Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 2) - Pertanda


Pertanda

Semenjak kejadian itu, Angga hampir selalu pulang kantor sebelum magrib menjelang. Dia tidak mau membiarkan Farah sendirian di rumah selepas senja.

“Sudah dua hari, mungkin kemarin memang aku lagi apes” kata Farah membuka obrolan.

“Sebenarnya aku masih ingin melakukan pengajian di rumah ini. Jadi kalau besok aku dinas ke luar kota, setidaknya pikiranku tidak terlalu khawatir” kata Angga.

Farah mendekat ke arah suaminya yang tengah asik menonton televisi. “Sudah, mungkin memang kemarin lagi apes. Lagi pula kamu cuma tiga hari kan? kalau ada apa-apa nanti aku tidur di tempat ibu dulu” ucap Farah mencoba menyakinkan Angga.

Angga menoleh ke arah Farah, “Bener kamu engga masalah aku tinggal keluar kota?” kata Angga memastikan.

Farah tersenyum dan mengangguk. Dia hampir melupakan kejadian beberapa malam lalu. Mungkin saja memang sosok wanita itu hanya sebatas bayangannya saja.

“Far” panggil Angga.

Kaget, Farah mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tidak sadar jika sedari tadi telah melamun.

“Eh iya. Kenapa?” tanya Farah.

“Ckkk. Sudah ayo tidur, daripada melamun terus kamu. Kesambet baru tahu rasa” kata Angga sebal, langsung mematikan televisi kemudian beranjak menuju ke arah kamar.

Farah mengeluh, dia merasa bersalah dengan sikapnya kepada Angga. Akhir-akhir ini semenjak sering bermipi buruk ia kerap kali melamunkan sesuatu.

“Far!!!” panggil Angga sedikit kencang dari ambang pintu kamar. Terlihat ia hanya melongokkan kepalanya saja.

Melihat pandangan mata suaminya yang penuh intimidasi. Farah buru-buru beranjak dan segera berjalan menuju ke arah kamar.

“Kamu marah, Mas?” tanya Farah karena sedari tadi Angga terdiam.

“Enggak, cuma khawatir. Akhir-akhir ini kamu suka sekali melamun. Kalau ada yang sedang dipikirkan, jangan dipendam sendiri, Far” kata Angga.

Farah tidak langsung menjawab, ia menatap suaminya cukup lama. Terlihat saat ini mata Angga terpejam dengan kedua tangannya ia jadikan sebagai bantalan. Farah tahu laki-laki itu belum tertidur.

“Kamu sayang sama aku mas?” tanya Farah memacahkan keheningan.

Angga membuka matanya, membalikkan badannya menghadap ke arah Farah. “Apa ini masih ada kaitannya dengan mimpi atau kejadian beberapa malam lalu?” tanya Angga mengerutkan dahinya.

Farah sungguh aneh. Jika dia tidak meyanyanginya, lantas buat apa harus repot-repot menjadikan Farah sebagai istri seorang Angga Wicaksono?

Farah menggelengkan kepalanya. “Aku melihat akhir-akhir ini banyak berita perselingkuhan” kata Farah.

“Lalu?” masih belum begitu paham akan ke mana arah pembicaraan mereka.

“Yahh, siapa tahu kamu juga punya niatan seperti itu” kata Farah.

Angga memutar bola matanya jengah, dia tahu wanita ini pasti sedang bosan. Kalau meladeninya pasti sebentar lagi akan ada keributan di antara mereka.

“Tuh kan, kenapa diem?” tanya Farah.

Angga kembali memejamkan matanya, namun posisinya masih tetap menghadap ke arah istrinya. Dia memang sengaja untuk tidak menjawab.

“Addduuhhh” keluh Angga karena tiba-tiba saja Farah mencubit perutnya dengan keras.

“Kenapa sih, kamu. Bener kan kebanyakan melamun jadi kesambet. Pasti kesambet setan reog” kata Angga langsung menaruh telapak tangannya ke arah kening Farah.

“Apaan sih, Mas. Lepasin” ucap Farah sambil mencoba melepaskan tangan Angga.

Bukannya melepas tangannya. Angga terus menekan tangannya ke dahi Farah. Ia pura-pura komat kamit seolah sedang mengusir lelembut yang sedang merasuki istrinya itu.

“Pujopajapu. Nambani Babi Lemu... loro lungo tombo teko...” (Pujopajapu. Mengobati babi gemuk... sakit pergi, obat datang) ucap Angga sambil menyembur ke arah Farah beberapa kali.

“Heeh... Siapa yang babi lemu?” tanya Farah siap berperang dengan suaminya.

“Ehhhh...” Angga hanya bisa merepet, dia tidak sadar dengan apa yang barusan ia katakan. Ucapan itu sering kali dia dengar sewaktu dirinya kecil dulu.

Ibunya kerap kali mengucapkan kalimat itu ketika Angga menangis karena terjatuh atau saat tubuhnya terkena sesuatu dan mengakibatkan terluka.

“Siapa yang babi lemu mas?” tanya Farah sangar.

“I—itu anu... Setannya yang babi” kata Angga tidak nyambung.

“Jadi aku mirip babi? Atau mirip setan?” tanya Farah, kini matanya mulai berkaca-kaca.

Angga menelan ludah, dia tidak berniat untuk melukai perasaan istrinya. Awalnya dia memang berniat mengalihkan pembicaraan soal isu perselingkuhan yang ingin dibahas oleh Farah.

Tanpa menunggu jawaban Angga, Farah langsung berbalik memunggungi suaminya. Dia saat ini benar-benar kesal dengannya. Bagaimana mungkin Angga menyamakannya dengan babi?

Terasa gerakan dari belakang Farah. Sebuah lengan kekar memeluknya dari belakang. Awalnya ia mencoba untuk melepaskan pelukan itu, namun kekuatannya tak sebanding dengan Angga.

“Farah, sayang. Mas engga bermaksud seperti itu. Tadi spontan karena dulu ibu sering bilang seperti itu, saat aku terjatuh atau terluka” kata Angga lirih.

“Bener kan, kamu sebenarnya engga sayang sama aku. Nyatanya aku disamaain sama babi atau setan” ucap Farah parau.

