Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 4) - Penglihatan


Penglihatan

Pagi sudah menjelang, suasana Desa Gowong terasa begitu sejuk. Kokok suara ayam dan kicau burung saling bersahutan. Di tambah kabut yang masih menyelimuti tempat itu, membuat Farah enggan untuk beranjak dari kasurnya.

Farah menggeliat, dia menatap langit-langit kamarnya. Mencoba mencerna apa yang membuat hatinya begitu gundah. Bagai sebuah mimpi buruk, dia teringat akan kejadian di mana suaminya dan Ayu bercumbu di depan matanya. Bagaimana Angga mengusirnya dari rumah.

Perlahan Farah bangkit, menatap ke arah jendela. Dilihatnya cahaya mentari sudah menembus celah-celah kayu. Segera ia merapikan rambutnya dan berjalan ke luar kamar.

Suasana rumah itu begitu sepi. Sejenak Farah mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan Pakdhe ataupun Warti.

“Baru bangun, Far” terdengar suara Warti dari arah kiri Farah.

“Eh, iya Mbak. Pakdhe kemana?” tanya Farah mendekati Warti.

“Halah, panggil saja Warti. Kita masih seumuran. Bapak sudah pergi ke sawah dari subuh. Aku baru selesai masak, kita makan dulu” ucap Warti sambil berjalan ke arah dapur.

Farah mengikuti, ia masih merasa canggung dengan keberadaannya di rumah ini. Mungkin karena dia sudah lama tidak berinteraksi dengan keluarga ini.

“Far, sebenarnya ada masalah apa?” tanya Warti saat mereka berdua sudah duduk di kursi meja makan.

Farah ragu untuk menceritakan masalahnya. Apalagi dia datang ke tempat ini karena dorongan dari batinnya yang tidak masuk akal. Dia tidak mau di cap sebagai orang gila.

“Farah” ucap Warti sekali lagi.

“Hah... Iya Mbak. Aku sedang ada masalah dengan suamiku... Sebentar, bukannya semalam kamu sudah menebak tujuan ku datang ke tempat ini?” tanya Farah saat teringat dengan ucapan Warti semalam.

Warti tersenyum, “Aku sendiri tidak tahu secara jelas apa yang sebenarnya terjadi. Yang ku lihat hanya ada banyangan dedemit yang sedang berusaha mencelakaimu” ucap Warti menyeringai.

Farah terdiam, dia paham apa yang di maksud oleh Warti. Semua kejadian yang ia lalui bukan sesuatu yang normal.

Akhirnya pagi itu Farah menceritakan semua kejadian yang ia alami kepada Warti. Sudah kepalang tanggung, mungkin dengan begini dia bisa sedikit melepaskan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

“Wanita brengsek!!! Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tetapi percuma saja jika kamu mencoba meminta bantuan Bapak. Dia sudah tidak pernah bermain-main lagi dengan hal gaib seperti itu” ucap Warti sambil menghidupkan sebatang rokok.

“Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba saja muncul nama Pakdhe di kepalaku. Ku pikir aku sudah mulai gila dengan semua ini” kata Farah sambil menghembuskan napasnya.

“Gila? Justru wanita itu seharusnya yang menjadi gila. Kalau aku jadi kamu, pasti sudah kubalaskan semua rasa sakit ku” timpal Warti.

Farah mengerutkan dahinya, sekilas dia melihat expresi Warti yang aneh. Seperti sedang berbahagia dengan keadaannya saat ini.

“Membalas? Dengan cara apa? Sedang aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa saat Angga mengusirku dari rumah” ucap Farah, hatinya terasa pilu saat mengingat kejadian yang ia lalui kemarin siang.

“Sudah, tenangkan dirimu Far. Ada banyak cara untuk membalas mereka. Aku bisa membantumu, tapi...” kata Warti sambil menoleh ke arah pintu.

“Tapi kenapa War?” tanya Farah penasaran.

Warti menoleh ke arah Farah, tatapannya penuh dengan selidik. Seolah sedang mempertimbangkan apakah Farah layak mendapatkan bantuannya.

“Tapi jangan sampai Bapak tahu, kalau aku membantumu” kata Warti sambil menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya.

“Memang apa yang akan kau lakukan?” tanya Farah, dia takut jika Warti melakukan sesuatu yang membuat dirinya terseret ke ranah hukum.

“Membuat mereka kapok, kan?” tanya Warti tersenyum menyeringai.

“Iya, tapi aku tidak mau berurusan dengan hukum, masalah ini sudah cukup membuat hidup ku berantakan” kata Farah.

Warti terkekeh dengan ucapan sepupunya tersebut. Dia tidak menyangka kalau Farah begitu polos, banyak cara untuk bisa membalas perbuatan mereka tanpa harus berurusan dengan hukum.

