Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 3) - Amarah


Amarah

“Far” sapa Bu Nur, saat melihat Farah tengah melamun di ruang makan. Dengan tangan menyangga kepala, seolah anak perempuannya itu sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Eh, iya kenapa Bu?” tanya Farah tidak sadar ternyata ibunya sudah duduk di sebelahnya.

“Ada masalah?” tanya Bu Nur lugas.

Farah menggeleng, dia masih enggan untuk menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Yang dia butuhkan saat ini adalah suaminya. Tapi sedari tadi Angga juga tak menghubunginya sama sekali.

“Ya sudah kalau tidak mau cerita. Ibu pengen jalan-jalan Far. Temenin ya?” tanya Bu Nur.

Farah kembali menoleh ke arah ibunya. “Jalan-jalan? Tumben Bu, biasanya kan paling males kalau di ajak pergi” kata Farah keheranan.

“Ya kan, sudah lama Ibu engga pergi berdua sama kamu. Sesekali engga apa-apa lah. Nanti Ibu yang bayarin wes” kata Bu Nur mencoba untuk membujuk Farah.

Farah tersenyum, “Ya, kalau itu engga boleh ditolak. Farah siap-siap dulu” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Sedang Bu Nur hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak perempuannya itu.

“Jadi mau pergi kemana, Nih?” tanya Farah.

“Terserah kamu Far. Mau makan boleh, belanja juga boleh” kata Bu Nur tanpa menoleh ke arah anaknya.

“Belanja aja ya Bu. Lama Farah engga belanja, Mas Angga lagi pelit” kata Farah.

“Ya mungkin lagi banyak kebutuhan to, nduk. Sekarang kan kamu juga sudah tidak kerja” timpal Bu Nur.

“Ya, tapi kan selama ini tabungan Farah juga dipakai untuk membantu keperluan rumah. Gaji Mas Angga juga engga kecil” kata Farah mencoba membela diri.

Memang benar pikirnya, akhir-akhir ini Angga jarang sekali mau di ajak belanja atau sekedar jalan-jalan. Selalu ada alasan untuk menolak, entah karena capai, banyak kerjaan dan sebagainya.

Hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kotanya.

Beberapa jam sudah mereka keluar masuk toko. Membeli barang atau sekedar melihat atau mencoba pakaian yang menurut mereka bagus.

Hingga, saat mereka berdua berjalan di koridor yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Pandangan Farah menangkap seseorang yang sangat familiar.

Jauh di depannya, ia melihat sosok yang mirip sekali dengan Angga. Namun, yang membuat hatinya tersentil. Laki-laki itu tengah menggandeng seorang wanita.

“Kenapa Far?” tanya Bu Nur heran saat melihat gelagat putrinya yang sedikit aneh.

Farah menggeleng, sekali lagi dia mencoba mencari keberadaan orang yang mirip dengan suaminya. Namun sosok laki-laki tersebut sudah hilang entah kemana.

Pikiran Farah beradu, batinnya mencoba untuk meyakinkan kalau semua yang dia lihat salah. Toh saat ini Angga sedang berada di luar kota. Dan dia yakin kalau suaminya itu punya komitmen yang tinggi dengan pernihakan mereka.

***

Malam kembali datang, kali ini Farah memutuskan untuk tidur di rumah orang tuanya. Bukan tanpa alasan. Dia takut jika kejadian serupa kembali menghantuinya lagi.

“Iya, aku nginep di rumah Ibu. Besok kamu sudah pulang kan?” ucap Farah kepada Angga melalui sambungan telephone.

“Iya, ini sudah siap-siap. Maaf ya beberapa hari ini aku sibuk. Jadi jarang ada waktu untuk kamu” ucap Angga di seberang sana.

Malam itu akhirnya Farah menceritakan semua kejadian yang ia lalui. Dari mulai mimpi yang ia alami sampai ada nenek-nenek yang berbicara aneh dengannya di halte.

“Kan aku sudah bilang Far. Lebih baik kita adakan pengajian, kamu itu engga pernah dengerin saranku” kata Angga sedikit jengkel.

“Ya, karena ku pikir semua sudah selesai, Mas. Aku juga tidak tahu kalau jadi seperti ini. Tiap kali kamu pergi, pasti ada sesuatu yang aneh” timpal Farah.

Terdengar helaan napas Angga. “Ya wes, malam ini kamu istirahat dulu. Besok setelah aku sampai di rumah baru kita bicarakan” kata Angga.

Farah mengiyakan, setelah sedikit melepas kangen dengan suaminya. Akhirnya dia menutup sambungan telephone tersebut.

Lama ia berbaring, menatap ke arah langit-langit kamarnya. Meskipun Angga sudah memintanya untuk tidur, tetapi otak Farah masih terus memikirkan semua kejadian yang dilaluinya.

“Apa memang aku harus ke orang pintar?” tanya Farah pada dirinya sendiri.

Tetapi semakin lama dia memikirkan hal tersebut. Justru malah semakin banyak penolakan dari hatinya.

Jengah, akhirnya Farah membalikkan badannya hingga posisi tengkurap. Berharap dengan begitu ia bisa segera mendapatkan kantuknya.

“Farah” terdengar suara dari arah pintu kamarnya.

“Iya Bu” ucap Farah sambil memutar badannya menghadap ke arah pintu.

Farah termenung. Ia tidak mendapati seorang pun ada disana. Hatinya kembali mencelos, “Aduh. Masa sampai di rumah ini juga masih diikuti” keluh Farah sambil terus memandang pintu.

“Farah” terdengar suara dari arah luar kamar.

