Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 7) - Pembawa Keranda


Pembawa Keranda

Sementara itu...
Farah terbangun, napasnya terasa begitu sesak. Semalaman tidurnya tidak nyenyak, kejadian saat ia melihat sosok Ayu yang tengah terpocong silih berganti masuk ke dalam mimpinya.

Setelah degup jantungnya terasa lebih normal, dia memandang ke arah langit-langit kamar, memikirkan semua kejadian yang sudah dilaluinya.

Tidak bisa ia tampik, meski Angga sudah mengkhianatinya. Tetapi ada rasa rindu yang muncul di dalam hati kecilnya.

“Laki-laki itu korban” ucap hati Farah. Tetapi di sisi lain, rasa sakit yang ada di dalam hatinya membuat semua itu seolah mengabur.

Jengah, Farah bergerak menyamping. Ia melihat Warti yang masih tertidur di ranjang sampingnya. Dipandanginya wanita itu dengan seksama.

Kegelisahan kembali muncul di hati Farah, teringat akan apa yang sudah Warti lakukan kepada orang-orang disekelilingnya. Justru sekarang keraguan timbul di dalam hatinya. Apakah yang ia lakukan saat ini adalah keputusan yang tepat?

Mengelengkan kepala, Farah beranjak. Mengambil ponselnya yang sudah beberapa hari ini ia matikan. Banyak sekali pesan masuk dari Angga yang menanyakan keberadaannya.

Kemudian matanya menyipit, ketika melihat pesan dari Ibunya. Awalnya Farah mengira kalau ibunya juga sedang mencarinya. Tetapi saat setelah membaca pesan tersebut, kembali bibirnya tersenyum.

Farah tidak langsung membalas pesan ibunya. Justru dia memejamkan mata, lalu memanggil Nyi Sari berulang kali di dalam batinnya.

Tersentak, Farah merasa ada udara dingin yang merambat naik ke tubuhnya. Seketika bulu kuduknya meremang hebat, aroma bunga kantil menguar kuat di sekitarnya.

Membuka matanya, kini ia melihat Nyi Sari sudah berdiri di ujung ruangan bernaung dalam bayangan tirai kamar.

“Tolong balaskan sakit hatiku, Nyi” ucap Farah. Ia sudah lupa dengan apa yang ia rasakan beberapa saat lalu. Nafsu untuk membalas perbuatan Ayu kembali membuncah di dalam hatinya.

Sosok dedemit wanita itu tidak menjawab permintaan Farah. Tapi ia yakin kalau Nyi Sari mengangguk dan langsung menghilang dari pandangan.

“Far” terdengar suara Warti.

Farah menoleh cepat, ia tersentak kaget. Tidak menyadari kalau Warti sudah dalam posisi terduduk menghadap ke arahnya.

“Kenapa, War?” tanya Farah mencoba menghilangkan kekagetannya.

“Kenapa kamu memanggil dedemit itu?” tanya Warti sambil mengerutkan dahinya, menatap ke arah Farah keheranan.

“Apa maksud mu?” tanya Farah berpura-pura tidak paham dengan pertanyaan Warti.

Warti terdiam, ia terus menatap ke arah Farah.

“Sudah lah, itu urusan mu. Ingat semua ada batasannya. Jangan terlalu terburu-buru” ucap Warti yang langsung kembali merebahkan tubuhnya.

“Maksudnya?” tanya Farah yang kali ini benar-benar kebingungan.

Warti tampak menghela napas, ia kembali menatap ke arah Farah. “Kau boleh bernafsu untuk membalaskan dendam mu. Tapi ingat jangan pernah salah langkah. Jangan sampai ini semua malah menjadi bumerang untukmu”

“Aku masih tidak paham. Semua yang kulakukan atas saran mu. Apa salahnya aku meminta tolong kepada mereka untuk membalaskan rasa sakit ini” kata Farah, sambil menepuk dadanya pelan.

“Ckkkk... Benar aku yang menyarankan! Tetapi jika kamu terlalu gegabah, bisa membuat semua berbalik kepada mu. Ingat!!! jika kamu saja bisa berbuat sedemikian rupa.--

-- Bukan berarti wanita itu juga bisa berbuat demikian. Ingat!!!, dia yang mulai menyerang mu, bukan berarti dia juga tidak memiliki sosok gaib di belakangnya” jelas Warti.