“Warti?” tanya Farah saat melihat sepupunya yang justru terkekeh dan terlihat menerawang jauh.

“Kalau kamu setuju, aku akan membantumu. Tapi ingat jangan sampai Bapak tahu tentang semua ini. Jika dia tanya jawab saja kamu kecopetan atau di rampok saat perjalanan ke sini” kata Warti sambil beranjak dari kursinya.

Farah kebingungan dengan ucapan Warti, dia masih tidak mengerti apa tujuan wanita itu. “Hey, tunggu aku belum selesai” panggil Farah saat menyadari Warti sudah sampai di ambang pintu dapur.

“Nanti malam kita bicarakan lagi, hari ini aku ada urusan. Lebih baik kamu istirahat dulu. Tenangkan pikiran dan hatimu itu” kata Warti yang langsung melenggang pergi.

Farah hanya menghela napas, kemudian dia membereskan piring-piring kotor bekas makanan mereka. Segera setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamar.

***

Menit demi menit berlalu, sedari tadi Farah hanya berbaring menatap langit-langit kamar. Dia masih memikirkan soal tawaran sepupunya.

Tok...tok...tok...

Terdengar suara pintu di ketuk, membuat Farah yang sedari tadi melamun langsung terduduk di tempat tidurnya.

“Nduk... di dalam kamu?” ucap suara Pakdhe Wiryo dari arah luar kamar.

“Iya, Pakdhe” kata Farah sambil membuka pintu kamarnya.

“Sudah makan kamu? Warti kemana?” tanya Pakdhe Wirno.

“Sudah Pakdhe. Mbak Warti pergi keluar sebentar” jawab Farah.

“Ckk, bocah itu. Ya sudah temani Pakdhe makan. Sekalian ada yang ingin Pakdhe bicarakan” ucap Pakdhe Wiryo sambil berjalan ke arah dapur.

Farah mengikuti, entah kenapa batinnya merasa tidak enak. Apa mungkin Pakdhenya sudah tahu niatannya pergi ke tempat ini?

Sementara Farah menyiapkan makanan untuk Pakdhenya. Laki-laki itu duduk sembari meracik rokok tembakau.

“Warti itu beda sama kamu. Mana mau dia menyiapkan makanan untuk Pakdhe” ucap Pakdhe Wiryo sambil menghidupkan rokoknya.

Farah bingung untuk menjawab, dia merasa tidak enak jika harus dibandingkan dengan saudara sepupunya itu.

“Sudah Pakdhe, dimakan dulu. Baru nanti lanjut ngerokoknya” kata Farah sambil mengambilkan nasi.

Sesaat setelah itu, Farah hanya duduk sambil menikmati secangkir teh sembari menunggu Pakdhenya makan. Jantungnya masih berdebar, sejauh yang ia tahu, Pakdhe Wiryo juga memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang tidak terlihat.

Farah takut jika Pakdhenya mengetahui tujuannya datang ke sini. Dia sudah memutuskan untuk mengikuti saran Warti tadi pagi untuk membalas perbuatan suami dan mantan sahabatnya itu.

“Kenapa wajahmu terlihat gusar, nduk? Ada yang sedang kamu dipikirkan” ucap Pakdhe saat mendapati Farah terlihat tidak begitu nyaman.

Farah menggeleng, “Tidak Pakdhe, mungkin masih kecapaian. Apalagi sudah lama Farah tidak kesini, jadi masih canggung” kilah Farah sambil tersenyum.

Pakdhe menganggukan kepalanya, “Jadi apa yang membuatmu datang ke tempat ini?” tanya Pakdhe.

Farah sudah menduga hal ini, pasti Pakdhenya akan menanyakan apa tujuannya berkunjung. Ia tidak berani menatap mata laki-laki itu.

“Ee.. anu Pakdhe. Maaf sebenarnya kemarin Farah kecopetan. Alhasil semua barang-barang Farah hilang. Beruntung di terminal ketemu sama Mbak Warti. Jadi sekalian mampir ke sini sebelum pulang” ucap Farah.

Pakdhe Wiryo menatap Farah cukup lama. Keningnya berkerut, seperti tidak percaya dengan ucapan keponakannya.

“Ya sudah, kamu boleh tinggal disini kapanpun kamu mau. Nanti kalau mau pulang biar Pakdhe kasih uang. Ibu tidak tahu to? Kalau kamu pergi ke tempat ini?” tanya Pakdhe.

Farah menggeleng, “Ya sudah, Pakdhe mau istirahat dulu. Jangan turuti nafsumu itu. Apa yang sudah terjadi, itu semua kehendak Tuhan. Ikhlaskan saja” ucap Pakdhe Wiryo sambil berdiri dan melangkah menuju kamarnya.

