Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 4)


JEJAKMISTERI - Sugik menatap langit-langit sembari merenungi nasibnya. Tak pernah dia sangka akan memiliki takdir terikat oleh seorang Songkor.

Arjo Kuncoro bukan orang sembarangan. Sugik dapat merasakan langsung karisma menakutkan yang dimiliki oleh lelaki itu.

Hal lain yang mengganjal pikiran Sugik adalah ketidakhadiran Sabdo.

Apakah Sugeng sudah membawa pemuda itu ke hadapan Arjo? Ia juga yakin tak pernah melihat Arjo sebelumnya, tidak seperti yang dikatakan Sugeng tempo hari.

Seseorang baru saja mengetuk pintu kamar. Sugik melangkah membuka pintu. Rupanya Sugeng yang datang.

"Tuan Arjo ingin bertemu denganmu" Tepat saat sorop, mereka berjalan keluar menuju tempat Arjo menunggu. 

Kediaman milik Kuncoro begitu besar. Sugik dan Sugeng harus melewati taman untuk sampai di sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Pintunya tak hanya digembok, tetapi juga dipasangi pasak kayu. Siapa pun yang ada di dalam pasti tak akan bisa keluar.

Untuk apa Arjo mengunci diri di sini?

Sugeng melepas pasak kayu kemudian meraih kunci dari kantung untuk membuka gembok. la mendorong pintu yang terlihat lebih berat dari yang Sugik perkirakan. Saat pintu terbuka, Sugik bisa melihat hanmparan lorong panjang dengan lantai tanah yang dipenuhi kotoran serta bau rumput basah yang memuakan, Terdengar Suara embikan dari sisi lorong yang diberi sekat kayu. Rupanya tempat ini adalah kandang kambing.

Pelan-pelan, mereka menelusuri lorong panjang itu, Di penghujung lorong Arjo terlihat sedang menguliti seekor kambing yang diikat secara terbalik di atas meja jagal.

Sugik bisa mencium aroma selain kambing dan rumput basah, seperti bebauan kemenyan yang
entah disembunyikan di mana. Darah merah segar terlihat di beberapa sudut ruangan, seakan-akan ini adalah tempat Arjo membantai semua
kambing yang ada.

"Aku sudah bawa Sugik, Tuan Arjo" kata Sugeng.

Arjo Kuncoro melirik Sugeng dan Sugik dari sudut matanya. Setelah beberapa saat dalam jeda, Arjo melanjutkan pekerjaannya.

la kembali menguliti binatang yang baru digorok lehernya tersebut.

Dengan telaten, Arjo memainkan pisau kecil di tangannya, merobek kulit binatang itu hingga terlihat seperti seonggok daging yang
tergantung.

Sugik merasa isi perutnya bergejolak. la mual melihat bagaimana Arjo mengiris-iris binatang itu, padahal ini bukan kali pertama Sugik melihat seekor kambing dikuliti seperti ini.

Setelah puas memainkan belati kecil di tangannya, Arjo meletakkannya begitu saja. la lalu meraih sepotong kain putih untuk membersihkan kedua tangannya yang berlumuran darah. la menatap Sugik dengan tatapan kosong.

"Mas Sugik, kamu akan menjadi abdiku. Untuk itu, akan kuambil sumpahmu kepadaku" Tiba-tiba, Sugeng memelintir siku Sugik.

Sugik yang terkejut lantas mencoba melawan, tetapi Sugeng menekan Sugik lebih keras sembari berujar dalam nada yang tegas. "Jangan melawan Gik ikutin saja perintah Tuan Arjo.

Aku tidak mau membuatmu lebih sakit dari ini. Sugik menatap wajah Sugeng, ia tak pernah semarah ini kepadanya.

Sugeng lantas mendorong Sugik, menekan betisnya agar berlutut di hadapan Tuan Arjo.

Arjo melepas baju, membiarkan tubuhnya bertelanjang dada. Tubuhnya dipenuhi goresan luka bakar. Arjo meraih sebilah pisau kecil di atas meja, kemudian ia menyayat pelipis mata Sugik, menggoreskan ujung pisau hingga darah kental itu bermuara di sana. Arjo mendekati sepotong kayu dengan api yang berkobar-kobar. Sembari mengatakan sesuatu yang tak Sugik mengerti.

