutnya pantas bersanding dengan seorang putri dari Kuncoro. Namun Sabdo menahan diri untuk tak mengatakan hal ini secara gambiang.

"Kurasa, Sekti Jerok tak memiliki kelayakan bila dibandingkan dengan Menur Arya, walau sejujurnya kukira tak ada dari mereka berdua yang benar-benar pantas" kata Sabdo hati-hati.

Arjo memperhatikan dengan saksama. Di ruang bawah tanah paviliun timur itu Arjo berkata kepada Sabdo. "Menarik, apa yang baru saja kamu katakan masuk akal. Dari dua orang ini, Sekti Jerok yang memberimu kehormatan sebelum meninggalkan kita, kupikir hal itu yang membuatmu mempertimbangkan dirinya. Apalagi saat aku mengatakan kepada mereka, bahwa kamu adalah Canguksono."

Sabdo dengan tegas berkata, "Tak semestinya seseorang memberi rasa hormat kepada yang lain hanya setelah ia mendengar orang itu Canguksono. Dia tidak pantas mendapatkan Intan, putri Kuncoro yang lebih berharga dari apa pun. Di mataku dia tak lebih dari seorang penjilat ulung"

Arjo tersenyum menyeringai. "Lalu, apakah berarti secara tidak langsung kamu mengatakan bahwa Menur Arya jauh lebih pantas?"

Sabdo diam, ia melihat sorot mata Arjo penuh selidik dengan tenang Sabdo berkata, Bukankah sudah kubilang tak ada dari mereka yang cukup layak. Aku hanya mengatakan apa yang  ada dalam kepalaku. Dan lagi, bukankah masih ada satu orang lagi yang belum aku temui?

"Kenapa seakan-akan keputusan ada di tanganku Bapak?"

Arjo berdiri, ia berjalan menuju ruangan lain lalu menarik seekor kambing putih jantan ke hadapan Sabdo,  sebagai Canguksono. Kamu harus terlibat dalam keputusan apapun yang aku buat untuk kebaikan keluarga kita"

Sabdo melihat kambing itu, ia tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh Arjo.

"Seperti yang kamu katakan, aku sependapat bahwa memang Sekti Jerok tak pantas menawarkan diri. la terlalu rendah bagi seorang Kuncoro. Jadi, anakku aku ingin kamu menghabisi Sekti Jerok, memberi pesan bahwa ia tak lebih layak dari siapa pun yang ingin mempersunting putriku.

Sabdo tak mengerti maksud Arjo, tapi ia berdiri dari tempatnya duduk bersila, menghampiri binatang itu lalu mengelus kepalanya sebelum menatap Arjo. Binatang itu mengembik sebelum bergerak menjauh dari hadapan Sabdo, seakan-akan itu tahu apa yang akan terjedi kepadanya.

Arjo menghampiri Sabdo, diirisnya arteri batang leher binatang itu sembari merapal sesuatu di mulutnya. Dengan cepat, ia menggorok leher kambing itu lalu membakar cairan darah kental yang ada di pisaunya ke dalam kobaran api yang menyala-nyala.

Kambing yang terpotong itu perlahan-lahan warnanya  mulai menghitam dan mulai membusuk. Arjo kemudian menanggalkan pakaian Sabdo, mengiris dada kirinya, membiarkan darah perlahan menetes pada pucuk sebilah pisau panas. Meski merasa sakit teramat perih saat besi panas itu menyentuh kulitnya, Sabdo menahan diri agar tak berteriak. Tak lama kemudian Arjo berkata kepada Sabdo bahwa dia harus mengambil kepala binatang itu untuk melihat dengan jelas bayangan wajah siapa yang muncul di sana.

Sabdo mengikuti apa yang Arjo katakan, ia membungkuk mengambil kepala kambing yang menggelinding di atas lantai kayu.

la mengangkatnya dengan kedua tangan, lalu menatap mata binatang malang itu. Di situ, Sabdo melihat bayangan wajah Sekti Jerok dalam
kilasan bayang-bayang samar.

Arjo berkata dengan suara gemetar, "Kamu sudah memutuskan, maka santet potong gulu akan segera terlaksana. Hanya tinggal menunggu waktu apakah Sekti Jerok menolak santet ini atau menerimanya sebagai keputusan dari mahar yang sudah dia tawarkan kepadaku.