Farah lega, segera ia bangkit dari kasur dan berjalan ke arah pintu. “Iya kenapa Bu?” kata Farah sambil membuka daun pintu.

Namun, ketika melihat keluar. Dia tidak mendapati seorangpun di sana. Khawatir jika terjadi sesuatu yang mengerikan lagi. Buru-buru Farah berjalan ke arah kamar Ibunya.

Tok...tok...tok...

“Bu, ibu” panggil Farah sambil mengetuk daun pintu.

“Kenapa Far?” kata Bu Nur sesaat setelah membuka pintu kamarnya.

“Farah malam ini tidur sama Ibu ya” ucap Farah langsung masuk ke dalam kamar.

Bu Nur yang keheranan hanya menutup pintu dan segera berjalan ke arah anaknya yang sudah berbaring.

“Tumben, ada apa?” tanya Bu Nur penasaran, selama ini Farah tidak pernah sekali pun meminta untuk tidur bareng dengannya.

“Engga, mumpung bisa tidur bareng ibu aja. Boleh kan?” kata Farah mencoba menormalkan nada suaranya.

“Beneran? Muka kamu pucet gitu, Far” tanya Bu Nur menelisik.

“Kecapean kali Bu, uda ah Farah mau tidur” kata Farah buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Bu Nur yang melihat itu merasa aneh. Seperti ada yang sedang di sembunyikan oleh Farah. Tetapi jika itu terkait rumah tangganya. Ia hanya berharap semoga semua baik-baik saja.

***

“Loh kenapa? kan sekalian jemput ke rumah Ibu bisa kan Mas?” ucap Farah sedikit jengkel. Saat ini dia tengah melakukan sambungan telephone dengan Angga.

“Aku capai Far, jarak rumah kita dan Ibu kan lumayan jauh. Apalagi jalan ke sana kan macet. Kamu naik taksi online aja ya” kata Angga diseberang sana.
Farah hanya menghembuskan napas kesal. Sejak kemarin selalu ada yang membuatnya merasa tidak enak hati.

“Ya sudah, Mas. Nanti biar aku naik taksi aja” ucap Farah yang langsung mematikan sambungan telephonenya.

“Kenapa mukanya ditekuk gitu?” tanya Bu Nur saat memasuki dapur rumah.

Farah menoleh ke belakang, mendapati Ibunya tengah membawa beberapa barang belanjaan di dalam tas kresek.

“Mas Angga tu. Suruh jemput kesini alasan capai lah. Macet lah, ini lah, itu lah” ucap Farah kesal.

“Ya maklum to Far, mungkin disana juga engga ada yang ngurusi dan kerjaan banyak. Nanti biar Ibu yang anter kamu” ucap Bu Nur sambil menaruh belanjaannya di atas meja.

“Engga Bu, repot nanti bolak balik. Nanti siang Farah pulang naik taksi aja” tolak Farah.

Bu Nur hanya mengangguk, percuma saja berdebat dengan anak perempuannya ini. Dia akan selalu melakukan apa yang dia inginkan.

“Ya sudah nanti kalau berubah pikiran, bilang sama Ibu” ucap Bu Nur.

***

Farah akhrinya pulang ke rumah menggunakan taksi online. Pukul 2 siang dia sudah sampai di depan rumahnya. Ia tidak langsung masuk ke dalam, sesaat ia memandangi rumahnya.

Entah kenapa kali ini Farah merasa enggan untuk masuk ke dalam. Rumah itu telihat sangat mengerikan, ditambah siang itu awan gelap sudah menggumpal. Membuat suasana nampak seperti hampir menjelang maghrib.

Farah melangkah, ia mulai membuka gerbang depan. Hingga saat sampai di teras, hatinya kembali mencelos. Kini dihadapannya, banyak sekali bunga kantil bertebaran di depan pintu.

Tertegun, Farah berusaha untuk menguatkan dirinya. Ia yakin kalau ini hasil kerjaan orang, tetapi untuk apa? Selama ini dia tidak pernah terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain. Apa semua ini untuk suaminya?

Segera Farah mengambil ponsel dan membuat video serta memfoto bunga kantil itu beberapa kali. Ia berniat untuk memberi tahu Angga nanti. Setidaknya dia punya bukti kalau ada yang sedang bermain-main dengan keluarganya.

Segera setelah itu Farah mengambil sapu yang ada di samping pintu garasi dan mulai membersihkan bunga kantil yang terlihat hampir menguning.

Tepat saat Farah sudah membuang bunga-bunga kantil itu. Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras, beruntungnnya, tidak lama kemudian sebuah mobil yang ia kenali masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

“Kenapa engga nunggu di dalam?” tanya Angga saat sudah di depan Farah.

“Barusan datang, Mas” kata Farah langsung sigap mengambil tangan kanan Angga dan langsung menciumnya.

“Owh, ya sudah ayo masuk. Dingin” ucap Angga yang langsung membuka pintu dengan kunci serep yang ia bawa.

Farah tertegun, dia merasa ada yang kurang. Selama ini Angga selalu mengucapkan salam saat datang mau pun pergi. Selain itu dia juga terbiasa mencium kening Farah, tetapi kali ini keduanya tak ia lakukan.

“Far, ayo” kata Angga karena melihat Farah yang hanya berdiri diam.

“Iya Mas” kata Farah langsung mengikuti suaminya.

Kali ini perasaan Farah sedikit tenang, meskipun bayangan kejadian itu masih menghantuinya. Tetapi dengan kehadiran Angga setidaknya ada yang melindunginya jika terjadi hal yang buruk.

“Kamu mandi dulu sana. Biar aku siapin makanan. Ini tadi dibawain makanan sama Ibu” ucap Farah sambil mengangkat rantang yang ada ditangannya.

