Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 6) - Pencarian


Pencarian

Warti langsung meletakkan bungkusan kumal itu di atas tanah. Segera ia berjalan ke arah mobil untuk mengambil korek miliknya.

Farah yang menunggu sesekali merasakan ada sesuatu yang aneh. Seolah ada seseorang tengah memperhatikannya dari arah rimbunan semak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Dia menolehkan kepalanya, memastikan kalau perasaannya salah. “Kenapa Far?” tanya Warti saat mendapati Farah tengah berjalan menuju ke arah semak-semak.

Warti mendekat, pandangannya juga tertuju ke arah semak-semak. Setelah beberapa saat memperhatikan, dia kembali menoleh ke arah Farah.

“Sudah, mungkin dedemit penunggu tempat ini. Abaikan saja” ucap Warti yang langsung berbalik dan kembali berjalan ke arah bungkusan kumal.

Mengikuti saran sepupunya itu, Farah mulai berbalik melangkah. Entah kenapa perasaannya tidak begitu nyaman.

“Apa yang akan terjadi kalau kita membakar benda ini?” tanya Farah penasaran.

“Benda ini yang membuat kehidupan mu hancur, sekarang kita kembalikan lagi kepada pengirimnya. Anggap saja ini bonus untuk wanita keparat itu” ucap Warti menyeringai.

Farah memperhatikan sepupunya itu, dari raut wajahnya Warti terlihat sekali menikmati ini semua. Bahkan sekilas expresinya begitu beringas.

“Lakukan apa yang ingin kau lakukan, War. Aku tidak peduli lagi” ucap Farah yang langsung melangkah menjauh dari Warti.

Mendengar jawaban Farah, Warti langsung menggumamkan sesuatu. Kemudian ia menyiramkan bensin dan segera membakar bungkusan kumal itu dengan korek apinya.

Seketika api berkobar hebat. Farah berhenti, dia merasakan ada yang melewatinya dengan cepat. Langsung saja ia berpaling ke arah Warti yang masih berdiri tidak jauh dari tempatnya.

Farah kaget dengan apa yang ia lihat. “Apa yang sedang di lakukan oleh Warti, sampai bisa membuat kobaran api sebesar itu?” batin Farah keheranan.

Baru saja Farah ingin bertanya, seketika Jantungnya berdebar keras. Kini ia melihat banyak sekali sosok pocong yang mengelilingi Warti.

Farah mundur beberapa langkah, napasnya memburu, tatkala ia juga melihat ada sebuah keranda tidak jauh dari tempat Warti berdiri.

Farah menggeleng, ia berusaha untuk menjernihkan kepalanya. Namun saat kembali membuka matanya, sosok pocong dan keranda itu masih ada di tempatnya.

Rasa penasaran Farah muncul, meski ada ketakutan di dalam batinnya. Dia kembali melangkah menuju ke arah Warti.
“Jarno nduk” (Biarkan nduk) ucap suara tepat di samping Farah.

Terkaget, ia langsung melompat ke samping. Dia sama sekali tidak menyadari sosok Nyi Sari sudah ada di samping kanannya.

“Delokno nduk” (Liat nduk) ucap Nyi Sari sambil mengacungkan tangannya ke arah keranda.

Seketika kain hijau di atas keranda itu terlepas. Farah menahan napas, sekarang ia bisa melihat jelas ada sosok yang terpocong di dalamnya.

Farah termenung, bayangan sosok dirinya tengah terpocong muncul kembali di dalam ingatannya.

“Sak iki bocah wedok kae bakal ngrasakne opo sek di rasakne awakmu” (Sekarang anak perempuan itu akan merasakan apa yang kamu rasakan) ucap Nyi Sari.

Angin menderu dengan kuat, membuat semak dan pepohonan yang ada di sekitar mereka bergerak-gerak cepat.

Farah yang sedari tadi diam memperhatikan sosok pocong yang ada di dalam keranda seketika merinding hebat.

