Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 3)


JEJAKMISTERI - Setelah semua urusan selesai, mereka bertigapun melanjutkan perjalananya menuju rumah Kuncoro, mobil melaju perlahan meninggalkan kampung tersebut. Kali ini Sugik yang bertugas menyetir setelah mendapatkan arahan dari Sugeng.

Sabdo duduk di kursi belakang, matanya tampak kosong seakan terjebak dalam pikirannya sendiri.

Sugeng sudah berpesan kepada penduduk kampung, bila ibu Sabdo dimakamkan dengan layak, ia tidak akan mengadukan perbuatan mereka ke majikannya.

"Tapi pasti akan ada satu dua yang mati sebagai penebusan dosa mereka. Kuncoro tak pernah suka diremehkan" gumam Sugeng.

Sepanjang jalan, Sugik mencuri pandang ke arah Sabdo lewat kaca tengah. Pemuda itu tak banyak bicara.

Sugeng juga tak banyak bertanya kepada Sabdo. la tahu rasanya kehilangan, ketika semua yang dimiliki tiba-tiba hilang, lenyap, menguap begitu saja meninggalkan sesak.

Sugik sempat mendengar sekilas cerita tentang Sabdo dari orang-orang di perkampungan. Mereka berkata Sabdo membawa sesuatu yang mengerikan, beberapa bersumpah melihat sesuatu yang tak jelas bentuknya seringkali muncul di kediaman milik Sabdo. Bahkan ada yang berkata bahwa Sabdo adalah titisan iblis.

Bagi Sugeng, apa pun alasan yang mereka katakan soal Sabdo, tetap saja tak sepatutnya ia dihukum dengan cara sekeji itu. Terutama setelah tahu bahwa Sabdo adalah anak Arjo Kuncoro, orang yang pernah membantu mereka mengatasi wabah pagebluk geni abang yang bertahun-tahun dulu pernah menyebar di kampung ini.

"Kenapa baru sekarang?" tanya Sabdo tiba-tiba.

Sugik tertegun. Sugeng menoleh menatap Sabdo. "Aku tidak tahu mungkin ada yang ingin dia sampaikan ke kamu"
Dari kaca tengah, Sugik melirik Sugeng yang tengah mengusap jari telunjuknya dengan ibu jari. la tahu kebiasaan Sugeng ketik berbohong atau menutup-nutupi sesuatu.

Mobil menepi, Sugeng mengantarkan Sabdo masuk ke rumah makan untuk menikmati santap siang. Di dekat mobil, Sugik duduk merokok. Kepulan asap melayang di atas kepalanya saat Sugeng datang mendekat.

"Gak melok mangan?" (Tidak ikut makan?)tanya Sugeng.

"Geng, jujur saja, untuk apa seberarnya Arjo minta jemput anak itu?"

"Apa toh maksudmu?" sahut Sugeng sembari mengambil rokok dari sakunya.

"Aku wes suwe kenal awakmu, omongno kabeh sing gorong mok omongke." (Aku sudah lama kenal kamu, omongkan saja semua yang belum kamu omongkan)

Sugeng menyalakan rokok, mengisap tembakau itu kuat-kuat sebelum mengembuskan kepulan asap.

"Uripku nggak suwe. Asline aku wes mati ket biyen-biyen nek nggak perkoro tuan Arjo sing teko nolong aku, paling aku wes dadi batang sing ngambang nang kali."
(Hidupku tidak lama, Aslinya aku sudah lama mati kalau tidak karena Tuan Arjo yang menolongku, mungkin aku sudah jadi bangkai yang ada di sungai)

"Gik, aku pingin ngajak awakmu tenanan tapi aku kudu eroh jawabanmu disek, soale onok sing nggak mok erohi perkoro tuanku."
(Gik, aku ingin ngajak kamu beneran tapi aku harus tahu jawabanmu dulu, soalnya ada yang gak kamu tahu perkara majikanku.)

Sugeng menatap Sugik lekat-lekat. "Duit sing tak kekno nang awakmu iku ngunu duwitmu, tapi onok sing nggak mok ngerteni."
(Uang yang tak kasikan sama kamu itu sebenarnya uangmu, tapi ada yang tidak kamu mengerti.)

Opo maksudmu asline? (Apa maksudmu sebenarnya?)