Angga berjalan ke arah Farah, tiba-tiba ia langsung mendekapnya dengan erat. “Aku kangen Far” kata Angga.

“Ihh bau, mandi. Makan terus istirahat. Ada banyak yang ingin kuceritakan” kata Farah mencoba melepaskan pelukan suaminya.

Angga mendecakkan lidah, segera ia berjalan ke arah kamar mandi dan menutup pintunya dengan suara sedikit lebih keras.

Farah yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Tidak mau membuat masalah, ia langsung berjalan ke arah dapur dan mempersiapkan makanan untuk suaminya.

Hujan turun dengan lebat, sesekali suara gelegar guntur terdengar memekakkan telinga, membuat kaca jendela bergetar. Setelah mereka selesai makan, Angga langsung menarik Farah masuk ke dalam kamar.

“Jadi, Ayu kemarin tidur disini?” tanya Angga saat Farah kembali menceritakan apa yang sudah dilaluinya.

“Iya Mas, daripada aku sendirian. Untung dia baik mau nemenin aku” ucap Farah.

“Terus?” desak Angga saat Farah berhenti bercerita.

“Wanita itu muncul lagi, kali ini jauh lebih parah. Aku melihat ada keranda di depan rumah. Banyak pocong di ruang tamu juga. Bahkan sosok itu juga menyamar menjadi Ayu” ucap Farah bergidik.

Angga bergerak, dia langsung mendekap Farah erat. “Untung itu cuma mimpi, Far” kata Angga.

“Aneh Mas” kata Farah.

“Aneh kenapa?” tanya Angga.

Lantas Farah menceritakan kejadian, dimana saat Ayu pulang dan ada yang memanggil namanya. Hingga sosok perempuan tua di halte.

“Dan tadi sebelum aku masuk ke rumah. Di depan pintu ada banyak bunga kantil, Mas” ucap Farah.

“Bunga kantil? Kok aku engga liat” tanya Angga sangsi.

Buru-buru Farah melepaskan pelukan suaminya dan segera menyambar ponselnya di atas nakas. Segera ia mencari video dan foto yang sudah ia rekam untuk diperlihatkan kepada Angga.

Tapi berulang kali dia mencari, entah bagaimana terjadinya. Foto-foto dan video yang sudah dibuatnya lenyap tak berbekas.

“Far?” tanya Angga saat melihat Farah yang terus saja mengotak-atik ponselnya.

“Aneh, foto-foto dan videonya hilang semua” kata Farah ketakutan.

“Yakin kamu rekam semua itu?” tanya Angga tidak yakin dengan apa yang dilakukan istrinya.

Farah meletakkan ponsel miliknya sembarangan. Dia benar-benar bingung. Tidak mungkin filenya terhapus tiba-tiba.

Angga yang melihat ketakutan di mata Farah. Kembali merengkuh istrinya. “Sudah, jangan dipikirkan lagi. Besok kita adakan pengajian di rumah ini” ucap Angga mencoba menenangkan.

Farah mengangguk, kemudian membalas pelukan suaminya. Ia mencoba melepaskan semua beban pikiran yang selama ini menghantui pikirannya.

Lama mereka saling beradu. Seolah melepaskan rindu yang terhalang selama beberapa hari ini. Hingga saat Angga membuka kausnya.

“Ini kenapa, Mas?” tanya Farah saat melihat ada tanda merah yang cukup lebar di bagian bawah leher Angga.

“Hah... apa? Oh ini kayanya kena ulat bulu Far. Tadi aku garuk malah tambah merah seperti ini” kata Angga.

Farah sedikit mengerutkan dahinya. Ulat bulu? Tapi sepertinya kulit suaminya tidak bentol-bentol. Ia mencoba untuk meraba kulit Angga yang memerah. Namun, Angga kembali merengkuh Farah. Seolah ia tidak mau kalau bekas kemerahan itu di sentuh oleh istrinya.

Menyerah, akhirnya Farah membiarkan itu semua. Toh dia yakin kalau suaminya tidak akan melakukan sesuatu yang menyakiti dirinya.

Siang itu sepasang insan manusia kembali melepaskan rindu, diiringi dengan derasnya hujan dan suara gemuruh guntur yang saling bersahutan.

***

Hari sudah berganti, semalam Farah bisa tertidur dengan nyenyak di pelukan suaminya. Tidak ada gangguan sama sekali yang ia temui. Bahkan mimpi pun tidak.

“Aneh ya mas?” tanya Farah keheranan.

“Aneh kenapa?” timpal Angga.

“Kalau ada kamu, aku engga ada gangguan apapun. Bahkan semalam tidurku benar-benar nyenyak” kata Farah.

“Ah itu alasan kamu aja, dasarnya kamu kangen sama aku kan?” goda Angga sambil menaik turunkan alisnya.

“Ihhh... beneran, kalau kamu pergi selalu ada kejadian aneh” kata Farah merengut melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Ya, makannya sama suami mesti nurut. Dari kemarin aku sudah bilang kan. Far, mending kita lakukan pengajian di rumah ini. Jawaban kamu apa? Kita tunggu deh Mas, siapa tahu cuma setan lewat” kata Angga.

Farah mendengus, dia bukan tidak mau menuruti suaminya. Dia cuma tidak mau merepotkan banyak orang.

“Tuh bengong lagi kan. Uda yuk kita siap-siap setelah ini aku pergi ke rumah Pak RT, buat kasih tahu acara kita nanti” kata Angga beranjak.

Farah mengangguk, “Mas, boleh aku undang Ayu kesini? Biar bantu-bantu siapin makanan” pinta Farah.