Angga mendesah, menghela napas panjang tepat di leher Farah. Membuatnya langsung bergidik. Reflex, dengan kekuatan luar biasa Farah berbalik dan langsung menjambak rambut suaminya dengan keras.

“Addduhhh... Ampuuunnn Dek. Tolonggg” kata Angga mencoba melepaskan jambakan Farah.

“Babi ha!!! Nih rasain, belum pernah dijambak sama babi gendut kan?” kata Farah tanpa ampun.

Angga sebenarnya bisa saja melepaskan cengkraman Farah dengan mudah. Namun, laki-laki itu tidak mau melukai istrinya.

“Amppuunnn, sadar dek. Ingat jangan kalap” kata Angga sambil menghentikan jambakan Farah yang mulai terlalu kencang. Sigap ia langsung mendekap istrinya erat-erat.

Farah terus memberontak, dia saat ini sedang kesal dengan suaminya yang justru terlihat cengar-cengir tanpa dosa.

“Hey, hey sayang. Dengerin dulu” kata Angga mengeratkan pelukannya.

“Apa?” kata Farah galak.

“Sttttt... Dengerin... Apa salahnya jadi babi? Mereka imut, lucu, putih dan semok” kata Angga tanpa dosa.

Farah yang mendengar itu matanya langsung melotot hampir keluar. Suaminya benar-benar gila, bagaimana bisa dirinya diibaratkan dengan babi yang imut, lucu, putih dan semok?

“KAAMU MAU MATI MAS?” jerit Farah langsung menggigit lengan Angga sekuat tenaga.

“Addduhhh” erang Angga. Namun, bukannya melapaskan pelukannya, justu dia malah semakin erat memeluk istrinya. Sungguh Farah begitu lucu saat marah. Inilah alasan kenapa dia selalu ingin menggodanya.

Setelah melapaskan gigitannya. Farah terlihat cemberut, matanya berkaca-kaca. Angga yang menyadari sudah kelewat batas langsung membelai lembut punggung istrinya.

“Aku tidak peduli dengan bentuk badan mu. Aku tidak peduli dengan berat badan mu. Kalau ada wanita yang sempurna. Ya, itu cuma kamu Far” kata Angga pelan.

Farah masih terdiam, sesekali dia terisak membenamkan kepalanya di dada bidang milik Angga. “Aku beruntung punya kamu Far. Maaf sudah menggodamu seperti itu” kata Angga sungguh-sungguh.

Malam itu, menjadi malam yang panjang untuk Farah dan Angga. Tidak ada yang jauh lebih indah dari pada kasih sayang yang di ungkapkan dengan sentuhan.

***

“Ingat kalau ada apa-apa langsung kabari, atau lebih baik hari ini sekalian kamu menginap di rumah Ibu, Aku antar” kata Angga saat mereka tengah menikmati sarapan pagi.

Farah menggeleng, “Nanti telat kamu, lagian juga sudah tidak ada kejadian yang aneh-aneh, kan” kata Farah.

“Ya sudah terserah kamu saja, Far” kata Angga, lantas dia segera beranjak dari tempat duduk.

Farah yang melihat Angga berdiri, segera mengikuti suaminya. “Ingat jangan ngebut, kalau lelah istirahat” kata Farah saat sudah sampai di ambang pintu.

“Iya bawel” ucap Angga.

Farah tersenyum dan segera mencium punggung tangan Angga. Ada rasa aneh di dalam batinnya, baru kali pertama merasa enggan ditinggal oleh suaminya. Kini selama tiga hari kedepan dia harus sendirian di rumah.

Sejenak ingin rasanya Farah ikut dengan Angga, namun ia tepis pikiran itu. Dia harus memahami kalau suaminya pergi bukan untuk bersenang-senang. Terlebih dia juga bukan wanita yang suka merajuk untuk selalu bersama pasangannya.

Setelah kepergian Angga, Farah tidak langsung masuk ke dalam rumah. Dia justru malah duduk di kursi teras mengamati rintik hujan yang masih turun walau tidak begitu deras.

Sesekali Farah menghela napas panjang. Meskipun selalu bilang kepada Angga bahwa dia sudah tidak memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Namun, itu semua hanya kebohongannya.

Nyatanya, ingatan itu masih terus muncul dikepalanya. Entah, kenapa Farah merasa bahwa itu semua ada kaitannya dengan dirinya.

Cukup lama Farah termenung, hingga tiba-tiba saja terdengar suara guntur yang menggelegar. Membuatnnya tergentak kaget.

Buru-buru dia beranjak. Berniat untuk segera masuk ke dalam rumah. Namun, ketika menoleh ke arah jendela kamarnya. Dahinya berkerut, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Bunga kantil?” tanya Farah kebingungan.

Tepat di bawah jendela kamarnya Farah melihat ada bunga kantil yang bertebaran. Rasa heran muncul di dalam batinnya. Bagaimana bisa ada bunga kantil disini, sedang di sekitar rumahnya tidak ada sama sekali pohon kantil.

Farah bangkit mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang menaruh bunga kantil itu. Namun, percuma saja pikirnya. Pasti orang itu sudah pergi saat sebelum Angga berangkat tadi.

Seketika di kepala Farah terlintas satu sosok. Wanita yang menampakkan dirinya beberapa malam lalu. Batinnya mulai terlihat tidak nyaman, kenapa pula dia harus menemukan hal-hal semacam ini di saat Angga tidak ada di rumah.

Bergidik dengan apa yang ia bayangkan. Buru-buru Farah mengambil sapu, segera mengumpulkan bunga tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.

Setelah itu Farah kembali masuk ke dalam rumah. Karena tidak ada sesuatu yang di kerjakannya ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.

“Ada apa sebenarnya?” tanya Farah kepada dirinya sendiri. Di dalam kepalanya saat ini terus berkecamuk memikirkan perihal bunga kantil yang akhir-akhir ini dia temukan.

Merasa tidak menemukan jawaban. Farah segera mengambil ponsel miliknya. Segera dia hubungi salah satu orang yang selama ini bisa ia percaya selain suaminya.

“Halo, kenapa Far” ucap Ayu dari seberang sana.

