Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SABDO KUNCORO BOKOLONO (Part 6 END)


JEJAKMISTERI - Sugik terkesiap, terbangun dari tidurnya. la duduk di atas dipan lalu memuntahkan isi di dalam perutnya lagi. Kejadian hari ini adalah
hal tergila yang pernah dia lakukan sepanjang hidup. Saat Arjo memaksanya dan Sabdo untuk menelan, memakan potongan mentah isi perut anak kambing itu. Orang waras mana yang melakukan hal sinting seperti ini?

Ya, tak ada yang dapat dia lakukan selain menuruti kata Arjo. Sumpah Abdi Sula, ia masih mengingat kata-kata itu.

Sugeng sudah menjelaskan kepada Sugik bahwa Abdi Sula adalah semacam menyambut sukma dari abdi kepada tuan mereka.

Sukma tuan mereka akan memanggil-manggil saat ia dalam bahaya atau kesulitan. Sugik terkekeh mendengar penjelasan Sugeng, ia tahu Kuncoro memang dapat melakukan sihir-sihir meski terkadang ia tak percaya. Namun nyatanya mereka benar-benar melakukannya.

Benarkah sumpah Abdi Sula yang tadi dia lakukan akan bekerja seperti itu?

Sugik melangkah turun dari dipan, tubuhnya semakin lemas.

Bila bukan karena Sabdo yang memperlakukannya dengan baik, mungkin Sugik akan menolak perintah Arjo meski hukuman cambuk harus dia terima.

Dengan langkah terhuyung Sugik berjalan lalu membuka pintu.

Setidaknya ia berharap angin malam mungkin bisa membuat dirinya sedikit lebih tenang. Setiap kali ia mulai tertidur, mimpi-mimpi aneh itu kembali, 
membuat Sugik merasakan gelisah itu lagi. la masih bisa membayangkan sorot mata merah kambing hitam yang hadir dalam mimpinya. Dengan sepasang tanduk di atas kepala, makhluk itu menyeret, membawanya masuk ke dalam bagian mimpi paling mengerikan.

Sebuah ketakutan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Ketakutan akan teror berdarah saat melihat darah Sekti Jerok menyembur di depan mata.

Sugik teringat kata-kata Sugeng sesaat sebelum mereka meninggalkan tempat itu. Sugeng berkata bahwa Sugik tak perlu lagi menjadi tukang kebun karena mulai hari ini Sugik akan menjadi bagian dari Sabdo Kuncoro.

Mulai besok, sebuah mobil akan menjadi tanggung jawab Sugik. la akan mengantar ke mana pun Sabdo pergi, mengikuti semua perintahnya sama seperti hubungan antara Sugeng dengan Arjo.

Sugik masih memandang ke arah taman di luar kamar. Entah kenapa tiba-tiba Sugik merasakan firasat yang tidak enak tentang tuannya itu, seolah-olah ada yang mengganjal, membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Sesuatu akan terjadi-pikir Sugik, mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi kepada Tuan Sabdo? Sugik tiba-tiba terbayang wajah Sabdo. la bergegas meninggalkan kamarnya menuju kamar Sabdo.

Tubuh Sugik terasa panas, tapi panas yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti siksaan kecil yang menyakiti dirinya.

Sugik berjalan semakin cepat, ia mulai khawatir, tetapi tiba-tiba dia melihat dua bayangan hitam yang sedang berjalan menuju ke tempatnya berdiri. Cepat-cepat Sugik bersembunyi, membiarkan mereka berjalan melewatinya yang bersembunyi di balik sema-semak.

Dua orang itu terdengar berbincang. "Biar kuberi pelajaran anak ini, semenjak dia datang, Bapak tak lagi peduli dengan kita," kata salah satu dari mereka. Sugik tak dapat melihat dengan jelas wajah mereka karena jalan di sisi taman ini tak memiliki penerangan apa pun.

Sugik memutuskan diam-diam mengikuti mereka dan benar seperti dugaannya, dua orang misterius ini sedang menuju ke ruangan Sabdo.

Sugik melihat dari seberang jalan, di luar ruangan, Sabdo sedang menikmati malam seorang diri di teras kamar.

Ia memandang ke arah taman dan tanpa disadari, di belakangnya berdiri orang-orang yang Sugik ikuti sejak tadi. Sugik berniat memperingatkan Sabdo, tetapi ia mengurungkan niat saat tahu bahwa dua orang itu adalah Pras Anum Kuncoro dan saudara laki-lakinya, Batra Kuncoro.

Ada urusan apa sebenarnya dua anak Kuncoro itu dengan Tuan Sabdo?

Sugik melihat Sabdo menyadari kehadiran saudara-saudaranya.

Mereka berbicara, tetapi Sugik tak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Hanya sayup-sayup suara.

"Semakin lama kamu semakin sombong saja di depan kami.  Apa kamu tidak ingat asalmu, dasar Anak Setan kata Pras anum. Sugik mulai bergerak mendekat, dari ekspresi wajah yang di tunjukkan oleh Sabdo, ia tampak begitu tenang. la duduk menikmati malam sambil melihat wajah saudara-saudaranya yang mulai tidak bisa menahan diri.
Sabdo menyeringai. Apa yang membuat kalian datang menemuiku?"