"Arjo Kuncoro adalah seorang Songkor"

"Songkor? Jangan-jangan kamu... Sugeng mengangguk. Sugik mencengkeram lengan Sugeng, melihat wajahnya dengan sengit seperti ingin menghajarnya. "Aku sudah percaya sama kamu"

"Aku nggak punya jalan lain, aku harus menolongmu"

"Menolong apa? Soal utang? Yang ada kamu sudah menjebloskanku ke orang sinting?"

"Cuma ini yang bisa kulakukan untuk menolong istrimu"

"Istriku? Apa maksudmu?"

Sugeng membuang rokok di tangannya lalu memberikan Sugik sebuah surat.

"Aku memang mengajukan dirimu, tapi yang jadi jaminan bukan kamu, tapi istrimu"

"Jangan bilang kamu. Tuan Sabdo mau kamu. Aku sudah ke rumah mertuamu untuk cari kamu, tapi di rumah hanya ada istrimu. Aku nggak punya pilihan lain selain memberi mahar untuknya."

"BANGSAT KOWE, AKU WES PERCOYO KARO AWAKMU. JANCOKI" (Bangsat kamu, aku sudah percaya sama kamu. jancok!)

"Kamu hanya perlu mengabdi dengan baik. Dia akan melepaskanmu sesuai mahar yang dia bayar."

"Biadab, apa kamu juga mengorbankan istrimu?"
Sugeng tak menjawab.

"Kamu tahu apa itu Songkor?"

Sugik terdiam sejenak, ia memang tidak begitu percaya dengan hal-hal seperti ini, tetapi bapak dan ibunya pernah bercerita tentang Songkor, teror paling menakutkan di tanah Jawa.

"Aku pergi, persetan dengan semua ini" ancam Sugik.

"Aku sudah meminta keringanan agar semua ini tak merenggut nyawa anakmu. Sugik semakin terkejut." Maksudmu?

"Jadi istrimu belum bilang? Kupikir kamu bercanda. Istrimu sedang hamil muda Sugik mengerjap memegang kepalanya. la mencengkeram kerah baju Sugeng."

"Goblok!" (Bodoh) Sugik melepaskan cengkeramannya, semakin kesal. la berbalik, tak ingin melihat wajah Sugeng lagi.

Sugik mengambil amplop berisi uang lalu melemparkannya ke hadapan Sugeng.

"Ambil semua ini. Aku nggak mau terima. Nggak akan kubiarkan istriku menjadi korban. Bangsat!"

"Sudah kubilang, nggak ada urusannya dengan uang ini,  yang menerima mahar itu. Kamu nggak punya pilihan lagi, Kecuali melanjutkan pengabdian ini sampai dia melepaskanmu."

"Brengsek Aku nggak mau jadi abdi Songkor. Lebih baik semua mati" Sugik bersiap pergi, tetapi tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuknya. Kepalanya terasa pusing sebelum semuanya gelap.

Akhirnya sugik pingsan  dan di masukan ke mobil. Setelah sabdo selesai makan. Mereka pun melanjutkan perjalannya.

Sesampai di tempat sebuah bangunan, Sugik di masukan ke sebuah ruangan, persisnya sebuah Kamar..

Setelah meletakkan Sugik di kamar sugeng bergegas ke kediaman Arjo, Malam itu lebih gelap dari malam-malam sebelumnya. Sugeng sedang bersiap saat ia melihat dari jauh kerumunan abdi-abdi Kuncoro sudah berdatangan.

Mereka berjalan menuju kediaman Kuncoro, tempat hajatan akan dilaksanakan. Sugeng melangkah mengikuti mereka, berbaur bersama abdi lain.

Para tamu undangan sudah memenuhi ruangan. Mereka adalah para bawahan Kuncoro, termasuk Wijhojo, seorang bupati yang ternyata mengabdi di bawah kaki Kuncoro.

Hanya Sugeng yang tahu tentang hal ini karena ia sudah dipercaya menjadi tangan kanan seorang Arjo yang sekarang memimpin keluarga Kuncoro.

Sugeng melihat Arjo Kuncoro duduk di singgasana. Arjo adalah seorang lelaki yang gagah, bertubuh tegap dan tinggi. Meski usianya sudah berkepala empat, tetepi dari luar ia terlihat masih muda.