Farah menghela napas. Bingung dengan ucapan Pakdhenya. Bagaimana dia bisa mengiklaskan semuanya? Sedang rasa sakit yang mereka torehkan benar-benar menyesakkan.

***

Seharian Farah hanya berada di kamar, dia tidak berniat sama sekali untuk menghidupkan ponselnya yang mati.

Di dalam bayangannya saat ini, pasti Angga tengah bersenang-senang dengan perempuan hina itu. Beberapa kali Farah menangis dalam diam, teringat dengan kedua orang tuanya. Menyayangkan nasibnya yang begitu buruk.

“Farah” panggil seseorang dari arah jendela.

“Warti, ngapain kamu” ucap Farah saat mendapati saudaranya itu sedang berusaha untuk memanjat jendela.

“Ssstt nanti Bapak tahu” ucap Warti sambil menaruh jarinya di atas bibir.

Farah yang penasaran berjalan ke arah jendela, dilihatnya langit sudah mulai terlihat kekuningan. Dia tidak sadar kalau waktu berjalan begitu cepat.

“Sudah siap?” tanya Warti.

“Siap apa?” tanya Farah kebingungan.

Warti terlihat jemu, memandang Farah tatapan tidak enak. “Siap untuk membalaskan dendam mu itu” bentak Warti lirih.

“Caranya?” tanya Farah penasaran.

“Kita buat wanita itu merasakan apa yang kamu rasakan. Kita santet dia” ucap Warti lantang.

Farah terkesiap, dia mundur satu langkah. Tidak menyangka kalau membalaskan dendam yang di maksud oleh Warti, dengan menyantet Ayu.

“Gila kamu” ucap Farah

“Yang gila itu teman mu. Memang selama ini apa yang kamu lalui bukan karena dia?” ujar Warti jengkel. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Farah, bagaimana bisa sepupunya itu masih berbaik hati dengan orang yang sudah menyakitinya sedemikian rupa.

“T—tapi, belum tentu kan itu semua perbuatan Ayu. Bisa jadi memang mereka saling suka” ucap Farah. Hatinya tiba-tiba saja terasa sakit saat mengucapkan itu semua.

“Masih tidak percaya? Baik, kita buktikan. Malam ini kita pulang ke rumah mu” ucap Warti jengkel, dia langsung berjalan ke arah pintu dan langsung menghambur keluar kamar.

Farah yang melihat itu hanya mematung, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi, dia ingin membalaskan rasa sakit di hatinya. Tapi dia juga tidak mau berurusan dengan hal-hal yang berbau gaib ataupun melanggar hukum.

“Aaarrrrgggg” erang Farah sambil mendudukkan pantatnya ke atas kasur. Dia benar-benar merasa frustasi.

Dipandanginya cincin yang melingkar di jari manisnya. Pandangan Farah menjadi sendu teringat saat Angga melamarnya, hari bahagia saat pernikahan mereka.

Tetapi tiba-tiba saja muncul wajah Ayu, wanita pengiring pengantinnya. Hatinya terasa sakit sekali, apakah waktu itu mereka sudah saling berhubungan dibelakangnya?

Dekkk...dekkk...deekkk

Seketika angin kencang berembus kencang, membuat jendela kayu yang ada dikamarnya bergetar cukup keras. Farah mendongak, dengan air mata masih menggenangi matanya.

Ia terkesiap, dilihatnya sosok wanita berbaju merah itu sedang berdiri di luar sedang menatap ke arahnya. Perlahan Farah mundur, dia masih belum terbiasa dengan kehadiran dedemit itu.

“Bales, bales sek gawe uripmu koyo ngene nduk” (Balas, balas yang membuat hidupmu seperti ini nduk) terdengar suara menggema di telinga Farah.

Bagai terhipnotis, Farah berhenti bergerak. Dia terus menatap wanita itu tanpa berkedip.

“Bales, nduk... bales opo sek wes gawe loro atimu... bales, BALES” (Balas nduk... Balas apa yang membuat hatimu sakit... balas, BALAS) ucap dedemit wanita itu keras, dibarengi embusan angin yang cukup kencang.

Tersadar, Farah segera bangkit dari tempatnya. Ia segera membuka pintu kamar. Mencari keberadaan Warti.

Beberapa saat dia mengetuk kamar sepupunya itu. “Kenapa Far” ucap Warti saat mendapati Farah tengah berdiri diam dengan pandangan penuh kebencian.

“Aku setuju, mari kita balas perempuan rendahan itu, kalau perlu Angga juga, biar dia merasakan apa yang kurasakan” ucap Farah menyeringai.

Warti mengerutkan dahinya, segera dia menarik tangan Farah untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Jadi malam ini kita pergi ke rumah mu?” tanya Warti sambil menghidupkan sebatang rokok.