Ia melihat sosok itu mulai menggeliat, dengan perlahan benda itu bergerak dalam posisi terduduk dan menoleh ke arah Farah.

Farah menjerit tanpa suara, ia mundur selangkah. Kini ia melihat sosok Ayu tengah memandangnya dengan posisi terpocong.

Tetapi sebelum sosok pocong itu keluar dari keranda. Tubuhnya menggeliat seperti orang kesakitan, di telinga Farah juga mendengar teriakan Ayu yang meminta tolong.

“Ayu” ucap Farah lirih, ia sebenarnya tidak kuat melihat itu semua. Tetapi semua sudah terlanjur, apa yang dia lakukan harus selesai sampai akhir.

Ayu dalam bentuk pocong, terus menggeliat. Perlahan tubuhnya meleleh, kulitnya mulai mengelupas, darah segar mengalir dari tiap lubang di wajahnya.

“Far, toloong” ucap pocong Ayu

Farah menggeleng, dia berusaha untuk menutup telinga dan matanya. Suara-suara teriakan minta tolong bergema di telinganya.

“Far, kenapa?” ucap Warti sambil menepuk bahu Farah.

Farah membuka matanya, napasnya masih memburu. Pandanganya menjadi liar melihat ke arah sekitaran. Mencari keranda dengan sosok Ayu di dalamnya.

“Heh, Far kenapa?” ucap Warti kebingungan.
Farah menggeleng,

“Sudah?” tanyanya.
Merasa ada yang tidak beres dengan Farah, segera Warti menarik wanita itu menuju ke arah mobil. Ia memaksanya masuk ke dalam dan langsung pergi dari tempat itu.

“Apa yang terjadi, Far” tanya Warti sambil fokus memperhatikan jalanan.

“Kamu tidak melihat itu semua?” tanya Farah

Warti menggeleng, “Melihat apa? Aku hanya membakar benda sialan itu. Setelah itu aku melihatmu menggelengkan kepala sambil menutup mata dan telingamu dengan tangan”

Farah kebingungan sekarang, bukannya Warti bisa melihat mereka? Kenapa sekarang hanya dirinya saja yang melihat.

“Far” desak Warti, dia benar-benar penasaran dengan apa yang Farah lihat.

“A—aku melihat banyak pocong di sekelilingmu, kemudian ada keranda. Sama persis seperti yang kulihat di teras depan rumah ku” ucap Farah

“Terus?” desak Warti saat Farah berhenti bercerita.

“Aku hendak berjalan menghampirimu. Tetapi tiba-tiba saja dedemit wanita berbaju merah itu muncul dan meminta ku untuk melihat keranda itu...” kata Farah yang langsung menceritakan kejadian yang barusan ia alami.

Setelah selesai, bukannya Warti ketakutan. Justru wanita itu tampak gembira, bibirnya tersungging senyum bahagia.

“Sekarang kita lihat apa yang akan terjadi dengan wanita sial itu” ucap Warti.

***

Sementara itu di rumah Angga...
Ayu tiba-tiba saja terbangun, napasnya terlihat memburu. Tubuhnya basah penuh dengan peluh keringat.

Sejenak dia memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” batin Ayu ketakutan.

Ayu mengingat-ingat kejadian semalam, sosok Farah benar-benar membuat dirinya ngeri. Dia tidak habis pikir, apa yang sudah dilakukan oleh wanita itu sampai bisa berbuat sejauh ini?

Belum lagi saat setelah dirinya masuk ke dalam kamar. Semalaman dia tidak bisa tertidur, terus saja mendengar suara yang memanggil namanya dan langkah kaki yang berjalan mondar mandir di luar kamar.

“Far” terdengar suara dari arah pintu kamar.

Ayu tersentak kaget, dia langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Dilihatnya Angga tengah berdiri di sana sudah dengan pakaian kerjanya.

