Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 2)


JEJAKMISTERI - Sugik menyesap kopi, meletakkannya sebelum menatap Sugeng yang tengah asyik menyantap pisang goreng di pojok warung tempat mereka beristirahat sejenak.

Menempuh perjalanan jauh untuk sampai di pedalaman kampung, tentu membuat Sugik merasa bingung. Tugas apa sebenarnya yang diberikan oleh juragan Sugeng?

Kalau kamu tahu siapa dia, pasti kamu kaget" kata Sugeng.

"Aku kenal dia?" tanya Sugik.

"Seharusnya, tapi entahlah kejadiannya sudah cukup lama"

"Sudah, kasih tahu saja, Geng"

"lya iya..." jawab Sugeng.

"Ingat orang yang dulu pernah nyuruh kita antar puluhan kambing ke rumahnya? Kambing?" Sugik mencoba mengingat-ingat, ia sudah lupa pernah membawa apa saja selama bergelut di jalanan.

"Salah satu orang terkaya, tuan tanah yang hampir memiliki setengah luas Canggulono itu loh. Di selatan, ingat?"

"Selatan? Aku tidak ingat.

Sugeng meraih gelas kopi menyesapnya. "Dulu aku juga terlilit banyak utang aku sudah nggak tahu lagi bagaimana cara melunasinya. Aku memutuskan keluar lalu ikut dengan yang lain.

Kabur dari satu rentenir ke rentenir yang lain, mereka tidak pernah berhenti mengejar-ngejar sampai akhirnya aku bertemu dia"

"Ikut dengan yang lain? Maksudmu kamu kerja serabutan" pantas  saja di kepergian Sugeng tak ada yang tahu alasan kenapa dia berhenti.

Waktu itu si pemilik truk hanya bilang, "Sugeng bangsat sudah pergi sekarang kamu yang jadi sopir." Pemilik truk itu akhirnya meninggal di tahun lalu.

Sugeng menyesap rokok, memandang ke langit-langit warung seperti sedang mengingat-ingat sebuah kejadian.

"Aku bertemu dia. Dia seperti bisa baca pikiranku, melihat semua kesulitan hidupku. Tanpa banyak tanya, dia langsung menawariku pekerjaan. Aku kaget, tapi juga takut. Belum kenal kok bisa langsung percaya..

Sugeng mengembuskan kepulan asap rokok yang terbang di atas kepala mereka. "Dia bilang, Mereka yang bikin kamu sulit seperti ini akan mati satu per satu, kalau kamu mau mendengarkanku, Begitu."

Sugik semakin penasaran.

"Sinting bukan orang ini?" Sugeng terdiam untuk beberapa saat sebelum melanjutkan perkataannya, Dia sangat terkenal, banyak yang bilang kekayaannya tak akan habis sampai tujuh turunan. la memberi sebesek penuh berisi uang lalu berpesan semua uang ini diberikan secara cuma-cuma, hanya dengan syarat.

"Syarat?"

"lya syarat. Aku harus pakai uang ini untuk membayar semua utangku ke para rentenir keparat yang mengejar-ngejarku.

Orang-orang yang melilitku dengan utang. Tidak ada yang boleh kupakai untuk kebutuhan lain, semendesak apa pun itu. Uang yang ia beri sudah pas dengan semua utang-utangku Sugeng kembali menyesap rokok, sesekali pandangannya tertuju pada gelas kopi di hadapannya.

"Awalnya aku melakukan apa yang dia perintah, kulunasi semua utangku satu per satu. Istriku yang hamil muda sampai bilang dak ada beras lagi untuk dimakan. Aku bingung karena waktu itu aku juga tidak punya simpanan uang sama sekali"

Jangan-jangan, kamu..
Aku ambil beberapa lembar uang itu, menyuruh istriku belanja makanan. Sisa utangku aku cukupkan dengan uang yang aku dapat setelahnya..