Arjo ditunjuk menjadi pewaris ayahnya, Monokolo Kuncoro, yang meninggal karena sesuatu yang tak diketahui sampai saat ini.

Tanah luas dengan berbagai usaha besar menjadi pokok bisnis keluarga Kuncoro hingga dikenal sepanjang Tepal Agor. Tak ada yang, tidak
mengenal nama Kuncoro. Sejak zaman dahutu, semua orang tahu bahwa Kuncoro adalah tuan yang harus senantiasa dihormati di mana pun dia berpijak di tanah jawa.

Meski begitu, ada desas-desus mengenai kematian ayah Arjo Kuncoro, Monokolo Kuncoro, yang ditandai dengan wabah yang mengerikan. Banyak orang mati bergelimpangan di tanah dalam kondisi badan berwarna kemerahan seakan-akan kulit mereka menguap, menyisakan urat-urat sendi otot berdarah-darah.

Konon kematian Monokolo meminta banyak tumbal, tetapi ada pendapat lain yang tak banyak orang dengar, Sugeng pernah mendengar bahwa
di balik kematian Monokolo tersimpan rahasia Kuncoro, dia dibunuh dengan santet keji oleh musuh-musuhnya.

Tak hanya itu. Tak lama setelah Monokolo dikuburkan, Kondoto Kuncoro, adik Arjo juga meninggal. Semua orang, bahkan abdi-abdi dalem Kuncoro begitu berduka kepada sosok Arjo yang malang.

Sejak saat itu tak ada yang lebih pantas untuk menjadi pewaris tunggal keluarga, selain Arjo.

Malam itu, upacara yang sudah lama dinanti-nantikan oleh Arjo Kuncoro tiba. la sedang mempersiapkan lahirnya Canguksono baru di keluarganya. Sugeng tak tahu ada makna filosofi di balik cerita Canguksono. Arjo hanya pernah berkata bahwa seorang Kuncoro harus memiliki Canguksono, salah satu belibis dari kelopak bunga Wijayakusuma yang mekar di alas Purwo hingga alas Kolijiwo.

Arjo percaya bahwa ayahnya memiliki Canguksono di dalam dirinya yang membuatnya begitu disegani dan dihormati oleh berbagai orang dari seluruh penjuru sudut tanah Jawa.

Namun sayang beribu sayang, Monokolo tak pernah menjadi sosok ayah yang pantas di mata Arjo.

Sebagai seorang Canguksono, ia seharusnya bisa membuat semua orang bertekuk lutut. Berkali-kali Arjo mengingatkan Monokolo siapa sebenarnya mereka.

Tak sepantasnya Kuncoro ada di kaki tangan bunga-bunga Wijayakusuma yang lain.

Kuncoro harusnya mekar di ujung pandang sulur yang terus menjulur ke atas. Namun Monokolo
Kuncoro selalu menjawab,

"Tempat kita di sini bukan untuk mengunjuk diri, melainkan untuk saling melengkapi"

Melengkapi. Hal remeh yang tak akan pernah Arjo katakan nanti bila dia menjadi pewaris menggantikan ayahnya sebagai Canguksono.

Namun takdir berkata lain, Arjo harus menerima bahwa dia bukan pewaris Canguksono. Kondoto, adiknya yang mewarisi gelar tersebut Kondoto memberikan kuasa kepada Arjo sebagai pemimpin keluarga Kuncoro. Namun. sayangnya-Arjo harus kehilangan adiknya juga akibat kematian yang janggal. Arjo percaya ini adalah perbuatan dari orang yang tak pernah suka dengan kehadiran keluarga Kuncoro sebagai salah satu pewaris tuan tanah paling disegani.

Arjo duduk di singgasana bersama istrinya yang cantik jelita, Lasmini. Di samping kanan mereka, dua putra Arjo Kuncoro, Pras Anum dan Batra Kuncoro duduk mernandang ke latar tempat api berkobar di atas tumpukan kayu. Di kiri mereka, sulung sekaligus putri satu satunya dari keluarga Kuncoro, Intan Kuncoro, tengah duduk dengan anggun.

Sugeng termenung memandang Intan Kuncoro, ia begitu cantik layaknya Lasmini, tetapi dengan pesonanya sendiri. Intan tumbuh menjadi gadis dewasa dengan rias yang memancarkan kecantikan.

