Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 5) - Awal Persembahan


Awal Persembahan

Sepanjang perjalanan Farah hanya diam, tatapannya begitu dingin. Sesekali dia menyeringai saat membayangkan apa yang akan terjadi dengan Ayu setelah ini.

“Warti” panggil Farah.

“Kenapa Far?” jawab Warti tanpa menolehkan kepalanya, ia masih fokus menyetir.

“Siapa orang yang sudah menyakitimu?” tanya Farah.

Warti terdiam, tatapannya lurus memandang ke arah jalanan. “Calon suamiku. Tetapi berbeda dengan mu, dia memang berniat melakukan itu semua” ucap Warti.

Mobil melambat, Warti sengaja menepikan kendaraan yang mereka tumpangi ke bahu jalan. Sejenak wanita itu diam, kemudian mengambil sebatang rokok lalu membakarnya.

“Apa yang kau lakukan kepada mereka?” tanya Farah tanpa expresi.

Warti menyeringai mengejek, “Aku biarkan mereka menikah. Bagi mereka aku hanya sebuah penghalang. Mereka berpikir aku tidak bisa melakukan apapun”

Farah mengerutkan dahinya, ia bisa membayangkan sebuah kejadian dimana seorang laki-laki dan perempuan tak berupa dan tak berwajah sedang mencemooh Warti karena keberhasilan mereka melangsungkan pernikahan.

“Lalu, kalau kau membiarkan mereka menikah. Kenapa justru memintaku untuk membalaskan semua perbuatan Ayu?” tanya Farah. Ia memalingkah kepalanya. Bibirnya tertarik sebelah, menyeringai geli.

“Kubuat mereka menikah, tetapi setelah mereka punya anak. Kuambil janinnya untuk makhluk yang ada di sendang itu. Tiap kali wanita itu hamil, beberapa bulan kemudian janin yang ada di perutnya menghilang” jawab Warti masih memandang jauh ke depan.

Farah kembali menoleh ke arah sepupunya, dia paham sekarang. Warti membiarkan mereka berbahagia, kemudian pelan-pelan membuat orang yang menyakitinya merasakan apa yang disebut kehilangan.

“Lalu, setelah itu?” tanya Farah mulai tertarik dengan cerita Warti.

Kali ini Warti menoleh ke arah Farah, dia tersenyum simpul. Tidak ada belas kasihan dari sorot matanya.

“Ku buat hubungan mereka semakin renggang, ku tutup arah rejeki dari si laki-laki agar dia sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja. Ku buat si wanita gampang marah dan mudah mengeluh” ucap Warti.

Farah yang mendengar itu tidak percaya, bagaimana bisa Warti melakukan itu semua?

“Bagaimana caranya?” ucap Farah penasaran.

“Sama seperti mu, ku buat perjanjian dengan mereka. Ku janjikan untuk memberikan apapun yang mereka inginkan” kata Warti.

Warti menyingkap lengan bajunya, kemudian ia mengangkat tangannya agar bisa dilihat Farah lebih dekat.

Seketika mata Farah membulat, ia melihat banyak luka torehan di lengan sepupunya itu.

“Darahmu?” ucap Farah tanpa sadar ia juga memegangi bekas sayatan yang dibuat oleh Warti.

Warti mengangguk, “Itu tidak seberapa dengan luka yang diberikan oleh laki-laki brengsek itu. Sekarang giliran mereka yang harus merasakan penderitaan yang ku alami” ucap Warti.

Farah menyeringai, ia benar-benar paham apa yang di rasakan oleh Warti. Entah kenapa dia merasa kasihan dengannya. Padahal nasibnya juga tidak lebih baik dari Warti.

Lama mereka diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba saja dada Farah berdesir aneh. Ada sesuatu yang merambat naik dari kaki hingga lehernya. Rasa dingin seperti ada yang menaruh bongkahan es di kulitnya.

“Nyi Sari” batin Farah saat melihat sosok wanita bergaun merah itu berdiri beberapa meter di depannya.