Terlihat Angga diam mempertimbangkan. Sebenarnya mereka sudah sepakat hanya memanggil beberapa orang saja. Tapi terlihat wajah istrinya seperti ingin bertemu dengan sahabatnya itu.

“Ya boleh” kata Angga kembali melanjutkan berjalan ke arah dapur.

Farah terlihat sumringah, dia segera mengambil ponsel miliknya dan langsung menghubungi Ayu agar bisa membantunya untuk persiapan pengajian nanti.

***

“Sudah siap Mas?” tanya Farah.

“Sebentar, perut ku malah sakit” jawab Angga langsung berjalan ke arah kamar mandi.

“Haduh. Sudah siang ini, kita belum belanja buat nanti malam. Malah ada acara sakit perut” kata Farah sebal.

“Namanya sakit perut, kalau mau belanja sendiri ya sana” jawab Angga dari kamar mandi.

“Loh, ya sudah kalau engga mau nganter. Biar aku pergi sendiri” ucap Farah setengah teriak. Segera ia beranjak menyambar kunci mobil.

Memangnya dia tidak bisa pergi sendiri? Toh sebelum menikah dia juga terbiasa melakukan apapun sendirian. Bukannya yang memaksa untuk melakukan pengajian juga Angga? Aneh.

Dengan hati jengkel Farah segera keluar rumah, tanpa pamit kepada suaminya, ia langsung masuk ke dalam mobil dan pergi membeli keperluan untuk pengajian nanti.

Saat sudah melesat keluar, Farah menengok ke arah spion mobil. Dilihatnya Angga berdiri di depan rumah memandanginya dengan tatapan tidak percaya.
Berulang kali ponsel miliknya berdering. Tapi Farah tidak menggubrisnya. Ia tahu itu panggilan dari suaminya.

Sudah dua puluh panggilan lebih Farah menghitung. Ponsel itu terus berbunyi, membuatnya semakin jengkel.

“Halo” kata Farah singkat.

“Kamu kenapa sih?” tanya Angga ketus.

“Loh, bukannya kamu yang minta aku pergi sendiri? Ya sudah kan” jawab Farah.

Terdengar helaan napas di seberang sana. “Kamu itu kebiasaan, Far. Memangnya menunggu sebentar tidak bisa? Sedari tadi juga ku telephone tidak diangkat. Apa sih maumu?” kata Angga mulai menaikkan nada bicaranya.

Tap...

Tanpa menjawab suaminya, Farah mematikan panggilan tersebut. Biarlah Angga marah, biar dia tahu kalau istrinya bisa melakukan apapun tanpa bantuannya.

Kembali ponsel miliknya berdering, Farah sudah mau mengambil dan mematikannya. Namun, saat melihat ke layar ponselnya. ternyata itu adalah panggilan milik Ayu.

“Halo” kata Farah sambil memperhatikan jalanan.

“Ini aku uda mau sampai di rumah mu Far” kata Ayu.

“Langsung ke rumah aja Yu. Ada Angga, aku lagi beli keperluan buat nanti” ucap Farah.

“Loh, engga enak dong. Aku tunggu kamu aja ya” ucap Ayu.

“Ya tunggu di rumah aja. Sudah dulu ya Yu” kata Farah langsung mematikan panggilannya.

Kembali Farah fokus mengemudi, jalanan nampak tak begitu ramai. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan untuk pergi keluar rumah.

Beberapa jam sudah Farah pergi. Setelah perdebatan kecil dengan suaminya. Angga sama sekali tidak menghubungi Farah. Mungkin laki-laki itu masih marah dengannya.

Dari kejauhan Farah melihat mobil milik Ayu terparkir di depan rumahnya. Berarti sahabatnya sudah sampai dan memang menunggu di rumah.

Sesampainya di rumah, Farah langsung memarkirkan mobilnya di belakang mobil Ayu. Hujan begitu deras membuat dirinya enggan jika harus keluar masuk mobil hanya untuk sekedar membuka pintu gerbang.

Farah berlari-lari kecil, hampir saja dia terpeleset saat pijakannya di tangga teras tidak pas. Membuat tubuhnya sedikit oleng. Tetapi untungnya dia masih sempat bertumpu pada tiang yang ada di sampingnya.

Segera dia membuka pintu rumah. Farah sedikit heran, kenapa rumahnya terlihat begitu sepi. Dia terus melangkah ke dalam.

Sama saja, di ruang tengah juga Farah tidak mendapati siapapun. Hatinya merasa ada yang aneh. Apa Angga sedang pergi keluar rumah?

Hingga saat Farah masuk ke dapur, jantungnya seolah berhenti berdetak. Barang belanjaannya jatuh berserakan di sisi tubuhnya. Tubuh Farah mematung, dia tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Mas” kata Farah hampa.

Kedua orang di depan Farah yang sedang bergulat seru, saling melepaskan diri. Angga sigap menoleh ke arah istrinya yang masih diam mematung di ambang pintu.

“F—farah” ucapnya parau.

Sedang Ayu yang ada di depan Angga langsung membenarkan bajunya yang sudah separo terbuka.

“Far” ucap Ayu kaget.

“Hah” hanya itu yang bisa diucapkan oleh Farah.

Seketika pandangannya menjadi kabur. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Angga dan sahabatnya bisa menusuknya seperti ini.

Ingatan demi ingatan muncul di benak Farah. Ayu Seilla Maharani. Mobil yang terparkir tidak jauh dari halte dimana dia bertemu dengan nenek misterius itu. Sosok laki-laki yang ia lihat mirip dengan Angga saat pergi dengan Ibunya.

“Far” ucap Angga mencoba melangkah mendekati Farah.