Lalu apa yang terjadi?

"Satu per satu orang yang memiliki urusan utang piutang denganku mati."

"Mati?"
Sugeng mengangguk.

Mereka mati dengan cara yang berbeda beda Apa mungkin uang-uang itu...

Sugik terdiam sejenak, ia tak melanjutkan kalimatnya. la teringat dengan uang yang ia terima dan merasa ciut nyali, apakah ia telah
melakukan kesalahan dengan menerima uang tersebut?

Sugeng menepuk bahu Sugik sembari tertawa. "Bercanda. Jangan percaya ceritaku barusan. Sugeng meneguk kopi terakhir sebelum meletakkannya kembali di atas meja.

Sugik melihat Sugeng memainkan puntung rokok dan menatapnya dengan nanar.

"Nggak usah mikir aneh-aneh. Uangmu nggak ada urusannya dengan ceritaku. Pakai saja.

Sugik mengangguk percaya. Sugeng berdiri lalu membayar pesanan sebelum mengajak Sugik melanjutkan perjalanan.

Di tengah-tengah langkah mereka menuju mobil, Sugik bertanya kembali, "Istrimu bagaimana kabarnya sekarang?

Sugeng terdiam lalu menoleh, menatap Sugik dengan wajah datar sebelum menjawab pelan "Sudah meninggal dua tahun yang lalu. Anakku sekarang ikut mertua." Mereka ahirnya melanjutkan perjalanannya.

Menjelang siang, mobil berhenti di depan rumah gubuk di dalam perkampungan. Rumah itu ramai dipenuhi warga. Sugik menatap keramaian itu sebelum menoleh menatap Sugeng, beberapa kali ia melihat kertas yang ada di tangannya lalu berucap lirih pada Sugik.

"Benar ini rumahnya, Gik. Anak itu tinggal di sini"

Hal pertama yang dirasakan Sugik dan Sugeng saat turun dari mobil adalah pandangan mata tak menyenangkan dari orang-orang. Beberapa warga sempat menghadang mereka dengan tatapan mata
sengit. "Cari siapa?"
Sugeng melangkah maju, lalu berujar kepada lelaki yang menghalangi mereka.

"Kulo bade ndelok arek lanang sing jenenge
Sabdo"

Para lelaki yang mendengarkan perkataan Sugeng saling bertukar pandang, tak ada yang menjawab, hening.

Sugik merasakan ada yang aneh dari tatapan mereka, seperti ada kemarahan sekaligus
kebingungan.

"Buat apa kalian cari anak itu?"

"Kami ingin bertemu" jawab Sugeng.

"Ndak ada yang namanya Sabdo di sini, kalian salah tempat, jawab ketus lelaki lain yang sedang duduk Sugik dapat merasakan bahwa lelaki itu baru saja berbohong. Dan tentu hal itu juga sudah dibaca oleh Sugeng." "Benarkah? Saya datang dari jauh, jadi saya tidak mau pulang dengan tangan kosong"

"Sampeyan iki wes dikandani, nggak onok sing jenenge Sabdo nang kene. Krungu ta nggak seh!" (kamu ini sudah dikasi tahu, tidak ada yang namanya Sabdo disini, dengar gak sih!)

Mimik wajah Sugeng mengencang, begitu pula dengan lelaki yang menghalanginya. Sugik segera menarik tubuh Sugeng, berusaha memisahkan mereka, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berniat mundur.

"Baiklah, kuingat wajah-wajah kalian. Jangan salahkan aku bila terjadi sesuatu pada kampung ini. Itu pesan dariku sebagai utusan Trah Balasedo."

Sugeng bersiap melangkah pergi saat lelaki lain dari belakang tiba-tiba menahannya.