“Mintalah apa yang kamu inginkan, biarkan mereka melakukan tugasnya” kata Warti seolah menjawab pertanyaan yang muncul di kepala Farah.

Kemudian Warti kembali menoleh ke arah depan dan menghidupkan mesin mobil. Segera mereka melanjutkan perjalanan menuju kota tempat dimana Farah tinggal.

“Apa yang akan kau lakukan pada wanita itu, Far?” tanya Warti setelah beberapa saat diam.

Sebelum menjawab pertanyaan Warti, Farah melirik ke arah spion tengah. Dilihatnya Nyi Sari sudah duduk di jok belakang dengan kepala menunduk, wajahnya tertutup rambut yang menjuntai ke bawah.

“Aku tidak mau merusak kesenangan mu” kata Farah tersenyum menyeringai, padangannya lurus. Pikirannya terpaku pada sosok Ayu, membayangkan hal-hal buruk yang akan wanita itu terima.

***

Sementara itu...

Ayu tengah duduk termenung di taman belakang rumah Farah. Tangannya mengapit sebatang rokok, di meja sampingnya ada secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Pikirannya melayang jauh, mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu.

Flasback Ayu

“Apa yang sudah ku lakukan” ucap Angga menatap kepergian istrinya. Ia berusaha untuk mengejar Farah, tapi Ayu menghalanginya.

Angga meronta, mencoba melepaskan pegangan Ayu dari lengannya. Tetapi kemudian wanita itu bergerak ke arah telinganya dan membisikkan sesuatu. Membuat laki-laki itu berenti bergerak dan berdiri diam dengan tatapan kosong.

“Ingat mas, kamu itu punya ku” ucap Ayu.

Angga mengerjap, seketika kejadian yang barusan ia alami lenyap dari kepalanya. Bahkan ia bingung kenapa ia bisa berdiri di depan teras sewaktu hujan deras seperti ini.

“Kenapa kita di depan teras, ayo masuk. Dingin!” kata Angga sambil menarik lengan Ayu sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Ayu tersenyum, hatinya begitu gembira. Setelah sekian lama mendambakan memiliki Angga, akhirnya hari ini semua tercapai.

“Hari ini kamu pindah ke rumah ku ya, mas” pinta Ayu,

“Pindah? Buat apa? Ini kan rumah kita, kenapa harus pindah, Far?” tanya Angga mengerutkan dahinya, sambil mengaduk cangkir kopi yang sedang ia buat.

Ayu terkesiap mendengar jawaban Angga, dia kebingungan. Kenapa laki-laki ini menyebutkan nama Farah?

“Far? Siapa maksud mu, mas?” tanya Ayu, memastikan apakah peletnya masih bekerja.

“Kenapa sih, kamu? Kok Far siapa, aneh kamu” ucap Angga sambil berjalan ke arah Ayu yang sedang duduk di bangku dekat meja makan.

“Aku Ayu, bukan Farah” kata Ayu sedikit jengkel, di satu sisi dia bahagia akhirnya Angga bisa menjadi miliknya. Tetapi disisi lain dia merasa kesal karena laki-laki di depannya ini menganggapnya sebagai Farah.

“Ngigau kamu? Mending sekarang istirahat, pengajiannya kita tunda saja. Nanti aku bilang ke Pak RT” kata Angga sambil berjalan ke arah taman belakang.

Tangan Ayu mengepal, dia berusaha untuk menahan amarahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Angga menganggapnya sebagai Farah?

Ayu merasa ada yang salah, seharunya pelet kantil yang ia gunakan membuat Angga lupa akan keberadaan Farah.

Lantas ia segera berdiri, berjalan ke arah Angga yang sedang duduk termenung menikmati kopi dan memandangi hujan.

Tampak raut wajahnya begitu sendu, seperti memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya. Ayu berhenti, sesaat ia merasa kasihan dengan laki-laki itu. Tetapi hatinya sudah buta, hasrat untuk memiliki Angga begitu besar.