“Lagi sibuk? Jalan yuk. Ada yang pengen aku ceritain nih” ucap Farah.

“Emang boleh sama suamimu? Lagi kemana tuh orang?” kata Ayu sedikit sewot. Farah mengerutkan dahinya saat mendengar nada kalimat sahabatnya itu.

“Lagi dinas luar kota. Nanti aku kabarin ya tempatnya” kata Farah tanpa menunggu persetujuan dari Ayu.

Akhirnya setelah itu Farah bersiap-siap untuk pergi. Sudah lama juga dia tidak keluar rumah. Mungkin sesekali menghirup udara segar bisa membuat pikirannya menjadi lebih jernih.

***

“Serius kamu Far?” kata Ayu saat Farah sudah selesai menceritakan apa yang dilaluinya beberapa hari terakhir ini.

Saat ini Farah dan Ayu tengah duduk di salah satu cafe di pinggiran kota. Sengaja ia memilih cafe tersebut agar tidak terlalu bising.

“Ckkk, ngapain juga aku bohong. Lagian ada yang aneh, siapa juga yang niat naruh bunga kantil di depan rumah ku?” tanya Farah menerawang.

“Entah lah, aku juga tidak paham dengan hal-hal yang berbau mistis. Tapi benar ada yang aneh” kata Ayu menerawang jauh.

Setelah itu keduanya terdiam, terbenam di pikirannya masing-masing. Farah pun juga sama dia tidak pernah punya pengalaman apapun dengan hal yang berbau mistis. Namun, entah kenapa seolah mimpi dan kejadian yang dilaluinya merupakan sebuah pertanda untuknya.

“Far” panggil Ayu sambil menepuk lengannya.

“Hah? Kenapa?” kata Farah tidak jelas.

Ayu menggeleng, namun tatapannya tidak menuju ke arah Farah. Justru malah dia seperti sedang mencari-cari sesuatu.

“Nyari apaan?” kata Farah keheranan. Ikut menolehkan kepalanya ke belakag.

“Ah engga, kirain tadi teman lama. Eh tadi suamimu pergi kemana?” tanya Ayu penasaran.

“Dinas luar kota selama tiga hari, di rumah sendiri deh” kata Farah tersenyum kecut.

“Kamu uda ijin ke Angga kalau mau pergi ke tempat ini?” tanya Ayu lagi.

Farah menggeleng, dia memang tidak memberi tahu suaminya soal kepergiannya. Dia yakin saat ini Angga juga sedang fokus menyetir.

Ayu hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “kenapa sih? Angga juga engga bakalan marah kalau aku pergi sama kamu, kan?” kata Farah.

“Nanti malam, aku tidur di rumah mu ya Far. Kasian juga kalau sendirian di rumah” kata Ayu.

Farah langsung tersenyum bahagia. Sejujurnya dia juga berharap malam ini ada yang menemaninya di rumah. Dia masih trauma jika harus bertemu dengan sosok wanita mengerikan itu lagi.

“Makasih ya, Yu” kata Farah.

Selepas dari cafe mereka berdua akhirnya pulang ke rumah Farah. Tidak ada perbincangan serius, justru malah Farah sendiri yang sibuk dengan ponselnya.

“Far?” tanya Ayu saat mereka sudah di dalam mobil.

“hmm?” tanya Farah.

“Kamu engga punya rencana, buat pergi ke orang pintar?” tanya Ayu.

Mendengar itu Farah menengokkan kepalanya ke arah Ayu, yang sedang fokus menyetir. “Orang pintar? Dukun maksud mu?” tanya Farah.

“Ya semacam itu. Siapa tahu itu memang gangguan gaib bukan cuma setan lewat” ujar Ayu.

Farah termenung. Apa iya dia perlu pergi ke orang pintar? Toh selama ini dia sama sekali tidak percaya dengan yang namanya dukun.

“Far, uda sampai. Kebiasaan ngelamun kamu, kesambet baru tahu rasa” kata Ayu sedikit jengkel.

Tersadar Farah langsung keluar mobil. Buru-buru dia membuka gerbang rumahnya agar mobil Ayu bisa masuk ke dalam garasi.

Ayu yang masih berada di dalam mobil sejenak melihat rumah Farah. Dia pikir memang ada sesuatu yang berbeda dengan rumah sahabatnya itu.

“Aneh. Beberapa minggu lalu rumah ini terlihat normal. Kenapa sekarang berbeda” gumam Ayu sambil berdigik ngeri.

Setelah melihat Farah sudah berhasil mendorong pagar besi. Ayu langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi rumah.

“Far, tungguin” ucap Ayu saat melihat temannya sudah hampir masuk ke dalam rumah.

Farah yang mendengar teriakkan temannya itu langsung berhenti dan menengok ke arah garasi rumah. “Kenapa?” tanya Farah heran.

“Engga, rumah mu keliatan serem” kata Ayu bergidik.

Farah mendengus. Tanpa menjawab Ayu dia langsung masuk ke dalam rumah. Percuma saja kalau temannya itu menginap di sini, tapi belum masuk ke dalam rumah saja sudah ketakutan.

“Far, ah elah. Malah di tinggal” ucap Ayu setengah berlari menyusul Farah.

“La, kamu mau menemin aku malah ketakutan dulu. Aneh kamu” kata Farah jengah.

“Bukan takut, tapi rumah mu rasanya serem aja. Padahal ini masih siang, gimana kalau malam nanti” kata Ayu sambil duduk di sofa ruang tamu.

“Serem gimana?” tanya Farah yang memang tidak merasakan perbedaan suasana di rumahnya.

“Enggak tahu, cuma kerasa serem aja” ucap Ayu sambil menaikkan kedua bahunya.

“Ckkk, yauda aku siapin kamar tamu dulu. Kalau mau minum bikin sendiri ya” ucap Farah langsung pergi ke arah kamarnya.

“Tuan rumah kok enggak mau direpotin, malah tamunya suruh bikin minuman sendiri. Dasar setres” gumam Ayu.

***

Malam kembali datang. Setelah seharian mereka melakukan berbagai aktivitas tidak produktif seperti menonton film, memasak berbagai jenis makanan. Akhirnya keduanya kelelahan dan memutuskan untuk segera tidur. Farah berada di kamarnya sedang Ayu di kamar tamu.