Arjo melangkah pergi, meninggalkan Sabdo yang masih termangu. Sabdo tak pernah mengira bahwa Arjo akan mengambil nyawa seseorang dengan semudah ini. la tak mengerti betapa mengerikannya kekuatan yang ada di dalam tubuhnya.

Keesokan harinya Sugik Bakhir sudah menunggu cukup lama di salah satu lorong di kediaman Kuncoro. la memandang sekelling dengan perasaan resah, orang yang ia tunggu tak kunjung muncul. Semakin lama tinggal di dalam lingkungan kediaman ini Sugik merasa semakin terancam.

Beberapa orang muncul dan berjalan di lorong rumah, berkerumun dalam barisan. Sugik melihat orang yang ia cari dari tadi ada di dalam salah satu barisan tersebut. Dengan langkah cepat Sugik menarik tangannya, membawanya menjauh.

"Mas Sugik" kata Lina, wajahnya terlihat kaget. Perempuan inilah yang sempat mengurus Sugik saat tubuhnya tidak dapat bergerak setelah melakukan sumpah abdi kepada Kuncoro.

"Aku mau tanya sesuatu"
"Tanya apa, Mas?"

Sugik melihat ke sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar mereka. Dengan hati-hati Sugik berkata,

"Tapi sebelumnya aku ingin ingatkan, ini jadi rahasia kita berdua, ya."

Lina menatap Sugik aneh, memperhatikan gerak gerik tubuhnya yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Akhirnya Lina mengangguk dan berjanji bahwa ini semua akan menjadi rahasia mereka.

"Kamu kan sudah lama kerja di sini. Apakah kamu tahu apa yang ada di dalam paviliun timur? Hanya abdi perempuan yang bisa masuk ke situ, Lina mengernyit merasa tak nyaman dengan topik yang sedang mereka bahas.

"Kenapa ingin tahu soal itu, Mas?"

"Kamu pernah ke sana, kan?"

"Mas, apa sebenarnya yang sedang kamu cari? Aku nggak punya banyak waktu"

"Pemujaan..." kata Sugik tiba-tiba membuat Lina semakin tak enak hati. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi seakan menolak pembicaraan ini, Sugik dapat melihatnya.

"Maaf Mas, maaf aku harus pergi, lain kali saja ya kita bahas."

Lina bersiap meninggalkan Sugik saat tiba-tiba Sugik menahan pergelangan tanganya, melihat Lina tajam.

"Aku melihat Nyonya di sana, dia melakukan
Tiba-tiba Lina membungkam mulut Sugik dengan kedua tangannya, lantas ia mendekat dan berbisik, Jangan katakan, Mas. Bahaya. Begini saja" Lina melihat ke sekeliling.

"Nanti malam aku akan ke tempatmu, sekarang aku harus pergi" Lina pergi, meninggalkan Sugik dengan banyak pertanyaan menggantung.

Malam tiba, terdengar suara pintu diketuk. Dengan cepat Sugik membuka pintu karnanya. Lina berdiri dengan wajah khawatir. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat mereka, ia melangkah masuk.

"Kenapa Mas bisa-bisanya melakukan hal itu?" kata Lina langsung, suaranya gemetar, ada kemarahan dalam nadanya.

"Aku tidak sengaja melihatnya."

Lina tampak begitu cemas, tak henti-henti la memainkan jemari tangan. la melihat ke jendela kamar lalu berbalik melihat Sugik.

"Setiap anggota keluarga Kuncoro memiliki rahasia gelapnya masing-masing"

Sugik terdiam sejenak, lalu bertanya kepada Lina apa maksud perkataannya.

"Aku tidak tahu ini semua secara pasti karena ini semacam desas-desus yang sudah lama dibicarakan oleh abdi-abdi Kuncoro dibelakang mereka.

"Desas-desus, maksudmu ini belum pasti? Begitu?"

Lina berpaling dari wajah Sugik, seperti menyembunyikan sesuatu. 

"Mas, pesanku adalah jangan menyelidiki hal ini lebih jauh karena semua ini bisa membawa hal yang buruk terhadap sampean."

Sugik menatap Lina, semakin yakin dia mengetahui sesuatu.

Dengar, aku berada di tempat ini bukan karena keinginanku.

Aku juga tak sengaja melihat semua itu. Kepalaku tak berhenti memikirkannya sampai sekarang.

Sugik menyentuh bahu Lina, membuat agar perempuan itu melihat ke arahnya.