“Entah, tapi aku masih tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaiman cara menyantet kedua orang itu?” tanya Farah.

Warti terlihat menyeringai mendengar ucapan Farah. “Kita buat perjanjian dengan sosok dedemit yang ada di Alas Manting. Mereka hanya butuh darahmu sebagai ikatan, setelah itu kamu bisa meminta mereka melakukan apapun yang kau suka” kata Warti.

“Caranya?” ucap Farah penasaran.

“Malam ini, kita pergi ke Alas itu. Biar aku yang menyiapkan semuanya, kau siapkan saja mentalmu. Tapi ingat, saat kamu sudah melakukan ritual ikatan dengan mereka, kamu tidak boleh membatalkannya” ucap Warti serius.

“Terserah, aku hanya ingin melampiaskan semua rasa sakit ini. Mungkin saat ini mereka sedang tertawa dengan keterpurukanku” ucap Farah tersenyum kecut.

Warti beranjak mendekati Farah, “Aku tahu apa yang kau rasakan, sebagai seorang perempuan yang pernah dikhianati, aku juga merasakan sakit sepertimu” kata Warti sambil menepuk pelan bahu Farah.

Farah bergeming tidak menjawab ucapan Warti. “Buka saja jendela kamarmu, jangan sampai Bapak tahu apa yang akan kita lakukan. Nanti malam aku tunggu di luar jendela” ucap Warti.

***

Malam sudah datang, Farah harap-harap cemas menunggu kabar dari Warti. Beberapa kali batinnya kebingungan apakah keputusannya sudah tepat?

Tek..tek..tek...

Terdengar suara ketukan dari arah jendela, Farah terperanjat, lamunannya buyar. Buru-buru dia melangkah dan segera membuka jendela kamarnya.

“Ayo cepat” ucap Warti

Farah sejenak tampak ragu, tapi saat teringat dengan kelakuan suami dan mantan sahabatnya. Amarah kembali menguasai batinnya.

Segera Farah memanjat lubang jendela, “Kita kemana?” ucap Farah.

Warti tidak menjawab, dia terus melangkah menembus gelapnya malam. Di dalam hati Farah merasa was-was. Benar saja, setelah lima belas menit berjalan dalam kebisuan, mereka mulai masuk ke dalam hutan.

Dipandanginya sekitaran, suasana terasa begitu sunyi. Pohon-pohon yang menjulang tinggi diam tak bergerak, bahkan ia tidak mendengar satupun suara hewan malam.

“Far” ucap Warti dari arah depan Farah.

“Iya, kenapa?” tanya Farah sambil memperhatikan sekitarnnya.

“Sebentar lagi kita sampai, aku tanya sekali lagi. Sudah yakin dengan pilihan mu?” tanya Warti sambil menoleh ke arah Farah.

Dalam keremangan, Farah melihat sosok Warti jauh berbeda dengan sebelumnya. Dia merasa wanita di depannya itu terlihat menyeramkan, tidak ada tatapan ramah, sorot matanya terlihat beringas menakutkan. Bahkan sesaat bulu kuduknya berdiri saat menatap mata wanita itu.

“Niatku sudah bulat, sudah sejauh ini, kan?” jawab Farah mantap.

Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi dengannya, toh hidupnya juga sudah hancur. Yang ada di dalam hatinya hanya bagaimana cara membalas perbuatan mereka.

Warti menangguk, dia menoleh ke arah depan dan kembali berjalan menyikuti jalan setapak diantara pepohonan yang rimbun.

Cukup lama mereka berjalan, tidak ada pembicaraan lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga, tanpa sadar mereka sudah sampai di sebuah sendang.

“Apa itu War” ucap Farah mendekatkan tubuhnya ke arah Warti. Baru saja dia melihat ada sesuatu yang melintas tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Biarkan saja, mereka penghuni tempat ini” ucap Warti datar.

Farah mengamati tempat itu lebih detail, kini dihadapannya ada sebuah sendang yang cukup besar, di tidak ada bangunan sama sekali.

Disekeliling sendang itu hanya ada semak belukar yang cukup lebat dan sebuah batu besar yang menonjol ke permukaan.

“Ayo” ajak Warti

Farah mengikuti langkah kaki sepupunya itu. Benar saja, Warti mengajaknya untuk pergi menuju ke arah batu besar yang ada di sisi sendang.

Entah apa yang sedang dilakukan oleh Warti, dia sedang dalam posisi jongkok dan mengaduk-aduk isi tasnya.

Beberapa saat Farah mengamati, dia melihat wanita itu mengeluarkan kain jarit, sesuatu yang dibungkus dengan daun pisang, dupa, kemenyan serta toples berisi cairan hitam kental.