Sugeng sedikit terkekeh bila mengingat pertemuan pertama mereka, saat Intan belum menjadi gadis sempurna seutuhnya. Anak polos ini sudah menjadi lebih matang malam ini.

Para penari perempuan memutari kobaran api, melenggak lenggok dengan anggun engikuti irama dari tabuhan gamelan, sugeng mengawasi dari jauh, sesekali ia melihat tuanya, sebagai sopir dan tangan kanan beliau, sugeng harus siap kapan pun Arjo memanggil.

Tepuk riuh dari abdi-abdi yang duduk bersila melingkari lapangan terdengar riuh. Para penari berlutut pamit melangkah pergi. Saat itulah Sugeng mendengar Arjo memanggil dirinya.

Segera ia menuju ke kursi utama tempat Arjo duduk.

Arjo berbisik, "Bawa satu nanti ke kamar" katanya sambil melirik para penari.

Lasmini sempat melirik Arjo, tetapi semua tahu siapa Arjo. Apa yang dia inginkan tak bisa ditolak oleh siapa pun, termasuk istrinya sendiri.

Sugeng mengangguk kemudian melangkah menuruni anak tangga teras kediaman Kuncoro.
Arjo berdiri dan berkata kepada semua abdinya, bahwa malam ini akan menjadi malam yang istimewa karena Canguksono akan kembali dalam pelukan keluarga Kuncoro.

Sugeng sudah lama bekerja untuk seorang Kuncoro, tetapi ia masih belum mengerti arti Canguksono. Pernah ia mencoba mencari tahu, tetapi tak ada satu pun abdi yang paham. Mereka berkata bahwa Canguksono mungkin semacam gelar atau ilmu keturunan.

Arjo melangkah turun diikuti oleh istri dan ketiga anaknya menuju api unggun. Para abdi masih duduk bersila memutari para Kuncoro.

"Bawa Bokolono ke sini. Dia akan menurunkan Canguksono malam ini" kata Arjo.

Beberapa abdi berdiri meninggalkan lapangan.

Tak lama kemudian mereka kembali dengan menarik seekor kambing hitam dibalut kain merah menyala.

Kambing itu dibawa ke hadapan Arjo. Lalu tak lama Arjo mengelus, memeluk, bahkan menciumi kepala kambing itu. Tak hanya Arjo, Kuncoro-Kuncoro lain juga begitu hormat seakan-akan binatang itu.

Seorang abdi datang membawa kain merah. 
Di atasnya ada sebilah parang tajam, ia berlutut pada Arjo sebelum menatap kambing hitam itu.

Arjo berlutut, mengelus-elus leher kambing itu lalu mengambil parang dan dengan gerakan cepat ia mengiris leher kambing itu, membiarkan tenggorokannya terbuka lebar. Darah merah menetes jatuh ke tanah. Sugeng terkesiap, terkejut dengan apa yang baru saja dia saksikan. Kambing itu digorok, tetapi anehnya binatang itu tak melawan.

Bahkan saat lehernya nyaris putus, binatang itu hanya diam saja sementara tetesan darah menyembur keluar dari batang lehernya.

Arjo menjatuhkan parang yang ada di tangan lalu menadahkan kedua telapak tangannya menahan semburan darah kambing.

la meminta ketiga anaknya agar mereka membuka lebar-lebar mulut mereka lalu Arjo meminumkan darah itu ke mulut mereka satu persatu.

Ketiga anak Arjo jatuh tersungkur dari tempatnya berlutut kemudian mengejang-ngejang hebat di tanah. Tak ada satu pun dari para abdi dibiarkan bergerak menolong ketiga anak malang itu, mereka tersiksa dalam kesakitan Sugeng melihat anak perempuan Arjo, intan Kuncoro, terus-menerus menghantamkan kepalanya ke tanah, sementara Pras Anum dan Batra menjejak-jejakkan kaki mereka sembari menyentuh leher.

Dengan wajah merah, mereka berteriak-teriak layaknya kesetanan.

Di antara itu semua, Sugeng tak mengerti karena melihat wajah Arjo Kuncoro tampak begitu kecewa.