“Masih kepikiran mimpi semalam?” tanya Angga saat sudah berada di samping Ayu. Dengan lembut laki-laki itu membelai kepalanya.

Ayu mengangguk. Entah kenapa dengan perlakuan Angga, hatinya tidak tersentuh sama sekali. Baginya percuma saja melakukan ini semua, bahkan sekarang dia mulai kebingungan, karena orang yang bisa ia tanyai sudah mati.

“Ya sudah, siang ini kamu istirahat. Aku berangkat dulu” ucap Angga sambil beranjak keluar kamar.

Ayu hanya menangguk, dia kembali menyandarkan punggungnya. Sejenak dia berpikir, bagaimana cara mengakhiri ini semua.

Kemudian ada sesuatu yang melintas dikepalanya, tersentak Ayu langsung berdiri dan berjalan ke arah luar. Dilihatnya mobil Angga baru saja keluar rumah.

Segera dia berjalan ke arah taman depan. Ayu berpikir, mungkin jika ia menghancurkan bungkusan kumal yang ia tanam di tempat itu, semua akan kembali seperti semula.

Tetapi, seketika langkah Ayu terhenti. Jantungnya berdegup keras, rasa khawatir muncul di dalam hatinya.

Dia melihat tempat dimana menaruh bungkusan itu sudah di gali ulang. Ada seseorang yang sudah mengambilnya.

Ayu menggelengkan kepalanya, bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Dia benar-benar menyadari kalau apa yang sudah dilakukannya benar-benar bodoh.

“Farah” ucap Ayu lemah.

Segera dia berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Namun seketika tubuhnya terhenti tepat di ambang pintu. Ketika semerbak bau bangkai menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Aroma itu benar-benar membuat perutnya terasa mual.

Tidak mungkin jika ada hewan yang mati dan membusuk. Sudah beberapa hari dia tinggal di rumah ini. Kenapa baru pagi ini bau itu tercium?

Dengan langkah pelan, Ayu mulai masuk ke dalam rumah. Dia menahan napasnya, berusaha untuk tidak menghirup aroma yang memuakkan itu.
Saat sudah sampai di dalam kamar, dia langsung menyambar ponsel miliknya. Ia langsung mencari nomor milik Farah dan segera menghubungi wanita itu.

Tetapi percuma saja, ponsel milik Farah mati. Panggilannya tidak tersambung. Ayu semakin kebingungan, perasaannya benar-benar diliputi rasa ketakutan. Bayangan kematian Mbah Wonso selalu menghantui pikirannya.

“Apa yang harus kulakukan?” ucap Ayu panik.
Tap...tap...tap...
Seketika Ayu menoleh ke arah pintu, ia mendengar langkah kaki seseorang tengah berjalan mondar mandir di luar kamar.

“Mas Angga?” ucap Ayu, mengira kalau Angga kembali ke rumah.

Buru-buru Ayu berjalan ke arah pintu kamar, segera ia buka. Saat melihat ke arah ruang keluarga, ia tidak mendapati seorang pun disana.

Segera ia melangkah menuju ke kamar mandi. Mengira kalau Angga sedang ada di dalam ruangan itu. Tetapi saat melihat pintu kamar mandi yang terbuka, ia kembali tertegun.

Ayu berpikir, jelas sekali ada seseorang yang masuk ke dalam rumah dan berjalan mondar mandir. Dan tidak mungkin ia salah mendengar itu semua. Kemudian belum sempat dia beranjak.

Khi...khi...khi...
Ayu terlonjak, ia langsung menolehkan kepalanya ke arah dapur. Ia mendengar ada tawa anak kecil berasal dari arah ruangan itu.

Tetapi sekali lagi, saat mencari sumber suara ia tidak mendapati siapapun. Seketika jantungnya berdegup keras, napasnya memburu.

Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, buru-buru ia berjalan ke arah kamar untuk mengambil tasnya dan segera pergi dari rumah itu.