Arjo membakar ujung pisau itu, membiarkan darah Sugik menguap begitu saja. Kemudian ia menggoreskan lempengan tajam itu di dada Sugik. la membuat luka baru di sana.

"Tanda bahwa aku menerimamu sebagai abdiku" kata Arjo.

Sugik hanya menunduk, sekarang ia mengerti luka-luka yang ada di tubuh Arjo adalah bukti dari para abdi yang disumpah untuk tunduk kepadanya.

"Sekarang aku menunggu sumpahmu" lanjut Tuan Arjo dengan tegas.

"Sumpah apa?" tanya Sugik bingung.

Sugik meronta ketakutan, perasaan yang tiba-tiba muncul setelah Arjo membakar darah di ujung
pisau itu. Sugik merasakan ngeri yang entah dari mana datangnya.

Arjo lantas berdiri meninggalkan Sugik dan Sugeng seorang diri. Tak lama terdengar suara kambing mengembik yang begitu keras.. Arjo kembali bersama seekor kambing hitam yang besar.

Kambing ini tampak berbeda dari kambing biasanya, Bola matanya merah, tanduknya melengkung dengan daun telinga cacat.

Arjo berbisik pada binatang itu kemudian merain sebilah parang yang menempel di tembok. la menatap Sugik dengan senyuman yang membuatnya seketika diam membeku.

Tanpa jeda, Arjo menggorok leher kambing tu, menarik kepalanya hingga darah di batang lehernya menyembur, menetes jatuh ke tanah.

Setelah itu, Arjo meletakkan parang ke atas meja. la menengadahkan tangan, membiarkan darah dari leher kambing tersebut menetesi tangannya.

Setelah darah kental terkumpul di telapak tangannya, ia memberi gestur pada Sugeng yang kemudian berusaha membuka mulut Sugik.

"Jangan melawan Gik, sebentar saja. Setelah ini semuanya selesai"

Sugik berusaha melawan, tetapi Sugeng terus memaksanya membuka mulut.

Sekilas Sugik melihat bayangan hitam besar bertanduk berdiri di belakang Arjo. Lalu tanpa sadar Sugik membuka mulut, menelan cairan
kental itu ke dalam kerongkongannya. Perlahan-lahan pandangannya mulai terasa kabur. Napasnya sesak.

Sesuatu yang panas meluap-luap di dalam perut Sugik. la berusaha memuntahkan benda itu tetapi tak bisa. la menggeliat hebat, merasakan hantaman yang begitu keras di kepalanya. Sugeng dan Arjo hanya diam melihat ia kesakitan.. Perlahan-lahan, semua menggelap.

Sugik tak lagi bisa merasakan apa-apa. Tubuhnya mati rasa, dan semakin lama semakin gelap, mata sugik sudah tidak bisa melihat lagi dan ahirnya gelap semua..

Sugik membuka mata, tubuhnya terasa begitu lemas bahkan untuk sekedar mengangkat badan saja la harus bersusah payah. Telentang di atas dipan, Sugik menatap langit-langit kamar.

Sudah berhari-hari dirinya hanya bisa seperti ini tanpa dapat melakukan apa-pun. Sugik masih teringat akan apa yang terjadi. Sebelum keadaannya seperti ini, ia melihat sebuah bayangan hitam besar dengan mata merah menyala, di kepalanya ada sepasang tanduk bengkok menyerupai tanduk seekor kambing yang darahnya ia minum.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. "Masuk!" ujar Sugik.

Seorang perempuan masuk membawa sepiring nasi dan lauk. Sejak beberapa hari yang lalu Arjo memerintahkan salah satu abdinya untuk merawat Sugik. Hal ini biasa terjadi bagi abdi-abdi baru. Konon pernah ada yang sampai tak dapat melakukan apa pun selama satu bulan penuh. Efeknya berbeda bagi setiap orang. Teringat kilasan saat Arjo memasukkan darah binatang itu ke dalam tubuhnya. la seakan-akan berada di ujung nyawa.

Sengatan yang menyakitkan serta pekik dari rasa sakit yang teramat sangat membuat Sugik akhirnya tak sadarkan diri. Namun semua itu sudah berlalu, rasa sakit yang sempat Sugik rasakan perlahan-lahan mulai hilang. Hanya tenaganya saja yang belum benar-benar pulih.

Sugik menatap perempuan itu, cantik dan anggun dengan rambut dikuncir. la mengenakan kebaya putih, menunjukkan proporsi tubuh yang semampai. Perempuan itu duduk di samping tempat Sugik berbaring.

