Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUTAN ANGKER DI LAMPUNG (Part 7 AND)


HIJRAH
JEJAKMISTERI - Setelah semua berkumpul, aku mulai menceritakan semua kejadian yang menimpaku, bahkan soal sosok Miswan palsu yang waktu itu bersamaku saat berada di mata air. Mereka semua kaget, terkecuali Bu Yuni.

“Ibu sudah menduga Di, soalnya anakmu ini ketempelan lebih dari satu makhluk” kata Bu Yuni

“Kenapa harus saya terus ya Bu Yuni yang mendapat pengalaman seperti ini?” tanyaku

“Saya juga tidak tau Di”

“Begini saja Di, kakak-kakakmu semua kan sudah merantau ke Jakarta. Lagipula apa yang mau harapkan jika tinggal didesa ini? Kasihan masa depan anakmu. Apa tidak lebih baik kamu merantau saja mengikuti saudaramu yang lain?” Kata Ayah menimpali

Kata-kata ayah membuat jantungku seakan berhenti sesaat. Banyak pertimbangan yang mesti aku fikirkan saat itu. Selain kebunku, aku juga sangat mengkhawatirkan Ayah dan Ibuku. Walaupun saat itu ada adikku yang berusia sekitar empat belas tahunan yang tinggal dengan orang tuaku.

“Nanti deh Yah, aku coba fikirikan dulu.” Kataku

Pelahan tangisan anakku mulai reda, dan Bu Yuni keluar sambil menggendong anakku.

“Alhamdulillah…”

Anaku kini telah kembali normal, dan kini dia tertidur pulas di gendongan Bu Yuni. Ibuku lalu pergi kedapur bersama istriku dan membawakan dua gelas kopi untukku dan Ayah, juga segelas teh manis hangat untuk Bu Yuni.

Akupun menyalahkan sebatang rokok sebagai pendamping minum kopi, aku membawa kopi tadi ke teras rumah Ayah, lalu Ayah mengikutiku sambil membawa gelas kopinya.

Kami berdua duduk di teras rumah. Pagi ini begitu dingin sekali, aroma khas tanah yang terguyur hujan tadi masih tercium olehku. Sesekali kulihat ayah menghisap rokoknya dalam-dalam. Seperti ada beban di fikirannya yang tertahan disana, jauh didalam hatinya. Aku coba memberanikan diri berbicara soal ucapan ayah tadi.

“Mengenai rencana untuk pergi dari desa ini memang sudah lama aku fikirkan Yah. Tapi aku ragu meninggalkan ayah dan Ibu” kataku

“Kami disini bisa jaga diri Di, Ada adik kamu juga kan yang menjaga kami. Kamu sudah berkeluarga, sudah sepantasnya kamu memikirkan masa depan rumah tanggamu” kata Ayah

“Soal kebun bagaimana Yah?” tanyaku

“Nanti Ayah cari yang mau mengurus kebunmu. Bayarannya bagi dua saja dari hasil kebun. Gampang itu Di” kata ayahku yang terus meyakinkan diriku

“Aku sih ada rencana ke Bekasi yah, karena kan ada paman juga disana. Tapi aku agak bingung untuk awal-awal aku disana Yah”

“Nah iya, kamu ingat waktu pamanmu kesini? Dia bicara sama Ayah, disana dia dagang bakso. Mungkin kamu bisa ikut-ikut dia dulu untuk sementara”

“Apa tidak merepotkan Yah? Setidaknya kan aku harus ngontrak dulu, dan belum tentu juga paman ada uang” kataku agak sedikit ragu

“Soal itu kamu tidak perlu khawatir, ayah ada simpanan uang, tidak banyak, tapi cukup untuk modal kamu dagang dan biaya hidupmu disana”

“Tapi Yah…”

“Sudah, tidak apa-apa. Kalau anaknya bahagia, orang tua pasti jauh lebih bahagia. Kamu tinggal bilang mau pergi kapan, nanti ngomong ke Ayah lagi ya Di” kata ayahku menutup percakapan.