Deg... Jantung Farah seperti terhenti seketika. Dia terus memandang ke arah Warti, mencerna ucapan sepupunya itu.

Farah tidak pernah berpikir demikian, padahal jelas kalau Ayu jauh terlebih dahulu bermain-main dengan hal gaib.

“War, bangun. Kita pergi ke rumah Ibu ku” ucap Farah yang langsung berdiri. Sedang Warti malah membalikkan badan dan menutup wajahnya dengan bantal.

“Kau sendiri saja, aku masih belum bisa menerima perlakuan keluargamu ke orang tua ku. Terlebih Ibumu” kata Warti dengan suara teredam.

Farah mematung, ucapan yang barusan di lontarkan oleh Warti menambah kegelisahannya. Sesaat Farah ingin membicarakan masalah keluarganya dengan Warti.

Tapi ia urungkan, tidak baik untuk memulai perseteruan dengan Warti. Yang harus ia lakukan saat ini hanya waspada dengannya. Jangan sampai wanita ini justru menambah masalah nantinya.

“Ya sudah, aku pergi sendiri. Sekalian beli makanan” kata Farah segera melangkah ke kamar mandi.

“Ingat, jangan sampai ibumu tahu tentang keberadaan mu” kata Warti

“Kenapa?” kata Farah bingung.

Warti tidak menjawab, ia kembali menutupi wajahnya dengan bantal. Jengkel, Farah kembali melangkah ke kamar mandi dengan suara langkah menghentak. Ia benar-benar tidak suka disuruh-suruh seperti itu.

****
Sudah beberapa waktu, Farah memperhatikan kediaman orang tuanya. Ia berharap bisa melihat Bu Nur hanya untuk sekedar memastikan keadaanya.

Namun wanita itu sepertinya tidak berniat untuk keluar rumah. Ingin rasanya Farah masuk ke dalam rumah dan memastikan. Tetapi ia terus teringat dengan wejangan yang diberikan oleh Warti.

“Ckkk... apa yang harus kulakukan?” tanya Farah entah kepada siapa. Ia benar-benar kalut, ia tidak berpikir jauh. Sedari awal memang seharusnya ia sudah menceritakan semua ini kepada Ibunya. Bukan malah menyiramkan bensin ke api yang sudah berkobar.

“Tuhan, apa yang harus kulakukan” ucap Farah sambil menghenyakkan punggunnya ke kursi pengemudi. Matanya tertutup mencoba mencari jawaban.

Hingga, ia merasakan napasnya tiba-tiba saja menjadi sesak. Udara di sekelilingnya menjadi dingin. Ia mengenali sensasi ini.

“Selesaikan apa yang sudah kamu mulai” terdengar suara Nyi Sari dengan jelas di telinga Farah.

Seketika ia membuka matanya, napasnya memburu. Spontan ia langsung menoleh ke belakang. Tetapi tidak ada siapapun disana.

Farah yakin jika ia tidak sedang membayangkan suara Nyi Sari. Ia jelas mendengar suara tersebut tepat berada di sisi kirinya.

Merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Farah memutuskan untuk kembali ke hotel tempat dimana ia menginap dengan Warti. Setidaknya ia bisa meminta nasehat dari wanita itu.

Hingga, saat ia mau menghidupkan mobilnya. Ia melihat mobil yang sangat ia kenali. Berhenti tepat di depan rumah orang tuanya.

Ia mengurungkan niatannya untuk pergi. Farah benar-benar penasaran, apa yang akan dilakukan oleh wanita busuk itu.

“Ayu” ucap Farah, saat melihat mantan sahabatnya itu tengah turun dari mobilnya. Penampilannya benar-benar jauh berbeda saat terakhir kali mereka bertemu. Wanita itu benar-benar kacau.

Farah tersenyum menyeringai, hatinya terasa begitu bahagia. Ia menduga, pasti wanita itu sedang menceritakan tentang kejadian yang sedang tengah dialaminya. Lalu Ibunya akan menelphone dan meminta untuk pulang membicakan semua ini. Semua sudah bisa ia tebak.

Segera Farah meraih ponsel miliknya, menunggu panggilan dari orang tuanya. Namun setelah beberapa waktu, ia tidak mendapati pangilan tersebut. Justru malah melihat Ayu dan Ibunya keluar rumah dengan tergesa-gesa.

