Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 1)


CERITA DI BALIK JANUR IRENG BERAWAL DARI SINI.

JEJAKMISTERI - Malam ini ramai orang berkumpul memutari lapangan, tak warga Desa Sarwijo saja yang datang tapi juga warga desa tetangga ikut berkerumun memenuhi segala penjuru tempat.

Melihat keramaian itu Sugik Bakhir pemuda yang sehari-hari menghabiskan waktu di jalanan mengemudikan truk ekspedisi barang antarprovinsi itu memutuskan untuk rehat sejerak dari perjalanan panjangnya.

la ingin mendapat hiburan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi, setelah baru saja melewati Mojokerto.

Pergelaran besar jaran kepang akan segera dimulai. Jaran kepang adalah pertunjukan favorit Sugik.

Pertunjukan ini sudah melegenda serta menjadi salah satu budaya kuno di tanah Jawa yang paling
populer.

Tak ada salahnya menonton sekali-kali. Sugik melangkah turun dari truknya, melewati banyak pedagang kaki lima dadakan yang berjajar, menjajakan dagangan.

Musik gamelan mulai dimainkan, riuh suara penonton terdengar bersahut-sahutan. Sugik mengambil tempat paling depan setelan berhasil menjejalkan badan menembus kerumunan manusia yang sama-sama ingin menikmati acara.

Sorak penonton membuka Jalan jalan masuk untuk empat penari perempuan dengan setelan lengkap pakaian khas Jawa. Mereka berlari kecil ke tengah lapangan sebelum menunduk memberi hormat kepada penonton. Diiringi musik gamelan serta kendang yang ditabuh berbarengan, mereka mulai berlenggak lenggok memutari lapangan, menggoyangkan badan dengan gerakan anggun sembari mengikuti irama dari tabuhan gamelan yang mengalun-alun di tengah acara, memecah keheningan malam.

Sugik menyesap rokok dan sesekali mengembuskan asap ke udara, membiarkan kepulannya terbang di atas kepala orang-orang Menikmati tari jaran kepang tak pernah membosankan.

Dulu, saat masih kecil Bapak pernah membawanya menonton acara ini, meski harus sembunyi-sembunyi, takut bila ibu tahu.

Hal-hal seperti ini seakan membawa Sugik kembali ke masa itu. Bila diingat-ingat, terakhir kali ia menyaksikan pertunjukan jaran kepang ini secara langsung adalah saat SMP. Saat ketika akhirnya ia memilih putus sekolah karena uang dirasa jauh lebih penting dibandingkan pendidikan yang terus-menerus menggerogoti ekonomi keluarganya.

Beban berat menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian Bapak memaksa Sugik mengawali jałan berat hidupnya sebagai kernet truk. 

Untunglah seiring waktu berlalu, sekarang Sugik sudah mulai mencicil truk sendiri. Pandangan Sugik tertuju pada perempuan-perempuan yang masih menari di tengah lapangan. Dalam tari jaran kepang, mereka biasa disebut dayang.

Para dayang dipersiapkan sebagai pembuka acara untuk menarik perhatian penonton, terutama para lelaki hidung belang.

Sugik terkekeh melihat salah satu penonton memberi uang pada salah satu dayang yang sedang menari.

Tari jaran kepang lumrah diadakan di acara-acara besar. Biasanya mereka diundang untuk menghibur hajatan orang-orang ternama di
suatu daerah di Jawa, terutama di Jawa Timur.

Tarian ini penuh dengan fhilosofi magis yang dibalut aksi memukau dari para pemainnya. Tari jaran kepang dikenal begitu luas tak hanya dari sisi adat istiadat kuno, tapi juga dari sisi spiritual.

Konon ia sampai diidentikkan sebagai ritual pengganti dari Jokosobolo, tradisi yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai pengusir malapetaka serta kemalangan. Namun mitos tetaplah mitos.

Sugik tak pernah tahu tentang ha-hal yang jauh di luar batas nalar. Menurutnya, jaran kepang hanyalah salah satu budaya saja, budaya dengan tarian yang menghibur tanpa embel-embel lain yang tak pernah ia mengerti. Mistis itu tak pernah ada. Hal itulah yang masih dia yakini hingga sampai saat ini.

Para penari membungkuk memberi hormat terakhir kepada penonton, kemudian melangkah meninggalkan lapangan utama. Para penonton kini menunggu jalannya pertunjukan berikutnya.