"Mas Sugik, gimana keadaan sampeyan hari ini?"

Sugik mengangguk canggung. Selain cantik, dia juga begitu telaten merawat. Membuat Sugik merasakan godaan saat bersamanya. Namun Sugik mengingatkan diri, bahwa ada istri di rumah yang tengah menunggu kepulangannya.

Perempuan itu meletakkan sepiring nasi dengan lauk di atas meja. la juga membawa satu ember air dengan kain basah di dalamnya.

Perlahan-lahan perempuan itu mulai membersihkan tubuh Sugik, dan ia pun merasa semakin canggung.

"Kalau mau cerita, cerita saja, kata si perempuan sambil melihat Sugik, wajahnya memerah. Sugik tak enak hati sehingga lebih memilih untuk diam.

Setelah selesai membasuh badan Sugik, perempuan itu menyuapi Sugik sembari bercerita bahwa dia juga mengalami hal yang sama.

Saat kali pertama datang di kediaman milik Kuncoro. Hal ini menjadi syarat wajib mengingat Kuncoro memiliki banyak musuh.

Rumor yang beredar mengatakan bahwa Kuncoro memiliki sifat dasar yaitu takut akan kematian yang membuat lingkungan keluarganya begitu
dilindungi. Sayangnya hal ini tak terjadi pada Monokolo dan Kondoto. Mereka tetap mati di tangan musuhnya yang masih misterius.

Dari mulut perempuan itu pula Sugik akhirnya tahu banyak tentang siapa Arjo yang sebenarnya. Tak pernah ia duga sebelunnya bila di balik kehitaman dunia yang Arjo tekuni, ia dikenal begitu dermawan di mata masyarakat. Bahkan beberapa orang sengaja menjadi abdi secara sukarela. Mereka begitu mengagung-agungkan Arjo.

Ini membuat Sugik merasa semakin penasaran dengan alasan Arjo menginginkan dirinya untuk menjadi abdi.

Si perempuan selesai menunaikan tugasnya. la bersiap pergi saat Sugik memanggil namanya. "Maturnuwun ya, Lina."
Perempuan itu tersenyum sebelum akhirnya menutup pintu.

Di siang terik itu, setelah berhari-hari terkurung di dalam kamar tenaga Sugik mulai pulih. la berkata kepada Sugeng bahwa ia sudah bisa bekerja untuk Tuan Arjo Kuncoro.

Sugeng menyampaikan kepada Sugik untuk sementara mengisi posisi menjadi tukang kebun, merawat salah satu taman kebanggaan milik Lasmini Kuncoro.

Lasmini Kuncoro. Sugik mengenal nama itu, istri dari Arjo Kuncoro.

"lya" kata Sugeng sembari menelusuri taman yang ditumbuhi berbagai jenis bunga berwarna-warni.

"Sepertinya kamu kenal baik dengannya," kata Sugik.

"Tentu aku mengenal dengan baik, aku yang selalu melakukan perintah suaminya." Sugeng menatap Sugik kemudian merangkul badan sahabatnya tersebut.

"Gik, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, tapi percayalah, aku tidak minta kamu memaafkanku. Tapi kali ini aku tidak akan diam saja. Kamu akan lepas dari tangan Tuan Arjo tanpa ada korban di antara kita" ucap Sugeng menjelaskan.

"Sudah, kamu urus saja taman ini. Aku akan sampaikan kepada beliau dan mencari tahu kapan dirimu akan siap."

"Siap untuk apa?" tanya Sugik penasaran.

"Siap untuk jadi sopir dari Tuan Sabdo Kuncoro. Kamu akan menjadi tangan kanan Tuan Sabdo"

Sugik memandang Sugeng, sekarang ia tahu bahwa rupanya Sabdo sudah ada di rumah ini.

Sugeng meninggalkan Sugik seorang diri, Di sebuah gazebo ditengah-tengah taman, Sugik melihat seorang wanita tengah duduk di sebuah kursi goyang. la yakin wanita itu adalah istri dari Tuan Arjo Kuncoro, Lasmini.

keesokan harinya, dipintu gerbang kediaman Kuncoro, mobil berjalan masuk. Dari dalam mobil, Sabdo menatap orang-orang di taman yang sedang
mencabuti rumput dan memangkas tanaman. Beberapa berdiri melihat mobil yang dikendarainya melintas.