Farah terkesiap, mencoba menggabungkan semua yang ia lihat. Sebuah kesadaran tiba-tiba saja masuk ke dalam batinnya.

“Siaaalll” umpat Farah dan langsung menghidupkan mesin mobil.

“Apa yang akan dilakukan wanita itu” geram Farah, ia tidak akan memaafkannya jika Ayu berani menyentuh Ibunya.

Dalam posisi buru-buru, ia kembali meraih ponsel miliknya. Mengirimkan pesan suara kepada Warti apa yang sedang terjadi saat ini.

***

Farah terus membuntuti mobil yang dikemudikan oleh Ayu. Sesekali pandanggannya ia arahkan ke kaca belakang, berharap bisa melihat sosok Ibunya. Sialnya kaca mobil yang gelap serta pantulan cahaya matahari membuat pandangannya kabur.

“Rasah sumelang” (Tidak usah khawatir) ucap suara tepat dibelakang Farah.

Tersentak, Farah hampir saja kehilangan kendali. Buru-buru ia melihat ke arah jok belakang dari arah spion kaca mobilnya.

“Nyi Sari” ucap Farah parau, ia menelan ludahnya sendiri. Kali ini sosok Nyi Sari tidak seperti yang selama ini ia lihat. Penampilan dedemit wanita itu sungguh membuatnya ngeri.

Pandangannya terasa begitu kejam, mulutnya tersenyum menyeringai dengan mata hampir sepenuhnya berwarna putih.

“Apa yang harus kulakukan Nyi?” tanya Farah.

“Ikuti saja wanita itu, dendam mu akan terbalaskan sebentar lagi” jawab Nyi Sari.

Farah menghela napas panjang, ia tidak berani menatap Nyi Sari lama-lama. Terlebih saat ini ia juga harus berkonsentrasi untuk mengikuti kemana Ayu membawa Ibunya pergi.

Sudah beberapa waktu berlalu, Farah masih tidak mengetahui kemana arah tujuan mereka. Batas kota sudah ia lalui. Perasaannya semakin kalut jika terjadi sesuatu dengan Ibunya.

Sesekali dia melihat layar ponselnya berharap ada panggilan atau pesan singkat yang dikirimkan oleh Warti. Tetapi sayang, harapannya hanya sebuah angin lalu. Sepupunya itu sama sekali tidak menanggapi pesan suara yang telah dikirimkannya.

Hingga, ia melihat mobil yang dikemudikan oleh Ayu berbelok masuk ke arah jalanan yang lebih sepi. Pada titik ini Farah tidak mungkin mengikuti Ayu terlalu dekat, jelas sekali dia akan langsung ketahuan. Sama sekali tidak ada mobil yang berlalu lalang di tempat itu.

Terpaksa Farah berhenti sejenak, baru setelah yakin jika Ayu sudah berjarak. Dia hanya perlu mengikuti bekas ban mobil yang terpeta di tanah yang basah.

Namun, baru beberapa ratus meter ia melajukan kendaraannya. Tiba-tiba saja mobil itu berhenti dan meraung-raung. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bergerak.

Farah terus menginjak pedal gas dalam-dalam, tetapi semua sia-sia. Mobil yang ia kendarai sama sekali tidak mau bergerak.

Panik, Farah segera keluar. Rintik hujan sudah mulai turun membasahi kepalanya. Ia melihat ke atas, benar saja gumpalan awan hitam pekat, sudah tepat berada di atas kepalanya.

“Siaaallll, kenapa mesti selip” umpat Farah sambil menendang ban mobil yang hampir separoh terkubur di tanah berlumpur.
Farah kembali menoleh kedepan, ia masih bisa melihat bekas ban mobil yang masih baru. Otaknya berpikir cepat.

Ia segera ia kembali masuk ke dalam mobil, mengambil ponsel miliknya dan segera berjalan setengah berlari mengikuti jejak ban mobil milik Ayu.

Entah sudah berapa lama Farah berjalan, ia sama sekali tidak tahu. Suasana di sekelilingnya benar-benar mengerikan.

Sesekali dia seperti mendengar ada sesuatu yang berjalan dari arah semak-semak. Tetapi saat ia berhenti dan memastikan, suara tersebut sudah menghilang entah kemana.

Sreeekkk...
Farah spontan langsung menolehkan kepalanya ke arah belakang. Jantungnya berdetak dengan keras, lama ia menatap ke arah semak belukar di hadapannya.