Batra yang tidak terima perkataan saudaranya tak diacuhkan oleh Sabdo lalu berkata, "Kamu benar-benar tak tahu saat ini sedang berhadapan dengan siapa" Sabdo akhirnya berdiri. la melihat dengan sorot mata tajam. 

"Aku yakin kalian berdua sudah tahu siapn aku, Bapak sendiri yang sudah mengatakannya, aku istimewa, aku yang mewarisi keagungan keluarga Kuncoro.

Jadi mulai hari ini, kalian yang seharusnya menghormatiku. Mendengar hal itu, dua saudara Kuncoro terlihat gusar.

Tanpa membuang-buang waktu, Pras Anum mencekik leher Sabdo, membuat pemuda itu kesulitan bernapas. Batra melerai mereka. la seperti memberi tanda bahwa tujuan mereka ke sini bukan untuk menghabisi Sabdo, melainkan membuat Sabdo tahu diri tentang posisinya.

Batra menyeringai disambut anggukan oleh Pras Anum.

Tiba-tiba Batra menahan tubuh Sabdo dari belakang, Sabdo yang menyadari hal ini meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Batra.

"Apa yang mau mereka lakukan?" Sugik melihat pergulatan terjadi.
Batra menarik tubuh Sabdo, menyeretnya masuk ke kamar yang kemudian diikuti oleh Pras Anum. Kemudian, Pras memastikan kalau tak ada orang yang melihat mereka, sebelum ia menutup pintu.

Sugik bergegas menuju kamar Sabdo, tapi sayangnya, pintu sudah dikunci dari dalam.

Tak kehilangan akal, Sugik meninggalkan tempat itu lalu kembali dengan membawa tangga.

Sugik memanjat untuk melihat dari langit
kamar apa yang mereka lakukan kepada Sabdo. la akan memberi tahu Tuan Arjo akan kejadian ini.

Dari celah di langit-langit Sugik dapat melihat Sabdo dihajar habis-habisan. Pras Anum memukul wajah Sabdo bertubi-tubi.

Namun anehnya Sabdo tak terlihat tekut, bahkan ia sempat meludahi wajah Pras Anum dengan darah yang keluar dari mulutnya. Hal ini membuat pras semakin kesal, ia menghajar Sabdo lagi. Batra dan Pras Anum tertawa, mereka merasa sudah menang.

Sabdo menunduk dengan luka memar di wajahnya, tetapi dia terlihat masih sadar. Pras Anum rupanya belum puas melihat penderitaan Sabdo. la meminta Batra menahan tubuh Sabdo dengan kuat, sementara dia mulai membuka sabuk celananya. 

Sugik terhenyak menyaksikan hal ini. Batra tertawa sembari memaksa Sabdo
menanggalkan celananya juga. Sabdo menahan sekuat tenaga, tetapi Pras memukul wajahnya, sebelum menarik paksa hingga akhirnya Sabdo telanjang. Saat itulah Sugik melihat apa yang Pras lakukan, suatu perbuatan yang tak akan pernah Sugik maafkan. Sugik berteriak,
membuat dua Kuncoro panik.

Cepat-cepat Sugik bergerak turun tangga, kemudian berlari bersembunyi di semak-semak. Dua Kuncoro kemudian meninggalkan
Sabdo seorang diri. Mereka keluar ruangan untuk mencari sumber suara itu. Sugik memanfaatkan momen itu untuk masuk menemui Sabdo yang terlihat kacau dan malu.

Menurut Sugik, apa yang dilakukan Batra dan Pras Anum sudah di luar batas dan Tuan Arjo harus tahu tentang hal ini. Namun Sabdo menatap Sugik dengan sorot mata nanar, ia tak mau orang-orang tahu, terutama keluarga Kuncoro tahu apa yang baru menimpa dirinya.

Sugik mengerti, tentu saja hal ini akan menjadi aib bila sampai didengar oleh orang-orang. Namun Sabdo tak bisa melepaskan mereka begitu saja.

Tak lama kemudian, Sugik menyadari bahwa di luar pintu ada seekor kembing hitam sedang menatap ke arah mereka.

Sabdo melihat sejenak binatang itu lalu berkata kepada Sugik dengan ekspresi ganjil. Sabdo menyeringai. "Menurutmu, bagaimana bila aku membunuh salah satu dari mereka? Apakah cukup pantas untuk mengembalikan kehormatanku?"

Sugik tak tahu harus menjawab apa. Menurutnya Pras memang pantas mendapat balasan dari perbuatannya.

"Bokolono, aku ingin menghabisi dia, kamu mau menolongku kan?" Sabdo berlutut dan kambing itu berjalan masuk ke ruangan.

Sugik mengambil sebilah pisau, ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Sabdo.

Waktu berlalu. Sugik melihat binatang itu digantung terbalik dan dikuliti, sebelum akhirnya sampai pada sentuhan terakhir, Sabdo menggorok leher makhluk itu dengan sebilah pisau tajam. Darahpun mengalir membasahi lantai.

Sugik berdiri mendekati Sabdo setelah semalaman menemaninya menyiksa binatang ini. la berpamitan untuk kembali ke kamarnya.

Sabdo yang tengah sibuk memotong-motong bagian tubuh Bokolono berujar, "Kamu tidak mau menikmati pertunjukan setelah ini?"

Sugik tersenyum getir, menolak. la memilih untuk pergi saja dari sini.

