Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 27) - Benteng


JEJAKMISTERI - Begitu mendengar aba aba dari Lintang, Wulan yang paling gesit segera melesat kedepan sambil menyentakkan kedua tangannya yang terkepal ke samping. Api kembali berkobar di kedua kepalan tangan itu, yang dengan cepat segera dihantamkan oleh gadis itu ke arah sosok sosok mayat hidup yang berada dalam jangkauan tangannya. Raungan kematian menggema bersahutan, bersamaan dengan mayat mayat hidup yang satu persatu mulai tumbang bergelimpangan dengan tubuh berkobar dilalap api.

"Luar biasa! Tak kusangka perkembangan murid muridku ternyata sudah sedemikian pesatnya. Aku sebagai Guru tak boleh ketinggalan," Bu Ratih bergumam lirih, lalu segera menyusul sang murid ke tengah medan pertempuran. Gerak sang guru sedikit lamban jika dibandingkan dengan gerakan Wulan yang terkesan brutal dan membabi buta itu. Entah karena memang tenaganya sudah terkuras habis, atau karena merasa enggan karena yang harus ia hadapi kali ini adalah warga desa yang sedang kesurupan.

Guru perempuan itu hanya mendekati orang orang yang masih kesurupan itu satu persatu, melumpuhkan mereka dengan cara mengunci gerakan orang orang itu, lalu memaksa keluar iblis iblis yang merasuki mereka.

Ramadhanpun tak mau ketinggalan. Meski tugas yang diberikan kepadanya terlihat sepele, tapi pemuda itu melaksanakannya dengan penuh semangat. Rasa dendam dan bersalah akibat kematian sang uwak, serta kedatangan Wulan dan Lintang yang seolah membawa angin segar untuk masalah yang sedang terjadi di desa ini, membuat semangat Ramadhan bangkit kembali. Satu persatu warga yang telah berhasil disadarkan oleh Bu Ratih segera ia pandu untuk masuk kedalam rumah. Beberapa kali bahkan ia terpaksa harus menuntun atau menggendong orang orang itu jika dirasa mereka memang sudah benar benar tak sanggup lagi untuk berjalan.

Lintang sendiri, begitu melihat rencana yang disusunnya mulai sedikit membuahkan hasil, segera mempersiapkan diri. Ia berdiri tegak memusatkan konsentrasi. Kedua tangannya ia rentangkan ke samping, lalu pelan pelan ia bergerak memutar. Semakin lama semakin cepat. Putaran tubuh gempal itu menggerakkan udara di sekitarnya yang ikut berputar mengelilingi tubuh itu.

Semakin cepat Lintang berputar, maka semakin kencang juga udara yang ikut berputar disekeliling tubuhnya, menimbulkan suara bergemuruh yang dahsyat. Debu dan sampah dedaunan kering mulai berterbangan. Lintang masih terus berputar dan berputar, semakin cepat dan terus berputar, hingga gerakannya kini sulit diikuti oleh mata telanjang.

Udara yang ikut berputar disekeliling tubuh pemuda itu juga semakin cepat dan terus membesar dan membesar, membentuk pusaran badai yang menerbangkan apa saja yang diterpanya. Pelan namun pasti, tubuh Lintang mulai melayang, terangkat ke atas ditengah pusaran badai yang menggila itu, sambil terus berputar dan berputar. Lalu diiringi dengan teriakan keras, pemuda itu melesat ke depan, membawa serta pusaran badai yang mengelilingi tubuhnya, menerjang, menggulung, dan menyapu sosok iblis iblis yang telah berhasil dikeluarkan oleh Wulan dan Bu Ratih dari para warga dan sosok sosok mayat hidup itu hingga terhempas jauh keluar desa.

"BAYU SAMUDROOOOO....!!!"

"WHUUUUUSSSS...!!!"

Deru angin badai terdengar laksana hempasan ombak di samudra, diiringi dengan hawa dingin yang menyebar ke segala arah. Bu Ratih yang masih sibuk dengan tugasnya nampak tersenyum samar. Ada rasa bangga melihat kemampuan murid muridnya yang ternyata telah berkembang dengan sangat pesat. Guru perempuan itu semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan apa yang telah menjadi tugasnya, untuk kemudian bisa sedikit melepas rindu dengan kedua murid kesayangannya itu.

Pertarungan masih berjalan seru. Warga yang berhasil diselamatkan semakin banyak. Sementara iblis iblis itu, kini tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup bertahan dari amukan badai ciptaan Lintang. Itupun tak bertahan lama, karena seolah tak mau memberi ampun lagi, Lintang segera mengggulung dan menyapu iblis iblis itu dan melemparnya jauh keluar desa.

Pelan namun pasti, pertarungan mulai mereda. Badai ciptaan Lintangpun lambat laun mulai mereda, seiring dengan tubuhnya yang kembali melayang turun dan mendarat di tengah tengah halaman itu. Bu Ratih yang juga sudah selesai dengan tugasnyapun mundur dan menghampiri Lintang. Tinggal Wulan yang masih berdiri angkuh ditengah mayat mayat yang bergelimpangan dan hangus dilalap api itu, sambil berkecak pinggang dan menatap nanar ke kejauhan.

"Lan, sudah! Kemarilah! Masih ada hal penting yang harus kita lakukan sebelum iblis iblis itu kembali masuk ke desa!" Seru Lintang.

Wulan mendengus keras, lalu berbalik dan mendekat ke arah Lintang dengan langkah lebar. "Belum puas aku kalau belum membakar habis iblis iblis terkutuk itu!"