"Katakan apa yang kamu tahu"

Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya dengan suara gugup Lina menjawab pertanyaan itu. "Lasmini konon dipersekutukan oleh Tuan Arjo Kuncoro kepada sosok iblis yang
selama ini menjaga keluarga Kuncoro dari segala balak dan bencana."

Di paviliun itulah Lasmini di persembahkan atau mungkin tampak tak yakin. "Mempersembahkan dirinya sendiri sebagai..."

"Sebagai apa?" tahu namanya, tetapi ada yang bilang Lasmini melakukan ini atas kemauan sendiri.

Sebenarnya hubungan Lasmini dan Tuan Arjo adalah... Lagi-lagi Lina seperti menahan diri.

"Intinya, tak ada yang tahu secara pasti, Mas."

"Lalu.."

"Lalu apa maksudmu, Mas?"

"Intan Kuncoro. Kamu pasti tahu kalau dia memiliki rahasia gelapnya sendiri"

"Maaf Mas, tapi aku nggak bisa mengatakannya"

Sugik diam. "Aku takut, Lin"

Lina yang sudah bersiap pergi menghentikan langkah, berbalik menoleh menatap wajah Sugik.

"Aku takut terseret lebih jauh di dalam urusan keluarga ini. Setidaknya apa yang kamu ketahui bisa menjadi pengingat bagiku siapa Kuncoro ini"

Lina terdiam cukup lama memandang wajah Sugik.

"Nona Intan Kuncoro memiliki kebiasaan yang hanya diketahui beberapa orang saja. Saat malam dia seringkali melukai tubuhnya dengan belati dan pisau, membiarkan kulitnya mengelupas terbuka lebar. Setelah itu, dia akan memandikan tubuhnya dengan darah seekor kambing yang digorok oleh Tuan Arjo. Katanya untuk persembahan lain karena Intan dipersiapkan sebagai.. sebagai pengantin yang pernikahannya akan menjadi kebangkitan keluarga Kuncoro"

"Kebangkitan apa? Aku tidak mengerti"

"Aku pun tidak mengerti. Semua orang tidak ada yang mengerti bagaimana keluarga Kuncoro memilih jalan hidup, Mas"

"Lalu tempo hari untuk apa kamu membawa kendi?"

"Aku membantu Intan Kuncoro melaksanakan ritual" ucap Lina.

"Setiap malam Jumat Legi, Nona Intan Kuncoro wajib mandi darah kambing milik Tuan Arjo. Kambing ini adalah kambing istimewa yang tak pernah bisa mati. Kambing yang diwariskan secara turun temurun.

Konon raga yang sebenarnya dari kambing ini adalah jelmaan iblis kuno yang selama ini meniduri Lasmini atas perintah Tuan Arjo sendiri

Sugik mulai mengerti, ia bergidik ngeri mendengarkan semua ini. Jangan-jangan darah yang aku telan adalah darah dari binatang itu.

Sugik menatap Lina yang sudah membuka pintu bersiap pergi. Namun tiba-tiba langkah Lina terhenti. Di depan pintu ada lasmini, berdiri menatap Lina.

Lina mundur, sementara Sugik menatap wanita itu dengan tubuh gemetar hebat.

"Lancang sekali, seorang abdi membicarakan majikan."

Lasmini menyeringai menatap Lina dan Sugik secara bergantian kemudian berkata kepada Lina dalam nada suara yang menekan..

"Malam ini aku akan menghukummu"

Lasmini beralih melihat Sugik.

"Suamiku memiliki urusan sendiri denganmu, jadi aku tak akan menyentuhmu. Tapi bila sampai dengan lancang kamu ulang perbuatanmu ini, kamu akan membayar mahal untuk setiap jengkal organ yang ada di dalam tubuhmu itu. Apakah kamu mengerti maksudku?

Lasmini membawa Lina meninggalkan Sugik. Entah apa yang akan Lasmini lakukan. Sugik sangat menyesal membuat Lina mendapatkan
hukuman karena rasa penasarannya.

Esok paginya Sugik duduk di bawah pilar anak tangga rumah utama, mencari-cari keberadaan Lina, tetapi tak kunjung menemukan perempuan itu. 

la merasa bersalah, Lina harus dihukum oleh Lasmini karena menjawab keingintahuannya akan keluarga Kuncoro. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, ia hanya dapat menunggu sampai hukuman itu dicabut.