Penasaran dengan suara yang terus muncul. Perlahan Farah berjalan menuju semak belukar tersebut, ia hanya ingin memastikan kalau tidak ada orang lain selain dirinya di tempat tersebut.

Kini jarah Farah dengan semak itu hanya tinggal beberapa langkah. Dengan sekali sentakan keras, Farah langsung menyibakkan dedaunan di depannya.

“Astaga” ucap Farah saat mendapati ada hewan semacam kucing sedang meringkuk di dalam rimbunan semak-semak.

“Golek i opo nduk?” (Cari apa nduk?) terdengar suara wanita tua tepat di belakang Farah.

“Waaaaa... Astaugfirulloh” jerit Farah kencang, sampai dia melompat dan jatuh ke arah semak-semak.

Kini ia melihat sosok wanita tua yang sudah bungkuk, badannya kurus, rambutnya putih serta wajah keriput tengah menatapnya tanpa berkedip.

“Golek i opo nduk? ra apik cah wadon menyang neng panggonan iki” (Cari apa nduk? tidak baik anak perempuan pergi ke tempat ini) ucap wanita itu.

Farah menelan ludahnya, bibirnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan nenek tua didepannya. “A—anu mbah, ngapunten” (A—anu mbah, maaf) hanya itu yang bisa Farah ucapkan.

Bukannya bertanya lebih lanjut, justru nenek itu tersenyum menampilkan giginya yang sudah tidak lengkap.

“Wes, kui kabeh pilihan mu. Menyanggo neng sisih kiwo nek arep mulih. Nek karep nuruti pinginanmu menyanggo neng sisih tengen” (Sudah itu pilihanmu. Pergilah ke sisi kiri jika kamu mau pulang. Tetapi kalau mau menuruti keinginan mu pergilah ke sisi kanan) ucap wanita tua itu.

Seketika Farah menoleh ke arah kanannya, melihat dua percabangan jalan yang tidak ia lihat sebelumnya. Baru setelah ia kembali menoleh ke arah depan. Tubuhnya kembali tersentak.

Sosok nenek tua itu sudah hilang entah kemana, buru-buru Farah berdiri. Ia menatap ke segala arah mencari keberadaan sosok wanita itu. Namun tetap saja, ia tidak melihat keberadaan wanita tua itu.

Tanpa sadar tubuhnya bergetar hebat, ia kembali menoleh ke arah persimpangan. Menimbang, antara mengejar Ayu atau pulang dan merundingkan semua ini bersama Warti.

Farah meraih ponsel yang ada dikantung celanannya. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Warti. Namun sialnya, tidak ada jaringan seluler di tempat tersebut. Hingga, tubunya kembali tersentak dan menoleh ke arah kanan.
“Aaarrrrrrrrggggg”

“Ibu” ucap Farah panik, ia kali ini dengan jelas mendengar suara teriakan wanita. Farah mengenali suara itu, tanpa pikir panjang, ia segera berlari menuju ke arah kanan.

Sekuat tenaga ia berlari menyusuri jalanan yang basah oleh air hujan. Farah tidak memperdulikan tubuhnya yang sudah basah kuyup. Di pikirannya saat ini hanya ingin memastikan keberadaan ibunya.

Cukup lama Farah berjalan, akan tetapi dia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan ibunya. Sejauh mata memandang ia hanya bisa melihat rimbunan pepohonan.

Farah berhenti sejenak, mengatur napasnya. Ingin rasanya kembali, tetapi saat menoleh ke arah belakang dia kaget ternyata dia sudah jauh masuk ke dalam hutan. Bahkan jalanan yang dia lewati sudah bukan berupa bebatuan tetapi tanah basah berlumpur.

“Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?” ucap Farah panik.
Kembali dia mencoba untuk menghubungi Warti, tetapi sama saja seperti sebelumnya ia tidak mendapatkan jaringan seluler disana.

Hingga saat dia sudah diambang putus asa, sekelebat kesadaran muncul didalam hatinya.

“Nyi Sari” batin Farah.

Seketika udara di sekeliling Farah menjadi jauh lebih dingin. Embusan angin bertiup cukup kencang dibarengi dengan aroma bunga kantil yang menyengat.