Marah dengan semua yang sudah terjadi, Ayu berbalik. Dia segera mengambil tasnya, ia harus segera menemui Mbah Wongso, menanyakan semua ini. Tanpa pamitan dengan Angga, ia membuka pintu depan dan berlari ke arah mobilnya.

Hujan begitu deras, suara gemuruh guntur saling bersahutan. Tetapi Ayu tidak memperdulikan itu semua, meskipun jarak pandanganya terbatas, dia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Sesaat ketika dia melewati halte yang tidak jauh dari komplek perumahan Farah. Ia memelankan laju mobilnya, dan berhenti tidak jauh dari tempat tersebut.

Hatinya tersentil. Ia melihat sosok yang tidak asing tengah duduk membenamkan wajah di kedua telapak tangannya.

“Farah” ucapnya.

Sesaat ia ingin turun dan membuat perempuan itu semakin menderita. Tetapi niatannya ia urungkan, kali ini dia melihat ada sosok lain tengah duduk di samping temannya itu.

Ayu mengusap kaca mobil yang berembun, mencoba melihat lebih jelas, siapa sosok yang duduk di samping Farah.

Seketika jantung Ayu berdetak keras, napasnya terlihat memburu. Wanita berbaju merah itu menatapnya sambil mengelus rambut Farah, senyumnya begitu menyeramkan.

Ia teringat dengan cerita Farah tentang sosok wanita yang selalu ia lihat beberapa malam terakhir. Seketika bibir Ayu tersenyum senang, ia berpikir jika sosok tersebut adalah dedemit yang dikirim oleh Mbah Wongso untuk menghancurkan hidup Farah.

Lantas, Ayu kembali menjalankan mobilnya. Tujuannya kali ini adalah ke tempat Mbah Wongso, dia harus memastikan semuanya, bahwa apa yang sudah dilakukannya sesuai dengan perintah perempuan tua itu.

***

Beberapa jam sudah Ayu mengemudi, perasaannya masih tidak begitu tenang. Ada rasa takut yang muncul jika semua yang ia lakukan tidak berhasil.

Beberapa kali dia mengecek ponselnya, berharap Angga mencarinya. Tetapi nihil, tidak ada satupun pemberitahuan yang muncul di layar ponselnya.

Kini Ayu sampai di sebuah pinggiran hutan, langit terlihat sudah mengabu. Ada keraguan untuk masuk ke dalam tempat tesebut.

Menghela napas panjang, Ayu segera ia membuka pintu mobilnya. Dan berjalan menuju ke arah celah-celah pepohonan yang rapat.

Ia tidak memperdulikan rintik hujan yang turun membasahi rambutnya. Terus saja ia melangkah, beberapa kali bulu kuduknya meremang, saat melihat arah depannya yang begitu gelap dan sunyi.

Sesekali dia menolehkan kepalanya, melihat ke arah sekitaran. Sedari tadi ia merasa ada sesuatu yang memperhatikannya. Akan tetapi saat memastikan bahwa ia hanya sendirian di tempat itu. Ayu kembali melangkahkan kakinya di atas tanah berlumpur yang basah karena hujan.

“Kenapa orang itu mau hidup di tempat seperti ini” ucap Ayu bergidik.

Sreeeekk...
Terdengar suara tepat di samping Ayu. Seketika dia menolehkan kepalanya ke samping kanannya. Dipandanginya rimbunan semak belukar itu.

Namun, setelah beberapa saat ia tidak mendapati apapun. Takut jika itu adalah hewan buas, ia segera mempercepat langkahnya.

Jantung Ayu berdetak begitu keras. Di dalam benaknya selalu muncul sekawanan pocong atau wanita berbaju putih yang duduk di dahan pohon dengan tawa yang mendirikan bulu roma.

Khi...khi...khi...