"Mereka adalah abdi-abdi dari ayah njenengan," kata Sugeng.

"Aku takut, Mas kata Sabdo, "Apa yang harus aku katakan kepada beliau?"

Sugeng menghela napas panjang, tersenyum melihat Sabdo dari kaca depan mobil.

"Tuan Arjo, bapak njenengan, yang meminta langsung kepada saya untuk menjemput Anda.

Ini adalah keinginan bapak njenengan sendiri, jadi tak ada yang perlu ditakutkan..

Mobil berhenti. Sugeng turun kemudian membukakan pintu untuk Sabdo. Namun Sabdo tampak ragu untuk turun.

"Tuan muda, mereka keluarga njenengan. Tidak ada yang perlu njenengan takutkan" bujuk Sugeng. 

Perlahan Sabdo melangkah turun. la menatap Sugeng yang mengangguk seakan memberi gestur bahwa semua akan baik-baik saja.

Sebuah rumah megah besar dengan pilar dan anak tangga terlihat. Di puncak anak tangga berdiri lima orang yang sudah menunggu kedatangan mereka.

Sabdo menaiki pilar anak tangga satu per satu. Wajah-wajah mereka mulai terlihat jelas. Mereka semua tampak berbeda dari Dayangan Sabdo. Busana yang mereka kenakan jauh berbeda bila dibandingkan dengan apa yang Sabdo pakai saat ini. la merasa seperti kotoran di atas lantai keramik.

Tuan Arjo yang pertama menyambut kedatangan Sabdo. la mendekat, mengelus kepala pemuda itu, lalu memeluknya.

"Anakku, maafkanlah bapakmu yang membutuhkan waktu lama untuk mencari keberadaanmu Sabdo tak tahu harus menjawab apa.

"Aku sungguh menyesal atas kematian ibuhandamu"

Sabdo bingung. Dari mana dia tahu kalau lbu baru saja meninggal.

Arjo menatap bola mata cokelat Sabdo, mengingatkannya dengan bola mata adik dan ayahnya.

"Mari sini, kita berkenalan dengan keluargamu yang baru."

Sabdo mengikuti Arjo yang meremas lembut bahunya, menuntun Sabdo ke beberapa orang yang tengah menatapnya.

"Ini istriku, Lasmini" ucap Arjo.

Lasmini yang cantik dan tampak lebih muda dari lbu membuat getir hati Sabdo. Apa Arjo meninggalkan lbu demi perempuan ini? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

Di sebelah Lasmini, berdiri dua pemuda dan satu perempuan yang mungkin seusia dengan dirinya.
Ketiga anakku yang sekarang jadi saudaramu, si sulung Pras Anum, lalu ini adiknya, Batra, dan satu-satunya perempuan di keluarga ini, Intan."

Sabdo mengulurkan tangan ke mereka, tapi tak ada yang menyambut, bahkan Lasmini sekalipun. Mereka melihat Sabdo dengan tatapen jijik. Kecuali Intan Kuncoro. Perempuan ini menyambut tangan Sabdo dengan hangat.

"Saya sudah lama menunggu kedatanganmu,  Mas Sabdo"

Intan mengulas senyum yang menenangkan
pras Anum dan Batra tersenyum mengejek. Mereka lantas pergi begitu saja meninggalkan pertemuan ini.

"Tak perlu kamu pikirkan mereka. Istirahatlah, Intan akan mengantarkan ke tempatmu tinggal nanti" ujar Arjo ramah.

Sabdo mengangguk.
Sabdo mengekor di belakang Intan, ia tak tahu harus berkata apa. Meski Sabdo tahu ia adalah saudari sedarahnya, tetapi ada sesuatu yang membuat dadanya berdebar-debar.

"Enam belas tahun" kata intan sembari menoleh pada Sabdo.

"Kamu masih enam belas tahun, kan?" Sabdo mengangguk.

"Aku tujuh belas tahun, tapi tidak masalah bagiku memanggilmu Mas."

Intan berhenti agar Sabdo berjalan sejajar dengan dirinya. "Pras Anum dua puluh tahun, Batra delapan belas tahun. Lucu ya, usia kita tidak beda jauh"

Sabdo ingin bertanya apakah Intan anak dari Arjo dan Lasmini, tetapi ia mengurungkan niatnya.