Sugik berdiri, sesekali beberapa abdi lain menatapnya dengan kesal. Apakah semua abdi sudah tahu tentang apa yang terjadi?

Sugik berada di sini, di bawah pilar anak tangga utama karena Sugeng yang menyuruh. Hari ini Sugeng ingin Sugik ikut bersamanya, entah ke mana. Kata Sugeng, ini perintah langsung dari Tuan Arjo.

Mobil yang biasa Sugeng gunakan datang, Sugik membuka pintu mobil lalu melangkah masuk. Sugeng menatap Sugik, bersimpati atas desas-desus yang sudah tersebar. Perlahan Sugeng menginjak pedal gas. Mobil mulai melaju meninggalkan kediaman Kuncoro menuju jalan utama.

"Sudah kukatakan, kamu tidak perlu mencari tahu apa pun tentang mereka"

"Aku tidak sengaja memergokinya. Aku tahu aku salah, tapi siapa mengira semua justru menjadi seperti ini?" kata Sugik membela diri.

"Tuan Arjo sudah tahu tentang semua perbuatanmu. Dia tidak akan menghukummu. Baginya, kamu sangat penting.

"Sangat penting?"

"Lasmini ingin kamu setidaknya dihukum seratus cambuk, tetapi Sabdo membelamu. la tak mau kamu menerima hukuman itu.

Arjo sepertinya lebih mendengarkan Sabdo dibandingkan istrinya sendiri. Hal yang cukup mengejutkan bagi semua anggota keluarga Kuncoro.

Sugik tak menyangka bila Sabdo sampai rela melakukan hal itu untuk dirinya.

"Tapi nasib buruk bagi Lina, dia dicambuk di depan semua anggota keluarga Kuncoro karena selantang apa pun Intan membela perempuan itu, Arjo tak mencabut hukum seratus cambuk pada dirinya. Perempuan yang malang."

"Di mana Lina sekarang?"

"Entahlah, dia tak akan bisa sebebas dulu. Mungkin saja sekarang Intan sedang menawarinya perlindungan sampai semua desas-desus ini berakhir.

Kali ini Sugik benar-benar tak dapat berkata apa-apa.

"Dengar, Gik, aku tahu kamu orang seperti apa, tapi percayalah lebih baik kamu tak masuk lebih jauh hanya untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang-orang seperti mereka. Bila ini sampai terjadi lagi, kurasa seratus cambuk tak akan berpengaruh karena Arjo akan langsung memerintahkan untuk mencongkel kedua matamu.

"Apa kamu mengerti?" Sugik tak menjawab perkataan Sugeng.

"Kemana kamu akan membawaku?"

Tuan Arjo mengutusku untuk membawamu menagih janji Kepada seseorang atas mahar yang telah dia tawarkan kepada keluarga Kuncoro.

"Mahar. Apakah ada yang akan menikah?" Sugeng menoleh ke Sugik.

"Kamu akan tahu siapa yang akan menikah." Setelah lama menempuh perjalanan, sampailah mereka di sebuah rumah besar, kediaman Sakti Jerok.

Lelaki tua berkepala plontos itu seperti tahu akan kedatangan tamu. la menyambut hangat, membawa Sugeng bersama Sugik berjalan-jalan mengelilingi taman di kediaman miliknya. Akhirnya, mereka duduk di salah satu teras utama rumah tersebut.

"Kamu membawa pesan dari Arjo Kuncoro. Kuharap ini berita yang baik"

Sugeng tersenyum menunduk, memberikan kehormatan dirinya kepada si lelaki tua yang tak henti-hentinya menatap penuh harap.

Sugik merasakan sesuatu seperti firasat yang tidak enak dalam pertemuan ini.

Sugeng berdiri, ia berkata bahwa pesan itu sekarang ada di bagasi mobilnya. Sekti Jerok mengangguk mempersilakan Sugeng untuk membawa pesan yang dia maksud. Sugeng melangkah pergi, membiarkan Sugik duduk bersama lelaki tua asing tersebut yang sedari tadi mengamati dirinya.

"Apa kamu juga abdi penting bagi Arjo? Aku tak pernah melihat sebelumnya?"

Sugik menunduk seperti yang dilakukan Sugeng lalu berkata, "Aku bukanlah abdi penting, aku hanya seorang tukang kebun biasa."