Sabdo mengerti, ia meminta maaf kepada Sugik karena harus menjadi saksi akan hal-hal yang tak seharusnya dia lihat. la mendengarkan suara pintu ditutup, Sugik sudah pergi meninggalkannya
seorang diri.

Sugik tahu semua dari Sugeng. la tahu makhluk yang bersemayam di dalam binatang itu. Sugik berjalan di lorong, langit yang masih terlithat gelap, perlahan dari timur cahaya matahari mulai bergerak naik.

Dari jauh ia mendengar suara seseorang berteriak.

Sugik mendekati sumber suara. la melihat kerumunan orang sedang melihat sesuatu. Mereka berbicara satu sama lain, beberapa menutupi wajahnya, tampak begitu terguncang dengan apa yang mereka lihat. Sugik bergegas mendekat untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Sugik terdiam lama melihat pemandangan itu, terlihat tubuh Pras tanpa busana dengan tubuh yang dikuliti. la mati digantung di langit-langit di lorong kediaman Kuncoro. Sugik hanya menatap kosong jasad Pras Anum, rupanya yang dikatakan Sabdo beberapa hari yang lalu setelah sumpah Abdi Sula adalah benar. la bisa membunuh seseorang hanya dengan menggunakan media kambing hitam yang sama, kambing hitam istimewa yang dimiliki keluarga Kuncoro.

Makhluk itu tak pernah bisa mati, setiap Sabdo selesai menyiksa binatang itu. la akan menemukannya kembali de kandang tanpa ada luka sedikit pun.

Tanpa meminta kematian dari pengirim, tetapi membunuh target yang dikirim, santet Bokolono adalah jenis santet yang sama saat Sabdo menghabisi Sekti Jerok.

Arjo dan Lasmini baru saja tiba. Mereka melihat jasad anak mereka mati dalam kondisi sangat mengenaskan. Sugik melihat bagaimana reaksi mereka. Lasmini tersenyum, sebuah senyuman yang terlihat seperti menghina. la melihat jasad Pras tanpa ada rasa sedih sedikit pun, membuat Sugik semakin yakin bahwa Pras, Batra, juga Intan bukanlah anak kandung Arjo dan Lasmini seperti yang pernah diceritakan Sugeng. Sementara Arjo tampak diam, ia menunduk menahan marah.

Sugik dapat merasakan bahwa Arjo seperti terbakar api. Arjo kemudian berteriak keras, meminta penjelasan tentang apa yang menimpa anak sulungnya.

Intan yang baru saja tiba di tempat kejadian menjerit, menutup mulut saat melihat tubuh kakaknya terlihat seperti tubuh binatang la bertanya kepada Lasmini apa yang terjadi, tetapi wanita itu hanya menggeleng. Di samping mereka, Batra menahan diri, ia tahu apa yang terjadi, tetapi ia tak mengatakan apa pun.

Sugik yang sejak tadi berdiri berbaur dengan para abdi lain melangkah maju. Arjo menoleh ke arahnya.

"Aku yang melakukan ini" AKU Sugik tiba-tiba.
Sugik bisa melihat dengan jelas satu per satu wajah mereka yang terkejut mendengar pengakuannya.

"Kamu, kenapa kamu membunuh anakku?" tanya Arjo.

"Karena aku tidak menyukainya. Pagi itu juga, tersebar berita bahwa Sugik akan dihukum."
Hukuman paling ringan atas membunuh majikan adalah mutilasi seluruh anggota tubuh.

Ruangan itu jauh lebih gelap dari semua ruangan yang pernah Sugik lihat di dalam rumah utama kediaman Kuncoro. Dengan pencahayaan yang tidak merata, Sugik berlutut di lantai kayu. Di hadapannya, berdiri Arjo yang sedang mengasah parang. Tak jauh dari tempat eksekusi, Lasmini, Intan, dan Batra duduk memandang Sugik.

Intan tiba-tiba berkata, "Mas Sugik bohong, kan? Bukan Mas Sugik kan, yang membunuh Mas Pras?"

Sugik hanya tersenyum memandang Intan. Dia juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba mengaku sebagai pembunuh Pras Anum.

Apakah karena sumpah Abdi Sula yang aku lakukan? Apakah hal ini juga yang membuat naluri ingin melindungi Sabdo -Tuan yang harus kujaga?

Sugik sudah tidak peduli, baginya mati mungkin jalan terbaik daripada harus mengabdi, melihat bagaimana keluarga Kuncoro hidup.

Arjo bertanya lagi, memastikan apakah benar Sugik yang menghabisi nyawa anaknya.

Sugik memilih diam, ia menunduk, siap menunggu hukuman yang dijatuhkan kepadanya.

Arjo membersihkan parang, menggenggam senjata tajam itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, bersiap menebas tubuh Sugik.

Tiba-tiba seseorang datang berteriak, menghentikan eksekusi ini.

Sugik menoleh, rupanya Tuan Sabdo.

"Aku yang membunuh Pras dengan Bokolono.  Jadi lepaskanlah abdiku, dia tidak bersalah, dia hanya ingin melindungiku"

Sugik tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sabdo datang untuk menjamin nyawa Sugik dengan nyawanya sendiri.

Arjo memandang Sabdo datar. "Kenapa kamu membunuh Pras?"

"Pras pantas untuk mati. Bukankah aku adalah Canguksono dikeluarga ini?"

Kata-kata Sabdo membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tercengang, kecuali Arjo.