Farah yang sejak tadi sudah begitu mengantuk mencoba untuk memejamkan matanya. Berulang kali dia membolak balikkan badan, mencari posisi nyaman. Sayangnya semua itu tidak berguna, matanya tetap tidak mau terpejam.

“Astaga” ucap Farah jengkel, padahal badannya sudah ingin sekali beristirahat tetapi justru otaknya tidak mau diajak kerja sama.

Farah segera bangkit, percuma saja dia memaksa untuk tidur. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kemudian menatap ke arah jendela. Dia sedikit bergidik saat melihat keremangan di luar ditambah udara begitu dingin, hujan sedari tadi juga tak kunjung reda.

Tiba-tiba saja Farah rindu dengan Angga. Dia segera meraih ponsel yang ada di atas nakas, berniat menghubungi suaminya.

Namun, Farah menggeleng. Dia tidak boleh kekanak-kanakan toh mungkin saja saat ini Angga juga sudah tertidur.

Merasa tidak ada yang harus dilakukan, Farah bangkit dari tempat tidur, berniat untuk membuat teh hangat. Mungkin dengan begitu bisa membuat kantuknya kembali datang.

Krieeeekkkk...
Farah membuka pintu, ada sedikit kekhawatiran dalam dirinya. Teringat terakhir kali saat membuka pintu kamarnya di malam hari ia mendapati sesuatu yang tidak mengenakkan.

Namun, kali ini suasana sedikit berbeda. Semua lampu masih menyala. Bahkan Farah juga mengengar obrolan dari arah kamar yang di pakai oleh Ayu.

Merasa lega Farah kembali berjalan, dia tidak begitu peduli dengan siapa Ayu sedang berinteraksi. Jomblo memang kadang bisa melakukan apapun yang mereka suka tanpa harus memikirkan pasangannya.

Ting...ting...ting

Suara benturan antara sendok dan gelas terdengar memecahkan keheningan. Farah tengah mengaduk teh dan gula agar mereka bercampur menjadi satu.

“Farah” terdengar suara dari arah belakangnya.

Farah langsung menoleh. “Iya kena...” jawab Farah terhenti. Dahinya berkerut, matanya mencoba memandang sekitaran. Tidak ada siapapun di ruangan itu.

“Uda deh, Yu. Jangan bercanda” kata Farah jengah.

Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Sekali Farah mengedarkan pandangan bahkan dia melongok ke bawah meja. Namun tidak ada siapa pun disana.

“Salah dengar mungkin” pikir Farah, kembali menoleh ke arah cangkir teh nya.

Setelah selesai mengaduk Farah berniat untuk kembali ke kamarnya. Namun, baru beberapa langkah. Tubuhnya kembali terhenti, lampu yang menerangi dapur tiba-tiba berkedip.

Farah mendongak, perasaannya tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Bulu kuduknya tiba-tiba saja berdiri kuat.

Tidak mau berlama-lama di ruangan itu. Buru-buru dia kembali melangkah. Hingga saat sampai di ruang tengah. Matanya menangkap sesuatu, ingatan di mana dia melihat sosok wanita itu kembali hadir.

Jelas dari redupnya lampu teras. Farah kembali melihat sosok wanita yang berdiri di tempat yang sama beberapa malam lalu. Siluet seorang berambut panjang dengan kepala menunduk.

Tubuh Farah membeku, ingin dia teriak memanggil Ayu. Tapi seketika lidahnya kelu. Sosok bayangan wanita itu terus berdiri seolah sedang menantangnya.

Farah menggelengkan kepala. Mencoba menjernihkan pikirannya. Siapa tahu apa yang dia lihat hanya bias cahaya. Tetapi seberapa sering dia menggeleng sosok itu masih terlihat jelas di matanya.

“Yu, Ayu” panggil Farah tanpa memalingkan pandangannya. Dia yakin temannya itu belum tidur, tetapi entah karena suara hujan yang begitu deras, atau memang Ayu tidak mendengar panggilan Farah. Wanita itu tidak menunjukkan akan keluar kamar.

Rasa penasaran Farah muncul kuat di hatinya. Ia hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk memutuskan.

Takut jika sosok itu kembali menghilang. Tanpa mengalihkan pandangannya, Farah segera menaruh gelas di bufet dan berjalan menuju ruang tamu.

Dari kejauhan Farah masih bisa melihat sosok itu berdiri mematung. Langkahnya semakin dipercepat, hingga saat sampai di depan gorden. Ia langsung menyibakkannya dengan cepat.

Sreeeekkkkk....

Namun, bukannya melihat rupa sosok wanita. Justru ketakutan Farah semakin menjadi. Tubuhnya kembali mematung. Matanya membulat sempurna saat melihat teras depan rumahnya.

Ingin Farah melepaskan kain gorden yang ia pegangi. Dan segera melangkah mundur, kembali ke kamarnya. Tetapi seperti ada sesuatu yang menahannya untuk terus melihat ke depan.

Kini di depannya, hanya terhalang sebuah kaca jendela. Farah melihat keranda hijau tengah diletakkan di teras rumahnya. Tangan Farah menggenggam kuat, hatinya benar-benar ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat.

Masih melihat ke arah luar tanpa berkedip, kini Farah memperhatikan kalau pohon-pohon yang ada taman depan rumahnya bergerak hebat.

Tanpa Farah duga, kain keranda itu tersibak dengan cepat, seperti ada orang yang menarik dengan keras. Kini dengan jelas, ia bisa melihat sosok putih tengah berbaring di dalam keranda itu.

Farah tersentak, air matanya keluar tanpa ada suara isakan. Dia benar-benar ketakuan sampai tidak bis menggerakkan tubuhnya sama sekali.

Kemudian guntur kembali menggelegar, cahaya kilat menyinari sosok pocong yang masih terbaring di dalam keranda.

Hingga, dengan gerakan perlahan. Kepala pocong itu bergerak pelan menoleh ke arah dengan senyum yang mengerikan.

“Astaghfirulloh... Astaghfirulloh...” ucap Farah berulang kali. Saat mendapati apa yang dia lihat begitu mengerikan.