Lelaki tua itu seperti tak dapat menerima jawaban yang Sugik katakan. la menunjukkan gelagat ingin tahu sampai Sugeng melangkah kembali membawa sesuatu yang dibungkus oleh kain putih.

Dia meletakkan benda itu di atas meja, membiarkan Sekti Jerok membuka perlahan-lahan ikatan kain yang melilit. Sugik terlonjak kaget melihat potongan kepala seekor kambing putih.

Sekti Jerok tersenyum getir melihatnya. Sebuah pesan Jadi, inikah pesan yang kamu bawa untukku?

Nggih, Tuan, ini pesan dari Tuan Arjo langsung untuk Anda.

Terjadi keheningan yang panjang. Tak ada yang berkata apa-apa selama waktu berselang sampai Sekti Jerok akhirnya herdiri dari tempat dia duduk.

"Mahar yang kujanjikan kepada Sabdo akan aku tunaikan.

Maka dengan ini., aku ingin kamu mengantarkan pesan kepada dirinya.

Sebagai seoreng kesatria aku juga ingin dia menepati janjinya Sugeng mengangguk.

Sekti Jerok mengajak Sugeng masuk ke rumahnya. Sugik berdiri untuk ikut, tetapi Sekti Jerok memandang tajam ke arah Sugik. Cepat-cepat Sugeng berkata,

"Tuan, Sugik diutus agar menjadi saksi atas mahar yang sudah Anda janjikan, lagi pula ia kelak akan menjadi Abdi Sula bagi kelangsungan hidup keluarga Kuncoro.

"Abdi Sula" Sekti Jerok tersenyum sebelum mengangguk.

"Pantas saja kamu ikut datang kesini"

Mereka melangkah masuk bersama-sama. Di sela perjalanan itu Sekti Jerok bertanya kepada Sugeng, "Aku jadi ingin tahu masih ada berapa lagi kandidat yang tersisa?"

Dua, Tuan
"Masih ada dua, menarik. Kurasa satu dari mereka mungkin bukanlah orang yang akan menerima penolakan. Jadi akan ada darah yang tumpah membasahi tanah hitam ini, mengembuskan bau busuk ke segala penjuru. Pegang kata-kataku, Nak Sugeng. Sebelum kalian semua terseret, kusarankan kalian pergi"

Sugik tak mengerti satu pun maksud dari perkataan lelaki tersebut. Dua kandidat. Darah tumpah di tanah hitam.

Sekti Jerok melangkah masuk ke sebuah ruangan, diikuti oleh Sugeng dan Sugik. Tercium aroma kemenyan. Sugik tersadar bahwa ruangan ini terlihat seperti ruangan di paviliun milik keluarga Kuncoro, hanya saja ruangan ini tak sebesar milik Kuncoro.

Sekti Jerok meletakkan kepala kambing itu di atas meja, di samping keris-keris yang terpampang. Dia kemudian duduk bersila memandang Sugeng dan Sugik yang juga ikut duduk.

Sakti Jerok meraih satu keris. "Kemuning adalah keris pusaka yang diwariskan turun temurun di dalam keturunan keluargaku. Dengan ini kupersembahkan kepemilikan baru kepada Arjo Kuncoro sebagai ganti harga diri kepala seluruh anggota keluargaku"

Harga dari seluruh anggota keluarga. Apakah mungkin harga dari penolakan saat mempersunting adalah sebilah keris? pikir Sugik.

Tiba-tiba Sekti Jerok menarik keris tersebut dari sarung, lantas mengangkat tinggi-tinggi benda itu sembari merapal mantra. Lelaki tua yang sudah terlihat uzur itu mengarahkan bilah tajam keris tepat ke lehernya.

Sugik tersentak kaget ketika darah merah menyembur. Sekti Jerok menatap Sugeng dengan sorot mata tajam sembari terus menggorok
lehernya. Akhirnya kepala Sekti Jerok putus menggelinding di depan mereka.

Hening, Sugeng melangkah mendekati tubuh Sekti Jerok yang baru saja jatuh terkapar tak jauh dari potongan kepala pemiliknya. Sugeng mengambil sebilah keris itu, membiarkan bercak darah di bilah tajam itu mengering sebelum memasukkan benda itu ke dalam sarungnya.

Sugeng kini menoleh menatap Sugik yang masih diam termangu, tampak begitu syok melihat pemandangan ini.