"Kalau begitu, Sabdo harus dieksekusi!" kata Batra, berseru kepada Arjo.

Arjo masih diam, tak melakukan apa-apa. Lasmini melangkah turun, bertepuk tangan lalu berkata kepada Sabdo, "Satu Kuncoro mati, kupikit hal ini bisa dimaafkan."

Lasmini mendukung Sabdo, tentu saja hal ini cukup mengejutkan bagi semua orang. Mengingat sejak awal Lasmini adalah orang yang antipati terhadap kehadiran Sabdo di dalam keluarga Kuncoro. 

la tak pernah menanggapi kehadiran Sabdo, tetapi kenapa hari ini dia bersikap seperti ini?

Batra melangkah maju, menegaskan bahwa hukuman tetap harus dilaksanakan.

Lasmini tersenyum menyeringai kepada Batra. "Kamu siapa? Kamu hanya anak biasa yang kebetulan meminjam nama Kuncoro", "Tapi, Bu?"

"AKU BUKAN IBUMU!" bentak Lasmini.

Batra seketika melangkah pergi meninggalkan ruangan. Hanya Arjo yang memasang ekspresi yang tak dapat diprediksi.

Apakah dia akan mengeksekusi Sabdo?
Arjo mendekati Sabdo lalu berkata, "Sudahlah, mengeksekusi tak akan membawa Pras Anum kembali ke tempat ini, bukankah begitu?"

Lasmini menyambut perkataan Arjo, ia berkata kepada Arjo bahwa Sabdo mungkin sudah lebih dari siap untuk menjadi Canguksono murni.

Caranya membunuh Pras Anum dengan Bokolono adalah sebuah bukti. Artinya sudah saatnya Kuncoro kembali mendapatkan kejayaan yang sudah lama hilang. Lasmini lalu memeluk Sabdo.

Intan tampak tidak percaya mendengar pengakuan Sabdo.

la seolah-olah menolak bahwa Sabdo yang melakukan hal ini.

Setelah mengurungkan eksekusi, Arjo melangkah pergi begitu saja meninggalkan semua orang.

Sugik duduk di pelataran kamar, desas-desus tentangnya sudah tersebar luas.

Semua abdi menjauh dan berbicara di belakangnya. la tak dapat menyalahkan mereka semua. Apa yang ia lakukan semata-mata hanya ingin membantu Sabdo.

Sugeng datang menemui Sugik, ia menawari sebatang rokok tapi Sugik menolak. la sedang tak ingin melakukan apa-apa selain melamun seharian.

"Aku masih tidak percaya Sabdo sampai harus melakukannya," kata Sugeng.

"Tanpa suatu kebencian yang hebat, santet tak dapat ditunaikan" ujar Sugeng sambil mengisap sebatang rokok miliknya.

"Semakin besar kebencian di dalam hati seseorang, semakin hebat santet yang dikirim. Jadi, kebencian macam apa yang membuat Sabdo sampai harus merenggut nyawa Pras?"

Sugik menatap Sugeng, setelah beberapa saat akhirnya ia menyerah lalu menceritakan semua yang terjadi. Sugeng tampak tak terkejut sama sekali. la justru tersenyum kecut seolah-olah sudah tahu bagaimana sifat dua anak Kuncoro itu.

"Bila memang seperti itu kejadiannya, maka Pras Anum memang pantas untuk mati. Lalu, kenapa Sabdo tidak membunuh Batra saja sekalian?"

Sugik hanya menggeleng, tidak tahu apa yang ada di kepala tuannya.

Sugeng berdiri, mematikan sebatang rokok di tangannya, bersiap-siap untuk pergi. Dilihatnya Sugik yang masih melamun.

Untuk menenangkan Sugik, Sugeng berkata, "Kamu tidak perlu merasa bersalah dengan kematian Pras Anum. Lagi pula cepat atau lambat Tuan Arjo akan tahu alasannya"

Kemudian, Sugeng memegang bahu Sugik. "Kamu harus berhati-hati, Batra mungkin masih belum bisa menerima semua Ini. Dia bisa melakukan apa saja untuk membalas dendam, tapi semoga saja itu tidak terjadi. Aku malas kalau harus membersihkan jasad lagi"

"Gik, mungkin untuk beberapa waktu ke depan kita tidak tidak akan bertemu. Kupercayakan tugas-tugasku kepadamu" lanjut Sugena.

"Kamu mau ke mana?" tanya Sugik penasaran.

Lebih baik kamu tidak tahu, kata Sugeng seraya tersenyum lalu meninggalkan Sugik.

Apa yang dikatakan oleh Sugeng bisa saja terjadi mengingat kedekatan antara Pras Anum dengan Batra. Bisa saja saat ini Batra sedang mempersiapkan sesuatu untuknya. Meski begitu, hari ini Sugik merasa sangat kacau. la tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini, tetapi Sugik tidak bisa melupakan wajah Tuan Sabdo saat menguliti binatang itu. Wajah sinting itu mengingatkan dirinya dengan Arjo.

Mereka begitu mirip. Sementara Itu Arjo yang Masi bersama Sabdo, lalu berkat pada Sabdo.

"Sekdo kilih, itu adalah nama santet yang kamu gunakan untuk menghabisi Pras Anum, tidak banyak orang bisa melakukannya, bahkan aku sendiri. Kebencian seperti apa yang membuatmu membuang sisi manusiamu?" tanya Arjo.