"Sabar Lan! Nanti ada waktunya untuk melakukan itu. Sekarang, lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya agar iblis iblis itu tak kembali ke desa, lalu setelah itu kita pikirkan cara untuk melenyapkan mereka." Ujar Lintang lagi.

"Apa rencanamu selanjutnya Tang?" Tanya Bu Ratih.

"Pagar yang telah Bu Ratih buat tadi, bisakah ibu melebarkannya sampai ke batas desa?"

"Jangan konyol Mbul!" Wulan menyahut cepat. "Bu Ratih sudah bilang, untuk melindungi sekitar rumah ini saja pagar itu tak bisa bertahan lama. Apalagi kalau seluruh desa. Kurasa jalan satu satunya untuk mencegah iblis iblis itu kembali hanyalah melenyapkan."

"Tidak semudah itu Lan! Kita perlu rencana matang! Bahkan mungkin kekuatan tambahan. Kau lihat sendiri kan tadi, seranganmu dan juga serangan Bu Ratih saja bisa dengan mudah mereka patahkan. Itu berarti iblis iblis itu tidak bisa dianggap remeh Lan."

"Aku baru mengerahkan sedikit kekuatanku tadi, karena mereka masih berlindung di dalam tubuh para warga. Kalau sekarang mereka..."

"Wulan," Bu Ratih menyela perdebatan kedua muridnya itu dengan suara lembutnya. "Ada baiknya kita dengarkan dulu apa yang akan direncanakan oleh Lintang. Ibu tau, mungkin bisa saja kamu melenyapkan mereka dengan kekuatan penuhmu. Tapi itu sangat beresiko Nduk! Ibu ndak mau kalau kamu sampai kenapa kenapa karena terlalu memaksakan diri."

"Huh! Ya sudahlah! Jadi, apa yang kau rencanakan selanjutnya Mbul?" Sungut Wulan yang sepertinya masih kesal.

"Seperti yang kubilang tadi. Kita lebarkan pagar yang sudah kita buat ini sampai ke perbatasan desa."

"Kan sudah kubilang kalau..."

"Wulan...!" Bu Ratih mendelik ke arah gadis itu.

"Eh, iya. Maaf Bu. Lanjutkan Mbul!"

"Jadi begini, kalau pagar sudah tak bisa lagi melindungi, maka mau tak mau kita harus membuat benteng. Jadi, untuk sementara tolong lebarkan pagar ini sampai ke batas desa, sebentar saja, agar iblis iblis itu tak datang dan menggangguku menyiapkan benteng."

"Ah, kau terlalu berbelit belit Mbul! Apa maksudmu dengan benteng? Membuat pagar saja kau tak bisa kok sok sokan mau bikin benteng!"

"Wulan!" Lagi lagi Bu Ratih mendelik ke arah Wulan.

"Ups! Maaf Bu! Aku masih kesal sama Gembul! Gara gara dia..."

"Sudah! Itu kita bahas nanti," Bu Ratih berkata lembut. "Sebaiknya kamu bantu ibu melebarkan pagar ini. Dan kau Lintang, Ibu percaya kepadamu sepenuhnya Le! Jadi tolong jangan kecewakan ibu."

"Mudah mudahan Bu, Lintang nggak akan mengecewakan Ibu."

"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menyiapkan benteng itu? Pagar ini, meski ibu tambah lapisannya, tapi kalau dilebarkan sampai ke seluruh desa sepertinya hanya akan bertahan tak sampai dua jam."

"Itu sudah lebih dari cukup Bu. Hanya butuh beberapa menit kok ritualnya."

"Baguslah kalau begitu. Wulan, ayo bantu ibu Nduk!"

Berdua, Wulan dan Bu Ratih lalu kembali bahu membahu melebarkan pagar yang tadi telah mereka buat sampai ke perbatasan desa. Tak lupa mereka juga menambah beberapa lapis lagi untuk berjaga jaga, karena dari kejauhan, iblis iblis yang tadi telah disapu Lintang dengan badainya mulai nampak berbondong bondong kembali menuju ke desa itu.

Sementara Lintang kini nampak duduk bersila di tengah tengah halaman itu. Sejenak pemuda itu mengatur nafasnya, lalu memusatkan konsentrasi sambil memejamkan kedua matanya. Sebelah tangannya meraba bandul kalung dari kain kumal yang dikenakannya lalu mengecupnya tiga kali. Sebelum akhirnya, samar samar sebuah mantra terucap dari bibir pemuda itu.

"Tap!" Lintang menepukkan telapak tangannya keatas tanah. Dan keanehanpun terjadi. sebentuk kabut tipis samar samar nampak keluar dari bandul kalung yang terbuat dari kain kumal yang dikenakan oleh pemuda itu, disertai bau harum semerbak yang menguar dan dan menyebar ke segala penjuru.

Kabut tipis itu melayang layang sesaat, lalu terpecah menjadi empat bagian yang semakin lama semakin menebal dan membentuk siluet bayangan yang semakin lama semakin nyata di depan Lintang.

Wulan dan Bu Ratih yang telah selesai dengan tugasnya sempat terkesima saat aroma wangi itu singgah di indera penciuman mereka. Serempak keduanya menoleh ke arah Lintang. Dan betapa terkejutnya kedua perempuan itu, saat mendapati kini telah berdiri lima orang sosok Lintang di hadapan mereka.

"Lintang...!"
"Gembul...!"

Hampir bersamaan Wulan dan Bu Ratih berseru lirih.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close