Mereka melewati ruang-ruang di bawah langit-langit tinggi tepat di samping taman. "Tak usah kamu pikirkan sikap Pras Anum dan Batra. Mereka hanya iri"

"Iri?"

"Aku juga sama, iri melihat betapa Bapak begitu bangga saat melihatmu. Kamu punya apa yang paling diinginkan oleh Bapak"

"Apa yang diinginkan Bapak dariku?"

Intan mengangkat bahu. Entah tanda bahwa ia tidak tahu, atau tidak mau memberi tahu.

Mereka sampai di ruangan untuk Sabdo yang ternyata begitu besar dan megah. Sabdo menganga tak percaya.

"Silakan, kalau butuh apa-apa, panggil saja orang yang lewat. Mereka semua abdi kita" Intan bersiap melangkah pergi tetapi kemudian ia berkata.

"Sabdo, selamat datang di keluarga Kuncoro, aku menyambutmu sebagai seorang Kuncoro serta aku menerimamu, sang Canguksono." la mengangguk memberi hormat sebelum akhirnya benar-benar pergi dari hadapan Sabdo.

Sang Canguksono gumam Sabdo. Entah kenapa kata itu terdengar familier di telinganya.

Keesokan harinya Sabdo di panggil ke ruangan pribadinya Arjo, disana arjo sudah menunggu, lalu di suruh duduk di tempat yang sudah di sediakan, kemudian Arjo duduk bersila di hadapan sabdo. Di depan mereka tersaji segelas cairan kental berwarna meran Kehitaman yang baru saja diambil langsung dari batang leher seekor kambing hitam.

Arjo berkata bahwa dia ingin melihat Sabdo meneguk cairan ini. Sabdo menatap gelas tanah lihat tersebut. la menyanggupi permintaan Arjo dengan menelan bulat-bulat cairan itu langsung di hadapan Arjo Kuncoro.

Sabdo merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhnya. Detak jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa panas seperti membakar tubuhnya, tetapi Sabdo berusaha menahan. la tak ingin Arjo melihatnya sebagai orang yang lemah.

Namun, sekuat apa pun Sabdo menahan, amis darah memuakkan yang mengganjal di kerongkongan membuat ia ingin muntah.

Arjo melihat Sabdo mampu menguasai diri. la tersenyum puas sebelum berkata dengan yakin bahwa Sabdo adalah sosok yang selama ini ia cari.

"Memang pantas kamu menyandang nama sebagai Kuncoro." Arjo tertawa begitu senang.

Hari itu, Arjo tak henti-hentinya bercerita kepada Pras Anum, Batra, intan, dan Lasmini di meja makan bahwa Sabdo telah membuktikan ia sebagai seorang Canguksono yang dia cari-cari selama ini.

Tak semua senang dengan apa yang Arjo sampaikan. Hanya Intan Kuncoro yang menyambut cerita Sabdo dengan senyuman.

Satu persatu dari mereka melangkah pergi meninggalkan meja makan.

Sabdo duduk termangu di teras saat dirinya melihat sosok yang dia kenal. Sugik tampak tengah memangkas rumput tak jauh dari kamarnya. la menghampiri lelaki itu.

Kedua mata mereka bertemu. Sugik melihat Sabdo yang terlihat jauh berbeda dari terakhir mereka bertemu. Sebelumnya.

Sabdo adalah pemuda kampung usang yang tak dapat merawat diri. Sekarang ia menjelma menjadi seorang pemuda rupawan. Karisma yang selama
ini tersembunyi di dalam dirinya menyeruak naik dan membuat gentar.

"Mas Sugik, kemana saja selama ini? Kata Mas Sugeng sedang banyak urusan, ya?" tanya Sabdo kepada Sugik.

Sugik tersenyum mengiakan, ia memiliki urusan genting yang tak dapat ditinggalkan. 

Di siang terik itu Sabdo menawari Sugik minum
di depan kamarnya, salah satu ruangan termegah di rumah utama keluarga Kuncoro.

Sugik menerima ajakan Sabdo meski merasa tak nyaman.

Mereka duduk di depan satu meja. Setelah seorang abdi perempuan meletakkan gelas berisikan kopi, Sabdo bercerita bahwa kehidupannya kini berubah drastis. Sabdo sempat berpikir mungkin akhir nasibnya hanya akan menjadi berandalan pasar. Namun setelah Sugeng dan Sugik datang merjemputnya, semua berubah. Mengajaknya minum bersama saat ini pun rasanya masih belum cukup untuk membayar jasa mereka.