Namun, belum sempat tangan Ayu memegani hendel pintu. Tiba-tiba saja pintu tersebut sudah terbuka dengan sendirinya.

Kaget, Ayu mundur beberapa langkah. Kini ia melihat dengan jelas ada seseorang tengah duduk di sisi ranjang.

“Tidak” ucap Ayu, ia terus mundur tanpa memalingkan wajah dari sosok wanita berbaju merah di depannya. Ingatan dimana ia tengah berada di rumah Mbah Wongso kembali terlintas di pikirannya.

Hingga...
“Dorrrrr” sebuah suara anak kecil mengagetkan Ayu.
Keget! Ayu langsung melompat ke samping sampai menabrak meja yang ada di dekatnya. Tubuhnya terjatuh dengan tangan menopang ke lantai.

“Arrrgggg” ucap Ayu mengerang kesakitan.
Khi...khi...khi...
Ayu membuka matanya, menengadah ke atas. Kini ia melihat seorang anak kecil tengah berdiri di depannya.

Dengan wajah polos, tidak memiliki hidung dan kelopak mata, bibirnya sumbing, giginya bertaring dengan lidah menjulur penuh dengan darah.

Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kejadian yang ia lalui. Saat ini masih pagi dan banyak aktivitas di luar rumah itu. Tetapi kenapa bisa mereka menampakkan diri?

“Mbak, ayo main khi...khi...khi” ucap bocah itu.

Ayu kembali menjerit, dia terus memejamkan matanya. Ia berusaha untuk mundur dengan menggerakkan tubuhnya belakang.

“Pergi...” ucap Ayu sambil menggelengkan kepalanya.

“Pergi kemana Yu?” terdengar suara tepat di depan Ayu.

Seketika Ayu membuka matanya. Dilihatnya saat ini, Farah tengah duduk dengan pandangan kosong menatap ke arahnya.

“Farah” ucap Ayu ketakutan.

“Pergi kemana Yu?” tanya Farah sekali lagi.
Ayu tidak menjawab, dia tahu kalau sosok Farah yang ada di depannya bukanlah manusia. “Ampun, tolongg” ucap Ayu mengiba.

Mendengar ucapan Ayu, sosok Farah malah tertawa dengan suara yang membuat bulu roma berdiri dengan kuat.

“Bukannya kamu mau membunuhku, Yu?” ucap Farah yang mulai beranjak dari tempat duduknya.

Ayu menggeleng, dia terus memundurkan tubuhnya hingga menyentuh dinding yang ada di belakangnya.

Sedang sosok Farah terus melangkah perlahan, saat berada tepat di depan Ayu. Wanita itu membungkuk dan membelai pipi Ayu dengan perlahan.

Ayu yang merasakan sentuhan dingin tangan Farah hanya mengerang. Tubuhnya mati rasa tidak bisa ia gerakkan.

Belaian lembut tangan Farah tiba-tiba saja berubah menjadi cenkraman kuat di kedua pipi Ayu. Memaksa wanita itu untuk menengadah menatapnya.

“Yu, buka matamu” geram Farah datar.

Tidak bisa mengendalikan tubuhnya, Ayu langsung menuruti ucapan Farah.

Dan saat membuka matanya, betapa kagetnya Ayu. Sekarang bukan lagi sosok Farah yang ada di depannya. Akan tetapi wanita berbaju merah dengan wujud yang mengerikan.

Wanita itu tersenyum. Ayu berusaha untuk menggerakkan tubuhnya tetapi percuma saja. Justru ia mendengar kalau dedemit wanita itu tengah tertawa mengejeknya.

Hingga tiba-tiba saja, tangan wanita itu bergerak mencoba membuka paksa mulut Ayu. Kemudian wanita itu mendekatkan wajahnya.

Ketakutan, Ayu hanya bisa menangis dan merintih. Kini mulut wanita itu terbuka, mengeluarkan aroma busuk yang membuat perutnya begitu terasa mual.