“Nduk” terdengar ucapan tepat di sisi kiri Farah, Farah menoleh, benar saja sosok Nyi Sari sudah berdiri disana, dengan tangan menunjuk ke arah depan agak ke samping.

Farah menyadari kalau dedemit itu sedang mengarahkannya. Segera ia mengangguk dan langsung berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Nyi Sari.

Hampir sepuluh menit berjalan, pepohonan yang awalnya rapat mulai terbuka. Kini Farah sudah berdiri di pinggir tanah terbuka. Jauh di depannya ia melihat ada sebuah gubuk kecil.

Jantungnya berdegup keras, ada perasaan ngeri untuk mendekat ke gubuk tersebut. Tetapi bagaimana jika ibunya ada disana?

Dengan langkah berat, Farah mulai berjalan berusaha sepelan mungkin agar langkah kakinya tidak menimbulkan suara.

Kini saat dia sudah berada di sisi gubuk, bernaungkan semak-semak yang menutupi tubuhnya. Farah bisa melihat dengan jelas. tempat tersebut benar-benar mengerikan, terlebih dia bisa mencium bau bangkai yang sangat menyengat.

Menguatkan mentalnya, Farah mulai berjalan mendekat. Ia mencari jendela atau celah berlubang untuk mengecek ke dalam gubuk. Hingga saat dia sudah tepat berada di samping dinding bambu. Tubuhnya mematung.

***

Sementara itu...

“Nduk, apa yang sudah kamu lakukan. Ingat nduk, istighfar” ucap Bu Nur yang tengah duduk meringkuk di lantai tanah.

“CKkkk, brisik. Ini semua karena anak perempuan mu itu” kata Ayu tanpa memperhatikan Bu Nur.

“Angga, bangun nak. Bangun” rintih Bu Nur, air matanya merebak. Tubuhnya terasa sakit sekali saat Ayu menorehkan luka sayatan di kakinya. Belum lagi pukulan demi pukulan yang sudah wanita itu lakukan.

Bu Nur tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tadi pagi Ayu datang ke rumahnya dan memberi tahu kalau Farah sedang dalam bahaya. Ia mengatakan kalau anaknya itu sedang pergi ke tempat dukun untuk bisa mendapatkan momongan.

Tanpa pikir panjang Bu Nur menuruti ajakan Ayu untuk pergi bersamanya dan menolong Farah. Akan tetapi saat ia masuk ke dalam gubuk ini. Justru malah melihat ada mayat yang sudah membusuk dan Angga menantunya yang duduk dengan tangan teringat kebelakang.

“Ckkk... Brisik” umpat Ayu jengkel, sedari tadi ia sedang menajamkan indra pendengarannya. Ia tahu kalau Farah pasti datang ke tempat ini.

“Dedemit itu pasti mengarahkan Farah untuk ke tempat ini” ucap Ayu lirih, tidak memperhatikan erangan dan permohonan dari Bu Nur.

Ayu melangkah, mendekat ke arah Angga yang kondisinya sudah tidak karuan. Ia memaksa laki-laki itu untuk memukuli dirinya sendiri saat teringat dengan Farah. Beruntung pelet yang diberikan oleh Mbah Wongso masih berkerja.

“Andai kamu tidak memikirkan wanita itu pasti hidup mu akan lebih lama, Mas” ucap Ayu tanpa belas kasihan.

Tidak menjawab ucapan Ayu, Angga hanya mengerang. Menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ia tangkap dengan indra pendengarannya.

Ayu mencondongkan tubuhnya, mencoba untuk menangkap apa yang diucapkan oleh Angga. Tetapi saat mendengar itu semua amarahnya kembali muncul.

Buggg... Dengar keras Ayu menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut Angga sampai laki-laki itu mengerang kesakitan dan memuntahkan darah dari mulutnya.

“FARAH... FARAH... FARAH... Apa hebatnya wanita itu mas. Lihat lihat aku yang sedari dulu mencintaimu, mendambakan mu. Selalu ada disaat kamu sedang membutuhkan seseorang. Tetapi malah kamu memilih wanita idiot itu” ucap Ayu. Napasnya memburu, ia sudah tidak peduli lagi sekarang.

Terus ia menatap Angga dengan pandangan kesumat. Ia menegakkan tubuhnya. Rambutnya ia sibakkan kebelakang.

“Aku mencintaimu Mas. Tetapi sudah jelas, jika memang harus memilih lebih baik kalian yang mati” ucap Ayu datar.