Sosok pocong itu, ternyata adalah dirinya sendiri. Dengan kapas yang masih menempel di mata dan lubang hidungnya.

“Yukk, ayuuu” panggil Farah sambil mengetuk pintu kamar dengan cepat dan keras.

Pintu terbuka, segera Farah menghambur ke dalam kamar. Ingin sekali dia mencari perlindungan dari temannya itu.

Belum sempat menceritakan apa yang ia lihat. Farah melihat Ayu berjalan memunggunginya dan segera duduk di kursi meja rias. Dengan gerakan pelan dia menyisir rambutnya yang panjang.

“Yu. Ayu” panggil Farah panik.

Farah tidak berani melangkah, dari tempatnya berdiri. Dia merasa ada yang aneh dengan kelakuan Ayu.

“Kenapa Far?” jawab Ayu datar.

Seketika Farah menghela napas. Dia kira tadi sosok Ayu adalah dedemit yang tadi berdiri di teras rumahnya. Namun, saat mendengar jawaban temannya itu, seketika Farah mengerang lega.

“Aku malam ini tidur di sini ya” ucap Farah masih dengan suara tertekan. Sesekali dia melihat ke arah pintu kamar. Dia tidak berani menceritakan apa yang barusan dia lihat, khawatir malah justru membuat sahabatnya itu menjadi ketakutan.

“Kenapa, Far?” tanya Ayu masih dengan posisi menyisir rambutnya menghadap ke arah cermin.

“Engga, engga apa-apa. Uda lama kan kita enggak tidur bareng. Terakhir pas sebelum aku menikah” kata Farah sebisa mungkin membuat nada bicaranya biasa.

Ayu terlihat mengangguk. Farah sebenarnya merasa aneh dengan kelakuan temannya itu. Selama mengenal Ayu, belum pernah dia melihat wanita itu menyisir rambutnya tengah malam seperti ini.

Awalnya Farah ingin menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Ayu. Namun karena rasa takut yang masih berkecamuk di dalam batinnya. Dia lebih memilih untuk diam dan membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Terdengar suara gerakan. Farah tahu itu Ayu. Kemudian derit kasur yang melesak di sisi lain. Temannya itu sedang naik ke atas tempat tidur.

“Yu, besok kamu tidur sini lagi ya. Sampai Angga pulang dari dinasnya” kata Farah dengan posisi memunggungi Ayu.

Tidak ada jawaban, justru sekarang Farah merasa ada sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya. Pelan, gerakan itu turun dan kembali naik menyentuh ujung kepalanya.

Kening Farah berkerut. Tumben Ayu membelai kepalanya. Merasa ada yang aneh, Farah berniat untuk membalikkan badannya.

Hingga saat melihat ke arah Ayu. Tubuh Farah kembali membatu. Tepat dihadapannya sosok wanita yang muncul di kolong tempat tidurnya beberapa malam lalu. Tengah tersenyum datar menatap ke arahnya.

“Iya, Far bukan cuma malam ini. Tapi sampai kapan pun aku tetap di tempat ini” katanya sambil tersenyum.

Tersadar, Farah menjerit sejadi-jadinya. Dia langsung beranjak dan berlari ke arah pintu. Tangisnya pecah. Entah kesalahan apa yang dia perbuat, sampai sosok setan itu selalu menghantuinya.

Berulang kali Farah mencoba membuka pintu kamar. Tapi pintu itu bergeming, dia tidak berani melihat ke belakang. Kini dia mendengar sosok itu terus tertawa cekikikan.

“Mas, Mas Angga. Tolongg” ucap Farah dalam keputuasaannya.

Ceklek, tiba-tiba saja pintu berhasil dibuka. Segera Farah menghambur ke luar. Namun, belum lagi dia bisa melangkah menuju kamarnya.

Tubuhnya kembali mematung, tepat di hadapannya. Di ruang tamu rumahnya, ada lima atau enam pocong tengah berdiri melihat ke arahnya.

Wajah mereka benar-benar buruk rupa. Dengan mata yang hampir keluar dan belatung yang bergerak-gerak di sekitar wajah yang sudah membusuk kehitaman.

Farah kembali menjerit. Tubuhnya merosot ke lantai. Tangannya ia taruh di wajahnya. Tidak menyangka kalau dia akan mengalami hal mengerikan seperti ini.

“Far, bangun. Hey Far bangun” kata Ayu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Farah dengan keras.

Farah tersentak, melihat sosok yang ada di depannya, dia langsung memejamkan mata dan menjerit keras sekali.

“Heh, sadar Far. Ini aku Ayu” ucap Ayu sambil menggoncangkan tubuh Farah sedikit lebih keras.

Farah yang mengenali suara Ayu, perlahan membuka matanya. Jelas sekarang dia melihat wajah Ayu tengah menggunakan masker berwarna putih.

“Gila kamu, ngapain pakai masker malam-malam” kata Farah jengkel.

“Kamu yang gila. Ngapain tengah malam teriak-teriak. Untung aku belum tidur” timpal Ayu tidak mau kalah.

“Mimpi buruk?” tanya Ayu saat Farah mencoba menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata.

Farah mengangguk, tanpa membuka mata. Dia merasakan pergerakan di depannya. Entah apa yang sedang dilakukan oleh Ayu.

“Minum dulu” kata Ayu.

Farah membuka mata, menerima gelas berisikan air putih dan segera meminumnya sampai habis. Tidak menyangka kalau mimpi barusan membuat badannya terasa begitu lemas.

“Mimpi hantu lagi?” tanya Farah saat setelah menerima gelas dari Farah.

Farah mengangguk, namun masih enggan untuk menceritakan detail mimpi yang barusan ia alami. “Ya sudah mending kamu tidur di kamar bareng aku aja” kata Ayu sambil beranjak.

Farah kembali mengangguk. “Loh mau kemana? katanya tidur bareng” kata Farah heran saat melihat Ayu justru melangkah mendekati pintu.

“Jangan di kamar mu. Tidur di kamar yang ku tempati aja” ucap Ayu.

Farah sedikit heran, memangnya kenapa kalau Ayu tidur di kamarnya. Toh saat ini Angga juga sedang tidak ada di rumah kan.