Selain itu Ayu melihat ada cairan hitam kental keluar dari mulut wanita itu. Carian kehitaman itu terus menetes di wajah dan masuk ke dalam mulutnya. Ia berusaha untuk memberontak, tetapi hanya erangan kecil yang muncul.

“Aarrrggg” teriak Ayu kencang spontan tubuhnya langsung berdiri dari pembaringan.

“Kenapa kamu Far?” tanya Angga yang kaget langsung melihat ke arah wanita yang tengah terduduk di sampingnya.

Napas Ayu terlihat memburu, tubuhnya basah dengan keringat dingin. Tanpa menggubris ucapan Angga. Ia langsung beranjak menuju ke arah pintu kamar.

“Far” panggil Angga yang masih mengira bahwa Ayu adalah Farah.

Ayu tidak menghiraukan panggilan Angga, ia terus berjalan keluar ke arah teras rumah. Sesampainya di sana, ia langsung menuju ke tempat dimana dia menguburkan benda kumal yang didapat dari Mbah Wongso.

Akan tetapi, saat sampai di tempat tersebut. Jantungnya seperti merosot dari tempatnya. Ia tidak mendapati benda tersebut. Ada seseorang yang sudah mengambilnya.

“Far kamu kenapa, sih?” tanya Angga saat melihat Ayu tengah berdiri di taman dengan kaki telanjang.

“Minggir, mas aku harus pergi” ucap Ayu segera masuk ke dalam rumah.

Angga yang kebingungan meraih tangan Ayu. “Hey, kamu kenapa, Far?” tanya Angga sekali lagi.

Ayu menyentakkan tangan Angga dengan kasar, “Aku bukan Farah, aku Ayu. Sekarang biarkan aku pergi!” ucap Ayu yang langsung berjalan kembali menuju ke arah kamar.

Di dalam pikirannya, ia harus segera pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Dia yakin kalau Farah yang sudah membuat ini semua terjadi kepadanya.

Angga tidak menyerah, cepat-cepat ia menyusul Ayu ke arah kamar. “Apa maksudmu kalau kamu itu Ayu? kamu sudah gila Far?” ucap Angga jengkel.

“Ckkkk” decak Ayu tidak sabar, dia melangkah mendekati Angga dan membisikkan sesuatu di telinga laki-laki itu. Seketika Angga terdiam, sorot matanya menjadi kosong.

“Tidur sana” ucap Ayu jengkel.

Angga yang mendengar itu, langsung melangkah menuju ke arah tempat tidur dan langsung merebahkan tubuhnya.

Setelah selesai, Ayu langsung melangkah keluar kamar. Di sudah tidak peduli lagi dengan tujuan awalnya, jika memang semua ini adalah ulah Farah. Maka sebisa mungkin dia harus segera menemukan wanita itu.

Kini Ayu sudah berada di dalam mobilnya, membelah jalanan yang masih tampak sepi dalam keremangan subuh.

Berkali-kali Ayu mencoba untuk menghubungi Farah. Tetapi sialnya tidak ada satupun panggilannya yang tersambung.

“Rumah orang tua Farah” ucap Ayu lirih. Mengira kalau Farah pasti pergi ke rumah Bu Nur.

Mendapat tujuan, Ayu segera menginjak pedal gas agar segera sampai di tempat tersebut. Ia melaju begitu cepat.

Khi...khi...khi... terdengar suara tawa khas perempuan ia Ayu kenali tepat di belakang jok mobilnya.

Spontan Ayu langsung menginjak pedal rem dengan kuat. Mobil berdecit, begerak oleng sambil mengeluarkan suara memekakkan telinga.

Jantung Ayu berdetak kencang, kepalanya masih bersandar pada stir mobil. Segera ia menoleh ke arah jok belakang. Tetapi dia tidak mendapati siapapun di sana.

Tok...tok...tok...