Farah mundur, dia menggelengkan kepalanya. Hatinya benar-benar terasa sesak. Berulang kali ia meremas-remas tangannya yang dingin.

“Sudah berapa lama?” tanya Farah saat mendapatkan suaranya kembali.

“Far, tolong dengerin dulu” kata Angga.

Farah menggeleng, “SUDAH BERAPA LAMA, MAS?” jerit Farah tidak terkendali.

Angga diam mematung, Farah menoleh kepada Ayu. “Kamu, sudah berapa lama melakukan ini sama dia?” tanya Farah tajam.

“Far, a—aku” jawab Ayu gagap.

“Jawab” teriak Farah kencang. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kedua orang yang ada dihadapannya. Selama ini dia percaya dengan mereka, tapi ternyata orang yang selama ini ia anggap sebagai saudara sudah menusuknya dari belakang.

Ayu diam, kepalanya menunduk. Jengkel dengan kediaman sahabatnya itu. Farah berjalan kearah Ayu. Sigap dia langsung menarik paksa kepala Ayu dengan menjambak rambutnya.

“Faarrr... sakit.” Erang Ayu saat Farah menariknya untuk keluar rumah.

Angga yang melihat itu awalnya diam, tidak menyangka kalau Farah yang selama ini lemah lembut bisa menjadi beringas seperti itu.

“Farr” ucap Angga mencoba melepaskan tarikan Farah pada rambut Ayu.

Farah tidak menggubris suaminya, dia tetap menarik Ayu sampai ke ruang tengah. Hingga tiba-tiba saja tarikan kuat ia rasakan di lengannya dan melemparnya ke samping.

Farah terjatuh ke lantai, di depannya Angga berdiri satu tangannya ada di pundak Ayu. Ia mengerjap beberapa kali.

Matanya tanpa sadar berlinang air mata. Tidak menyangka, suaminya sendiri justru malah membela orang yang sudah merusak rumah tangganya.

“Far” kata Angga mendekati Farah. Namun, tangannya di tahan oleh Ayu.

Farah tidak mengerti, kenapa suaminya itu menuruti perempuan itu. karena saat ini Angga kembali berdiri disebelah Ayu.

Pelan Farah bangkit, matanya memandang lurus ke arah Angga. Jelas ia melihat sorot mata suaminya begitu kosong. Seolah tidak ada kehidupan di sana.

Farah yang masih merasa marah, kini menatap ke arah Ayu. Wanita itu juga menatap ke arah Farah. Tetapi pandangannya seperti menantang. Bahkan ia menampilkan seringai kecil di bibirnya.

Melihat seringai yang muncul di bibir wanita jalang itu. Amarah Farah kembali memuncak, dia berusaha untuk menerjang Ayu.

Tetapi Angga menghalanginya. “Lepas, brengsek” umpat Farah meronta agar bisa lepas dari cengkraman Angga.

“Pergi” kata Angga datar.

Farah berhenti meronta, menoleh ke arah Angga, jantungnya berdetak kuat. Ia masih mencoba memahami apa yang diucapkan oleh suaminya itu.

“Apa mas?” tanya Farah.

“Pergi” sekali lagi Angga mengucapkan kalimat itu.

Deg....

Jantung Farah seketika berhenti, dadanya terasa sesak. Hatinya hancur seketika, saat mendengar ucapan suaminya itu.

“K—kamu” ucap Farah tidak jelas.

“PERGI!!!” teriak Angga keras mengalahkan deru hujan yang semakin kencang.

Farah mematung, dengan air mata yang sudah tumpah di pipinya, sekali lagi ia melihat ke arah kedua orang itu bergantian. Hatinya terasa sakit, ribuan jarum sudah mereka tancapkan.

Tanpa sepatah kata pun, Farah langsung pergi dari rumah itu. Meninggalkan dua orang hina yang sudah ia anggap sebagai tempat untuk pulang.

Kakinya lunglai berjalan menembus derasnya hujan. Tidak peduli dengan pandangan heran orang-orang yang melewatinya.

Farah tidak tahu harus kemana. Hatinya benar-benar sakit dengan perlakuan suami dan sahabatnya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, ia masih tidak percaya kalau mereka mampu membuat drama seperti ini.

Hingga tanpa sadar Farah sudah berada di halte tempat dirinya duduk kemarin. Untunya tempat itu sepi, hanya ada dia seorang.

Tanpa bisa menahan labih lama, Farah menangis sejadi jadinya. Pikirannya kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mungkin pulang ke rumah Ibunya.

Sreeekkk...

Terdengar sebuah gerakan di samping Farah. Ia segera mengusap air matanya. Tidak nyaman jika ada seseorang yang tidak ia kenal melihatnya seperti ini.

Farah menoleh ke arah samping kanannya. Awalnya dia hanya ingin melihat, siapa yang duduk di sebelahnya. Takut jika itu adalah Angga yang sengaja mengejarnya.

Namun, seketika batinnya terlonjak. Tubuhnya tanpa sadar bergerak menjauhi sosok asing itu. Farah yang sedang dalam kondisi tidak karuan, hanya bisa menatap sosok wanita yang sering hadir di hidupnya beberapa hari terakhir.

Kini ia bisa melihat dengan jelas. Wanita itu menggunakan baju berwana merah gelap selutut. Rambutnya basah menjuntai menutupi saparoh wajahnya. Kulitnya kering pucat, seolah tidak memiliki darah sama sekali.

“Sakit nduk?” tanya wanita itu dengan posisi menunduk.

Farah menelan ludahnya, apa maksud dari sosok itu. “S—siapa kamu?” tanya Farah gagap.