Sugik membuang puntung rokok kemudian menginjaknya.

Pandangan matanya teralihkan ke beberapa orang yang membawa jaranan kepang yang dibuat dari anyaman bambu yang diletakkan memutari tong besi berisi api yang berkobar. Di depan jaranan yang diletakkan, tercium aroma kemenyan. Sugik pernah mendengar bahwa kemenyan ini digunakan untuk mengundang para tamu atau makhluk-makhluk astral yang tak bisa dilihat oleh mata agar ikut memeriahkan acara.

Sampai detik ini banyak orang percaya tak hanya mañusia yang menikmati acara ini tapi juga para lelembut tak kasatmata.

Kemalangan berusaha dijauhkan dari tempat diadakannya pertunjukan karena mereka yang tak dapat dilihat dengan mata kosong akan menghormati (ngayom) atau dalam bahasa Jawa"memangku" masyarakat yang hadir.

Sugik hanya mengernyitkan dahi bila mengingatnya, lagi-lagi menolak percaya dengan hal-hal sinting seperti ini, Baginya semua hanya mitos belaka.

Anyaman berbentuk kuda sudah dipasang di empat sisi mata angin berdiri sejajar membentuk panah empat penjuru dengan formasi memutari tong besi dengan api yang masih menyala-nyala.

Sugik melihat seorang Kuncen melangkah masuk menuju lapangan setelah melewati baris penonton yang sengaja memberikan jalan. Ditangannya terdapat sesuatu menyerupai cambuk yang dibuat dari akar rojot yang dikeringkan. Dengan genuk tanah liat berisikan air serta jerami yang diikat membentuk kuas lukis, Kuncen berkeliling
sambil menyiram-nyiramkan air dari genuk ke arah jaran kepang yang diletakkan di tengah-tengah empat penjuru mata angin.

Si Kuncen lalu meminum sisa air dalam genuk sebelum memukulkan genuk ke kepalanya. Semua penonton berteriak riuh senang melihat aksi unik tak terduga si Kuncen.

Tak lama si Kuncen beraksi lagi, kini ia melecut jaranan tersebut seakan-akan benda itu hidup sembari bersuara layaknya seekor kuda.

Aneh. Sugik belum pernah melihat pertunjukan yang seperti ini sebelumnya. Si Kuncen kini menari-nari sambil tertawa mengikuti musik sebelum akhirnya ia berdiri tepat ditengah lapangan, cambuknya masih di tangan.

Tak jauh dari tempatnya berdiri datang tiga pemuda dengan membawa golok. Sugik tercengang. Apa yang akan mereka lakukan? Mengamati ekspresi penonton, Sugik bisa merasakan bahwa semua orang tampak terhibur, sama seperti yang dirasakan oleh Sugik.

"Aku sakti amergo rogoku wes dijamin karo mbah-mbahku, ayok bacok aku! Bacoken!" 
(Aku sakti karena ragaku sudah dijamin sama leluhurku, ayo tebas aku! tebas!) teriak si Kuncen yang membuat senua orang semakin tercengang.

Udara malam terasa semakin dingin, Sugik menelungkupkan kedua tangannya ke dalam jaket, membiarkan tertutupi sementa dirinya masih terfokus melihat, kini yang berperan sebagai algojo. Mereka berjalan memutari sang kuncen layaknya preman kampung sedang mengunci target.

Si Kuncen mengangkat kedua tangan, memberi aba-aba kepada tiga pemuda algojo tersebut. Lalu dengan gerakan cepat mereka menebas tubuh, Namun apa yang terjadi selanjutnya adalan sesuatu di luar logika.

Entah bagaimana si Kuncen melakukan hal itu, tapi ia tampak baik-baik saja, padahal golok baru saja menebas tubuh telanjangnya. Tak ada luka, tak ada darah. Sugik terperangah kaget bukan kepalang.

Tak hanya dirinya saja yang dibuat geleng-geleng, sebagian besar penonton sampai menutup mata saat si Kuncen terus-menerus ditebas.

Dengan kondisi Kuncen yang bertelanjang dada, golok itu masih saja gagal menembus kulitnya sekalipun tebasan tiga pemuda itu semakin membabi buta.

Bagaimana bisa?