Seketika Ayu berhenti, baru saja ia membayangkan hal tersebut. Ia mendengar suara tawa perempuan tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Sontak ia mencari sumber suara, dilihatnya beberapa kali ke arah samping. Benar saja, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Ayu melihat ada seorang tengah berdiri di sebelah batang pohon besar, ia tidak bisa mengenali sosok tersebut. Yang dia tahu makhluk itu memiliki rambut panjang yang menjuntai hingga tanah.

Napasnya memburu, ia tahu makhluk itu bukan manusia. Menelan ludah, Ayu langsung berlari sekuat tenaga.

Sialnya, jalanan yang becek karena air hujan membuat dirinya terjatuh. Bukk... ayu mengerang kesakitan.

“Pati mu delet meneh” (Kematian mu sebentar lagi) ucap suara wanita tepat di depan Ayu.

Sontak kepalanya langsung menengadah ke atas, dilihatnya jelas kali ini, seorang wanita berbaju merah tengah berdiri di depannya.

Wajahnya begitu menyeramkan. Mulutnya robek hingga batas telinga, rongga matanya kosong kehitaman, kulitnya mengelupas, rambutnya panjang menjuntai hingga tanah.

Melihat itu, Ayu bergerak mundur. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Kenapa sosok yang ada di sebelah Farah malah mengikutinya?

Kepalanya menggeleng tak terkendali, matanya tertutup rapat. Bau yang di timbulkan oleh wanita itu benar-benar membuat perutnya mual.

Entah sudah berapa lama, Ayu menangis dalam diam. Ia takut untuk membuka mata, tetapi rasa penasaran di dalam batinnya membuatnya nekat untuk membuka kelopak matannya.

Bersyukur, wanita itu sudah pergi. Dilihatnya sekarang langit sudah benar-benar menghitam. Ia panik, segera berdiri dan langsung berlari. Ia harus segera sampai di rumah Mbah Wongso.

Sepanjang perjalanan, Ayu terus mendenar suara tawa cekikikan seorang wanita. Ia mencoba untuk tidak menggubris. Ia sudah tidak peduli lagi dengan kondisinya tubuhnya.

Tok...tokk...tokk...

“Mbah, mbahhh” ucap Ayu panik mengetuk pintu rumah kayu sambil melihat ke arah belakang.

Krieeekkk...

Pintu terbuka, Ayu segera mundur kebelakang. Dilihatnya kini Mbah Wongso tengah berdiri dengan dahi yang mengerut.

“Kenopo?” (Kenapa?) bentak Mbah Wongso jengkel.

“Ada yang ingin saya tanyakan Mbah” kata Ayu sambil menoleh ke arah belakang.

Melihat gelagat aneh wanita yang ada di depannya. Mbah Wongso merasa curiga, pasti sedang ada sesuatu yang buruk menimpa orang ini.

“Masuk” ucapnya datar sambil berjalan masuk ke dalam.

Ayu segera mengikuti wanita itu. Dalam keremangan, ia bisa melihat ruang tamu rumah itu begitu menyeramkan. Meskipun ia sudah beberapa kali datang ke tempat ini, namun hatinya masih merasa enggan untuk berlama-lama.

Mbah Wongso sudah duduk di amben, di depannya terdapat beberapa barang. Termasuk tungku kecil, kembang mawar melati, segelas kopi hitam serta dupa dan kemenyan.

“Ada apa? Bukannya kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan?” tanya Mbah Wongso melihat ke arah Ayu.

Ayu mengangguk, “Wanita itu sudah diusir dari rumahnya. Aku sudah bisa memiliki suaminya, tetapi kenapa laki-laki itu masih mengira bahwa aku adalah istrinya?” tanya Ayu.

Mbah Wongso terlihat sedikit bingung, seharusnya pelet yang ia gunakan membuat laki-laki yang di maksud Ayu lupa sama sekali dengan istrinya.

“Kamu sudah melakukan apa yang aku minta?” tanya Mbah Wongso.