“Far, kamu bawa foto mereka kan?” tanya Warti.

“Buat?” tanya Farah polos.

Warti mendecakkan lidahnya, tanpa menjawab ia kembali sibuk mempersiapkan sesuatu yang tidak Farah ketahui.

“Foto mereka untuk apa, War?” tanya Farah pensaran.

“Hanya sebagai media, tapi kalau tidak ada biar nanti kita buat perjanjian saja dengan dedemit yang ada disini” ucap Warti

“Perjanjian?” tanya Farah tidak mengerti.

“Iya perjanjian, agar mereka mau mengikutimu. Setelah itu kamu bebas menyuruh mereka melakukan apapun yang kamu mau” ucap Warti.

Hati Farah mencelos, dia paham maksud Warti. Jika dia harus melakukan perjanjian dengan makhluk astral, berarti dia juga mesti menyediakan persembahan. Farah tahu itu karena dia sering sekali menonton film-film horor sebelumnya.

“Lalu apa yang mereka inginkan sebagai gantinya?” tanya Farah sedikit ketakutan.

“Darah, mereka hanya ingin darah dan kesetianmu kepada mereka” ucap Warti.

Glek... Farah menelan ludahnya, sekali lagi tanpa sadar dia mengedarkan pandanganya. Hatinya benar-benar kalut. Apa harus dia berbuat sejauh ini, demi membalaskan rasa sakit di dalam hatinya.

“Tenang Far, mereka tidak akan membunuh mu” ucap Warti seolah tahu apa yang sedang Farah pikirkan.
Farah mencoba untuk menenangkan batinnya, dia berusaha sekuat mungkin melawan rasa takut dan khawatir yang muncul.

“Sini Far” ucap Warti meminta Farah untuk mendekat ke arahnya.

“Lepaskan bajumu, pakai kain ini” lanjut Warti sambil menyerahkan kain jarik yang sudah ia bawa.

Farah menurut, dia segera melepaskan semua pakaiannya dan melilitkan kain jarik itu ke sekeliling tubuhnya.

Lalu ia diminta untuk duduk bersimpuh menghadap ke arah batu itu, kemudian Warti segera menghidupkan dupa dan kemenyan yang ia bawa.

Suasana tiba-tiba saja berubah, entah ini hanya persaan Farah saja atau memang dia merasa banyak pasang mata sedang mengamatinya.

Farah menoleh ke arah Warti, wanita itu terlihat sedang memejamkan mata, mulutnya komat kamit seolah sedang merapalkan mantra.

Sreeeekkkkk...
Terdengar suara langkah kaki tepat dari arah samping kiri mereka, seketika Farah menoleh. Namun ia tidak mendapati siapapun di sana.

Jantung Farah mulai berdetak kencang, sesaat dia menyesal telah melakukan hal seperti ini. Tetapi di dalam hatinya juga masih ada rasa sakit yang begitu dalam, membuat dirinya merasa harus melakukan semua ini.

“Apapun yang kamu lihat, abaikan” ucap Warti, Farah langsung menoleh ke arah wanita itu. ia masih dengan posisi menutup mata serta mulutnya terus komat kamit mengucapkan kalimat dengan nada cepat.

Farah mengikuti apa yang Warti perintahkan, bahkan dia sengaja menutup matanya agar tidak melihat apapun disekitarnya.
Sreeekkk....

Suara itu kembali muncul, Farah berusaha untuk tidak menghiraukannya, di dalam kepalanya saat ini. Jika dia membuka mata, maka ia akan melihat dedemit penunggu tempat ini.

Bulu kuduk Farah meremang hebat, angin berembus kuat, membuat pepohonan bergerak cepat menimbulkan suara yang mengerikan.

Sesaat Farah merakan pergerakan di samping kanannya. ia tersentak, ada yang memegangi tangan kanannya. Dia tahu itu adalah Warti, namun Farah tetap tidak mau membuka mata.

Hingga dia merakan tangan kanannya dibentang kan dan... Craatttt... rasa perih seketika melanda tubuh Farah.

Farah memekik tertahan, ia tidak sanggup lagi menutup mata. Segera ia membuka mata dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh sepupunya itu.

Mata Farah membulat, sambari menahan rasa perih. Dilihatnya Warti tengah menggoreskan luka dan meneteskan darahnya ke arah cawan yang ia bawa.
Entah apa yang sedang dilakukan oleh Warti tetapi kini darahnya sudah bercampur dengan cairan hitam itu.

Cukup lama Farah membentangkan tangannya, hingga Warti melepaskan genggamannya dan mengambil cawan tersebut.

Farah menyeringai menahan perih, ia melihat luka yang di torehkan Warti cukup dalam dan panjang. Tidak mau bertanya apapun, ia kembali menutup matanya.