Setelah acara semua selesai, Sugeng pergi ke tempat dimana sugik berada, Sugik membuka mata, ia tengah berada di antara kerumunan orang yang berpakaian pantas. la melihat sekeliling, tak tahu harus berbuat apa. Ia berada di sebuah pesta, alunan gamelan mengiringi. Orang-orang berdiri saling berbicara satu sama lain sambil menyantap
makanan tersaji. Sesekali, suara tawa orang-orang itu terdengar. Sugik baru saja berniat melangkah pergi sebelum dirinya menyadari sesuatu yang menyita perhatiannya. Di atas panggung, dia melihat seorang perempuan cantik tengah duduk mengenakan baju khas pernikahan adat Jawa.

Pernikahan siapa ini?
Sugik tidak tenang karena ada sesuatu yang mengganjal, seperti firasat buruk. Sugik mendengar suara gong ditabuh dengar keras.

Dari sisi lain tempat terlihat rombongan datang dengan mempelai pria Mereka berbaris menutupi wajah mempelai pria.

Musik pernikahan mulai mengalun. Sugik menatap ke sekeliling, suara riuh tawa tiba-tiba menghilang.

Orang-orang hanya berdiri dan melihat. Rombongan itu menginjakkan kaki di atas karpet merah dan suara gamelan tiba-tiba ikut berhenti.,

Hening, tempat ini menjadi semakin sunyi.
Seseorang yang berdiri di samping Sugik terbatuk-batuk memecah keheningan. Tiba-tiba dari mulutnya, ia memuntahkan darah. Sugik terkesiap mundur, lalu kembali terdengar lagi suara orang batuk dari belakangnya. Kali ini seorang perempuan yang Juga memuntahkan darah terus-menerus.

Para tamu satu per satu memuntahkan sesuatu
dari perutnya. Percikan darah hitam terlihat begitu kental. Tak hanya itu, rombongan mempelai yang tengah berjalan juga tiba-tiba memegang lehernya kuat-kuat, mencekik sembari menatap dengan mata melotot.

Orang-orang mulai berteriak, meminta agar semua ini dihentikan. Para pemain gamelan membentur-benturkan kepalanya. Beberapa perempuan menjambaki rambut mereka sendiri secara brutal, dilanjut dengan mencakar-cakar wajah. Darah pun keluar dari muka mereka.

Sugik menatap ke panggung, sang mempelai perempuan sudah menghilang dari tempat duduknya. Sugik menoleh ke arah mempelai pria. Kini sang mempelai pria berdiri tidak jauh dengannya. la terlihat komplet dengan pakaian pernikahan, hanya saja tak ada kepala ditubuh itu.

Sugik terbangun, terkesiap dengan kening dipenuhi keringat. la tengah berada di sebuah gubuk.

"Kamu sudah bangun?"
Sugik menatap pemuda yang ada di hadapannya, wajahnya tampak begitu tenang.

"Di mana aku?"
Pemuda itu berdiri mengambil segelas air di meja lalu memberikannya kepada Sugik. "Minumlah dulu" katanya lirih.

Sugik meraih gelas kemudian meminum air tersebut.

"Kamu di rumah kediaman Tuan Kuncoro. Kenalkan nama saya Bayu.  Saya adalah salah satu abdi dari Tuan Kuncoro"

"Bayu"

"lya, namaku Bayu Saseno. Tenang, kamu baru saja mengalami mimpi buruk:
"Mimpi buruk" Sugik berpikir, mengingat apa yang baru saja ia alami. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

Bayu berdiri, mengambil gelas kosong dari tangan Sugik kemudian menuanginya air lagi dari teko tanah liat.

"Aku tahu karena aku bisa melihat apa yang kamu mimpikan itu"
Bayu menawari Sugik gelas tersebut, tetapi Sugik hanya diam. la tak mengerti maksud perkataan pemuda asing di hadapannya.

Pemuda itu tampak lebih muda darinya, usianya mungkin tak lebih dari tujuh belas tahun.

Bayu kini duduk di hadapan Sugik, memandang dengan tatapan serius.

"Apa yang baru saja kamu mimpikan adalah hal buruk yang bisa saja membuat nyawamu melayang"

"Apa maksudmu?"

"Kamu lihat sebuah pernikahan bukan?"