Kembali Ayu mengangguk, “Sudah, semua sudah kulakukan Mbah. Bahkan syarat terberat, dengan mencampurkan darah haid ku ke minumannya juga sudah kulakukan” kata Ayu tidak tenang, entah kenapa sedari tadi ia masih merasa di perhatikan oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Mbah Wongso menatap Ayu tajam, kemudian ia mengambil dupa di depannya dan mulai membakarnya. Mulut wanita tua itu komat kamit, mengumamkan kata-kata yang tidak di mengerti oleh Ayu.

Seketika suasana berubah, angin terdengar menderu dengan kuat. Seolah sedang ada badai di luar sana.
Ayu yang melihat itu hanya diam, entah apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu, membuat hatinya terasa tidak tenang.

Hingga, ada sebuah suara benturan dari arah depan rumah. Seketika Ayu terlonjak, sedang Mbah Wongso hanya menoleh.

Braaaakkk...

Pintu terbuka dengan keras, Ayu menjerit dan langsung bergerak ke samping. Jantungnya berdetak begitu keras, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Bau busuk mulai tercium di hidung Ayu, ia masih terus memandangi Mbah Wongso dan pintu depan bergantian.

Hingga, tiba-tiba saja wanita tua yang ada dihadapannya menjerit kesakitan. “Arggggggg” ucapnya sambil terus menggaruk-garuk badannya.

Ayu kebingungan. “Mbah kenapa?” ucapnya panik sambil melangkah menuju Mbah Wongso.

Ayu merasa ngeri, kulit tua itu mulai mengeluarkan darah. Berapa kali dia berusaha untuk melepaskan tangan Mbah Wongso, tetapi wanita itu kembali menggaruk tubuhnya dengan brutal.

Kemudian, Mbah Wongso berusaha untuk mengambil keris yang tergeletak di samping kanannya. Tangannya berhasil menjangkau benda tersebut.
Sekilas Ayu mengira Mbah Wongso akan melawan kekuatan gaib yang sedang menyerangnya. Tetapi dugaannya salah.

Ayu menjerit tanpa suara, ketika perempuan tua itu mengangkat keris dengan kedua tangannya dan langsung menusukkan ke arah mata kanannya.

Jleeeb... cratttt

Darah memercik dari mata Mbah Wongso, wanita itu menjerit keras. Menahan rasa sakit akibat dari tusukan keris yang di peganginya.

Ayu menelan ludah, ia sudah menangis ketakuan. “Mbah, ayo mbah kita pergi” ucap Ayo mencoba untuk membantu Mbah Wongso untuk berdiri. Tetapi, justru wanita itu mendorongnya dengan kuat, sampai ia tersungkur ke lantai.

Kini dengan padangan menghadap ke atas amben, dengan jelas Ayu melihat sosok wanita yang tadi di temuinya di hutan tengah berdiri di belakang Mbah Wongso dengan senyum mengerikan.

“Patimu sadhelo maneh” (Kematian mu sebentar lagi) ucapnya sambil menyentuh atas kepala Mbah Wongso.

Ayu menggeleng ketakutan, ia bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bukannya dedemit itu adalah suruhan Mbah Wongso untuk menhancurkan hidup Farah, tetapi kenapa sekarang malah dia menyerang mereka berdua?

Belum sempat Ayu selesai berfikir, kini ia melihat tangan Mbah Wongso kembali terangkat. Kondisinya benar-benar sudah memprihatinkan, satu matanya terus mengeluarkan darah. Napas wanita tua itu sudah tersenggal-senggal.

“Mbah sadar” ucap Ayu mencoba menyadarkan dukun pelet tersebut.

Tetapi apapun yang Ayu coba lakukan, tidak berpengaruh sama sekali. Tangan wanita yang sedang memegangi keris tersebut bergerak perlahan.

Jleeebb...

Ayu menjerit, ia benar-benar kaget dengan apa yang ia lihat. Air matanya tumpah seketika, tatkala melihat Mbah Wongso menusukkan keris itu tepat ke arah jantungnya.