Wanita itu menolehkan kepalanya ke arah Farah dengan perlahan. Aroma bunga kantil menguar kuat dari tubuhnya.

“Bales nduk, bales loro atimu. Wadon kae sek gawe sak kabehane. Bales nduk... BALES” (Balas nduk, balas sakit hatimu. Perempuan itu yang membuat semuanya. Balas nduk... BALAS) kata wanita itu kencang berbarengan dengan suara guntur yang menggelegar.

Farah menutup matanya dan telinganya. Dia merasa takut dengan sosok yang ada dihadapannya. Kali ini perasaannya tidak bisa lagi digambarkan. Seolah semua semua rasa bercampur menjadi satu.

Beberapa saat kemudian, Farah membuka mata. Dia begitu heran, karena wanita itu sudah tidak ada di depannya. Seketika ia mengedarkan pandangan, mencari-cari perempuan itu.

Tetapi nihil, ia tidak menemukan keberadaan sosok itu. Seolah dia pergi terbawa oleh angin dan air hujan.
Farah masih termenung, menatap kosong hujan yang ada di hadapannya. Pikiran-pikiran buruk menghantuinya.

“Balas, Far. Mereka sudah menghianatimu” terdengar jelas seseorang berkata di kepala Farah.

Seketika bayangan kedua orang brengsek itu muncul di kepalanya. Lambat laun perasaan sedihnya berganti dengan amarah dan dendam.

“Tapi bagaimana? Bagaimana cara membalaskan mereka” pikir Farah, kepalanya terasa berat. Dia tidak ingin mereka langsung merasakan kematian. Setidaknya mereka harus merasakan sakit yang ia rasakan.

“Wiryo” bisik suara yang sama.

Farah terkesiap, muncul bayangan lain. Seorang laki-laki, Orang yang dipandang rendah oleh keluarganya.

“Pakdhe Wiryo” kata Farah datar.

Ada naluri untuk tidak melakukan niatannya. Tapi rasa sakit yang Farah rasakan begitu kuat. Beberapa kali ia menggelengkan kepala dan mengusap air matanya.

“Kalau itu mau kalian, aku akan turuti semua” kata Farah dengan pandangan kesumat.

***

Seharian Farah berada di bus yang mengantarkannya ke rumah saudara kandung Ayahnya. Untungnya dia masih membawa dompet dan handphone. Jika tidak mungkin dia akan kebingungan untuk pergi ke tempat Padhenya itu.

5 jam sudah Farah berada di dalam Bus. Bermodal ingatannya, dia pergi ke Desa Gowong, tempat dimana dulu Ayahnya dilahirkan.

Farah mengedarkan pandangannya. Suasana terminal begitu sepi. Bahkan saat dia mencoba memesan ojek online tidak ada yang mau menerima.

Hingga dia melihat sebuah warung Angkringan kecil yang masih buka di ujung terminal. Segera ia melangkah menuju tempat itu. Dia sudah tidak punya rasa takut. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana cara untuk membalas mereka berdua.

Sesampainya di depan angkringan berbentuk tenda. Farah langsung masuk lewat samping. Di lihatnya tempat itu juga sepi, hanya ada 4 orang. 3 laki-laki dan satu perempuan.

“Kopi satu Pak” ucap Farah sambil duduk di bangku panjang di depan gerobak angkringan.

“Kopi hitam? Pakai gula?” tanya penjual.

“Tanpa gula Pak, kalau ada di ganti susu” kata Farah menimpali.Penjual itu mengangguk dan langsung membuatkan pesanan Farah.

Sadar sedari tadi ia tidak melihat ponselnya, Farah buru-buru mengecek, benar saja. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Angga. Melihat itu, ia hanya menyeringai.

“Kopi hitam tanpa gula, diganti susu kalau ada” ucap Bapak penjual membuat Farah sedikit terkekeh.

“Matur nuwun Pak” (Terima kasih Pak) kata Farah.

“Temannya engga diajak masuk Mbak, dingin lo” kata penjual tersebut sambil menoleh ke arah luar.

“Teman?” kata Farah heran.

“Iya itu Mbak-mbak yang pakai baju merah selutut. Rambutnya digera. Itu temannya kan? Dari jauh saya liat, tadi jalan barenag sama Mbaknya hehe” ucap penjual itu sambil tertawa garing.

Deg... Farah seketika merinding. Wanita mengenakan baju berwarna merah selutut dengan rambut tergerai? Bukannya itu ciri-ciri perempuan misterius yang selalu menampakkan diri kepadanya.

“Oh biarin saja Pak, lagi cari ojek” kata Farah.

“Lo, mbaknya ini mau kemana? jam segini ojek sudah jarang” kata penjual tersebut.

“Saya mau ke tempat Pakdhe saya. Di Desa Gowong. Tadi di jalan sempat ada kendala, jadi sampai sini malah kemaleman” kata Farah berbohong.

“Walah. Mana perempuan lagi. Sek coba saya tanyakan Mbak Warti. Siapa tahu dia bisa membantu” ucap penjual itu lantas berjalan ke arah wanita yang sedang duduk agak jauh dari tempatnya duduk.

Farah melihat penjual itu bercakap dengan wanita yang ia kira adalah Mbak Warti. Setelah beberapa saat, penjual itu kembali bersama wanita tersebut.

“Mau ke desa Gowong Mbak?” tanya Mbak Warti.

“Iya, mbak memang sudah tidak ada ojek atau tumpangan ya?” timpal Farah.

“Memang berapa orang?” tanya Warti.

“Cuma saya, mbak” jawab Farah.

“Loh, temannya engga diajak?” tanya si penjual yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka.

