Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 24) - Sambutan Yang Tak Ramah


JEJAKMISTERI - Bergegas Lintang mempercepat langkahnya, berusaha mengimbangi langkah Wulan yang telah terlebih dahulu berlari meninggalkannya. Namun, sekuat apapun ia berusaha, sepertinya ia tak akan bisa mengimbangi kecepatan gadis itu. Wulan kini telah menghilang dari pandangan matanya.

Bukan! Bukan karena tubuhnya yang sedikit 'montok' itu yang membuatmya kesulitan untuk mengejar Wulan. Tapi suasana yang ia rasakan saat mulai menginjakkan kaki di desa itu, membuatnya harus ekstra waspada dan hati hati. Ia tak boleh gegabah.

"Sial!" Lintang mendengus disela deru nafasnya yang terengah. Pemuda itu menghentikan langkahnya sejenak, lalu membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut sambil berusaha menhirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru parunya.

Sesak terasa melanda dadanya. Sesuatu yang entah apa dan darimana datangnya, ia rasakan semakin mendekat ke arahnya. Terasa menekan dan berusaha menghimpitnya dari segala arah, membuat pemuda itu semakin waspada.

"Hmmm, rupanya kalian tak mengharapkan kehadiranku disini ya," pemuda itu menggumam lirih, sambil kembali menegakkan tubuhnya. Nafas panjang ia hembuskan untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpit dadanya. Lalu dengan gerakan perlahan, pemuda itu merentangkan kedua tangannya kesamping dengan telapak tangan terbuka lebar.

Angin sepoi sepoi lalu berhembus pelan. Udara disekitar pemuda itu bergerak, seolah tersedot dan berkumpul menyelubungi kedua telapak tangannya, lalu berputar pelan, merambat sampai ke ujung lengan, membentuk semacam tornado kecil yang membungkus kedua lengan kekar itu.

Lintang tersenyum, lalu memejamkan kedua matanya. Desau angin semakin jelas terdengar, seiring dengan semakin banyaknya udara yang tersedot ke telapak tangannya. Kini pusaran udara berbentuk tornado itu semakin membesar, menyelimuti seluruh tubuh pemuda gempal itu, dan semakin lama semakin tebal dan melebar, terus berputar dan menekan sesuatu yang tadi berusaha menghimpit dan berusaha menahan langkah Lintang.

"Aku belum berniat untuk bertarung. Jadi menyingkirlah, dan biarkan aku lewat," pemuda itu bergumam pelan, lalu kembali melangkah tenang menyusuri jalanan yang sunyi dan kelam itu.

"Benar benar seperti desa mati," kembali Lintang bergumam. Ia berjalan sambil terus memperhatikan suasana disekelilingnya. Sangat berantakan. Jalanan dupenuhi oleh sampah dedaunan kering berserakan dan ranting ranting pohon yang berguguran, seolah telah ditebas dari dahan tempatnya bergantung semula. Di kiri kanan jalan, rumah rumah penduduk terlihat kosong dengan pintu dibiarkan terbuka lebar. Tak nampak sosok manusiapun yang bisa dijumpainya.

Semakin ke tengah desa, udara terasa semakin pengap. Suasana semakin mencekam. Kelam, sunyi, dan temaram. Bahkan sinar matahari yang semakin meninggi seolah tak sanggup menjangkau desa ini.

"Sreeekkk...!!! Sreekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Lintang tercekat. Telinganya yang tajam samar mendengar suara langkah diseret dari arah belakangnya. Pemuda itu lalu kembali menghentikan langkahnya.

"Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Semakin jelas dan mendekat. Lintang menajamkan semua inderanya, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tiba tiba.

"Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Kini suara itu tepat berada dibelakangnya. Namun Lintang tak merasakan adanya ancaman. Lintang menghela nafas lega. Ia lalu berniat untuk berbalik, namun niat itu tertahan saat sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Tap!"

"Sinten nggih?" (siapa ya)Lintang bertanya, pelan dan tenang. Karena meski belum melihat, tapi ia tau sosok yang menepuk bahunya itu adalah manusia, dan yang jelas tidak berbahaya.

"Hehehe..., kaget yo Lik?" (Hehehe..., kaget ya Lik?) terdengar suara laki laki terkekeh, suara yang sudah sangat familiar di telinga Lintang. Pemuda itu segera berbalik.

Asem! Klanthung! Ngaget ngageti wae! Ngopo kowe ki kelayapan neng kene?" (Asem! Klanthung! Bikin kaget saja! Ngapain kamu keluyuran disini?)

"Lagi panen dhemit Lik!" celoteh laki laki setengah gila itu sambil menunjukkan karung besar yang diseretnya.

"Panen dhemit?" Lintang melirik karung yang terlihat menggembung itu. Entah apa isinya, yang jelas terlihat sangat berat, terlihat dari Klanthung yang menyeretnya dengam sedikit bersusah payah.