Ia sudah hilang kendali, dipikirannya saat ini, semua bisa selesai dengan membunuh mereka semua. Jika tidak maka dedemit yang dikirim oleh Farah yang akan membunuhnya.

“Dendammu juga akan kubalaskan Mbah” ucap Ayu sambari menoleh ke arah jasad yang sudah membusuk.

Menghela napas panjang, Ayu bangkit. Segera berjalan ke arah tumpukan benda yang ada di atas amben. Bu Nur yang melihat dan mendengar ucapan Ayu kembali panik. Ia tahu anak perempuan itu sudah tertutup hatinya.

“Nduk, sekali lagi tolong jangan sampai menyesal” ratap Bu Nur.

Ayu diam tidak menjawab, justru dia naik ke atas Amben dan duduk bersila. Matanya terpejam, napasnya terlihat teratur.

Seketika udara disekeliling mereka berubah menjadi jauh lebih dingin. Angin menderu dengan hebat membuat jendela kayu di gubuk tersebut terbuka dengan keras.

***

Sementara itu dari luar gubuk. Farah berdiri mematung melihat keadaan ibu dan suaminya yang begitu memprihatinkan.

Tanpa sadar tubuhnya bergetar dengan hebat. Ia tidak menyangka Ayu bisa melakukan tindakan sejauh ini. Ingin dia segera masuk ke dalam dan menolong mereka berdua tapi apa yang harus dilakukannya?

Farah tersentak, ia mendengar pukulan yang mengaung dari arah dalam gubuk. Seketika Farah menutup mulutnya saat melihat Ayu kembali memukul Angga.

Tangan Farah terkepal kuat, ia tidak tahan melihat itu semua. Ia harus segera menolong mereka. Tetapi saat hendak menghambur ke dalam. Ayu kembali bergerak, segera dia berjalan ke arah amben dan duduk bersila.

Farah mengurungkan niatannya, kembali menatap Ayu. Kini ia bisa merasakan ada sesuatu yang menekan batinnya. Sensasi yang ia kenali saat Nyi Sari akan muncul dihadapannya.

Namun kali ini bukan Nyi Sari yang datang, melainkan beberapa pocong dengan wajah yang begitu hancur serta kain kafan penuh darah. Farah memekik, ia mundur beberapa langkah. Ingatan bagaimana sosok dirinya dan Ayu yang terpocong kembali muncul dihadapannya.

Dalam ketakutan, Farah mencoba untuk memanggil sosok dedemit wanita yang sudah menjalin perjanjian dengannya.

“Nyi, Nyi Sari” batin Farah.

Farah menunggu, namun dedemit itu tidak kunjung muncul. Justru dia malah mendengar suara riuh dari arah belakangnya.

Segera menoleh ke arah belakang. Farah mengerang ketakutan. Tubuhnya benar-benar gemetaran sekarang. Mengerahkan semua kekuatannya, ia mencoba untuk bersembunyi.

Farah melihat beberapa laki-laki bertelanjang dada tengah berjalan ke arah gubuk. 4 laki-laki memanggul keranda berwarna hijau, satu orang memanggul kendi besar dan satunya lagi membawa sebilah golok.

Farah terus melangkah mundur, tangannya menutup mulutnya berusaha untuk tidak berteriak ketakutan. Tetapi saat hampir mencapai semak-semak. Tiba-tiba saja orang-orang yang membawa keranda tersebut berhenti. Perlahan mereka menolehkan kepalanya ke arah Farah.

Farah menjerit tanpa suara, dengan jelas ia melihat wajah rombongan laki-laki itu. Tanpa ada tulang pipi. Bibir terkoyak hingga ujung telinga serta ruang yang seharusnya terisi bola mata terlihat kosong.

“PATI MU OPO BOCAH WADON KAE” (kematian mu apa anak perempuan itu) ucap suara seorang laki-laki menggaung di telinga Farah, berbarengan dangan gelegar guntur yang menggetarkan tanah.

Farah menggeleng, berulang kali dia memanggil Nyi Sari tetapi dedemit itu juga tak kunjung muncul. Ia menyesal tidak menuruti ucapan Warti. Seharusnya saat ini dia yang menikmati melihat Ayu hancur. Kenapa jadi seperti ini? Apa salahnya?