Ayu memekik kaget, ia langsung menoleh ke arah jendela di sampingnya. Kini ia melihat ada beberapa orang tengah berdiri memperhatikannya dengan raut wajah kesal sekaligus ketakutan.

“Kenapa Mbak? Mabuk ya?” tanya salah satu dari mereka.

“Maaf Mas, saya ngantuk tadi” ucap Ayu mencoba untuk terlihat senormal mungkin.

“Ada yang luka mbak?” tanya salah satu yang lainnya.

Ayu menggeleng, “Tidak, Mas. Cuma kaget. Tadi ada kucing tiba-tiba lewat, Maaf”

“Ya sudah, Mbak. Hati-hati, kalau lelah mending istirahat dulu” ucap laki-laki itu dan segera pergi meninggalkan Ayu.

Ayu menghela napas dalam-dalam, ia benar-benar di buat kacau dengan ini semua. Apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Farah?

Setelah dirasa tenang, kembali Ayu melajukan mobilnya menuju ke rumah orang tua Farah. Tetapi karena dirasa masih terlalu pagi dan tidak ingin membuat curiga Bu Nur. Ia memutuskan untuk mampir ke minimarket terlebih dahulu.

***

Beberapa jam sudah Ayu duduk di depan minimarket. Matanya terasa begitu berat, kepalanya pusing memikirkan semua kejadian yang ia lalui.

Berpuntung-puntung rokok sudah ia hisap untuk menenangkan batinnya. Tetapi percuma saja, dia tidak mendapati solusi apapun selain segera bertemu dengan Farah.

Di rasa matahari sudah mulai meninggi, segera ia berjalan kembali menuju mobilnya. Berniat untuk pergi ke rumah orang tua Farah. Berharap bisa bertemu dengan wanita itu di sana.

Setibanya di depan rumah Bu Eny, Ayu tidak langsung turun. Dia terus memandangi rumah tersebut, mencoba memastikan terlebih dahulu, siapa tahu Farah akan keluar rumah.

Namun, ketika sudah cukup lama terdiam, ia tidak mendapati keberadaan Farah ataupun Bu Eny. Nekat, Ayu langsung keluar mobil.

Dengan jantung berdegup keras, dia mencoba untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Tetapi sama saja, tidak ada jawaban.

Merasa tidak ada orang di dalam rumah, Ayu berniat untuk pergi. Ia harus segera menemukan solusi dari semua masalah yang diterimanya.

Hingga, saat hendak menghidupkan mesin mobil. Ayu terkesiap, jauh beberapa meter di depannya ia melihat seorang wanita paruh baya tengah berjalan menuju ke arahnya.

Ayu ingin segera menemui Bu Eny, tetapi setelah cukup dekat. Ia mengurungkan niatannya, sesekali dia mengerjapkan matanya.

“Tidak” ucap Ayu lirih saat melihat sosok wanita berbaju merah yang sering ia temui tengah berjalan berdampingan dengan Bu Eny.

Ayu ketakutan, Ia terus memperhatikan Bu Eny, yang sepertinya tidak menyadari sosok wanita yang terus berjalan di samping kanannya.

Kemudian, dalam sekedipan mata. Sosok wanita itu sudah menghilang. Ayu terperanjat, dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Golek i opo?” (Nyari Apa?) ucap suara tepat di belakang Ayu.

Ayu menjerit, dia menoleh. Benar saja, dedemit wanita itu sudah duduk di jok belakang dengan kepala tertunduk. Bau busuk mulai tercium di hidung Ayu.

Buru-buru ia mencoba untuk membuka pintu mobilnya, tetapi pintu itu bergeming. Wanita itu mulai tertawa cekikikan, seolah sedang menertawakan usaha yang dilakukan oleh Ayu.

“Pergi, tolong... pergi” rengek Ayu yang sudah hampir menangis ketakutan.

“Eleng karo lakumu nduk, iki durung opo-opo dibanding karo loro atine bocah wadon kae” (Ingat dengan perilaku mu nduk, ini belum apa-apa dibanding dengan sakit hatinya anak perempuan itu) kata Nyi Sari dengan suara keras.