“Oh dia harus pergi dulu ke tempat lain. Mungkin besok baru nyusul ke sana” kata Farah berbohong.

“Bisa saya bantu, tapi harganya dua kali lipat” kata Mbak Warti lugas.

Farah tidak ambil pusing dengan itu semua. Toh saat ini tabungannya jauh lebih cukup. Kalau hanya sekedar menyewa ojek, bahkan lima kali lipatpun dia masih sanggup untuk membayar.

Setelah sepakat dengan harga yang ditentukan. Farah mengikuti Mbak Warti, tak lupa sebelumnya membayar pesanannya terlebih dahulu.

“Saya tahu kamu orang baik, wanita yang dibilang Mas Par tadi dedemit to?” tanya Mbak Warti sambil berjalan menuju parkiran motor.

Farah tersentil, bagaimana wanita ini tahu kalau wanita yang di maksud penjual tadi adalah sosok tak kasat mata.

“Saya cuma kasian sama kamu. Dari pada dibonceng mereka” sambil menganggukkan dagunya ke arah laki-laki yang sedang memandangnya dari kejauhan. “Malah bisa diperkosa, mereka preman di tempat ini” lanjut Mbak Warti.

Deg... Perasaan Farah tiba-tiba saja tidak nyaman. Sejenak dia berpikir kalau Mbak Warti juga punya niat buruk kepadanya.

“Tenang, aku tidak akan melukaimu. Aku antar sampai tujuan dengan selamat” kata Mbak Warti.

Farah menghela napas, mencoba menguatkan batinnya. Dia harus berani, seketika bayangan Angga dan Ayu kembali muncul di pikirannya. Amarahnya mulai bangkit lagi.

“Ayo” kata Mbak Warti yang sudah duduk di motor maticnya. Farah mengangguk dan langsung naik di jok belakang.

Sepanjang perjalanan, Farah hanya diam. Dia terus saja memikirkan nasibnya yang begitu sial. Bahkan angin dingin pun sampai tidak terasa menyentuh kulitnya. Padahal sedari tadi Mbak Warti mengendarai motornya cukup kencang.

“Perempuan seperti itu memang harus dibalas dengan setimpal” kata Mbak Warti sedikit keras.

“M—maksudnya?” tanya Farah gagap.

Warti tidak menjawab. Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan oleh wanita itu. Kini dia malah justru membelokkan motornya ke angkringan lain di pinggir jalan.

“Kenapa Mbak?” tanya Farah penasaran. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kalau harus sampai di Desa Gowong terlalu malam, dia juga bingung bagaimana cara mencari rumah Pakdhenya.

“Sudah, disini dulu. Sebentar lagi di depan sana ada kecelakan. Dedemit di pinggir jalan itu sedang mencari tumbal. Dari pada kita yang mati mending duduk di sini sejenak” kata Mbak Warni.

Mau tidak mau Farah mengikuti wanita itu. Dia masih tidak percaya dengan ucapan Mbak Warni. Kali ini dia harus waspada. Siapa tahu memang wanita itu punya niatan buruk.

“Kopi satu, kamu pesan sendiri” ucapnya sambil berjalan keluar dan duduk tidak jauh dari tenda Angkringan.

“Teh hangat satu Pak. tanpa gula” kata Farah dan segera menyusul Mbak Warti.

Lama mereka terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Setelah pesanan mereka datang Farah langsung mengambil minumannya.

“Ke Gowong mau ke tempat siapa?” tanya Warti sambil menyalakan rokoknya.

Sejenak Farah mempertimbangkan, apakah layak memberitahu orang asing seperti Mbak Warti. Namun, setelah mempertimbangkan semua kemungkinan...

“Pak Wiryo” kata Farah singkat.

“Ada urusan apa kamu sama Bapak?” tanya Warti keheranan.

“Bapak? Kamu kenal sama Pak Wiryo?” timpal Farah.

“Ckkk, jawab dulu pertanyaan ku. Tidak sopan menjawab pertanyaan orang dengan pertanyaan lain” ucap Warti sambil menghembuskan asap rokoknya.

Sebenarnya Farah jengkel dengan sikap wanita itu. Tapi jauh lebih baik untuk membuatnya nyaman, daripada dirinya kenapa-kenapa nantinya.

“Dia pakdhe saya. Kakak dari Ayah saya” ucap Farah tanpa memandang Warti.

“Pakdhe? Siapa nama kamu?” tanya Warti, kali ini dia memandang ke arah Farah.

“Farah” kata Farah singkat.

“Farah? Farah anaknya Pak Narto?” tanya Warti memastikan.

Farah menoleh ke arah Warti. Bagaimana dia bisa tahu nama Ayahnya, apa mungkin dia dulu tetangga Ayahnya di Desa Gowong?

“Iya saya anaknya Pak Narto. Kamu kenal Ayah saya?” tanya Farah.

“Hahaha... Goblok goblok. Dunia itu memang aneh. Ada banyak orang yang mungkin bisa membantumu ke Desa Gowong. Tetapi kenapa aku yang harus mengantarkanmu” kata Warti terkekeh.

Farah mengerutkan dahinya. Tidak paham dengan maksud ucapan wanita itu.

“Wes sebentar lagi aku antar, engga usah bayar sama sodara sendiri” ucap Warti.

“Saudara?” tanya Farah kebingungan.

“Ckkk, saya anaknya Pak Wiryo. Pakdhemu itu. Kamu lupa sama aku to. Dulu kamu masih bayi waktu keluargamu itu pulang kampung” kata Warti.

Farah mengingat-ingat, sebuah kenangan muncul. Warti anak terakhir pakdhenya yang dulu hitam kumal dan suka sekali memakai pakaian bola.