“Rampungno nduk” (Selesaikan nduk) ucap suara Nyi Sari.
Bagai tersambar petir, Farah tersadar dari kediamannya. Ia kembali menoleh ke arah gubuk, di sana ada Ibu dan suaminya. Tidak mungkin dia meninggalkan mereka di tempat ini.

Dengan tekad bulat, Farah kembali melangkah ke arah gubuk. Meski rasa takut yang menyelimuti batinnya, ia terus berjalan. Melewati sekumpulan para pembawa keranda tersebut.

Dari sudut matanya Farah bisa melihat mereka semua menatapnya. Seolah mereka sedang menanti, nyawa siapa yang akan mereka bawa menggunakan keranda itu.

Sesampainya di depan pintu gubuk...

Brrrrukkkk... sekuat tenaga Farah menendang pintu gubuk yang terbuat dari kayu. Kini ia bisa melihat dengan jelas keadaan orang-orang yang ada di dalam sana.

Ibunya tengah meringkuk, rambutnya acak-acakan. Di sudut bibirnya berdarah, terlihat beberapa luka lebam di wajahnya. Kakinya juga sepertinya sudah dilukai oleh Ayu.

Ia menoleh ke arah Angga, keadaan laki-laki itu jauh lebih buruk. Tangannya terikat dibelakang punggungnya. Kaos putih yang ia kenakan sudah berlumuran darah yang belum juga mengering.

“Farah” kata Ayu.

Seketika Farah menolehkan kepalanya menuju ke sumber suara. Ia melihat Ayu tengah duduk bersila menatapnya. Disekelilingnya para pocong itu juga menatapnya seolah ingin melumat tubuhnya.

Farah terus menatap ke arah Ayu tanpa rasa kasian di hatinya. Ia benar-benar benci dengan wanita itu. Terlebih dengan apa yang sudah ia perbuat.

“Farah sahabatku, akhirnya kamu datang juga” ujar Ayu.

Farah tidak menggubris ucapan Ayu, ia mulai melangkah menuju ke arah Ibunya.

“Nduk, kenapa datang ke tempat ini. Pergi nduk, pergi” erang Bu Nur lemah.

Farah menggeleng, setitik air mata jatuh di pipinya. Ia benar-benar merasa sakit saat melihat keadaan Ibunya, orang yang sudah melahirkan dan membesarkannya.

“Apa maumu?” tanya Farah menatap ke arah Ayu.

“Hahah mau ku? Mau ku? Bukannya kamu sudah tahu dari dulu apa mauku?” kata Ayu tertawa tanpa kebahagiaan.

“Kamu sudah membuat suamiku menidurimu, menghancurkan mimpiku. Sekarang apa lagi? APA LAGI YU?” ujar Farah yang sudah tidak bisa menahan emosinya.

“Kematianmu Far” ucap Ayu datar.

Farah beranjak, dari sudut matanya ia sudah melihat kehadiran Nyi Sari berdiri tidak jauh dari tempat Angga. Penampilannya sungguh berbeda. Rambut yang biasanya terjuntai lurus, kini terlihat acak-acakan. Raut wajahnya menggambarkan kemarahan yang belum pernah ia tampilkan.

“Ckkk, aku tidak menyangka. Wanita polos sepertimu bisa membuat perjanjian dengan dedemit seperti itu. Siapa yang sudah mengajarimu Far?” tanya Ayu.

“Bukan urusan mu” ucap Farah singkat tanpa memandang ke arah Ayu. Ia terus melangkah menuju ke arah suaminya.

“Mas, Angga” ucap Farah singkat, hatinya benar-benar pedih melihat kondisi suaminya.

Sejenak, Farah terdiam. Kemudian ia melirik ke arah Nyi Sari. “Nyi, Tolong suamiku” batin Farah.

“Percuma saja, sukma suamimu sudah ku ambil dan ku sembunyikan. Dedemit itu tidak akan bisa menolongnya” kata Ayu yang masih saja duduk bersila.

“Apa maksudmu?” tanya Farah yang kali ini menolehkan kepalanya.

“Ku kira dengan kamu sudah bermain bersama dedemit itu, kamu jauh lebih pintar Far. Nyatanya justru malah membuktikan kalau kamu tidak tahu apa-apa. Kau pikir dengan mengirimkan dedemit itu dan membunuh kedua Mbah Wongso dan Santi akan membuatku ketakutan?” jelas Ayu.