"Meski begitu, aku tak bisa menghukummu
Kamu pasti punya alasan kuat. Tapi Sabdo, kenapa kamu tidak bercerita kalau kamu menyimpan kebencian terhadap saudara-saudaramu? Aku hanya menyayangkan hal ini terjadi di tanahku. Kamu seperti melempar kotoran tepat di wajahku."

Sabdo sendiri tak mengerti kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul, perasaan ingin menyiksa Pras Anum dan Batra. Namun Sabdo menahan diri, ia hanya ingin melihat saudaranya menderita, gejolak yang menggebu-gebu rasanya tidak sepadan setelah melihat jasad Pras Anum. Sabdo sempat merasa menyesal, tetapi ia tak bisa menyalahkan
diri sendiri setelah apa yang Pras Anum lakukan kepadanya.

"Melihatmu melakukan ilmu yang tidak pernah diajarkan oleh siapa pun membuatku cukup terkesan. bagaimana kamu bisa melakukannya?"

Sabdo menatap Arjo. "Aku tidak tahu"

"Kamu tidak tahu?" tanya Arjo bingung.

Sabdo menggeleng, semua teradi begitu cepat. Sabdo sendiri seperti tidak sadar sudah melakukannya. la hanya melihat mata Bokolono, lalu mendengar bisikan yang berkata Pras Anum dan Batra harus menerima ganjaran setimpal. Tak cukup dengan kematian, melainkan juga penyiksaan sampai mereka merasakan neraka dunia.

Sabdo begitu senang sampai tak memikirkan akibat dari perbuatannya.

Kulit Pras Anum mengelupas dengan tubuh terkoyak-koyak. Sayang sekali Sabdo tak melihat Pras Anum menjerit. Seandainya ia tahu tentang semua ini lebih dulu, mungkin ia akan menikmati kematian Pras Anum dengan perlahan.

"Sudahlah, kamu tak perlu menyudutkan dia, tidak ada gunanya lagi" Lasmini datang lalu mendekati Sabdo.

"Tapi melihat Sabdo dapat melakukan Sekdo Kilih dengan menggunakan Bokolono, bukankah ini luar biasa? Sabdo seperti ingin menunjukkan kepada kita bahwa ia bukan Canguksono biasa. Dengan apa yang sudah kita miliki saat ini, bukankah berarti sudah saatnya Kuncoro menunjukkan siapa dirinya? Kamu mengerti kan maksudku, Suamiku?"

Arjo mengangguk, apa yang dikatakan oleh Lasmini benar.

Sekarang Kuncoro pantas berbangga diri. Setelah kehilangan Bokolono selama beberapa tahun, 
orang-orang merendahkan dia dan keluarganya. Sekarang, dengan adanya Sabdo, tidak akan ada yang berani lagi menghina dirinya.

"Meski begitu, ini tidak akan mudah," kata Arjo.

"Konsekuensi bila Sabdo ternyata belum siap akan membuat kerugian yang besar kepada keluarga kita sendiri"

Sabdo melihat Arjo. "Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Nak, aku ingin tahu bagaimana rasanya saat kamu mengabisi Pras Anum"?

Sabdo menunduk, ia tidak yakin apa yang sebenarnya dia rasakan saat kejadian itu. Namun Sabdo tidak dapat membohongi diri sendiri. 

Bahwa ada kenikmatan yang tidak dapat dia ceritakan saat mengoyak tubuh Bokolono.

"Lupakan saja apa yang baru saja aku katakan. Sekarang aku ingin bertanya tentang hal lain. Apakah kamu menginginkan kekuata lebih?"

"Kekuatan?"

"Ya, kekuatan. Kamu bisa mendapatkan apa pun dengan kekuatan ini. Harta, takhta, kekuasaan, apa pun"

Sabdo mengangguk. lya, dia menginginkan lebih dari ini. Bila hanya dengan hal ini Sabdo bisa melakukan santet kepada Pras Anum, mungkin kelak Sabdo bisa melakukan hal-hal lain yang tidak akan pernah disangka-sangka.

Arjo akhirnya menceritakan kepada Sabdo bahwa sebelum memilih Sabdo, Canguksono pernah memilih saudaranya, Kondoto.

Sabdo terkejut, ia tak pernah tahu kalau Arjo memiliki saudara. Pada malam saat Kondoto menginginkan kekuatan lebih, Arjo membantunya.

Namun, Kondoto rupanya belum siap. la mendapat serangan balik yang membuat tubuhnya lumpuh, sebelum akhirnya terjangkit wabah yang merenggut nyawanya. Bagaimanapun untuk sampai di tahapan Canguksono selanjutnya, Sabdo harus percaya bahwa ia lebih siap dari pendahulunya.

"Jadi pikirkanlah, apakah kamu benar-benar siap melakukannya, Arjo melihat Sabdo dengan sorot mata tajam.

"Bila kamu sudah siap aku akan membantumu. Kamu akan melewati fase menderita sampai
sampai ingin mati karena tahap ini adalah tahap yang paling sulit bagi Canguksono. Tapi bila kamu berhasil melewatinya, kamu akan membawa Kuncuro menjadi nama yang paling disegani bahkan diantara merek semua.

"Mereka siapa?

Arjo melihat Lasmini, wanita itu mendekati Sabdo dan berkata, "Mereka adalah musuh-musuh Kuncoro. Jadi, apa yang harus kulakukan?"