Bila dilihat dari cara bagaimana tiga pemuda algojo itu mengayunkan golok mereka, seharusnya tak hanya darah yang jatuh ke tanah tetapi juga daging akan terkoyak-koyak dengan usus terurai keluar.

Namun nyatanya tak ada yang terjadi, justru si Kuncen masih berdiri kokoh memandang arogan tiga pemuda algojo di hadapannya dengan gelagat meremehkan.

"Onok sing gelem nyobak?" (Ada yang mau nyoba) teriak si Kuncen menantang para penonton.

Sugik melihat ke sekeliling menunggu siapa yang berani mencoba menebas si Kuncen arogan itu, tetapi sayangnya tak ada satu pun dari penonton yang bergerak maju.

Saat itu entah dorongan apa yang membuat Sugik bergerak karena secara tiba-tiba dia melangkah maju ke tengah lapangan.

Saat dirinya tersadar, ia sudah terlambat karena
di hadapannya tampak si Kuncen menatap dirinya dengan sorot mata menantang.

Sugik tersenyum kecut, kini semua penonton sedang terfokus padanya.

Sugik melihat tiga pemuda itu, salah satu dari mereka menawarkan golok yang ada di tangan. Sugik meraihnya, sempat terpikir di dalam kepalanya, mungkin saja golok yang digunakan oleh mereka adalah mainan. Bisa saja kan?

Sugik mengayun-ayunkan golok dan menatap lekat-lekat benda itu sebelum mulai menggunakannya.

Tak ada salahnya mencoba. Sugik memandang si Kuncen dengan perasaan sedikit waswas.

"Ayok bacok aku, Le" (Ayo tebas aku, nak!) kata si Kuncen mengangkat kedua tangan seakan memberikan badannya kepada Sugik.

Tanpa membuang waktu, meski jantungnya berdebar-debar tak karuan, Sugik menebaskan golok cokelat itu tepat di perut si Kuncen. Aneh sekali, golok itu sama sekali tak bisa menembus kulit si Kuncen, seakan kulitnya terbuat dari kulit badak. Sugik mengamati golok di tangannya, ia menyentuh benda itu dan yakin bahwa ini bukan golok mainan.

Setelah mengembalikan golok itu, Sugik kembali ke tempatnya.

Di dalam kepalanya ia masih bingung, bagaimana hal ini bisa terjadi.

la masih bisa merasakan kedua tangannya gemetar. la mengambil sebatang rokok, menaruhnya di bibir sementara kedua tangannya
mencari-cari korek api, entah di kantong terakhir ia letakkan.

Tiga pemuda algojo itu menunjukkan atraksi lain, salah satu dari mereka mengayunkan golok menebas batang pohon pisang.

Slet! Batang pohon pisang terbelah menjadi dua. Tak hanya itu, pemuda algojo lain menunjukkan aksi yang tidak kalah gila dengan menyayat telapak tangannya sendiri. Para penonton kini menganga melihat darah di tangannya menetes keluar tak ada yang bersuara, semua orang dibuat diam. Kini Sugik menatap ke arah Kuncen yang mendekati pemuda yang terluka tersebut.

Dengan gerakan tangan cepat ia mengoleskan kain dan tiba-tiba luka sayatan itu sembuh.

Pertunjukan belum berakhir karena untuk kali ketiga, para algojo menebaskan golok mereka pada tubuh si Kuncen yang kini tertawa-tawa. 

Sinting, pertunjukan ini benar-benar sinting. Mungkin hal mistis ini benar-benar nyata, batin Sugik sembari mengisap rokok.

la akahirnya berhasil menemukan koreknya. Seni peran dilanjutkan dengan apik. Ketiga pemuda algojo itu bereaksi seakan-akan ketakutan ketika si Kuncen hendak merebut golok mereka. Setelah
dengan mudah merebut golok-golok itu, si Kuncen lału mematahkan lempengan besi tajam itu dengan tangan kosong. Tak hanya itu, ia dengan keadaan sadar menggigit lempengan golok dengan mulut
mematahkannya menjadi dua bagian.

Tiga pengunjuk meninggalkan lapangan, berganti menjadi perempuan-perempuan yang datang dengan kostum lelaki.

Wajah cantik mereka dirias dengan kumis dan janggut palsu yang dibuat dari pensil alis. Mereka membungkuk pada penonton kemudian berlutut di hadapan jaranan yang sedari tadi hanya diletakkan di tengah lapangan.