Sugik terdiam, la tak tahu bagaimana pemuda ini bisa mengetahui semua detail tersebut.

"Percayalah, mimpi adalah sebuah tanda, dan tanda itu akan menjadi rangkaian takdir di masa yang akan datang. Artinya bisa saja hal yang kamu mimpikan menjadi kenyataan, tapi bisa juga sebaliknya" ujar pemuda itu menjelaskan.

"Kamu kenal siapa-siapa saja yang ada di dalam pernikahan itu" tanjutnya lagi.

"Sugik menggeleng Berarti kamu hanya belum bertemu saja dengan mereka" Bayu tersenyum lembut.

"Dengar, kamu sekarang dalam bahaya besar?"

"Bahaya" tanya Sugik penasaran.

Sugeng, temanmu yang membawamu kesini hanya abdi sepertiku. la hanya mengikuti perintah dari seseorang yang menginginkan keberadaanmu di sini.

"Aku tidak mengerti"

Bayu lantas berbisik.
"Kalau mau selamat, kamu harus mengikuti semua perkataanku. Sebentar lagi, Arjo Kuncoro akan datang menjemputmu."

Sugik menatap mata Bayu, ia tak tahu apakah harus percaya pada pemuda yang baru saja ia kenal ini. Namun, Sugik ingin mendengar apa yang sebenarnya hendak Bayu sampaikan.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Sugik.

"Aku adalah seniman yang bisa melihat mimpi seseorang" Bayu tersenyum.

"Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau mengutuk kemampuan yang kumiliki ini, tetapi percayalah, mimpimu adalah pesan yang mungkin bisa terjadi, tergantung bagaimana kamu menyikapinya"

"Aku masih tidak mengerti."

Begini Mas Sugik?, Arjo adalah kepala keluarga yang saat ini memimpin keluarga Kuncoro. Pasti Arjo memiliki alasan kenapa menginginkanmu. Kamu terjebak sepertiku.

"Terjebak?" Sugik masih tak mengerti dan hanya bisa membatin saja.

"Mimpimu memberiku pengelihatan bahwa tak lama lagi Kuncoro akan menemui bahaya yang mungkin bisa saja merenggut hidupnya.. Sugik termenung.

"Bila kukatakan kepada Arjo tentang penglihatanku akan mimpimu, dia tidak akan segan-segan menebas lehermu saat itu juga"

Bayu berdiri menatap jendela. "Aku tak akan membiarkan orang tak bersalah seperti dirimu terjerat dalam takdir dari potongan kelopak bunga wijayakusuma ini."

"Bunga wijayakusuma?" Seiring berjalannya waktu kamu akan mengerti. Sekarang satu kelopak harus gugur.

Jadi Mas Sugik,
"Apa kamu mau mendengarkanku?" Sugik mengangguk.

Bila selama ini Sugik hanya mengetahui Arjo Kuncoro dari mulut Sugeng, maka saat ini Sugik akhirnya berhadapan langsung dengan seorang Arjo Kuncoro. Ia lelaki berwajah tegas dengan kumis dan janggut tebal. Tubuhnya tinggi besar, ia mengenakan pakaian hitam.

la duduk di samping Sugeng, memandang Sugik dan Bayu yang tengah berdiri.

Tak ada yang tahu apa yang Arjo inginkan dari Sugik. Bayu juga tak menceritakan banyak hal selain garis nasib Sugik yang mirip dengan Sugeng.

Arjo menatap Sugik, ada yang aneh dari caranya memandang. Seperti ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Sugik merasa segan.

"Bayu, katakan, apakah dia layak menjadi salah satu abdiku?" tanya Arjo membuka perbincangan.

Bayu menoleh menatap Sugik. Mereka saling memandang.

Tatapan mata Bayu terlihat meyakinkan dan tanpa ragu ia mengatakan bahwasanya Sugik sangat layak menjadi abdi Kuncoro.

Arjo tak langsung percaya, in melihat Sugik lalu kembali menatap Bayu Saseno. "Katakan apa yang kamu lihat di dalam mimpinya. Di dalam mimpinya, Tuan Arjo akan menikahi Ranum. Mimik wajah Arjo berubah. "Apa kamu yakin?"