Warti bergerak, kini ia berdiri di belakang Farah sambil mengucapkan mantra dengan nada cukup cepat. Sampai dia tidak bisa menangkap kalimat yang keluar dari mulut wanita itu.

Farah kembali tersentak, sekarang dia merasakan ada cairan kental yang menetes di ujung kepalanya, terus mengalir sampai menyentuh telinga dan wajahnya.

Bau amis benar-benar membuat Farah mual, dia hampir saja muntah. Tetapi Warti selalu memintanya untuk menahan.

“Sekarang masuklah ke dalam sendang, berendamlah. Apapun yang kamu lihat itu jawaban dari sosok penunggu tempat ini” kata Warti.

Farah menelan ludahnya, sesaat dia memandangi air sendang yang begitu gelap. Bagaimana kalau ada hewan buas di dalam sendang itu?

Menghela napas panjang segera Farah berdiri. Perlahan dia melangkah menuju tepian sendang. Dengan hati berkecamuk, ia masuk dan membenamkan tubuhnya. Sekalian berharap bisa mengurangi bau yang ditimbulkan oleh darah yang ada di tubuhnya.

Farah terdiam, matanya tertutup. Kini separoh badannya sudah ada di dalam sendang. Jika terjadi apa-apa dengannya, Ia tahu Warti masih ada di seberang sana dan bisa segera menolongnya.

Cukup lama Farah berendam, tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Hingga dia merasakan ada sesuatu yang aneh.

Kepalanya terasa begitu berat, dunia seperti berputar dengan cepat. Sampai ia merasakan sebuah tarikan kuat di ujung kepalanya.

Seketika semua menjadi gelap, saat Farah membuka mata. Ia kebingungan, karena saat ini dirinya sedang berdiri tidak jauh dari sebuah rumah kayu.

Tempat itu terlihat begitu sepi dan menyeramkan, di sekitarnya banyak pepohonan menjulang tinggi. Ditambah awan gelap yang menutupi cahaya matahari, menambah kesan misterius dari rumah itu.

Farah yang kebingungan memandang ke sekitar bahkan menepuk pipinya beberapa kali untuk memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi.

“Nduk” ucap seseorang tepat di samping Farah.

Ia terlonjak, langsung bergerak ke samping. Farah begitu kaget saat melihat wanita berbaju merah yang selama ini selalu menghantuinya, sudah berdiri di sampingnya.

“S—siapa kamu?” ucap Farah gagap.

“Sari, nyi Sari” katanya sambil menunjuk ke arah rumah.

Belum sempat Farah menjawab ucapan wanita itu. Dari kejauhan ia melihat ada seorang wanita tengah buru-buru berjalan menuju ke arah rumah kayu itu.

Farah yang memperhatikan dari jauh, menyadari kalau itu adalah temannya Ayu. Sejenak ia ingin memanggilnya, tetapi dia baru ingat kalau wanita itu sudah menghancurkan kehidupannya.

“Ayu?” kata Farah keheranan

“Nduk” ucap Nyi Sari

Farah seketika menoleh ke arah Nyi Sari, yang saat ini tengah mengacungkan tangannya ke arah rumah yang ada di depan mereka.

Kemudian, tanpa menunggu jawab Farah. Perempuan itu melangkah pelan menuju rumah itu. Entah mendapat dorongan dari mana, seolah tubuh Farah bergerak dengan sedirinya. Ia mulai mengikuti langkah Nyi Sari.

Setelah sampai di depan rumah kayu tersebut, Nyi Sari langsung melangkah menuju pintu depan. Farah memekik kaget, tiba-tiba saja daun pintu yang ada di depan mereka terbuka dengan sendirinya.

Nyi Sari melangkah masuk, Farah mengekor dibelakangnya. Kini dengan jelas walau dalam keremangan. Dia melihat Ayu sedang duduk bersimpuh di depan wanita berumur.

“Wes digowo syarat e?” (Sudah dibawa syaratnya?”) ucap wanita tua itu.

Farah mengerutkan dahinya, ia seperti mengenal sosok wanita tua itu. Tetapi dimana?

Farah menolehkan kepalanya ke arah Nyi Sari, dia melihat sosok dedemit itu tengah memandang datar ke arah Ayu dan wanita tua itu.

“Sudah Mbah” ucap Ayu sambil menyerahkan bungkusan dari dalam tas nya.
Wanita tua itu mengangguk dan mengambil bungkusan yang dikeluarkan oleh Ayu. Segera ia membukanya.

Betapa tercengangnya Farah, karena isi bungkusan itu ternyata satu plastik kecil berisi rambut, foto suaminya dan celana dalam laki-laki.

Farah kebingungan, apa yang hendak Ayu dan wanita ini lakukan terhadap suaminya?