Tanpa disentuh oleh siapa pun, keempat perempuan itu berlutut satu per satu sebelum mulai memainkan jaranan itu. Dengan membawa cambuk di tangan mereka, keempat perempuan itu mulai menari sembari mencambuk apa pun di depan mereka. lnilah puncak acare jaran kepang, menari-nari di atas bara api dari tong besi yang dituang berisikan beling dan arang yang membara merah.

Hari sudah begitu larut saat acara jaranan berakhir, Sugik berjalan menuju truk yang ia parkirkan. Tak jauh dari truknya terparkir, ia
melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan kepala truk.

Sugik melihat ke sekeliling mencari pemilik mobil sedan hitam ini, tapi ramainya tempat membuat Sugik tak kunjung menemukan si pemilik kendaraan.

Tak ada pilihan selain menunggu, Sugik duduk sembari memandang mobil sedan hitam itu. Mobil ini keluaran terbaru, bila tidak kaya raya, tak mungkin orang bisa membeli benda seperti ini.

Terdengar suara seseorang berdeham di belakangnya. Sugik menoleh, seorang lelaki dengan sebatang rokok di bibir tengah menatap dirinya.

"Ada apa, Mas?" tanya si lelaki. Dalam kegelapan wajah lelaki itu tersamarkan.

"Ini mobil sampean?" tanya Sugik balik.

"lya. Mobil saya"

"Nutup jalan saya, bisa dipindah?"

"Kalau nggak bisa gimana, Mas?" balas lelaki itu seolah menantang.

Sugik merasa lelaki yang ada di depannya sengaja ingin membuat masalah dengan dirinya. Tanpa membuang-buang waktu, Sugik mencengkeram kerah baju lelaki itu dan bersiap akan menghantam
wajahnya. Lelaki itu hanya diam, sementara Sugik mendorongnya ke tempat yang lebih bercahaya sehingga wajah orang itu semakin jelas.

Namun, Sugik berhenti saat melihat wajah lelaki asing yang rupanya ia kenal itu.

"Mas Sugeng... ucap Sugik sambiI melepaskan cengekeramanya secara perlahan.

Sugik tak mengira akan dipertemukan lagi dengan salah satu sahabat terbaik yang perna ia kenal, 
mantan sopir yang sudah sugik anggap seperti kakak sendiri.

Saat Sugik masih menjadi kernet truk, lelaki yang ada di hadapannya inilah yang selalu menemani dirinya sampai akhirnya Sugik dapat mengemudikan sendiri truknya. Lelaki ini pula yang sudah memperkenalkan Sugik dengan kehidupan jalanan.

Sugik memeluk tubuh lelaki itu. "Wes suwe nggak ketemu awakmu. Yo opo kabare, Geng?" (Sudah lama gak ketemu kamu. Gimana kabarnya Geng?)

Sugeng membalas pelukan Sugik sebelum berkata, "Aku sudah lama mencarimu, Gik"

Malam itu sugik dan Sugeng saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka.

Sugik sudah menikah dua tahun yang lalu, tetapi dirinya belum juga dikaruniai anak. Meski begitu Sugik tak pernah menyalahkan siapa-siapa, apalagi istrinya. Baginya, bila memang rezeki, Tuhan pasti akan memberi kehadiran seorang anak di dalam kehidupan mereka.

Sugik juga bercerita banyak tentang bagaimana kerasnya menjadi sopir truk semenjak Sugeng menghilang tanpa berpamitan.

Dalam kehidupan jalanan saat ini, ekspedisi diambil dengan cara berebut satu sama lain. Bila ada yang tidak terima wajib diselesaikan dengan saling menghajar. Tak sedikit kawan-kawan sopir truk berakhir di jeruji besi.

Bahkan yang lebih mengerikan, bisa saja berakhir di liang lahat.

Sugeng tertawa mendengar cerita Sugik, ia menjadi teringat momen hari terakhir mereka. Saat itu Sugeng tak sempat berpamitan dengan Sugik, ia terdesak karena harus melakukan sesuatu yang
mengharuskannya untuk keluar dari dunia jalanan.