"Kulo nuwun, kulo mboten ngertos nek njenengan utusan keluarga Kuncoro." (Saya minta maaf, saya tidak tahu kalau anda utusan dari keluarga Kuncoro)

Sugeng menoleh dan melihat mereka menunduk seakan memberi hormat kepadanya. Cara pandang mereka kini benar-benar berubah. Sugik tak mengerti sama sekali apa arti Trah Balasedo yang diucapkan Sugeng Jadi benar ada Sabdo di sini? ulang Sugeng.

"Kamu, jawab." Sugeng menunjuk lelaki yang berbicara ketus kepadanya tadi. Lelaki itu melangkah maju sembari menunduk takut. Dengan
halus ia berkata, "Ada Mas, ada Sabdo di sini"

"Bisa antar saya?" Lelaki itu sempat menoleh menatap teman- temannya. Wajah mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu.

"Monggo, kulo anter teng ngriyone Sabdo" (Silakan, saya antar ke rumahnya sabdo)

Sugik dan Sugeng mengikuti leiaki itu, ia menuntun mereka masuk ke sebuah rumah gubuk. Rumah tersebut dipenuhi oleh ibu-ibu berpakaian gelap.

Diruang tengah terbujur jasad yang dibalut kain
kafan. Rupanya ada yang meninggal.

"Hari ini kami melakukan prosesi pemakaman ibu dari Sabdo, Mas"

"lbu Sabdo?"
Sugeng menoleh menatap Sugik yang sama-sama tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Bagaimana bisa?" lanjutnya.

Lelaki itu menunduk, berkata bahwa ibunya mati di tangan Sabdo. Kaget. Sugeng dan Sugik bertanya kepada lelaki itu.

"Apa maksudmu?

Begitulah, Mas kenyataannya.

"Di mana dia sekarang?"

"Ada di belakang Sugeng langsung melewati lelaki itu karena tidak sabar. Sugik menyusul kemudian. Di belakang rumah, Sugeng berhenti memandang seorang anak muda berusia belasan tahun yang tengah berlutut telanjang, kedua tangan terentang diikat ke bambu panjang. Tubuhnya dipenuhi oleh luka sayatan bekas cambuk oleh beberapa lelaki disebelahnya.

"Ada apa ini?" kata Sugeng. Tak ada yang menjawab.

"ADA APA INI SEBENARNYA?" Untuk kali pertama, Sugik melihat Sugeng marah. Lelaki yang tadi menuntun mereka datang dan menyuruh orang-orang itu melepaskan pemuda tersebut.

"Sudah cepat lepaskan dia, lepaskan. Meski terlihat bingung, orang-orang itu akhirnya menuruti kata-kata si lelaki.

"Apakah dia yang bernama Sabdo?"

"Nggih, Mas, niki Sabdo:
Sugik menatap pemuda tersebut. Kulit bekas lecutan di tubuhnya terus-menerus mengeluarkan darah segar.

"Kalian tahu siapa dia?" Sugeng bertanya.
Hening. Tak ada yang menjawab.

"Dia adalah putra dari Arjo Kuncoro yang memegang nama sebagai keturunan dari Monokolo Kuncoro, Trah Balasedo yang memegang tanah di sini.

Bila dia tahu apa yang kalian perbuat kepada anaknya, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada tempat yang kalian tinggali ini"

Orang-orang terdengar bergumam. Cambuk yang mereka pegang seketika mereka buang.

Kini semua berlutut memohon ampun. Apa yang mereka lakukan semata-mata ingin menghukum Sabdo karena telah membunuh ibunya.

"Apa benar kamu membunuh ibumu?" tanya Sugeng kepada Sabdo.

Sabdo hanya menunduk, ia bergumam kecil sebelum berkata dengan pelan, "Aku tidak membunuh, aku tidak pernah membunuh
Ibuku" Lalu tangis Sabdo pecah.

"Kami tahu, kami sudah diberitahu" ucap Sugeng.

"Ikutlah bersama kami ke tempat seharusnya kamu berada, kediaman Kuncoro"

"Kuncoro?" Sabdo menatap Sugeng. la pernah mendengar nama itu.