Sugik mendengarkan sembari terkagum-kagum melihat Sabdo yang memang layak mendapatkan posisinya saat ini.

Di tengah jamuan kecil itu, tiba-tiba Pras Anum dan Batra berjalan melewati mereka. Kakak-kakak Sabdo itu menatapnya dengan sorot mata menghina. Sembari menyeringai di hadapan Sabdo dan Sugik, Pras Anum berkata, "Lihat ini, kotoran tetaplah kotoran. Hanya bersama kotoran lainlah mereka bisa mengerti satu sama lain"

Sugik menahan diri, ia tahu posisinya. Sungguh hal terlarang bagi seorang abdi jika sampai berani menentang tuannya yang berarti seluruh anggota keluarga Kuncoro. Sugik berdiri, mengangguk kepada Sabdo lalu memberi salam yang sama kepada kedua pemuda Kuncoro tersebut. Namun Sabdo menahan Sugik, berkata bahwa tak masalah
baginya menjamu seorang abdi di dalam wilayah.

Pras Anum dan Batra melihat Sabdo dengan sorot mata mengancam. Pras sebagai anak sulung mendekati Sabdo kemudian menampar wajahnya.

Sabdo berdiri, menatap balik Pras dengan sorot mata yang membuat Pras merinding. la seperti melihat bayangan Arjo. Pras memutuskan untuk mundur, tak melanjutkan intimidasi serta ancamannya kepada Sabdo. Mereka berdua pun pergi.

Sabdo kembali duduk, mempersilakan Sugik meneguk kopi dihadapannya. la tahu bahwa ia baru saja membuat kedua kakaknya merasa terhina dengan sikapnya, tetapi Sabdo siap menanggung segala konsekuensi dari perbuatannya.

Malam itu Sugik diminta menghadap Pras Anum dan Batra, pesan itu disampaikan oleh seorang abdi lelaki yang tinggal di samping kamarnya. Apa yang diinginkan dua anak Kuncoro darinya.

Sugik bergegas menuju rumah utama tempat Pras Anum dan Batra tinggal.. Apakah ini karena kejadian jamuan tadi siang?

Sugik mengetuk pintu kamar Pras Anum dan Batra. Pintu terbuka, Sugik berpapasan dengan seorang abdi lelaki yang keluar dari kamar.. Abdi yang lebih muda darinya itu terkejut melihat Sugik. la setengah menunduk malu sambil melangkah pergi dengan langkah kaki terseok seok. Sugik memperhatikan sejenak abdi lelaki itu sebelum melangkah masuk.

Pras Anum dan Batra tengah duduk di kursi.
"Namamu Sugik bukan?" tanya Batra, sementara Pras Anum tampak mengamati Sabdo.

"Benar, Tuan." Sugik mengangguk.

"Apa hubunganmu dengan Sabdo?" tanya Batra.

"Kami tidak memiliki hubungan. Aku adalah orang yang diutus oleh Tuan Arjo untuk menjemputnya"

Pras Anum menatap Batra. Mereka saling memberi gestur pesan yang Sugik tak mengerti. Pras Anum berdiri dari kursinya, melihat wajah Sugik dan mengamati tubuhnya dari atas hingga bawah. Kemudian ia menampar wajah Sugik hingga tersungkur jatuh. Pras Anum menghajar Sugik,
menendang tubuhnya berkali-kali kemudian mengambil sebuah rotan.

Lepaskan pakaianmu perintah Pras. Sugik masih diam, menahan diri.

"BANGSAT, LEPAS PAKAIANMU! SEKARANG! ATAU KAMU MAU YANG LEBIH MENYAKITKAN DARI INI?"

Sugik pun menurut. la menanggalkan pakaiannya. Setelah itu ia dipaksa untuk berlutut. Pras Anum mencambuk punggung Sugik dengan rotan. 
Sugik hanya dapat menahan rasa sakit saat
rotan menyentuh kulitnya. Kini, kulitnya terasa seperti terbakar.
Punggungnya mulai mengeluarkan darah segar. Ingin rasanya ia menghantam dua bedebah ini, tetapi sekali lagi ia teringat pesan Sugeng. Sugik menguatkan diri untuk tidak terpancing, ia tak ingin semua bertambah buruk. Sugik hanya dapat diam sembari sesekali mencengkeram tubuhnya.