“Sudah ayo, jangan malah bengong. Buruan” kata Ayu dari depan pintu kamar. Bergegas Farah segera beranjak, mengikuti Ayu untuk pindah ke kamar tamu. Namun, saat hendak berjalan indra penciumannya menangkap sesuatu.

“Bunga Kantil” ucap Farah kebingungan.

***

“Hah, serius Far?” tanya Ayu yang ke empat kalinya.

Saat ini mereka berdua tengah berada di dapur. Ayu sedari tadi duduk di depan meja dengan secangkir kopi di hadapannya. Sedang Farah tengah berkutat di depan kompor sambil menceritakan mimpinya semalam.

“Sekali lagi ngomong serius, ku minyakin mukamu” kata Farah jengkel sambil mengacungkan spatulanya ke arah temannya itu.

Ayu nyengir tidak berdosa. Ia tidak menyangka kalau mimpi yang dilalui sabahatnya itu benar-benar extrem. Apalagi sudah beberapa kali Farah melihat sosok wanita itu.

“Aneh ya, Far” kata Ayu penasaran.

“Aneh kenapa?” tanya Farah saat dia sudah duduk di depan Ayu.

“Ya, Aneh. Siapa sebenarnya wanita itu. Kalau Cuma sekali mungkin memang itu bunga tidur. Tapi bukannya sebelumnya dia menampakkan wujudnya secara langsung, kan?” tanya Ayu.

Farah mengangguk. “Dan anehnya, setelah kejadian itu. Aku dan Angga berencana melakukan pengajian tapi justru selama beberapa hari, dia tidak menampakkan wujudnya” ucap Farah sedikit menyesal kenapa tidak menuruti omongan suaminya.

Belum sempat, Ayu menjawab ucapan Farah. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Sigap wanita itu langsung mengambil ponselnya dan berjalan menjauh dari Farah.

Farah tidak masalah, mungkin saja memang ada panggilan yang tidak harus di ketahui olehnya. Mengikuti teladan temannya, ia juga mengambil ponsel miliknya.

Terakhir kali dia berkomunikasi dengan Angga kemarin malam sebelum tidur. Ingin rasanya menghubungi suaminya, menceritakan mimpi yang ia lalui semalam. Tetapi Farah takut kalau nanti malah membuat Angga kepikiran dan tidak fokus dengan kerjaannya.

Setelah beberapa waktu diam dan memperhatikan layar ponselnya. Farah mendengar langkah kaki mendekat.

“Far, emm... kalau aku tinggal dulu gimana? Nanti aku tidur di sini lagi. Ada kerjaan yang mesti ku selesaikan” kata Ayu dengan wajah buru-buru.

Farah mengangguk, dia paham tidak mungkin menahan sahabatnya itu untuk terus berada di sisinya. Toh saat ini masih siang, jadi kemungkinan untuk bertemu dengan hal mistis juga kecil.

“Elah, santai kali Yu. Yaudah buruan, kasian nanti pekerjaan mu menunggu” kata Farah tersenyum.

Buru-buru Ayu berjalan ke kamar, mengambil tasnya. Farah yang melihat itu langsung berdiri dan berjalan ke arah depan rumahnya.

“Kalau ada apa-apa langsung kabari. Jangan sungkan” ucap Ayu saat berada di teras depan rumah.

“Iya, nanti ku kabari kalau memang ada yang penting” kata Farah.

Ayu tersenyum dan langsung melangkah menuju garasi. Namun, Farah kembali merasa ada yang aneh. Sepintas dia mencium aroma yang sangat dikenali.

“Bunga kantil?” ucap Farah lirih.

Tin... Farah tersadar dan langsung melambaikan tangannya ke arah Ayu. Sampai mobil temannya itu tidak terlihat baru dia kembali masuk ke dalam rumah.

“Hah” keluh Farah sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Farah terlihat memandang ke atas langit-langit. Kepalanya terasa begitu berat, memikirkan semua kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Apa yang sebenarnya sudah ia perbuat. Sampai mendapatkan gangguan gaib seperti ini.

Lama kelamaan Farah bosan sendiri. Segera ia menyambar ponsel miliknya. Namun, ia sedikit kecewa, Angga tidak memberinya kabar sama sekali.

Farah segera mencoba menghubungi suaminya. Nihil, beberapa kali dia melakukan panggilan dan mengirim pesan singkat. Angga juga tak kunjung menjawab.

Jengah, ia lemparkan ponsel miliknya sembarangan. “Bosaaannn” ucap Farah entah kepada siapa.

“Khi...khi...khi...”

Farah terkesiap, matanya langsung terbuka. Sejenak dia melihat ke sekitar kamar tidurnya. Jelas sekali dia mendengar ada suara wanita terkikik.

“Siapa” kata Farah lantang.

Tidak ada sahutan, semua terlihat tenang dan sunyi. Kemudian Farah beranjak, keluar kamar. Takut jika ada seseorang masuk ke dalam rumahnya.

“Aneh” kata Farah saat mendapati pintu rumah dan jendela dalam keadaan tertutup.

Farah menghela napas. Ia berpikir mungkin suara tadi hanya imajinasinya saja, dia tidak percaya kalau hantu bisa keluar di waktu siang hari.

Tidak mau memikirkan hal yang aneh-aneh. Farah segera berjalan kembali ke kamar. Berniat untuk tidur siang.
Lalu saat dia sudah di dalam kamar kamar, dan hendak menutup pintu. Seketika jantungnya terlonjak hebat.

Tepat di hadapannya, Farah melihat secara nyata. Ada sosok perempuan tengah duduk di pinggiran ranjangnya. Ia tidak berani mendekat.

Dari jarak beberapa meter ia melihat sosok wanita itu duduk dengan posisi badan memunggunginya. Kepalanya menunduk, dengan rambut basah menjuntai kebawah.

“S—siapa kamu?” ucap Farah sambil melirik ke arah jendela.

Benar saja, dia menduga wanita itu masuk ke kamarnya melalui jendela yang terbuka. Farah masih tidak percaya jika ada dedemit yang bisa menampakkan wujudnya di siang hari.