Sugeng mendekat, lalu berkata kepada pemuda itu, "Dia adalah bapakmu."


*****


Kejadian sebelum sabdo di jemput sugeng dan sugik.

SABDO KUNCORO Keesokan harinya Sabdo kepasar seperti biasa, bekerja menjadi kuli panggul, tapi tiba-tiba Sabdo berlari menerobos kerumunan orang-orang yang ada dipasar, langkah kakinya cepat dan gesit sementara dari belakang terdengar teriakan memanggil-manggil namanya.

Sabdo menolen sesekali melihat apakah mereka masih mengejarnya. Tiba-tiba keseimbangannya goyang, ia tak melihat di hadapannya terpasang
patok kayu sehingga kakinya tersandung. la tersungkur dengan suara berdebum keras. Tubuhnya terasa nyeri, kaki kirinya memar. Sabdo tak dapat berlari lagi sementara suara langkah kaki itu terdėngar semakin dekat.

"Bajingan!" kata seorang lelaki yang mengenakan singlet putih.

Koen iku nggak krungu tah, nek dikongkon mandek yo mandek".(Kamu itu gak dengar ya, kalau disuruh berhenti itu ya berhenti)

la menjambak rambut Sabdo lalu menendang wajahnya dengan ujung lutut. Sabdo terkapar dengan darah keluar dari hidung.

Wes hajar ae Bajingan cilik iki.

Tiga pemuda berusia sekitar satu dua tahun lebih tua dari Sabdo mulai menghajarnya. Mereka bergantian memukul dan menendang Sabdo.

Beberapa jam yang lalu, mereka meminta uang pada Sabdo yang sedang mengangkat karung-karung beras.

Tahu bahwa dirinya dipalak, Sabdo tak menghiraukan. la memilih fokus mengangkat barang-barang pasar, menerima upah, lalu memasukkannya ke kantong. Saat Sabdo tengah makan siang di warteg langganan, tiba-tiba tiga pemuda itu masuk memesan makanan lalu berkata.. Sabdo yang akan membayar semua pesanan mereka.

Setelah menyelesaikan makan, Sabdo lantas berdiri lalu berujar pada ibu penjaga warteg.

"Saya mau bayar, Bu. Berapa semuanya? Nasi
dan teh saya saja."

Perempuan paruh baya itu lantas menatap Sabdo dengan tatapan kasihan. la tahu anak ini akan terlibat masalah besar dengan preman-preman pasar yang saat ini tengah menatap sengit.

"Bangsat kamu ya" kata salah satu dari mereka.

Sabdo tak menghiraukan kata-kata mereka.

Salah satu dari mereka menahan tangan Sabdo, bersiap untuk mengambil uang yang ada di kantongnya.

Namun Sabdo dapat menepisnya. la mendorong pemuda itu lalu kabur.

Sabdo kini terkapar sendirian. Wajahnya lebam dengan darah yang terus-menerus keluar. Tak ada satu pun orang di pasar yang berani membantu. Semua hanya berlalu melihat dirinya dipukuli.

"Patenono ae, patenono" (Bunuh saja bunuh saja) Suara itu terdengar oleh Sabdo.

Suara yang entah berasal dari mana. Ia perlahan berusaha bangkit.

Sabdo melihat tiga pemuda itu saling membagi uang rampasan.

Dengan sorot mata marah dengan langkah kaki pincang, ia mendekati mereka.

Seorang dari mereka sadar bahwa Sabdo tengah mendekat. la menyenggol temannya lalu mereka tertawa, apa sih yang Di dilakukan oleh seorang anak bau kencur berkaki pincang.

Sabdo terlihat berkomat-kamit, tiga pemuda itu merasa ada yang aneh. Entah dari mana datangnya sebuah truk tiba-tiba melintas menghantam tubuh tiga pemuda itu.