Pras Anum akhirnya berhenti mencambuki Sugik. "Pergilah, jongos, seharusnya kamu sadar posisimu, tukang kebun sialan. Bila Sabdo menjamu dirimu lagi, tolak. Mengerti?"

Sugik meninggalkan tempat itu sembari menahan perih saat kulit punggungnya menyentuh pakaian yang ia kenakan. Suara tawa Pras Anum dan Batra terdengar di telinganya.

Saat di persimpangan pintu, hampir saja ia menabrak seseorang di dalam kegelapan rumah utama.

"Maaf" kata Sugik. Rupanya seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Lina.

Lina tak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya.

la bertanya apa yang Sugik lakukan di sini. Sugik pun bercerita apa yang baru saja menimpanya. Wajah perempuan itu tampak bersimpati mendengarnya.

la berkata lebih baik Tuan Arjo tahu perbuatan dua begundal itu, tetapi Sugik memilih untuk tidak memperpanjang semua ini.

Pandangan Sugik tertuju pada apa yang Lina bawa. Sebuah kendi berisikar cairan berbau amis.

"Apakah mereka memintamu untuk
melakukan..." Lina menghentikan kata-katanya.

"Melakukan apa?" tanya Sugik penasaran.

"Sudah, lupakan saja." Lina tersenyum bersiap melangkah pergi.

Sugik menahan Lina, bertanya untuk apa dia membawa kendi itu. Namun Lina tak menggubris pertanyaan Sugik. la memilih untuk melewati pemuda itu, melangkah semakin cepat yang justru membuat Sugik semakin curiga.

Rasa penasaran Sugik membuatnya membuntuti Lina. la melewati sebuah lorong panjang di bagian rumah ini. Dalam cahaya remang-remang, Lina berhenti di sebuah ruangan lalu mengetuk pintu.

Tampak Intan Kuncoro membuka pintu, Lina melangkah masuk. Sugik mengamati mereka dari jauh.

Sugik terkejut ketika bahunya disentuh dari belakang.

Sugeng rupanya, ia menatap Sugik menyelidik. "Apa yang kamu lakukan di sini, Gik?"

Sugik bercerita apa yang baru menimpanya. Sugeng pun mengajak Sugik ke kamarnya. Sugik melepas pakaian, membiarkan Sugeng membersihkan luka itu dan mengoleskannya dengan salep.

"Begini" kata Sugeng. "Memang tak sepantasnya kamu menerima ajakan Sabdo. Bagaimanapun juga sekarang dia adalah tuan kita.  Tapi Pras dan Batra memang keterlaluan. Bila ini sampai terdengar Tuan Arjo, dia akan sangat marah"

Sugeng mengambil sebatang rokok dari kantong lalu menawari Sugik. "Bila kamu sudah tahu seluk beluk tinggal di tempat ini, semua akan baik-baik saja. Lagi pula kamu tak perlu khawatir lagi,
penghasilanmu akan lebih dari cukup.

Sugik merasa terusik, ia tak pernah berpikir tentang uang apalagi setelah tahu betapa anehnya keluarga Kuncoro. la terjebak di sini karena mahar sialan yang sudah menjerat istrinya.

"Menurumu untuk apa Lina membawa benda itu ke Nona Intan Kuncoro?"

Gik kata Sugeng mengingatkan, "lebih baik kamu tak usah mencari tahu. Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu. Percayalah, kamu tak ingin tahu hal-hal seperti ini"

Meski rasa curiga Sugik begitu besar, Sugik hanya mengangguk saja. la berpamitan pulang setelah Sugeng selesai mengolesi semua luka Sugik.
Tepat tengah malam, Sugik berjalan menuju kamar. Tanpa sengaja ia melihat seseorang melangkah sendirian di taman. la mengenakan kain yang menutupi sebagian tubuh serta wajahnya, berjalan terburu buru. Sugik memperhatikan dengan saksama sosok misterius itu dari semak belukar di samping pohon.

Sosok itu berhenti, menoleh memperhatikan sekeliling. Untung-nya Sugik dapat lebih dahulu bersembunyi. Setengah wajah dari kain yang menutupi kepalanya terlihat.

Lasmini. Apa yang dilakukan istri Tuan Arjo Kuncoro tengah malam seperti ini? Untuk apa melangkah ke arah paviliun di sebelah timur rumah utama?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close