Khi...khi...khi...

Suara tawa itu kembali muncul, Ayu yang ketakukan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

“Durung, durung wayae. Tapi sadhelo maneh” (belum, belum waktunya. Tapi sebentar lagi) ucap Wanita itu diiringi embusan angin kuat, membuat jendela dan pintu yang ada di rumah tersebut bergerak-gerak dengan cepat.

Tersadar, Ayu segera berdiri. Ia langsung berlari keluar rumah kayu itu. Ia tidak peduli dengan mayat Mbah Wongso, ia tahu sosok dedemit itu sedang mengincarnya.

***

Lamunan Ayu buyar, sejenak dia melihat ke arah langit. Setelah hujan deras seharian, kini ia bisa melihat jelas banyak sekali bintang bertaburan.

Matanya menjadi sendu, terbesit rasa bersalah karena sudah nekat melakukan ini semua. Otaknya terasa lamban ia tidak bisa berpikir jernih.

Jika ancaman dari dedemit itu benar, berarti ada kemungkinan jika Farah sudah mengetahui ini semua, dan sekarang wanita itu sedang membalasnya.

Ayu melempar puntung rokoknya ke lantai, lalu menginjaknya kuat-kuat. Amarahnya mulai timbul bercampur dengan rasa khawatir.

Setelah ia berhasil pergi dari rumah di tengah hutan itu. Segera ia kembali ke rumah Angga, berharap mendapatkan ketenangan dari laki-laki itu.

Tetapi percuma saja, bahkan saat mereka bercinta pun. Hati dan pikirannya masih terbayang-bayang kejadian yang tadi ia lewati.

Seketika air mata Ayu tumpah. Ia merasa semua ini tidak adil untuknya. Kenapa selalu Farah yang menjadi penghalangnya. Wanita itu benar-benar membuat dirinya muak.

Ayu kembali melangkah masuk ke dalam, tetapi langkahnya terhenti. Jantungnya seketika berdetak cepat, dalam keremangan ia melihat ada seseorang tengah duduk di sofa ruang tengah.

Ia tidak langsung bergerak, menyipitkan mata memastikan siapa kah sosok itu.

“Farah?” ucap Ayu lirih.

Ketegangan yang Ayu rasakan perlahan menghilang. Ia yakin bahwa sosok yang dilihatnya adalah Farah. Tetapi sejak kapan wanita itu masuk ke dalam rumah? Sedari tadi ia tidak mendegar ada pintu terbuka.

Ayu kembali melangkah. Dengan pongahnya ia menuju ke arah Farah berniat untuk menyakiti wanita itu. Bodohnya ia berpikir bahwa semua ini adalah kesalahan dari temannya itu.

“Ngapain kamu?” bentak Ayu,

Tetapi Farah bergeming, ia masih memandang lurus ke arah depan. Merasa di abaikan oleh wanita itu, amarah Ayu semakin membuncah.

“Wanita tidak tahu diri, suamimu sudah mengusirmu” ucap Ayu

Tetapi Farah masih bergeming, seolah dia tidak mendengar ucapan Ayu. “Farah, budek kamu. Keluar!!!” bentak Ayu setengah teriak.

Farah, mulai memalingkan kepalanya perlahan ke arah Ayu, kini ia melihat wanita itu tengah tersenyum. Tetapi senyumnya terlihat mengerikan. Tidak ada kebahagian di sana, sorot matanya terlihat penuh dendam.

Seketika dadanya berdesir, ada yang tidak beres dengan wanita di hadapannya. Ayu mundur selangkah, saat melihat Farah mulai berdiri dan menghadap ke arahnya.

“Lungo?” (Pergi?) kata Farah datar.

Ayu melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. “Far, apa yang kamu lakukan?” ucap Ayu setengah teriak. Berharap suaranya bisa membangunkan Angga.