Aku hanya bisa terdiam, ada benarnya juga apa yang diucapkan ayah. Biar bagaimanapun, anakku semakin lama akan tumbuh besar, jika dia tinggal disini nasibnya pasti tidak jauh berbeda dari ku.

Kembali ku teguk kopi hitam yang berada di atas meja. Aku terus memandangi desaku dalam-dalam, mengingat semua kenangan masa kecilku. Lahir dan besar di desa yang penduduknya sangat ramah. Semua temanku yang selalu mengisi hari-hariku dulu, kini sebagian besar dari mereka telah merantau keluar daerah. Dan sebentar lagi akupun akan meninggalkan desa ini, merangkai masa depan baru untuk keluarga kecilku.

***

Malam ini aku tidak kepasar, dan berencana mengajak istriku untuk kerumah orang tua ku. Membicarakan soal rencanku untuk hijrah dari desa ini. Mengingat semua kejadian-kejadian aneh yang aku alami, akupun ingin cepat-cepat pergi dari desa ini. Setelah menyalahkan lentera yang terbuat dari kaleng bekas, dan menggantungnya di teras rumah, kamipun berangkat.

Nampak Ayah dan Ibu sedang duduk di teras rumah, bersama adikku.

“Assalamu’alaikum…” kataku

“Wa’alaikumsallam.. loh ada apa Di, anakmu sakit lagi?” tanya Ibuku

“Ah ngga Bu, saya mau membicarakan rencana soal kepergian saya kerumah Paman” jawabku

“Oh iya iya, ajak masuk kedalam anakmu, kamu ngobrollah sama Ayah” kata ibuku

Istri dan anakku lalu masuk kedalam bersama Ibuku

“Sudah matang rencanamu Di?” tanya ayah

“Iya Yah, lagi pula aku sudah cape diganggu terus. Tadinya aku ragu Yah, tapi setelah ayah bicara tadi aku semakin yakin untuk keluar dari desa ini”

“Yasudah, kapan kamu mau berangkat?” tanya ayah

“Insya Allah besok pagi yah, aku sudah bicara sama istriku juga. Dan Alhamdulillahnya dia mau”

“Kalau begitu tunggu sebentar ya” kata ayahku sambil berlalu kedalam rumah

“Abang bener mau Jakarta?” tanya adikku

“Bukan Jakarta, tapi Bekasi. Kerumah Paman.” jawabku

“Emang beda ya bang?”

“Iya bedalah. Kamu tolong jagain ayah sama Ibu ya, Insya Allah Abang pasti pulang setiap beberapa bulan sekali, dan do’akan abang juga biar berhasil disana” kataku

“Amin, tenang aja bang” jawab adikku

Lalu ayah keluar sambil membawa sebuah kotak

“Ini simpanan ayah, kamu pakailah Di” kata ayahku sambil menyerahkan kotak berisi uang

“Ya Allah, ini terlalu banyak Yah”

“Sudah, kamu harus terima. Ayah sudah ambil sedikit untuk simpanan disini” kata ayahku

Akupun menerima uang itu, dan mengucapkan ribuan terima kasih untuk Ayah dan Ibuku. Untuk semua pelajaran, kasih sayang, dan semua hal yang telah mereka berikan untukku.

*****

Malam itu adalah malam dimana terakhir kalinya aku menikmati suasana didesaku. Desa yang begitu tenang, dan kental dengan aura mistisnya.

Kini aku telah bekerja di salah satu jasa keuangan. Setelah jatuh bangun di Bekasi, akhirnya aku menemukan pekerjaan yang bisa mencukupi semua kebutuhan rumah tanggaku.

Terima kasih kepada para pembaca yang telah mengikuti cerita hidupku. Semoga aku tidak menemui lagi hal-hal mistis seperti itu lagi.
[TAMAT]

*****
Sebelumnya

close