"lya aku yakin, Tuan Arjo Pandangan mata Arjo tampak menyelidik. Tuan Arjo akan datang dengan rombongan abdi, sementara Ranum duduk di kursi pengantin. Kalian bertemu di bawah atap pernikahan dari janur kuning yang melengkung. Tuan Arjo akan merebut Canguksono yang selalu Tuan idam-idamkan."

Arjo tersenyum senang mendengarnya. Namun di sampingnya, Sugeng tampak tegang, ia terlihat terkejut.

Siapa Ranum? Sugik tak mengerti. Benar bahwa di mimpinya, la melihat seorang mempelai perempuan. Lantas, apakah itu berarti Ranum yang mereka bicarakan adalah dia? Bayu menoleh menatap Sugih, seakan ingin memberikan tanda.

"Betul kamu melihat pernikahan itu dalam mimpimu, Mas Sugik?" Arjo sepertinya ingin memastikan langsung.

Tiba-tiba tubuh Sugik terasa lemas, ia merasakan energi besar yang muncul dari tubuh dari Arjo Kuncoro. Sugik semakin yakin Arjo Dukanlah orang sembarangan. "Benar, saya melihat Anda datang menjemput perempuan itu Arjo tersenyum yakin. Sugik dan Bayu akhirnya bisa bernapas lega.

Takdirmu akan dimulai setelah ini. Pesan terakhir Bayu itu terngiang di kepala Sugik.

Sugik bersama Sugeng dan Arjo menaiki mobil meninggalkan Bayu Saseno di gubuknya sendirian.

Beperapa kali Sugik mendapati Sugeng melihatnya dari kaca depan dengan pandangan mata menyelidik. la tahu Sugeng punya alasan
tetapi tetap saja Sugik tak seharusnya ia diperlakukan seperti itu.

Sugik memilih untuk diam alih-alih bersitegang di hadapan Arjo yang tengah menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan sekeliling.

Gerbang besar rumah kediaman Kuncoro terlihat.

Tak lama, gerbang itu dibuka oleh beberapa orang berpakaian batik. Sugik terkagum-kagum melihat kediaman milik Kuncoro yang besar dan megah.

Mobil berhenti. Arjo Kuncoro yang pertama melangkah keluar, ia menunggu Sugeng dan Sugik turun.

Tunjukkan di mana Sugik tinggal. Bila Sorop sudah mulai nampak, ajak dia ke tempatku. "Mengerti, Nak Sugeng?"

"Nggih, Tuan Arjo" kata Sugeng seraya menunduk.

Arjo menapaki pilar anak tangga menuju ke rumah utama, sementara Sugeng membawa Sugik berjalan menjauh menuju tempat lain.

"Maaf, Gik, aku harus melakukan ini. Seandainya saja aku bisa menjelaskan posisiku" kata Sugeng membuka percakapan.

Sugik tak menjawab. la belum bisa memaafkan apa yang sudah Sugeng perbuat, terutama kepada istrinya.

Mereka tiba di sebuah rumah lain, tak lebih besar dari rumah utama. Rumah kayu berisikan sekat kamar-kamar yang entah dihuni oleh siapa.

"Sementara kamu tinggal di sini dulu" kata Sugeng seraya membuka salah satu pintu.

"Ini tempat apa, Geng?"

"Ini ruang khusus untuk para abdi-abdi keluarga Kuncoro."

Sugeng dan Sugik melangkah masuk. Setelah menutup pintu, Sugeng memberikan amplop berisi uang kepada Sugik.

"Simpan, tapi kalau kamu bersikeras menolak, buang saja. Terserah. Tapi sekarang kamu sudah milik Tuan Arjo Kuncoro. Kamu harus melunasinya. Jadi gunakanlah untuk menghapus segala utangmu. Aku pergi dulu, nanti aku kembali lagi"

"Bagaimana caranya menghapus utang yang bahkan tanpa persetujuanku?"

Sugeng menghela napas panjang sebelum berkata, "Entahlah, turuti saja segala perintahnya"

Sugeng meninggalkan Sugik seorang diri di dalam ruangan kecil itu.  Pasti Sugeng masih menyembunyikan rahasia darinya.

Seketika Sugik teringat ucapan Bayu Saseno akan mimpinya. Pernikahan itu akan menjadi pernikahan paling berdarah sepanjang sejarah manusia.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close