“Khi...khi...khi...” tawa Farah, seketika bulu kuduk Ayu meremang. Ada sesuatu yang melintas di dalam kepala. Dia mengenali suara tawa itu.

Pyaarrrr...

Tanpa Ayu duga, Farah menghantamkan kepalan tangannya ke arah figura yang tergantung di dinding. Pecahan kaca berhamburan ke lantai.

Ayu kaget, ia kembali menoleh ke arah kamar. Dia heran kenapa Angga tidak mendengar keributan yang sedang terjadi.

“Nunggu opo?” (Nunggu apa?) tanya Farah, Kini ia membungkuk dan mengambil pecahan kaca yang ujungnya runcing.

Ayu menelan ludah, ia berusaha mencari jalan keluar. Sudah jelas kalau Farah berniat untuk melukainya. Dia tidak menyangka kalau wanita itu begitu nekat.

Farah mulai melangkah pelan ke arah Ayu, senyum datarnya masih mengembang, seolah dia sedang menikmati semua kejadian ini.

“Far, apa yang kamu lakukan” ucap Ayu panik, keberaniannya sudah hilang entah kemana.

“Podo karo awakmu to nduk” (sama seperti dirimu to nduk) ucap Farah.
Deg....

Jantung Ayu seperti terhenti, napasnya memburu. Dia tahu sosok yang ada di depannya ini bukan Farah. Belum pernah selama ini, Farah memanggilnya dengan sebutan nduk.

“Pie rasane keweden nduk?” (Bagaimana rasanya ketakutan, nduk?) ucap Farah sekali lagi.

Ayu menggeleng, ia terus mundur sampai punggugnya menyentuh dinding. “S—siapa kamu?” teriak Ayu kencang, berharap suaranya kali ini dapat membangunkan Angga.

Sosok Farah tidak menggubris pertanyaan Ayu. Justru sekarang ia mulai mengangkat tangan kanannya yang sudah bersimbah darah dengan pecahan kaca yang ia genggam.

“Durung, durung wayahe. Sadhelo maneh, rasakno disik larane atimu” (Belum, belum waktunya. Sebentar lagi, rasakan dulu sakitnya hatimu) kata Farah sambil tertawa gila-gilaan.

Kemudian, Ayu menjerit tertahan. Pecahan kaca yang di pegang oleh Farah mulai di arahkan ke mulutnya. Tanpa ada rasa takut maupun kesakitan, wanita itu terus menyobek sisi mulutnya satu persatu singga mencapai batas telinga.

“Tunggu, Patimu” (Tunggu, kematianmu) kata Farah bergaung ke seluruh ruangan.

Ayu menjerit, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan menutup mata serta telinga dengan kedua tangannya. Kepalanya terus menggeleng, dia takut. Dia benar-benar ketakutan sekarang.

“Far... Hei kamu kenapa?” tanya Angga mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Ayu.

Ayu masih terus menggelengkan kepalanya. “Ampun, Ampun. Pergi” ucapnya terus menerus.

Angga yang masih mengira bahwa Ayu adalah Farah segera memeluk wanita itu. “Far, ini aku Angga, apa yang terjadi?” katanya.

Perlahan Ayu mulai terlihat tenang. Dia membuka matanya, sesaat melihat ke arah di mana tadi Farah berdiri. Kemudian dia langsung merengkuh Angga.

“Tadi Farah kesini dan mau membunuhku, Mas” ucap Ayu terisak.

“Farah mau membunuhmu? Farah siapa?” tanya Angga kebingungan.

Dalam ketakutan, Ayu menyadari percuma saja berbicara dengan Angga. Laki-laki itu masih mengira bahwa dirinya adalah Farah.

“Sudah, kita ke kamar. Kamu pasti mimpi lagi. Sudah ku bilang kan! Sebaiknya kita adakan pengajian di rumah ini” kata Angga sedikit jengkel.