"Iyo Lik! Lagi usum dhemit neng kene. Ki lho, lagi sedhelok wae aku wes oleh sebagor!" (Iya Lik! Lagi musim dhemit disini. Ini lho, baru sebentar saja aku sudah dapat sekarung)

"Ono ono wae! Arep mbok nggo opo, dhemit kok mbok panen?" (Ada ada saja! Mau buat apa? Dhemit kok dipanen?)

"Yo nggo ingon ingon to! Sopo ngerti mengko payu di dol, hehehe... Tur maneh, nek ora didemak'i rak mbebayani to Lik! Iki dhemit lho! Nek dijarke klambrangan neng ndeso rak iso nyilakani menungso to." (Ya buat dipelihara to, siapa tau nanti laku dijual, hehehe..., lagipula, kalau tidak ditangkapi kan berbahaya to Lik! Ini dhemit lho! Kalau dibiarkan gentayangan kan bisa mencelakai manusia to)

Lintang terdiam sesaat. Ucapan Klanthung barusan, memang terdengar sedikit ngelantur. Namun sedikit banyak ia bisa tau apa yang sebenarnya terjadi di desa ini dari ucapan orang gila itu.

"Wis yo Lik, aku tak golek dhemit maneh! Sampeyan ati ati lho, dhemit dhemit iki galak Lik. Nek ra ngati ati iso iso sampeyan iso dadi korban!" (sudah ya Lik, aku tak nyari dhemit lagi! Sampeyan hati hti lho, dhemit dhemit ini galak Lik. Kalau ndak hati hati bisa bisa nanti sampeyan bisa jadi korban)Klanthung kembali menyeret karung besarnya itu menjauh dari Lintang.

"Sik Kang Klanthung! Ojo lungo sik, aku arep takon!" (sebentar Kang Klanthung! Jangan pergi dulu, aku mau nanya) Lintang berusaha menahan kepergian laki laki gila itu.

"Halah! Ngganggu wae lho! Aku lagi repot ki! Kae delok'en, neng ndhuwur isih akeh dhemit mabur mabur koyo laron!" (Halah! Mengganggu saja lho! Aku lagi sibuk nih! Tuh lihat, di atas masih banyak dhemit beterbangan kayak laron)

"Sik to! Sedhelok wae Kang! Aku mung arep takon sithik! Iki, tak wenehi rokok!" (sebentar to, sebentar saja Kang! Ini, tak kasih rokok!)

"Arep takon opo to?" (mau nanya apa to?) mendengar kata rokok, mata Klanthung terlihat berbinar.

"Anu Kang, piye to mulo bukane kok nganti iso ono lelakon koyo ngene? Dhemit dhemit iki asale soko ngendi?' (anu Kang, bagaimana sih awalnya, kok sampai bisa ada kejadian seperti ini? Dhemit dhemit ini asalnya dari mana?)Lintang mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana kolornya, yang segera disambar oleh laki laki gila itu.

"Soko ngendi meneh nek dudu soko Tegal Salahan! Wong wong kuwi podho ngeyel! Wis dikandhani nek susuh dhemit malah didhudhah! Dadine yo ngene iki! Dhemite ucul kabeh!" (darimana lagi kalau bukan dari Tegal Salahan! Orang orang itu pada ngeyel! Sudah dibilangin kalau sarang dhemit, malah digali! Jadinya ya seperti ini, dhemitnya lepas semua!)

"Susuh dhemit? Didhudhah? Maksude piye to Kang?" (sarang dhrmit? Digali? Maksudnya gimana Kang?)

"Jare arep nggawe sumur," (katanya mau bikin sumur) Klanthung menjawab setelah menyalakan rokok yang tadi diberikan oleh Lintang. "Lha nggawe sumur wae kok pas nggon susuh dhemit! Mbok yo nggolek papan liyo! Dhasare wong ndhableg! Dikandahani malah maido, dumeh sing ngandhani wong ora waras!" (lha bikin sumur saja kok tepat di tempat sarang dhemit! Mbok ya nyari tempat yang lain. Dasarnya orang susah dikasih tau! Dibilangin malah marah marah! Mentang mentang yang ngasih tau orang nggak waras)

"Sopo sing nggawe sumur Kang?" (siapa yang bikin sumur Kang?)

"Kae lho, wong sugih sing manggon neng tilas tegal'e Mbah Kendhil!" (itu lho, orang kaya yang tinggal di bekas ladangnya Mbah Kendhil)

Lintang semakin terkejut mendengar ucapan laki gila itu. Semua yang dikatakan oleh Klanthung barusan, jika dihubung hubungkan dengan mimpi yang dialaminya beberapa hari yang lalu, bisa memberi gambaran tentang apa yang sebnarnya telah terjadi di desa ini.

"Yo wis! Matur nuwun Kang! Monggo nek arep golek dhemit maneh! Aku tak nang omahe Pak Modin!" (ya sudah! Terimakasih Kang! Silahkan kalau mau lanjut nyari dhemit! Aku tak kerumah Pak Modin dulu)

"Yo! Ngati ati Lik! Nang omahe Pak Modin lagi ono ontran ontran." (Ya. Hati hati Lik! Di rumahnya Pak Modin lagi ada huru hara tuh!)