Melihat penampilan rapi Sugeng malam ini membuat Sugik ikut senang. Setelah berjuang keras akhirnya Sugeng menemukan pekerjaan yang pantas. Sugeng hanya tertawa saat Sugik mengatakan hal itu, ia berkata bahwa Sugik tak tahu jenis pekerjaan apa yang sekarang dia lakoni.

"Koen gelem ta melok aku?" (Kamu mau gak ikut aku?) tanya Sugeng tiba-tiba.

Melok opo? (Ikut apa?) tanya Sugik kebingungan.

"Melok aku kerjo, melok wong sing sak iki dadi juraganku" (Ikut aku kerja, ikut orang yang sekarang jadi majikanku)

"Tenanan ta"? (Beneran ya?)

Sugeng mengangguk.

Sugik terdiam sejenak memandang truk miliknya yang diparkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Memang benar menjadi sopir truk itu berat, tetapi Sugik tak yakin akan ada seseorang atau tempat yang dapat menerimanya selain dunia jalanan yang selama ini memberi makan istri dan keluarganya. Mereka bergantung pada komisi yang Sugik terima.

Sugik memperhatikan Sugeng, ia sudah banyak berubah sekarang terlihat lebih pantas disebut seseorang berduit. la kemudian teringat kalau sudah lama surat-surat truknya mati dan tagihan pajaknya pun menumpuk.

"Gak usah khawatir, kalau kamu ada masalah duit biar aku bantu, sekarang kamu ikut saja denganku" Ujar Sugeng berusasha meyakinkan.

"lya, mok kiro aku gampang tah goleki awakmu. Wes ta lah melok aku ae timbangane awakmu urip ngene ae terus" (iya, kamu kira aku gampang ya mencari kamu, sudahlah ikut aku saja, daripada kamu hidup begini terus)

Sugik kembali berpikir, bila diingat-ingat sudah lama ia tak menjenguk istrinya, Darsem. Entah bagaimana keadaannya sekarang.

Yang jelas semenjak tuntutan hidup semakin tinggi, Darsem istri Sugik akhirnya diungsikan di rumah orang tuanya.

"Piye? Gelem gak?" ( gimana? mau gak?) Tanya Sugeng berusaha memastikan.

"Gini Geng, aku itu ginmana ya ngomongnya." Ucap Sugik dengan sedikit ragu.

Sugeng tersenyum lantas mengatakan, "Yo wes yo wes, ki loh." (ya sudah-sudah, ini lho.) Sugeng menyodori Sugih sebuah amplop tebal.

"Wes ta lah, melok aku-tinggalen trukmu nang kene, awakmu wes direkomendasino nang juraganku soale aku sing nyaranno awakmu." (Sudahlah ikut aku, tinggal saja truk kamu disini, kamu sudah direkomendasikan sama majikanku, soalnya aku yang menyarankan kamu)

Sugik menepuk-nepuk amplop tebal itu, menimbang-nimbang. Sebenarnya tawaran Sugeng menggiurkan tapi Sugik merasa seperti ada yang aneh di sini. Hal ini sedikit mengganggu, tetapi ia sudah lama mengenal Sugeng, tak mungkin perasaan ini timbul dari tawaran baik saudaranya ini.

Akhirnya Sugik memutuskan bahwa ia akan ikut dengan Sugeng, tetapi dengan syarat bahwa ia boleh berutang kalau ada yang harus ia bayar. Sekali lagi semua berujung pada utang-utang lama yang sudah menjerat Sugik.

Sugeng tersenyum mengerti kemana pembicaraan Sugik. Ia menunjuk amplop di tangan Sugik lalu berkata, "Itu adalah titipan dari juraganku. Jadi hak milikmu asal kamu mau menemaniku malam ini" kata Sugeng sambil tersenyum aneh.

"Ke mana?" tanya Sugik penasaran.

"Wes melok ae pokok e" (sudah ikut aja)

Mobil hitam melaju dengan Sugeng dan Sugik di dalamnya. Pandangan Sugik tertuju pada amplop tebal yang kini ia pangku di pahanya.

Sugeng yang melihat hal itu lalu berkata kepada Sugik, "Buka saja kalau kamu penasaran, nggak usah sungkan Mendengar perkataan Sugeng, Sugik akhirnya membuka amplop tebal tersebut yang berisikan uang yang banyak.

Selama Sugik hidup ia belum pernah melihat uang sebanyak ini. Sugik menatap Sugeng lalu bertanya, "Ini beneran buat aku, Geng?"