Arjo tersenyum, begitu juga dengan Lasmini. Mereka terlihat begitu senang mendengar pertanyaan Sabdo. Arjo dan Lasmini berpesan agar Sabdo beristirahat dulu sebelum semuanya dimulai.

Sabdo mengangguk, lalu meninggalkan ruangan. Saat itulah Lasmini mengatakan kepada Arjo, "Satu langkah lagi, lalu kita akan menduduki singgasana"

Sabdo menutup pintu, ia terkejut melihat Intan Kuncoro berdiri di hadapannya. Seperti sengeja menunggu kedatangannya, perempuan itu menarik tangan Sabdo, membawanya menjauh dari tempat itu.

Sabdo mengikuti kemana Intan membawanya.

Di belakang rumah utama, Sabdo bisa melihat banyak pohon tinggi besar. Intan Kuncoro mendekati Sabdo lalu bertanya, "Apa yang mereka katakan kepadamu?"

Sabdo pun menceritakan semua yang dia dengar dari pertemuannya dengan Arjo dan Lasmini.

"Memang sebelum kamu, aku pernah mendengar bila paman Kondoto adalah Canguksono yang sebelumnya. Beliau adalah orang yang ramah, aku mengenalnya sangat baik, tetapi" Intan melihat kearah lain, "beliau mati muda dengan penyebab yang misterius,"

"Arjo bilang dia mati karena memaksakan diri untuk memperkuat ilmunya."

"Aku tidak tahu soal itu, tapi aku masih mengingat dengan jelas bagaimana tubuhnya saat tersiksa oleh sesuatu. Bapak berkata ini akibat dari musuh para Kuncoro"

"Musuh para Kuncoro?"

"Kamu tidak akan percaya seberapa sering Bapak dan lbu menceritakan semua tentang musuh-musuh Kuncoro. la menyebut mereka dengan sebutan Setan Intan seperti ingin mengatakan
sesuatu. "Entahlah apa perasaanku benar, tapi aku merasa kamu mirip sekali dengan Kondoto"

"Aku mirip dengan Kondoto? Bagaimana mungkin?"

"Matamu, hidungmu, rambutmu, kamu lebih mirip dengan Paman Kondoto dibandingkan bapak kita sendiri, tapi semoga saja aku salah Lalu, apa yang kamu ingat dari dirinya?"

"Yang kuingat, entahlah. Dia paman yang baik,"

Aneh. Selama ini Sabdo pikir dia sudah cukup mengenal Intan. Sabdo mengamati sifat-sifatnya, termasuk bagaimana dia mengatakan suatu kebohongan. Apa yang sebenarnya Intan sembunyikan?

"Kamu beruntung mewarisi Canguksono di dalam dirimu. Bagi semua anggota keluarga Kuncoro, Canguksono ialah semacam berkah yang tak dapat dinalar dengan logika. Seorang Canguksono bisa
memerintah Bokolono sebebas mungkin tanpa utang yang harus dibayar. Kamu sudah tahu kalau binatang itu tidak bisa mati?

Sabdo mengangguk, ia sudah tahu hal ini dari Arjo.

"Baguslah kalau begitu. Sebenarnya aku membawamu ke sini ingin membahas masalah yang tempo hari kuceritakan kepadamu. Soal perjodohanku, bagaimana tanggapan Bapak soal ini?"

Sabdo diam melihat Intan yang berdiri menatap dengan sorot mata memohon, sabdo akhirnya bercerita bahwa satu dari tiga kandidat yang melamar dirinya baru saja mati.

Intan tampak tidak terlalu terkejut mendengarnya. "Aku sudah tahu hal seperti inl akan terjadi"

Sekarang Sabdo yang justru terkejut mendengarkannya. "Apa maksudmu?"

"Bapak sebenarnya menawarkanku kepada orang-orang yang merasa pantas untuk tujuan lain, yaitu menghabisi orang-orang tersebut. Bapak pernah bilang kalau perjodohan ini hanya alasan bagi
Bapak untuk menyingkirkan mereka."

Sabdo tidak mengerti maksud perkataan Intan.

"Intinya, siapa pun kandidat yang ingin melamarku, akan tetap dihabisi oleh Bapak"

"Bukankah berarti ini hal yang bagus. Kamu tidak perlu menikahi mereka"

Intan tersenyum getir lalu berkata kepada Sabdo, "Tak ada yang bagus dari apa yang dilakukan oleh Bapak karena tujuan yang terselubung"

Intan mendekati Sabdo kemudian dia membisikkan kata-kata yang membuat Sabdo melihat Intan dengan sorot mata tidak percaya.

"Tidak mungkin. Kamu bercanda, kan?"

"Bapak mengatakannya sendiri kepadaku, bahkan di hadapan Ibu".

"Kenapa dia harus melakukan itu?" Sabdo masih tidak percaya sepenuhnya dengan apa yang baru saja dia dengar dari Intan.

"Konon, Bapak percaya selain Canguksono, di dalam keluarga Kuncoro juga terdapat gelar Ranum. Ya, Canguksono digunakan untuk menyingkirkan musuh-musuhnya, Ranum untuk digunakan mempertahankan keutuhan anggota keluarga. Hal ini yang membuat keluarga Kuncoro begitu disegani di masa lalu. Namun, keluarga Kuncoro memiliki sisi gelap yang hanya diketahui oleh segelintir orang Pernikahan antar saudara sendiri."