Sabdo tercengang menatap tiga pemuda itu terlempar sebelum tubuh mereka tergilas begitu saja. Terseret ke bawan truk..

Jalanan pasar sontak ramai, orang-orang yang melihat tak henti-hentinya berteriak.

Sabdo terdiam mematung dan bertanya-tanya.
Apa yang baru saja terjadi?
Semua terjadi begitu cepat. Tiga pemuda itu tewas di tempat.

Sabdo melangkah pergi, la merasa ketakutan karena sebelumnya, setelah mendengar suara-suara bisiKan asing itu, ia berharap bahwa tiga pemuda itu akan mati di hadapannya. Mati dalam keadaan paling keji.

Sabdo semakin sering bermimpi, mimpi yang lain tetapi dengan wujud makhluk yang sama. la melihat seekor kambing berwarna hitam yang melihatnya terus-menerus. Pernah juga Sabdo melihat wujud hitam tengah duduk di sebuah kursi goyang. Wujudnya tak bisa dilihat dengan jelas, hanya samar-samar. la begitu 'hitam' sampai Sabdo tak dapat menggambarkan penglihatannya.

Di kepalanya ada sepasang tanduk yang tak terlalu panjang, Sabdo yakin bahwa yang itu adalah tanduk seekor kambing. Wujudnya seperti manusia berdiri membelakangi Sabdo. Tubuhnya kurus dengan aroma tubuh prengus, seperti aroma binatang berbulu.

la berbicara dalam suara berat yang memiliki aksen Jawa kental.

Sabdo tak begitu mengerti apa yang dia katakan karena wujud itu menggunakan dialek Jawa kuno. Sabdo hanya memahami satu kalimat saja.

"KOEN IKU CANGUKSONOKU." (Kamu itu CANGUKSONOKU)

Sabdo terperanjat, terbangun dari tidurnya. la mendengar suara napas berat, seseorang tengah berdiri di muka pintu. Ibu tengah melotot menatapnya, menggenggam sebilah pisau di tangan. Sabdo terkejut, apalagi saat ibuk tiba-tiba melompat ke atas tubuhnya, bersiap menghujam pisau.

"AKU RA PENGEN KOEN DADI IBLIS KOYOK WONG IKU" (Aku gak ingin kamu jadi iblis seperti orang itu)

lbu menerjang tapi Sabdo mencoba melawan. la tak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja lbu menjadi seperti ini.

"MATI O AE NAK, MATI AE!" (Mati saja nak, mati saja)

Sabdo masih bergelut menahan tangan Ibu, pisau terarah tepat ke lehernya. Tiba-tiba terdengar suara kambing mengembik. lbu menatap ke sana sini, mencari sumber Suara. la tampak begitu pucat, seperti ketakutan dengan apa yang baru saja dia dengar.

Sabdo melihat di ruangan tak ada siapa pun. Namun lbu seperti melihat sesuatu yang tak dapat Sabdo lihat.

"IBLIS IKU WES NANG KENE" (Iblis itu sudah disini)

Ibuk menangis sembari menggeleng seakan ingin mengatakan sesuatu kepada Sabdo.

"Ada apa Buk, Buk!"
buk masih menggeleng-geleng menatap wajah Sabdo lekat lekat. la menolak takdir ini." buk pergi, yo... buk pergi...

Ibu seketika mengarahkan pisau tepat di lehernya, merobek tenggorokannya. Sabdo terdiam di bawah tubuh lbu, ia terjebak dalam pandangan kosongnya.

Percikan darah yang keluar dari tenggorokan Ibu menyembur membasahi tubuh serta wajah Sabdo. Dan perlahan, ia melihat ibu perlahan-lahan kehilangan cahaya matanya.

lbu berkata dengan nada suara lirih, "Ojok dadi Canguksonone iblis iku, Nak" (Jangan jadi Canguksononya iblis itu nak) ibu meninggal tepat di depan Sabdo.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close