"lyalah buat kamu, dari majikanku, katanya suruh ngasih kalau sudah ketemu orangnya. Dia juga mau ketemu sama kamu nanti"

Sugik mengangguk berterima kasih, dengan uang ini ia pasti dapat membayar semua utangnya. la tak akan terlambat mengirim uang untuk istri dan keluarganya di kampung.

Ngomong-ngomong, kita jadinya mau ke mana?"

Sugeng tersenyum kepada Sugik. "Kita mau jemput anak juraganku. Namanya Sabdo"

Sabdo kuncoro

Sabdo baru saja pulang dari pekerjaan sehari-harinya sebagai kuli angkut beras di pasar. Seperti biasa, tak ada yang menyambutnya di rumah, hanya ada Ibu yang terbaring di kamar.

Sabdo tak mengerti kenapa lbu menjadi seperti ini. Ada yang bilang lbu diguna-guna sehingga isi kepalanya menjadi kacau.

Namun Sabdo tak percaya perkataan orang-orang. Semua ini bermula ketika Sabdo melihat Bapak menghajar lbu di depan matanya.

la menendang kepala, menjambak rambut lalu
menghantam wajah lbu, hingga lbu tersungkur jatuh dengan darah yang terus-menerus keluar dari hidungnya.

Sabdo tak terima ibunya diperlakukan seperti ini. Di usianya yang masih tergolong muda saat itu-enam belas tahun-Sabdo berlari mendorong Bapak yang Usianya sudah berkepala empat.

Namun lelaki itu dengan mudah mencengkeram lengan Sabdo sebelum mencekik lehernya kuat-kuat.

Untuk sepersekian detik Sabdo merasakan napasnya memburu. la berusaha melawan, tetapi tenaga mereka berbeda jauh.

Sabdo perlahan kehilangan keseimbangan. Bapak menghajar Sabdo, memukuli wajahnya dengan brutal.

Ibu yang melihat itu langsung berdiri memahon kepada suaminya agar melepaskan anaknya.

Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi, sebuah kebenaran yang baru kali pertama Sabdo dengar meluncur dari mulut lelaki yang selama ini ia panggil Bapak.

"Iki duduk anak ku" (Dia bukan anakku). Iki ngunu anakmu ambek wong bangsat iku!" (Ini adalah anak kamu sama orang bangsat itu!)

Sabdo mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Aku bukan anak Bapak."

Tanpa aba-aba, lelaki itu kembali mendorong Sabdo hingga tersungkur menghantam meja. Kemudian ia menghadiahi wajah Sabdo dengan satu pukulan yang membuatnya seketika telentang, tak mampu berdiri lagi.

"Kamu itu bukan anakku! Tanya sendiri ke ibukmu Bapak mendengus sebelum melangkah pergi."

Sabdo hanya dapat melihat langit-langit sembari memikirkan kata-kata bapaknya barusan. Pukulan Bapak tak terasa sakit sama sekali, bahkan nyeri pun tidak.

Namun kata-katanya membuat Sabdo merasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk hatinya dan ia merasakan rasa sakit yang teramat sangat.

"Dia bukan anakku" Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu di banting. Lelaki itu melangkah pergi meninggalkan Sabdo bersama lbu. Ibu berusaha bangkit dari tempatnya, ia membantu Sabdo untuk berdiri. Setelah itu, ibu mengurung diri di kamar.

Malamnya, Sabdo berusaha memejamkan mata, lelah dengan kebingungan yang menguras isi kepalanya, lelah dengan segala kemalangan yang selalu menimpa hidupnya.

Saat Sabdo mulai perlahan-lahan menembus warna hitam di dalam mimpinya, ia melihat sosok orang tua misterius duduk di kursi tua, seekor kambing hitam berdiri di sampingnya.

Lelaki tua dengan tubuh tinggi besar itu sedikit membungkuk. la terus mengatakan kata yang sama berulang-ulang kepada Sabdo..

"Canguksono... Canguksono-ku.."
Tak mengerti apa yang dia maksud, Sabdo hanya menatap wajah si lelaki tua yang terlihat lelah itu, bola matanya memutih, seputih janggut dan kumis panjangnya.

Lelaki tua itu seperti mengenali dirinya.