Entah Sabdo harus bereaksi apa mendengar hal ini. Itu artinya ia memiliki kesempatan untuk menikahi Intan. Namun Intan menjelaskan lebih lanjut tentang aturan di dalam keluarga Kuncoro.

"Ranum tak boleh menikah dengan Canguksono. Hal ini sudah pernah diramalkan, kalau Kuncoro memaksa Ranum menikah dengan seorang Canguksono, maka akibat yang ditimbulkan dari pernikahan ini adalah Intan melihat mata Sabdo sejenak, "Pemusnahan seluruh keturunan Kuncoro"

Sabdo terdiam sejenak. "Lalu, apa maksudmu sebenarnya? Apa yang sedang ingin kamu sampaikan?"

"Dari awal, yang bisa menikahiku hanya Pras Anum dan Batra, tetapi setelah Pras Anum mati, berarti tinggal Batra yang akan menjadi Suamiku".

keesok harinya malam-malam di tempat Sugik, Sugik terbangun setelah mendengar suara ketukan
pintu. la terkejut mendapati Lina yang berdiri di ambang pintu.

Sugik terpaku lama sebelum akhirnya menampar wajah sendiri untuk meyakinkan diri bahwa ia benar-benar sedang melihat perempuan yang
selama ini menghilang tanpa jejak.

Sugik lalu bertanya keberadaannya selama ini, tapi Lina tak ingin mengatakannya. ia datang ke tempat Sugik untuk menyampaikan perintah mengantarkan Tuan Arjo pergi. Sugik baru ingat bila Sugeng sedang tidak ada di kediaman Kuncoro. Setelah mengatakan hal itu, Lina bergegas pergi. Sugik merasa bahwa Lina sedang menyembunyikan sesuatu.

Sugik bergegas menuju Tuan Arjo berada. Rupanya beliau sudah berdiri di samping pintu mobil, menatap ke arah taman. Sugik membungkuk, memberi hormat sebelum memulai perjalanan mereka.

Tuan Arjo menyebutkan nama sebuah tempat, "Wungguljajar, bawa aku ke sana"

Mobil mulai melaju menembus kegelapan malam, menelusuri jalan di antara pepohonan yang terlihat di kanan-kiri bahu jalan. Tanpa terasa dua jam sudah berlalu, Sugik mulai bertanya-tanya, ia baru saja menyadari kalau tak pernah melihat Tuan Arjo keluar dari kediamannnya, kecuali saat menjemput dirinya dari rumah Bayu Saseno.

Setelah belokan ini, masuklah ke jalan setapak yang menuju hutan.

Sugik melihat Tuan Arjo dari kaca depan mobil. la mencoba meyakinkan diri apakah tidak salah dengar, jalan setapak menuju dalam hutan.

Tepat setelah belokan, Sugik menginjak rem untuk memastikan apakah ada jalan menuju hutan. Rupanya jalan itu benar-benar ada.

Sugik mulai melaju pelan masuk ke hutan yang gelap. Jalanan ini dibuat secara serampangan, beberapa kali Sugik harus memaksa mesin
karena jalur yang terus-menerus naik. Suara binatang di sepanjang jalan membuat Sugik semakin penasaran ke mana tujuan mereka sebenarnya.

Dari cahaya lampu mobil, Sugik bisa melihat jalanan yang ada di depan, tersembunyi di antara pepohonan tinggi dan semak belukar. Medan yang mereka lewati semakin tidak layak.

Akhirnya Sugik melihat sebuah padepokan yang terbuat dari kayu.
Sugik terkejut saat melihatnya, tidak pernah tahu ada yang seperti ini di tengah hutan belantara. Sugik lalu memarkirkan mobil sebelum melangkah turun membukakan pintu untuk tuannya. Lalu, Tuan Arjo berjalan menuju padepokan.

"Ikutlah masuk denganku", kata Tuan Arjo.

Mereka berjalan di sebuah lorong panjang tempat sugik memperhatikan detil-detail kayu solid yang disusun sedemikian rupa sampai menjadi tempat seluas biasa ini.

Tak banyak orang yang dapat Sugik temui di tempat ini selain para abdi dalem yang merngenakan pakaian serba putih dengan motif batik.

Mereka membimbing Sugik dan Tuan Arjo menuju suatu tempat Di dalam hati Sugik bertanya-tanya, Tempat apa sebenarnya ini.

Saat itulah Sugik berpapasan dengan seseorang. Seorang wanita tua dengan rambut yang disanggul, tampak begitu anggun. la berdiri di salah satu ruangan bersama seorang lelaki tua yang ada di belakangnya.

Selama beberapa saat, Tuan Arjo melihat si wanita. Ada sesuatu yang membuat Tuan Arjo tiba-tiba memperhatikannya dengan sorot mata yang tidak biasa, Setelah mata mereka akhirnya bertemu satu sama lain, akhirnya Tuan Arjo membungkuk memberi hormat kepada mereka.

Tuan Arjo pergi bersama wanita tua itu meninggalkan sugik dalam ruangan ini.

Tuan Arjo memberi perintah kepada Sugik untuk menunggu di tempat ini sementara beliau berjalan di anak tangga di sebuah lorong panjang.