Wanita itu tidak menjawab, dia terus menunduk sambil bersenandung lirih. Farah yang mendengar itu, hanya bisa menelan ludah. Dia berusaha untuk membuka pintu kamarnya, berjaga-jaga jika sosok itu tiba-tiba saja menyerangnya.

“Siapa kamu?” tanya Farah sekali lagi.
Namun, tetap saja wanita itu tidak membalas. Justru malah suara senandungnya makin terdengar jelas di telinga Farah.

Bulu kuduk Farah berdiri kuat. Napasnya juga terlihat memburu, entah apa yang terjadi suasana kamar terasa begitu mencekam.

Tidak mau terjadi apa-apa dengannya. Farah berusaha untuk membuka pintu kamar. Tangannya sudah menyentuh hendel pintu.

Baru saja Farah mau menarik daun pintu kamarnya. Tiba-tiba sosok itu bergerak amat pelan. Farah yang melihat itu tiba-tiba terpaku, seolah sendi-sendi di tubuhnya macet seketika.

Kini dengan jelas, Farah bisa melihat wajah dari perempuan itu. Separoh mukanya tertutup rambut yang basah. Di area mata hanya berupa bulatan, dengan warna putih. Bibirnya panjang sampai ke ujung telinga. Sedang hidungnya terlihat rata.

Farah menjerit tanpa suara, dia terus mencoba untuk membuka pintu kamarnya. Dia sadar, tidak mungkin sosok wanita di depannya itu adalah manusia.

“Sumingkir opo mati” (Minggir apa mati) ucap wanita itu tanpa menggerakkan mulutnya.

Farah terjatuh, kakinya benar-benar terasa lemas. Jantungnya berdegup kencang sampai terdengar di telinganya sendiri.

Lama mereka saling menatap, tubuh Farah gemetar tidak terkendali. Air matanya tumpah tanpa ia sadari.

“Tuhan tolong” batin Farah ketakutan.

Jedaarrrrr

Terdengar suara guntur begitu keras, sampai membuat kaca jendela bergetar. Farah yang kaget langsung memejamkan matanya. Dan saat kembali melihat ke sisi tempat tidur. Sosok wanita itu sudah lenyap dari pandangan.

Tanpa berpikir dua kali, Farah langsung beranjak. Menyambar ponsel dan tas bepergiannya. Dia tahu, ada yang tidak beres dengan semua ini.

Setelah mengunci pintu rumahnya. Farah langsung berjalan keluar. Rintik hujan masih membasahi jalanan. Tanpa tahu harus kemana, langkah kakinya terus saja bergerak tanpa arah tujuan.

Hingga dia menemukan sebuah halte, di tempat itu Farah berhenti. Mencoba menenangkan pikirannya. Berulang kali dia berusaha menghubungi Angga, namun sama sekali tidak ada jawaban.

“Ckkk, kemana sih, Angga” kata Farah jengkel.

Udara semakin dingin. Rintik hujan juga tak kunjung reda. Farah sudah mulai menggigil kedinginan. Sedari tadi dia sedang mempertimbangkan. Pergi ke rumah ibunya atau menyusul Angga.

Jika Farah pergi ke rumah Ibunya. Pasti orang tua itu akan mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat jengah. Tapi kalau dia pergi menyusul Angga.

Takut sampai kota itu akan sampai larut malam. Sedang sampai saat ini suaminya juga tak kunjung membalas pesan dan panggilannya.

Hingga tanpa sadar, tempat dimana dia duduk mulai sepi. Hanya tersisa Farah dan satu orang perempuan yang sudah berumur.

Entah kenapa Farah sedikit risih dengan perempuan itu. Sedari tadi dia merasa selalu di perhatikan.

Awalnya Farah berpikir mungkin dia salah mengenakan pakaian atau ada sesuatu yang tidak wajar di tubuhnya. Namun, saat mengecek beberapa kali semua nampak normal.

“Nduk, kamu tidak apa-apa?” tanya wanita itu.

Farah menolehkan kepalanya ke sekitar, mencoba mencari orang lain di sekitarnya. “Saya, bu?” tanya Farah memastikan.

“Iya kamu” kata perempuan itu.

“Saya baik-baik saja, memang kenapa ya Bu?” tanya Farah pensaran.

“Oh, sedari tadi saya lihat kamu keliatan gelisah. Apa karena wanita yang mengikutimu itu?” tanya perempuan itu sambil menunjuk salah satu pohon yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

Farah langsung menolehkan kepalanya ke arah tempat dimana perempuan itu menunjuk. Namun, dia tidak mendapati seorang pun.

“Saya sendirian dari tadi Bu, memang ada orang yang memperhatikan saya” ucap Farah menelan ludah.

“Iya, makannya sedari tadi saya disini. Takut kalau orang itu berniat buruk sama kamu” ucap wanita itu.

Farah mengangguk, kembali menoleh ke arah pohon yang di maksud oleh perempuan di sebelahnya. Kini dia bisa melihat sosok wanita yang hadir di kamarnya tadi, tengah berdiri melihat ke arahnya.

“Nduk, lebih baik kamu pulang. Sebentar lagi sore. Apapun yang sedang terjadi di hidupmu sudah garis Tuhan. Jangan mudah terpengaruh dengan tipu daya mereka” ucap perempuan itu.

Farah kembali menoleh ke samping. Namun, betapa terkejudnya dia. Jantungnya kembali bedetak keras. Perempuan tadi sudah menghilang entah kemana. Kini hanya tersisa dirinya seorang di halte tersebut.

Panik, segera Farah mengambil ponselnya. Buru-buru memesan taksi online. Setidaknya jika dia berada di keramaian dia akan sedikit merasa tenang. Tujuannya kali ini adalah pusat perbelanjaan.

Sekitar 10 menit Farah menunggu dengan cemas. Pandangannya selalu melihat ke sekitar. Berharap ada orang yang datang.

Hingga satu mobil berhenti tepat di depan halte. Farah tahu itu taksi online yang dia pesan. “Farah?” tanya sopir laki-laki saat sudah membuka kaca mobil samping.

“Iya Mas” jawab Farah langsung menuju ke mobil.