Ayu tidak menggubris ucapan Angga, tubuhnya masih terasa lemas. Dengan di papah oleh laki-laki itu mereka akhirnya kembali ke kamar.

Sejenak Ayu berhenti, menatap ke arah kamar Farah dan Angga. “Kenapa?” tanya Angga penasaran.

“Kita tidur di kamar tamu saja, Mas” ucap Ayu.

Angga yang masih kebingungan awalnya ingin menolak. Tetapi melihat wanita di depannya terlihat begitu ketakutan akhirnya dia menurut.

***

“Jadi ini rumah kamu, Far?” tanya Warti saat ini mereka tengah memandangi rumah Farah dari dalam mobil.

Setelah sampai di kota tempat tinggal Farah, mereka tidak langsung pergi ke hotel atau penginapan. Justru dia meminta kepada Warti untuk pergi ke rumahnya terlebih dahulu. Ia ingin memastikan jika wanita itu masih ada di rumah tersebut.

Farah memincingkan matanya, amarah di dalam hatinya mulai muncul kembali ke permukaan. Benar dugaannya ternyata wanita itu masih ada di rumahnya.

“Benar, dan mobil itu milik Ayu. Sepertinya wanita itu masih ada di dalam” kata Farah datar.

Warti mengerutkan dahinya. Farah benar-benar sudah berubah, beberapa hari yang lalu ia masih melihat kepolosan dari wanita itu. Tetapi sekarang yang ia lihat sebuah ancaman yang mengerikan.

“Kamu tunggu disini!!!” ucap Warti keluar mobil.

Farah kebingungan, apa yang akan dilakukan oleh Warti. Dari dalam mobil ia melihat perempuan itu mulai masuk ke dalam rumahnya.

Entah apa yang sedang dilakukan oleh Warti, Farah hanya melihat dan memperhatikan. Ia tidak berniat untuk masuk ke dalam rumahnya saat ini.

Beberapa saat kemudian, Warti kembali membawa bungkusan kumal penuh dengan tanah. “Apa itu?” tanya Farah keheranan.

Warti tidak menjawab, menaruh bungkusan kumal itu di sampingnya dan segera memajukan mobil menuju ke arah jalanan.

“Warti?” tanya Farah saat sepupunya itu tidak menjawab pertanyaannya.

“Tunggu, jangan disini. Kita cari tempat” kata Warti.

Farah mengangguk, dia sepenuhnya percaya dengan Warti. Apapun yang sedang dilakukan oleh wanita itu pasti masih berkaitan dengan masalah yang menimpanya.

10 menit berselang, mereka sudah berada di pinggir jalan yang jauh dari keramian. Segera Warti mengambil bungkusan kumal penuh dengan tanah dan keluar dari mobil.

“Ayo” kata Warti.

Farah yang tidak mengerti segera keluar mobil, “Ada apa?” tanya Farah.

“Lihat” ucap Warti sambil membuka bungkusan kumal itu.

Farah tersentak, dia memajukan kepalanya untuk melihat lebih jelas. Mungkin ada banyak sekali merek pakaian dalam pria yang dijual dan dibeli oleh orang-orang disekitar rumahnya. Tetapi ia merasa mengenali pakaian dalam itu.

“Bukannya itu milik Angga” ucap Farah mengambil benda itu dan melihatnya dengan teliti.

“Bukan hanya itu, lihatlah” kata Warti sambil menganggat sebuah foto yang terkena tanah tapi masih terlihat jelas.

Farah menghela napas, seolah tidak heran dengan apa yang ia lihat. Nyai Sari sudah memperlihatkannya sewaktu Ayu pergi ke rumah dukun itu.

“Lihat kan, ini bukti kalau suamimu memang sedang dipelet oleh wanita brengsek itu” kata Warti penuh kemenangan.

“HEh” Farah mendengus, ia sudah menduga kalau semua ini memang benar adanya.

“Lalu apa yang akan kita lakukan dengan benda itu?” tanya Farah.

“Kita bakar” ucap Warti senang.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close