Klanthung berlalu sambil menyeret karungnya. Sedang Lintang kembali berjalan pelan menuju ke rumah Pak Modin yang berada di pertengahan desa. Sambil berjalan, pikran pemuda itu mulai sibuk mengatur rencana. Apa yang barusan dikatakan oleh Klanthung, serta mimpi yang dialaminya beberapa hari yang lalu, membuat Lintang semakin yakin, bahwa tragedi yang sedang melanda desa ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan itu tak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan kekuatan fisik semata.

****

Sementara itu di rumah Pak Dul Modin, Wulan yang baru tiba sudah disambut oleh pemandangan yang sanggup membuat darahnya mendidih. Bagaimana tidak, di halaman rumah yang luas itu nampak gumpalan cahaya kuning keemasan yang berkelebatan cepat ditengah keroyokan beberapa warga yang sedang kesurupan, juga makhluk makhluk aneh berbentuk mayat hidup yang juga dirasuki oleh iblis iblis berkemampuan tinggi. Sementara dari dalam rumah, Wulan bisa merasakan aura ketakutan yang teramat sangat, terpancar dari orang orang yang hanya bisa bersembunyi tanpa bisa berbuat banyak.

" Bedebah!" Wulan mendengus kasar, melihat sang guru yang sedang dipermainkan oleh iblis iblis terkutuk itu. Jelas kalau kali ini Bu Ratih mendapat lawan yang seimbang. Iblis iblis itu seolah sedang mempermainkan Bu Ratih.

Saat Bu Ratih berusaha menyerang salah satu lawannya, baik itu warga yang sedang kesurupan ataupun mayat hidup, maka iblis yang merasuki mereka dengan cepat segera keluar dan berpindah ke tubuh orang atau mayat hidup yang sudah terlebih dahulu ditumbangkan oleh Bu Ratih.

Gerakan iblis iblis itu sangatlah cepat. Beberapa kali serangan Bu Ratih yang berusaha menyerang iblis iblis itu dengan mudah bisa dihindari. Sekali dua kali memang sambaran cahaya kuning keemasan yang melesat dari tubuh Bu Ratih berhasil menngenai sosok iblis iblis itu. Tapi sepertinya tak berpengaruh banyak.

Cahaya kuning keemasan berhawa panas yang sanggup membakar apa saja yang diterjangnya itu justru seolah terserap kedalam tubuh iblis iblis itu, dan justru membuat mereka semakin kuat.

"Iblis terkutuk jahanam! Beraninya kalian mempermainkan guruku!" Wulan berteriak lantang. Matanya berbinar memancarkan cahaya kemerahan. Kedua tangannya terkepal keras, lalu dari kepalan tangan itu mulai memancar cahaya kemerahan yang semakin lama semakin terang dan membesar, untuk akhirnya menyala dan berkobar menjadi kobaran api yang dengan cepat menjalar membungkus tubuhnya.

"HIYAAAAAAAAA....!!!" diiringi suara teriakan keras menggelegar, tubuh yang telah berkobar terbungkus api itu melesat kedepan. Gumpalan gumpalan api sebesar bola sepak segera berterbangan terlempar dari tubuh itu, menghajar iblis iblis yang sedang berpesta pora.

"Whuuuusss....!!!"

"Blaaarrrr....!!!"

"Jedhuaaarrrr...!!!"

"GRROOOAAARRR...!!!"

Suara ledakan ledakan semakin gencar terdengar. Sebagian dari iblis iblis itu lalu mengalihkan serangan mereka kepada Wulan. Sementara Bu Ratih, menyadari ada bantuan datang, semakin bersemangat menyerang. Pertarungan semakin dahsyat, membuat tempat itu semakin porak poranda. Korban korban semakin banyak berjatuhan. Kedua perempuan yang sudah dilanda amarah itu sudah tak peduli lagi dengan orang orang kesurupan yang menjadi lawan mereka. Keduanya tak sadar, bahwa yang mereka bantai saat itu justru adalah para warga kesurupan yang seharusnya harus mereka lindungi. Sementara iblis iblis yang merasuki tubuh tubuh itu, sama sekali tak terpengaruh oleh serangan Bu Ratih dan Wulan.

Warga yang masih selamat dan bersembunyi di dalam rumah hanya bisa berharap harap cemas. Orang yang mereka tunggu tunggu akhirnya datang juga. Namun kedatangannya bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah.

"Arrgghhh...!!!" Ramadhan yang sudah terkapar dan babak belur karena tadi sempat dihajar habis habisan oleh sang kakak hanya bisa mengerang lirih. "Ini..., ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus segera bertindak! Aku..., ah, dimana Lintang gembul? Kenapa Wulan datang seorang diri? Ah, sepertinya....., eh, itu kan.....?!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close