Sugeng berkata, "Bantu aku membakar jasad orang tua ini"

Sugeng menyesap rokok, mengembuskan kepulan asap hingga melayang-layang di atas lubang tanah yang baru saja mereka gali.

"Dia tahu harga yang harus dibayar untuk menikahi anggota keluarga seorang Songkor."

"Apa maksudmu, Geng? Apa maksudmu harga yang harus dibayar?

Tuan Arjo menawarkan anaknya, Intan Kuncoro, kepada beberapa orang yang menurutnya pantas untuk mempersunting putrinya. Bagi siapa pun yang menerima serta berkeinginan mendapatkan Intan, ia harus siap menerima semua konsekuensi dari perjanjian unduh mantu amergo getih. Lelaki ini adalah salah satu dari ketiga kandidat yang
menerima tawaran. Penolakan yang diputuskan oleh Tuan Arjo harus dibayar nyawa dengan pusaka keluarga yang saat ini kubawa"

"Kenapa semua hal sinting ini seolah biasa saja di depan matamu?" Sugik menatap Sugeng, sorot matanya terlihat kosong.

"Gik, percayalah hal seperti ini akan menjadi pemandangan yang biasa saat kamu sudah menjadi Abdi Sula bagi Sabdo Kuncoro"

"Apa itu Abdi Sula?"

"Darah saudara, kamu akan terikat bersamanya, seperti aku yang diikat dengan darah Arjo Kuncoro"

Setelah selesai semua urusanya dengan sekti jerok, sugeng dan sugik pergi meninggalkan kediaaman sekti jerok dan pulang untuk memberikan kabar kepada Arjo.

ke esokan harinya Sabdo melihat Pras Anum dan Batra tengah bermain-main bersama seorang abdi lelaki. Mereka melempar sebatang kayu, memaksa abdi malang itu mengambilnya. Mereka akar memaki bila si abdi tak mengambilnya dengan cepat. Ketika si abdi mengembalikan sebatang kayu tersebut ke tangan Pras Anum, dia menendang perut si abdi. la berkata bahwa abdi tersebut terlalu lama mengambil batang kayu itu.

Pandangan mata rnereka bertemu. Kedua kakaknya kini menatap Sabdo dengan sorot mencemooh seakan-akan merasa jijik bila melihat Sabdo.

Di siang yang terik itu Sabdo melangkah meninggaikan kedua kakaknya yang tersenyum menyeringai. Mereka sedang berpikir apa yang bisa dilakukan kepada adik baru mereka yang sekarang begitu di istimewakan oleh Bapak.

Sabdo mengetuk pintu ruangan Arjo. Saat pintu terbuka, selain Arjo, Sabdo juga melihat Sugeng dan Sugik.

"Bagus, kamu sudah datang," kata Arjo seraya tersenyum melihat sebilah keris yang dia pegang. Setengah sisinya berlumurkan darah yang sudah mengering. Arjo memasukkan kembali keris itu ke dalan sarung, kemudian meletakkannya di atas meja, tempat benda-benda aneh milik Arjo berserakan.

Sabdo melihat ke arah Sugik. Sugik mengangguk memberi hormat dan Sabdo membalas dengan anggukan. Kemudian ia mendekati Arjo yang kini membakar kemenyan di atas tungku kecil tanah liat di hadapannya.

"Aku memanggilmu hari ini karena ada yang harus kita lakukan kata Arjo.

"Apa?" tanya Sabdo.

"Kamu akan menjadi tuan bagi Sugik Bakhir secara tradisi yang sudah lama ada di dalam keluarga Kuncoro"

Sabdo melihat Sugik, lelaki itu terlihat menunduk. Sabdo tak mengerti maksud ucapan Arjo.

Arjo berkata, "Sudah waktunya. Kalian berdua, tanggalkan pakaian kalian. Sugik bergegas melepas pakaian yang ia kenakan, begitu juga dengan Sabdo.  la baru sadar tanah yang mereka injak sudah ditabur dengan semacam kapur putih yang membentuk sebuah simbol yang tak pernah Sabdo lihat sebelumnya.

"Trah Balasedo adalah julukan bagi kita keluarga Kuncoro kata Arjo seraya meraih lagi keris tadi dari atas meja. la menarik dan menunjukkan bilahnya yang berwarna merah darah." "Tak ada yang boleh merendahkan kita, apalagi menantang seorang Trah Balasedo, kalian semua mengerti?"

Mereka berdua mengangguk, meski sebenarnya tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan oleh Arjo.