Ayu menutup telinganya, dia terus memohon ampun kepada dedemit itu. Hingga tiba-tiba saja terdengar suara pintu mobil yang terbuka dengan sendirinya.

Tersadar, Ayu langsung menghambur keluar. Dia seperti orang gila yang terus berlari dan menoleh ke arah belakang.

Brrrukkkkk...

Ayu tanpa sadar menubruk seseorang di depannya. “Astaghfirulloh” kata Bu Eny sembari mengerang kesakitan.

“Ayu?” tanya Bu Eny saat mendapati sabahat anaknya tengah terduduk di jalanan dengan pandangan ketakutan.

Ayu terus menggeleng dan melihat ke arah mobilnya. Melihat itu Bu Eny segera mendekati wanita itu.

“Yu, astaghfirulloh. Kamu kenapa?” kata Bu Eny panik.

Tersadar orang yang ada di depannya adalah Bu Eny. Ayu langsung menghamburkan pelukannya, tangisnya pecah.

“Maaf Bu, maafin Ayu” ucap Ayu sambil memeluk Bu Eny erat.

Kebingungan dengan sikap teman anaknya, Bu Eny mencoba untuk melepaskan pelukan Ayu.

Tetapi berbeda dengan Ayu, justru sekarang dia melihat sosok Bu Eny sudah berubah menjadi sosok dedemit wanita berbaju merah.

Raut wajahnya begitu mengerikan, belum lagi penampilannya yang membuat Ayu ketakutan. Wajah wanita itu benar-benar hancur, darah terus keluar dari bekas luka yang ada di wajahnya.

Ayu menjerit, ia mendorong Bu Eny sekuat tenaga, membuat wanita itu kembali jatuh tersungkur di jalan beraspal.

“Astaghfirulloh” kata Bu Eny sambil mengerang. ia melihat Ayu sudah berlari ke arah mobil miliknya.

Bu Eny terus memanggil nama teman anaknya itu. Tetapi tidak ada sahutan, bahkan Ayu malah mengendarai mobilnya begitu kencang.

“Kenapa anak itu?” kata Bu Eny ketakutan, segera ia berdiri dan masuk ke dalam rumah berniat untuk menghubungi Farah.
Disisi lain,

Ayu yang ketakutan langsung berlari ke arah mobilnya dan segera pergi dari tempat tersebut. Ia tidak peduli dengan kondisi Bu Eny yang terjatuh. Dipikirannya saat ini adalah bagaimana caranya lepas dari dedemit wanita itu.

“Arrrrgggg... sial, sial, sial” umpat Ayu sambil memukul-mukul stir mobilnya.

“Apa yang harus ku lakukan” tanya Ayu pada dirinya sendiri. Sekarang Mbah Wongso sudah meninggal, sedang ia tidak kenal dukun selain wanita tua itu.

“Santi” ucap Ayu lirih, teringat dengan orang yang menyarankannya untuk pergi ke tempat Mbah Wongso.
Segera Ayu mengendarai mobilnya ke rumah Santi. Beberapa kali dia melihat ke arah jok belakang, takut setan wanita itu masih mengikutinya.

Hampir satu jam Ayu menembus jalanan, kini ia sudah masuk ke dalam komplek perumahan dimana Santi tinggal.

Saat melewati tikungan yang mengarah ke rumah Santi. Hati Ayu tersentil, ia melihat ada bendera kuning yang terikat di tiang listrik.

Ia terus berpikir positif, ia memelankan laju kendaraannya saat melihat banyak kerumunan warga berada di depan rumah Santi.

“Pak, maaf” kata Ayu mencoba bertanya kepada salah seorang warga yang lewat di samping mobilnya.

“Benar ini, perumahan Griya Asri Blok D, kan?” tanya Ayu berpura-pura.