“Pelet nduk” ucap Nyi Sari seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan Farah.

Farah yang mendengar itu begitu geram, bagaimana mungkin Ayu, sahabatnya sendiri tega melakukan hal sedemikian rupa. Genggaman tangannya menguat, seketika bayangan seseorang terlintas dibenaknya. Ya, dia pernah melihat wanita tua itu saat duduk di halte bebera hari yang lalu.

“Satu lagi mbah, saya ingin wanita itu cilaka” ucap Ayu membuyarkan lamunan Farah.

Wanita? Siapa wanita yang dimaksud oleh Ayu? Farah yang kebingungan menoleh ke arah Nyi Sari. Rasa takut terhadap sosok itu sudah hilang entah kemana, digantikan dengan rasa penasaran yang tinggi.

Nyi Sari tiba-tiba saja menoleh ke arah Farah, tangannya terangkat dan menepuk pundaknya. Seketika semua menjadi gelap.

Saat membuka mata, Farah sudah berdiri di suatu tempat makan. Tetapi pandangannya tertuju pada dua manusia yang sedang berinteraksi satu sama lain.

“Mas Angga?” kata Farah tidak percaya.

Farah berjalan mendekat, sedang Nyi Sari hanya diam di tempatnya. Dilihatnya meskipun mereka bercengkerama satu sama lain, tetapi tatapan Angga begitu kosong. Beberapa kali pula Ayu menaruh sesuatu di minuman laki-laki itu.

Kegelapan menyelimuti Farah kembali, saat tersadar kali ini dia sudah berada di depan rumahnya. Ia benar-benar bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

“Nduk” ucap Nyi Sari sambil menunjuk ke arah rumah.

Farah mengikuti arah yang ditunjuk oleh Nyi Sari. Seketika matanya membulat, dia benar-benar ketakukan sekarang.

Sekali lagi dia melihat sebuah keranda hijau tepat berada di depan rumahnya. “Awakmu di gawe ben ndang mati karo koncomu kae. Bojomu di gawe lali karo awakmu” (Dirimu di buat agar cepat mati sama temanmu itu. Suamimu di buat lupa sama kamu) ucap Nyi Sari datar.

Farah menggeleng, dia masih tidak percaya dengan ucapan dedemit yang ada disebelahnya. Tidak mungkin Ayu sampai hati berbuat sedemikian rupa.

“Ora percoyo?” (Tidak percaya?) ucap Nyi Sari tersenyum menyeringai. Seketika bulu kuduk Farah berdiri kuat. Wajah dedemit wanita itu begitu mengerikan.

Nyi Sari mulai melangkah masuk, entah mendapat dorongan dari mana. Seolah ada yang menarik Farah, kemudian ia mengikuti langkah wanita itu.

Jantung Farah berdebar, saat mendekati arah keranda yang ada di teras rumahnya. Saat sudah sampai, Nyi Sari langsung menyibakkan kain hijau yang melingkupi keranda tersebut.

Farah memekik tertahan, sekali lagi dia melihat tubuhnya terbujur kaku di dalam keranda dengan posisi terpocong dan masih ada kapas di lubang yang ada di wajahnya.

“Iki nasib mu yen koe ora ndang bales lelakune bocah wadon kae” (Ini nasibmu jika kamu tidak segera membalas lelaku dari bocah perempuan itu) ucap Nyi Sari.

Farah menggeleng tidak percaya, dia shock dengan apa yang dia lihat. Kemudian, Nyi Sari memandang ke arah pintu yang seketika terbuka.

Dia melangkah masuk, Farah masih mengekor dibelakangnya. Baru saja ia ingin masuk kedalam rumahnya, langkahnya langsung terhenti, Ia benar-benar gemetar sekarang.

Sama seperti mimpinya beberapa malam lalu. Farah melihat banyak sekali pocong dengan badan yang sudah menghitam dan wajah penuh dengan koreng.

Nyi Sari terus melangkah, tidak memperdulikan pocong yang ada di ruang itu. Farah dengan bergidik mengikutinya. Berhati-hati agar dia tidak menyentuh salah satu dari mereka.

Kini mereka berdua sudah berdiri tepat di depan kamar Farah. Meskipun ketakutan tetapi ia juga penasaran, apa yang akan di tunjukkan oleh dedemit wanita itu.

Kemudian pintu terbuka, Farah kembali mematung. Sekali lagi jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tidak menyangka dengan apa yang dia lihat.

“Hah” ucap Farah parau.

Bagai sebuah film yang diputar mundur, Farah kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu, saat suaminya sedang bercumbu dengan Ayu.

Sama dengan apa yang ia lihat sekarang, justru jauh lebih buruk lagi. Suaminya tengah bergumul dengan orang yang ia anggap sahabatnya. Mereka berdua tengah asik berduaan saling memberikan kepusaan satu sama lain.