"Berlututlah kalian berdua di dalam lingkaran ini" kata Arjo sembari menunjuk simbol lingkaran dengan tiga garis.

Arjo mulai menari-nari di hadapan Sabdo dan Sugik. la tertawa begitu keras sembari berteriak-teriak bahwa Ratu telah menitipkan seorang Canguksono kepada dirinya dengan tujuan mulia. Kelak Canguksono akan menjadi bunga yang paling mekar serta harumnya mewangi di antara bunga-bunga lain di serat rojot akar bunga wijayakusuma.

"Di sini kalian akan kuikat dalam satu garis takdir yang sama. Satu akan menanggung sakit dari yang lain. Namun yang lain tak menanggung apa pun. Dengarlah aku wahai putra Kuncoro, kau adalah Canguksono. Kau berhak atas Bokolono yang menjadi warisan dari leluhur keluarga yang hidup lebih dari ratusan tahun. Jadilah sebuah puing dalam sumpah ROGOT NYOWO. Berbaktilah atas nama Kuncoro, maka kehormatan dari derah-darah pendahulu kita yang tumpah-ruah di atas tanah akan membawa kita ke puncak bunga wijayakusuma yang begitu agung"

Arjo menatap Sugeng, ia bergegas melangkah masuk ke suatu ruangan yang pernah Sugik lihat. 
Ruangan tempat dia mengintip Lasmini yang melakukan hubungan badan dengan sosok menyerupai kambing hitam. Hal ini tak akan pernah Sugik lupakan seumur hidup.

Sugeng melangkah keluar. la membawa seutas tali, menarik seekor anak kambing yang masih basah dengan cairan ketuban, seperti baru saja diambil dari perut kambing betina. Arjo mengambil anak kambing itu dari tangan Sugeng, membersihkan tubuhnya lalu mengangkat binatang itu tinggi-tinggi dengan satu tangan.

"Makanlah ini, persembahkan diri kalian sebagai Abdi Sula yang akan bersama-sama menjadi pasak bagi keberlangsungan keluarga Kuncoro. Tunjukkan bakti kalian di depan mataku wahai putra-putra yang agung. Terimalah ritualku ini, jadikan aku bakti kepada engkau wahai ratuku"

Arjo menghunus bilah keris, membedah isi perut anak kambing tersebut hingga usus di dalam perutnya terburai menyembur keluar.
Wajah Sabdo dan Sugik berlumurkan darah cipratan dari binatang itu.

Kini di atas tanah, pandangan mereka tertuju melihat tumpukan dari isi perut anak kambing itu.

Arjo mulai memerintahkan kepada mereka, "Makanlah sekarang"

Sabdo melihat Sugik ragu, mereka sama-sama terlihat bingung.

"MAKAN KUBILANG" tegas Arjo.

Sabdo mulai merangsek mencengkeram tumpukan daging yang berwarna kemerahan, menelannya mentah-mentah. Sugik yang melihat hal tu mulai mengikuti, ada beberapa daging bercampur dengan tanah yang ia telan. Sabdo mulai merasakan isi perutnya bergejolak, menolak apa yang dia makan. Begitu pula dengan Sugik yang mulai merasa mual. Namun Arjo terus memaksa mereka menghabiskan semua isi perut anak kambing yang mati tak jauh dari kaki.

Arjo mencengkeram jasad binatang itu lalu membakarnya di dalam kobaran api yang menyala di atas tungku. la tertawa menggelegar seperti orang sinting.

Sugik masih memaksa buraian usus masuk ke mulutnya sampai air matanya ikut keluar. la tak sanggup lagi. Arjo benar-benar sudah gila.

Tanpa disadari, apa yang mereka lakukan menarik perhatian sesuatu yang berdiri tak jauh dari tempat mereka. Sabdo yang pertama menyadari hal ini. la menoleh, melihat seekor kambing hitam yang biasa ia lihat menatap dirinya.

Sabdo dan Sugik masih berlutut di depan Arjo dengan mulut dipenuhi noda berlumuran darah segar. Arjo mengguyur tubuh mereka dengan air kembang, mengatakan bahwa sekarang mereka
sudah menjadi Abdi Sula.

Persaudaraan mereka diikat dengan darah
seekor anak kambing sebagai pengingat sumpah mereka, Sabdo Kuncoro, tuan bagi Sugik Bakhir.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close