“Warti? Yang dulu suka pakai pakaian bola?” tanya Farah ragu.

“Hahaha. Nah itu kamu ingat. Wes Ayo pulang sudah malam. Kita ngobrol di rumah saja” kata Warti berdiri.

Farah mengangguk. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu saudaranya itu. Puluhan tahun tidak bertemu membuat mereka tidak saling mengenali satu sama lain.

Braaaaaaakkkk...

Terdengar dentuman keras tidak jauh dari tempat Farah berdiri. Sontak dia memalingkan kepalanya ke arah samping kanan.

Benar saja seperti ucapan Warti. Ada sebuah kecelakan di depan sana. Seketika jantung Farah berdebar kuat. Tidak menyangka kalau ucapan saudara jauhnya itu menjadi kenyataan.

“Sudah, itu bukan kecelakaan biasa. Memang ada orang yang memasang tumbal di tempat itu. Kita pulang sekarang” kata Warti sambil menepuk bahu Farah.

Farah hanya menggangguk, dia masih shock dengan apa yang ia lihat. “Pakai helm sama jaket. Kasian sedari tadi kulihat tubuhmu gemetar kedinginan” kata Warti menyerahkan helm dan jaketnya.

Farah sempat menolak, tapi Warti mengancam mau meninggalkannya sendirian kalau tidak mengikuti ucapannya. Mau tidak mau Farah memakai helm dan jaket milik wanita itu.

Dua puluh menit mereka berkendara. Jalanan semakin sepi. Sempat Farah berfikir, bagaimana bisa Warti berani keluar malam-malam seperti ini.

Hingga, dia melihat sebuah gapura kayu bertuliskan Desa Gowong. Suasana desa itu benar-benar sudah sepi. Padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan malam.

“Biasa disini, setelah azan isya pasti warga sudah masuk ke dalam rumah. Kecuali bapak-bapak yang sedang ronda” kata Warti seperti mengerti apa yang sedang Farah pikirkan.

“Masih jauh rumah Pakdhe?” tanya Farah tidak menjawab ucapan Warti.

“Itu di depan” jawab Warti.

Benar saja. Setelah menjawab, Warti langsung membelokkan motornya masuk ke pekarangan rumah yang cukup besar. Bahkan mungkin jauh lebih besar dari rumah yang ada di samping kanan kirinya.

“Ayo masuk” kata Warti saat melihat Farah masih terdiam memandangi rumahnya.

Farah tersentak, dia langsung mengikuti Warti yang sudah hampir sampai di teras rumah.

Tok...tokk..tokk...

“Pak, Pak...” kata Warti sambil mengetuk pintu rumah sedikit kencang.

Beberapa saat kemudian terdengar kunci diputar dan daun pintu yang terbuka. Nampak sekarang seorang pria paruh baya tengah berdiri.

Farah tersenyum lega. Dia ingat dengan Pakdhe Wiryo, ia tidak berubah sama sekali. Dari wajah hingga tinggi badan. Mungkin hanya keriput dan uban yang membuat perbedaan dari laki-laki itu.

“Wooo bocah gendeng, dari mana kamu?” tanya Pakdhe kesal saat melihat anak perempuannya pulang larut malam.

“Ckk, apa to Pak, malu sama Farah” kata Warti sambil menunjuk ke arah Farah yang masih diam berdiri di teras.

“Farah? Farah siapa?” tanya Pakdhe bingung sambil menatap ke Farah.

“Farah ponakanmu to Pak. Sudah tua wajar kalau pikun” ucap Warti.

Pakdhe Wiryo diam, tidak menanggapi ucapan anaknya. Dia terus memandang ke arah Farah.
“Farah anaknya Narto?” tanya Pakdhe sambil memajukan kepalanya agar bisa melihat Farah lebih jelas.

Farah mengangguk, “Iya Pakdhe. Saya Farah anaknya Pak Narto” ucap Farah.

“Walah. Kok iso. Yowes ayo mlebu-mlebu” (Walah, kok bisa. Ya sudah ayo masuk-masuk) ucap Pakdhe sambil membuka pintu lebih lebar.

Warti mengangguk ke arah Farah, memintanya untuk masuk ke dalam rumah. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah ruang tamu yang penuh dengan benda-benda aneh. Seperti lukisan wanita cantik, keris yang dipajang di beberapa tempat.

“Duduk Far. Kamu sama siapa?” tanya Pakdhe sambil duduk di kursi rotan tua.

“Sendiri Pakdhe” kata Farah masih canggung.

“Warti buatin minum sana, kok malah diam” kata Pakdhe saat mendapati anaknya malah diam di samping Farah. Tanpa menjawab, Warti langsung masuk ke dalam rumah.

“Bapakmu gimana? Sehat?” tanya Pakdhe tersenyum hangat.

“Ayah sudah meninggal tiga tahun lalu Pakdhe” kata Farah tidak nyaman. Keluarganya sama sekali tidak mengabari kepulangan Ayahnya kepada Pakdhe Wiryo.

“Ealah, kok ya ndak ada yang kasih tahu. Ckkk” kata Pakdhe Wirno, nampak sekali kekecewaan di raut wajahnya yang sudah menua.

“Maaf Pakdhe” kata Farah menunduk.

“Sudah-sudah. Aku tahu keluarga ibumu seperti apa. Jangan diambil hati. Kamu menginap to? Biar nanti Warti siapkan kamar” kata Pakdhe Wiryo.

Farah mengiyakan. Dia bersyukur tidak langsung ditanyai tujuannya datang ke tempat ini. Badannya benar-benar sudah terasa sakit sekali. Ingin dia segera mandi dan berbaring di kasur yang empuk.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close