“Benar, Mbak. Cari siapa ya?” tanya pemuda itu.

“Ini, saya cari rumah teman saya. Namaya Santi anaknya Pak Harto. Cuma saya lihat di depan sepertinya lagi ada hajatan” kata Ayu.

“Oh, yang mau takziah ke tempat Mbak Santi, ya?” tanya pemuda itu.

Deg...

Seketika jantung Ayu seperti berhenti berdetak, semoga apa yang ia pikirkan tidak menjadi kenyataan. Dicobanya untuk terus bersikap tenang.

“Maaf, yang meninggal siapa ya mas?” tanya Ayu.

Sejenak Ayu memperhatikan, raut wajah pemuda itu berubah. Ia sedikit ragu untuk memberi tahu kepadanya.

“Mbak Santi” ucap pemuda itu.

Ayu terdiam cukup lama, pandangannya mulai terasa kabur. Apa semua ini hanya mimpi? Berulang kali dia coba untuk menampar pipinya, berharap agar segera bangun dari mimpi buruk yang sedang dilaluinya.

“Eh mbak, mbak kenapa?” tanya pemuda itu panik sembari mencoba untuk menghentikan Ayu.
Ayu terisak, tubuhnya melemas. Ia tahu ini bukanlah mimpi. Air matanya sudah tumpah di pipinya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

“Mbak?” tanya pemuda itu sekali lagi.
“Iya, Mas. Santi meninggal karena apa?” tanya Ayu berusaha untuk mengendalikan diri, masih dengan posisi terisak.

“Saya kurang tahu Mbak, semalam dapat kabar kalau Mbak Santi mencoba bunuh diri. Mbak gapapa?” tanya pemuda itu khawatir.

Ayu menggeleng, matanya terpejam. Kemudian tanpa menjawab, ia langsung berjalan ke arah mobilnya dan segera pergi dari tempat itu.

“Faaarrrrahhhhh” geram Ayu, ia yakin semua ini masih ada hubungannya dengan wanita itu. Tidak mungkin Santi bunuh diri, untuk alasan apa?

Ketakutan Ayu bercampur dengan amarah, ia benar-benar harus bertemu dengan Farah untuk menyelesaikan semua ini.
Khi...khi...khi...

Sekali lagi suara wanita itu muncul tepat di belakang mobilnya. Ayu mencoba untuk berpikir tenang, ia terus berdoa di dalam hati.

Tetapi suara tawa cekikikan itu terus saja muncul. Tidak tahan ia segera menoleh kebelakang, benar saja ia mendapati dedemit wanita itu sudah duduk di jok belakangnya.

“A—apa maumu?” tanya Ayu gagap,

“Patimu” (Kematian mu) ucap wanita itu yang menggerakkan kepalanya perlahan menatap ke arah Ayu. Pandangannya terasa bergitu dingin, penuh dengan amarah dan dendam kesumat.

Tersentak, Ayu mencoba mencoba untuk memalingkan kepalanya. Tetapi tubuhnya terasa begitu kaku. Ia hanya bisa memejamkan mata dan terus memohon agar setan wanita itu pergi meninggalkannya.

Cukup lama Ayu terisak dengan mata tertutup, hingga ia mendengar suara dering yang berasal dari ponselnya.

Pelan, ia membuka mata, beruntung setan wanita itu sudah hilang entah kemana. Dengan tangan gemetar Ayu mengambil ponsel miliknya.

“Angga” ucap Ayu saat melihat nama Angga tertera di layar depan ponselnya. Sejenak ia berharap laki-laki itu khawatir dengan keadaannya.

“Halo, kenapa Mas?” tanya Ayu dengan suara masih gemetaran.

“Halo, Yu. Kamu dimana? Farah sama kamu?” tanya Angga diseberang sana.

Perasaan Ayu semakin tidak karuan, harapannya pupus sudah. Ia tidak menjawab pertanyaan Angga, dan langsung mematikan sambungan telephon itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close