Tidak tahu apa yang harus dia lakukan selama menunggu Tuan Arjo, Sugik akhirnya berkeliling melihat-lihat tempat ini, saat tanpa sengaja Sugik hampir saja menabrak tubuh lelaki tua yang berada di belakangnya. 

Ia adalah lelaki tua yang tadi berdiri bersama wanita yang pergi dengan Tuan Arjo.

"Sepurane Mbah, saya tadi tidak meihat ada njenengan di belakang".

Lelaki tua itu menanggapi Sugik dengan senyuman. Setelah mengangguk, Sugik lalu berjalan melewati lelaki tua itu menuju ruang tengah, tempat Sugik bisa meiihat foto serta lukisan-lukisan kuno
dipajang di sepanjang dinding padepokan ini.

Sugik mengamati lukisan dan foto-foto tersebut hingga sebuah yang menarik perhatiannya, Foto itu menunjukkan tujuh orang berpose duduk di atas sofa tua. Sugik tidak tahu siapa saja orang yang ada di foto ini, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang membuat dirinya tertarik, seolah-olah foto ini terus-menerus menggelitik rasa ingin tahunya.

Beberapa wajah dari tujuh orang terasa, familier di mata Sugik terutama sosok seorang lelaki yang duduk tepat di tengah-tengah, antara dua perempuan dengan empat laki laki yarg mengapit.

Bentuk wajah serta garis matanya mengingatkan akan seseorang. Sugik melihat lebih dekat foto itu untuk memaksa otaknya memikirkan siapa orang itu.

Trah Balasedo, julukan bagi keluarga Kuncoro
Sugik menoleh, di belakangnya berdiri lelaki tua yang sebelumnya ia temui.  la membawa dua gelas berisi kopi hitam. la menawari Sugik, meski awalnya Sugik merasa sungkan, tetapi Sugik menerima pemberian lelaki tua tersebut.

"Njenengan wau ngendiko nopo? tanya Sugik.

Yang sedang kamu lihat, Nak. Apa kamu sedang melihat lelaki yang ada di tengah itu?

Sugik melihat kembali ke arah foto itu lalu bertanya, "Njenengan tahu siapa mereka?"

Lelaki tua itu tertawa memperlihatkan giginya yang tak rata.

Tentu saja aku tahu, mereka adalah Trah Pitu pemilik padepokan ini, sedangkan yang kamu lihat tadi adalah salah satu dari mereka, keluarga yang tadi kamu antar ke tempat ini. Trah Balasedo, apakah kamu abdi dari Kuncoro?"

Sugik terdiam, ia ingat Trah Balasedo pernah disebut beberapa kali di hadapannya. la kembali memikirkan ini semua sampai akhirnya dia mengingat bila kata-kata itu keluar dari mulut sahabatnya, Sugeng, la berkata tentang keluarga Kuncoro, pemilik nama dari Trah Balasedo, lalu apa hubungannya foto-foto ini dengan pertanyaan apakah dirinya seorang abdi Kuncoro?

"Kamu sudah lama mengabdikan dirimu untuk keluarga Kuncoro, Anak Muda"? 

Sugik menggeleng lalu menjawab, "Belum genap satu tahun Mbah"

"Begitu, lelaki tua lalu berbalik memunggungi Sugik sembari berkata, "Trah Balasedo iku siji tekan pitu Trah sing paling ikang hormati tapi biyen." (Trah Balasedo itu satu dari Tujuh Trah yang paling di hormati, tapi dulu?) 

Lelaki tua itu mengangguk. "Mereka semua memiliki Julukannya masing-masing. Sugik diam, memperhatikan dengan saksama. Lelaki tua ini tadi bersama seorang wanita tua bersanggu!. Apakah jangan-jangan perempuan itu juga ada di salah satu orang yang berpose di foto ini?

"Sebenarnya aku juga seorang abdi yang mungkin sama sepertimu hanya saja aku sudah lama mengabdikan hidupku pada salah satu Trah Pitu yang kamu lihat di foto itu"

Sugik melihat di foto itu, ada dua perernpuan di antara tujuh orang.

"Bolehkah saya bertanya, kepada siapa Anda mengabdikan diri?"

Trah angkara, seorang perempuan yang tadi kamu lihat berdiri bersamaku, seorang kepala keluarga dari Atmojo"

"Atmojo"?

Lelaki tua itu mengangguk berpamitan kepada Sugik, "Aku harus kembali ke tempatku, majikanku sudah menunggu, tapi jangan khawatir dalam waktu dekat kita nanti akan bertemu lagi, Mas Sugik, bersama majikanmu. Ingat saja ini, alas bakul aku akan menunggumu di sana."

Sugik bingung, bagaimana mungkin dia tahu namanya?

Malam sudah larut ketika Tuan Arjo datang dengan wajah merah padam. Entah apa yang terjadi di dalam sana. la melangkah begitu cepat melewati Sugik yang kemudian ikut menyusul. Tak berani bertanya, malam itu Sugik mengemudikan mobil tanpa berbicara kepada tuan Arjo sama sekali.

Sepanjang perjalanan itu Sugik memperhatikan wajah Tuan Arjo yang terlihat marah. 

Belum pernah dia melihat hal seperti ini, bahkan Tuan Arjo sempat mengumpat beberapa kali serta mengutuk sebuah nama yang rasanya pernah dia dengar sebelumnya.

"Atmojo sialan, kamu akan membayar apa yang kamu lakukan kepadaku hari ini, lihat soja."

SEKIAN

close