Selama perjalanan Farah hanya terdiam, dia benar-benar tidak habis pikir dengan kejadian yang menimpanya. Apa dia mulai gila?

Terus saja Farah menatap ke arah luar jendela, melihat rintik hujan yang semakin deras. Hingga saat melewati sebuah tempat makan. Seketika dahinya berkerut.

Cepat-cepat Farah mengusap kaca jendela yang mengembun. Untuk memastikan kalau dia tidak salah lihat.

“Mas Angga?” tanya Farah saat sepintas mengenali mobil suaminya.

Buru-buru ia mengambil ponselnya dan segera membuat panggilan ke nomor suaminya. Beberapa kali Farah mencoba menghubungi Angga, Namun tidak ada jawaban. Hingga pada panggilan ke lima, baru Angga mengangkat panggilannya.

“Halo, Assalamualaikum” ucap Angga di seberang sana.

“Waalaikumsalam. Lagi sibuk?” tanya Farah.

“Barusan selesai meeting, kenapa Far?” tanya Angga.

“Kapan kamu pulang?” ucap Farah.

“Besok sore sudah sampai rumah, kamu kenapa?” kata Angga.

Farah terlihat menghela napas. “Kemarin...” kata Farah ingin bercerita kepada suaminya. Dia sudah tidak tahan mengalami ini sendirian. Akan tetapi ucapannya dipotong oleh Angga.

“Nanti aku telephone lagi ya” kata Angga.

Tap...

Panggilan mati. Farah menurunkan tangannya, melihat layar ponsel yang masih menampilkan nomor telephone suaminya.

Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak karuan. Awalnya dia berharap Angga bisa mendengarkan keluh kesahnya tapi memang sepertinya laki-laki itu sedang sibuk.

Sopir taksi online yang sedari mengemudi, sedikit merasa aneh dengan kelakuan penumpangnya. Dia sudah banyak sekali mengantarkan seseorang, sesekali ia melirik ke arah Farah yang sekarang terlihat menunduk lesu.

“Mbak” kata si driver.

“Ah, iya Pak?” tanya Farah sambil mengusap matanya yang memerah.

“Mau cokelat? Tadi kebetulan pas saya mau berangkat. Anak saya ngasih permen cokelat banyak banget” ucap Driver tersebut.

Farah terkekeh, dia menerima beberapa permen cokelat yang diberikan oleh sopir itu. “Bapak namanya Murdi?” tanya Farah.

“Iya Mbak, saya Murdi. Kadang kalau anak saya lagi sedih. Dia bisa ketawa lagi setelah makan permen cokelat” kata Pak Murdi.

Farah tersenyum, segera dia membuka bungkus permen itu dan langsung memakannya. Efeknya sungguh luar biasa, dia sendiri merasa heran. Apa yang terkandung di permen cokelat ini, sampai bisa memberikan ketenangan seperti ini?

“Terima kasih, Pak” kata Farah tersenyum tulus.

Pak Murdi terlihat mengangguk-angguk. Lantas selanjutnya mereka saling berbincang satu sama lain. Walau tidak membicarakan permasalahan Farah, tapi justru membicarakan kisah hidup Pak Murdi.

“Kadang kita tidak perlu mencintai seseorang seutuhnya, Mbak. Karena kita sendiri juga butuh cinta itu.-

Saat istri saya meninggal, seolah dunia runtuh. Sempat saya berpikir untuk menyusulnya, tapi saat melihat anak-anak. Saya tahu, dia hidup di dalam mereka” kata Pak Murdi tersenyum.

“Tapi bagaimana kalau kasusnya, emm istri bapak... maaf selingkuh dengan orang lain? Apa Bapak bisa menerima itu semua?” tanya Farah spontan ia teringat dengan berbagai isu sosial seputar perselingkuhan dalam rumah tangga.

“Yah. Itu semua kembali ke diri kita Mbak. Saya tidak bisa menjawab apa yang akan saya lakukan. Karena saya sendiri juga tidak pernah mengalaminya. Tapi yakin lah, kehilangan seseorang karena kematian itu berat” ucap Pak Murdi.

Farah termenung, meresapi kata-kata Pak Murdi. Sejenak kejengkelannya kepada Angga lenyap, ia mungkin juga akan merasakan hal yang sama. Saat ini dia begitu mencintai suaminya itu. Entah, jika suatu hari dia di tinggal mati olehnya. Apakah dia akan kuat menerima?

“Jauh lebih baik menjalani apa yang ada dengan sebaik-baiknya, Mbak. Percuma memikirkan apa yang belum terjadi” lanjut Pak Murdi saat melihat Farah kembali termenung.

Farah mengangguk, mengiyakan Pak Murdi. Bukan waktunya untuk memikirkan apakah Angga peduli dengannya atau tidak. Masalah yang menimpanya saat ini harus segera ia selesaikan.

***

Setelah mempertimbangkan semuanya, Farah memilih untuk pergi ke rumah ibunya. Untungnya Pak Murdi mau mengantarkan Farah meski tanpa biaya tambahan.

Tapi karena Farah sendiri merasa tidak enak, justru malah dia memberikan ongkos dua kali lipat kepada sopir taksi online tersebut.

Kini Farah sudah berdiri di depan rumah milik ibunya. Dia pandangi sekilas rumah dengan gaya minimalis tersebut.

“Assalamualaikum” salam Farah sambil mengetuk pintu depan.

“Waalaikumsalam. Farah?” ucap seorang perempuan paruh baya. “Masuk, kok tumben enggak kasih kabar" lanjut Bu Nur sambil meminta Farah untuk masuk ke dalam rumah.

“Hmm... Ya ndak apa-apa to nduk. Justru ibu malah seneng, pas kebetulan Kakakmu juga lagi pergi” kata Bu Nur menggiring Farah menuju meja makan.

“Mbak Ratih pergi kemana?” tanya Farah penasaran.

“Ke rumah mertuanya, paling dua hari lagi baru pulang” kata Bu Nur.

Farah mengangguk-anggukan kepalanya. Ingin rasanya menceritakan semua kejadian yang dilaluinya beberapa malam ini kepada Ibunya, tapi saat melihat wajah tua itu. Ia mengurungkan niatannya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close