"Kuncoro trah balasedo wes nemukno Canguksonone. Mrinio, Le. Sabdo putuku, mirinio... Elus ndase Bokolono ben dadi perewanganmu."

(Kesini nak, elus kepala Bokolono biar jadi perewanganmu.)

Sabdo bergeming, ia masih bingung. Orang tua itu mengaku bahwa ia adalah kakeknya yang sudah lama mati. Namun apa hubungannya dengan dirinya lalu kenapa dengan kambing hitam itu yang sekarang berjalan mendekati.

"Omongno, Le... omongno nek awakmu kepingin wong iku mati." (Ngomong nak, ngomong kalau kamu ingin orang itu mati)

Sabdo masih diam, ia semakin tak mengerti maksud kalimat lelaki tua itu. Tiba-tiba kambing hitam itu mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Sabdo. Lalu Sabdo melihat bayangan wajah seseorang. Wajah yang dia kenal, wajah Bapak terbayang di depan wajah seekor kambing hitam itu.

Sabdo terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membasahi wajah.

Sabdo berharap ia dapat melupakan hal mengerikan yang baru ia lihat, wajah bapak menganga dengan darah yang terus-menerus Keluar dari lubang-lubang yang muncul di tubuhnya.

Lubang yang entah dari mana datangnya. Seperti darah yang dikuras dari dalam tubuh.

Bapak mati, kulitnya menyusut sampai menampakkan tulang-belulangnya. Dari jendela kamar, Sabdo melihat hari masih gelap. la melangkah Turun dari dipan, berniat untuk membasuh wajah. Melupakan setiap detail kengerian mimpinya itu. Sabdo berusaha meyakinkan dirinya bahwa mimpi hanyalah mimpi-bunga tidur yang tidak bisa dikendalikan oleh semua orang, bukan sesuatu yang harus dipercaya.

Sabdo membuka pintu kamar lalu berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti saat ia mendengar sebuah suara dari di ruang tengah.

Seperti suara air yang menetes dari langit-langit. Tes, tes, tes. Di luar tidak hujan, jadi tak mungkin suara itu berasal dari genting yang bocor. Sabdo menelusuri ruang tengah, tatapannya mencari sampai langkahnya terhenti saat kakinya merasakan sesuatu yang terasa basah. Sabdo menunduk memandang lantai, dalam gelap ia
melihat genangan. Air apa ini? Sabdo perlahan menoleh ke atas..

Seseorang menempel di langit-langit dengan tangan dan kaki terbuka. Bapak. la mengerang kesakitan dalam keadaan kulit mengelupas. Di sekujur tubuh Bapak yang telanjang terdapat lubang-lubang kecil yang terus-menerus meneteskan darah.

Malam itu Bapak mati. Kematian yang akan terus menghantui hidup Sabdo, selama-lamanya.

Seminggu setelah pemakaman Bapak semua terasa berbeda. Tetangga saling berbisik, berbicara tentang bagaimana Bapak mati, desas-desus menyebar mulai dari ilmu hitam hingga santet dari orang yang membenci Bapak.

Namun tak pernah ada yang tahu apa yang
sebenarnya menimpa Bapak, termasuk Sabdo sendiri.

Sabdo mengetuk pintu kamar lbu, tetapi ibu tak kunjung menjawab. Perlahan Sabdo mendorong pintu. lbu tengah berbaring. melamun, memandang kosong langit-langit.

Sabdo mendekatinya, ia duduk di samping wanita malang itu, mengelus rambutnya. Kulit ibu tampak sangat kering, pandangan matanya masih saja kosong. Dengan sabar Sabdo menepuk-nepuk pelan selimut kusam yang membalut tubuh Ibu, mencoba menenangkan hati perempuan malang itu.

Namun sayangnya ibu tetap tak bergeming, tak menjawab setiap kata yang keluar dari mulut Sabdo, ia hanya diam. Masih diam. Terus diam.
Bu, mungkin Sabdo sudah bertanya ratusan kali, tapi tidakkah Ibu mau memberitahu siapa bapakku?"

Perempuan itu masih diam mematung, tak ada tanda bahwa ia akan menjawab pertanyaannya. Sabdo tersenyum, tak berkecil hati. la mulai berjalan meninggalkan ruangan saat tiba-tiba lbu mengatakan sesuatu tanpa menoleh memandang Sabdo.

"Kuncoro.. Kuncoro...

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close