“Farah” ucap Angga parau.

Farah yang mendengar itu hanya bisa manahan napas, dia yakin saat ini Angga mengira bahwa orang yang sedang di gaulinya adalah istrinya.

Amarah Farah benar-benar bangkit. Wanita setan itu harus mendapatkan balasan dari semua yang sudah ia lakukan.

Farah bergerak ke arah mereka berniat untuk menghentikan pergumulan seru itu. Namun langkah kembali terhenti. Dia merasa menginjak sesuatu, benar saja lantai di kamar tidurnya penuh dengan bunga kantil.

Mata Farah memanas, dia tidak bisa melihat lebih jauh adegan yang ada di depannya. Ia ingin berlari ke arah mereka dan memukul atau apapun agar bisa melampiaskan amarahnya. Tetapi Farah hanya bergeming, hatinya sekali lagi terasa remuk.

“Kembang kantil kui sek gawe bojomu lali karo awakmu nduk” (Bunga kantil itu yang membuat suamimu lupa dengan kamu nduk) ucap Nyi Sari dari arah belakang Farah.

Farah menoleh, seketika ia menjerit tertahan. Sosok dedemit wanita yang ia lihat tadi sudah berubah wujud. Kini sosoknya menjadi jauh lebih mengerikan, bibirnya sobek hingga telinga, matanya hanya berupa rongga kosong, serta kulit yang mengelupas menggeluarkan darah.

Tersentak, Farah membuka matanya. Ia kembali berada di sendang. Tubuhnya menggigil, bukan karena kedinginan tapi shock dengan semua penglihatan yang barusan ia lihat.

Seketika semua menjadi gelap...

“Sak iki pilihanmu, bakal bales lelakune bocah wadon kae opo arep meneng neng kene nunggu patimu” --

(Sekarang pilihanmu, mau membalas lelaku bocah perempuan itu apa mau diam di tempat ini menunggu kematian mu) ucap Nyi Sari yang sekarang tengah duduk di batu besar di pinggir sendang.

Tatapan Farah terlihat kosong, hatinya terasa begitu hancur. Kebahagian yang baru ia lalui beberapa waktu dengan suaminya sudah hilang entah kemana.

“Baleske loro atiku, nyi” (Balaskan sakit hatiku, nyi) ucap Farah datar, air matanya menetes di wajahnya yang cantik, namun penuh dengan dendam kesumat.

Setelah mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba angin berembus dengan cepat. Air di dalam sendang bergerak-gerak seperti ada pusaran yang muncul di sekitar Farah.

Tanpa Farah sadari ada sesuatu yang menariknya ke dalam sedang. Kaget ia mencoba untuk berenang ke permukaan.

Tetapi tarikan mahkluk itu begitu kuat, napasnya sudah di ujung. Kepalanya terasa begitu pusing, ia hanya berharap bahwa Warti menyadari kalau dirinya tenggelam. Hingga...

“Mulih” (Pulang) ucap Nyi Sari terdengar di kedua telinga Farah. Seketika tarikan itu lepas, Farah yang kaget langsung menyembulkan kepalanya ke atas.

Dia merasa apa yang dilaluinya malam ini diluar nalar. Bagaimana mungkin sendang ini tiba-tiba saja berubah menjadi dalam?Padahal sedari tadi saat ia berendam. Ia masih bisa menapakkan kakinya di dasar sendang.

Setelah cukup tenang, Farah kembali memandang ke arah batu. Sosok Nyi Sari masih duduk di sana, tersenyum menyeringai ke arah Farah. Dan tiba-tiba saja menghilang dari pandangan.

Farah bangkit, meskipun ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Tetapi dia memutuskan untuk segera menuju ke arah Warti yang sedang duduk bersila di pinggir sendang.

“Warti” ucap Farah

Warti mengerjapkan matanya, kemudian dahinya berkerut. Ia tidak menyangka kalau Farah bisa sampai sedemikian jauh.

“Apa yang kamu janjikan, Far?” tanya Warti penasaran.

“Tidak ada, aku hanya ingin mereka merasakan sakit hatiku” ucap Farah datar.

Warti terkesima, selain aura kencantikan Farah yang bertambah. Kharisma dari wanita di depannya juga semakin terlihat jelas.

“Baik, kita pulang sekarang. Tapi tidak ke rumah, kita langsung pergi ke kota tempat tinggal mu” kata Warti yang memang sudah sengaja merencanakan ini semua.

Farah mengangguk, “Bagaimana dengan Pakdhe?” tanya Farah sambil memakai pakaiannya.

“Sudah, itu gampang. Aku sudah tidak sabar melihat wanita penggoda itu menikmati hasilnya” ucap Warti menyeringai.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close