“Maksudmu? Siapa yang membunuh siapa?” kata Farah tidak mengerti.

Ayu mengerutkan dahinya. Mencari kebohongan di wajah cantik sahabatnya itu. Tetapi justru yang ia temukan hanya sorot mata yang terluka.

Melihat ada kesempatan, Farah segera berlari menerjang Ayu. Nyi Sari baru saja memberitahu sesuatu, kebenaran yang mungkin tidak bisa dicernah oleh akal manusia. Ia harus segera membuat pilihan.

“Aaaarrrgggg” teriak Ayu saat Farah menubruknya, membuat tubuh kedua wanita itu jatuh terpuruk ke lantai.

Sedang pocong, yang ada di belakang Ayu seperti melolong dan mengeluarkan bunyi desisan yang aneh. Membuat bulu kuduk berdiri.

Buggg.... Farah sekuat tenaga memukulkan tangannya ke arah pipi Ayu. “Brengsek kamu Yu, Brengsek” ucap Farah.

Ayu yang tidak mau kalah. Juga mencoba untuk membalas perbuatan Farah, tetapi sia-sia. Tanpa Farah ketahui, wanita itu mencoba untuk menggapai pisau kecil yang ada di ujung amben.

Craaatttt....

“Aarrrggg” erang Farah saat mendapati tangannya terasa perih.

Mendapat kesempatan, Ayu langsung mendorong Farah dengan keras. Ia menggumamkan sesuatu. Seketika suara lolongan mirip anjing dan suara desisan aneh mulai menggema di dalam gubuk.

Ke enam pocong yang ada di belakang Ayu mulai menggeliat. Dari sudut matanya, Farah merasa ngeri. Para dedemit itu mulai bergerak ke arahnya.

Menahan rasa sakit, Farah mundur dengan menyeret pantatnya. Mencoba membuat jarak sejauh mungkin dengan sekumpulan pocong yang mulai mendekatinya.

Farah terus mundur, hingga ia merasakan punggungnya menyentuh kaki seseorang. Ia sudah sampai tepat di bawah Angga.

“Gila kamu Yu” ucap Farah ketakutan, kini sosok pocong sudah mulai mendekat ke arahnya hanya tinggal beberapa meter. Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.

“Pati... Pati... Pati...” (Mati... Mati... Mati...) terdengar suara riuh di telinga Farah.

“Tolong” ucap Farah, ia melihat Bu Nur wanita itu hanya bisa meringkuk lemah dan menangis. Seolah ia tahu apa yang sedang datang ke arah anaknya.

“Maafkan Farah Bu” ucap Farah parau.

Farah sudah bisa melihat jelas wajah salah satu pocong. Cairan hitam seperti darah keluar dari mulut dedemit itu. Aroma yang di timbulkan begitu memuakkan membuat perut Farah bergejolak ingin memuntahkan isinya.

Bruuukkk... Farah mendengar suara hantaman keras tepat di depannya. Segera ia membuka mata, salah satu pocong yang hampir meneteskan cairannya ke wajahnya tiba-tiba saja terpukul mundur. Tubuhnya menggeliat, seperti menahan kesakitan.

Tepat dihadapannya saat ini berdiri Nyi Sari. Ia lupa akan keberadaan Nyi Sari. “Menyat nduk, rampungno opo sek wes dimulai” (Berdiri nduk, selesaikan apa yang sudah dimulai) ucap Nyi Sari tanpa memandang ke arah Farah.

Mengatur napasnya, kini Farah melihat sosok pocong yang tadi menuju ke arahnya berhenti. Seolah takut dengan kehadiran Nyi Sari.

Farah mulai berdiri, menatap ke arah Ayu yang seperti takjub dengan apa yang ia lihat. Mulutnya setengah terbuka, matanya membulat sempurna.

Menyadari Farah tengah menatapnya, Ayu reflek segera beranjak. Namun Farah yang juga sudah menyadari niatan Ayu untuk pergi. Ia langsung menghambur, tidak peduli badannya menabrak Nyi Sari atau tidak.

Bruuukkkk...
Sekali lagi, Farah dan Ayu tersungkur ke lantai tanah yang dingin. Dengan sisa tenaganya, Farah membalikkan tubuh Ayu dan memukulnya membabi buta.

“Bunuh aku Far, bunuh. Maka suamimu tidak akan pernah tertolong. Kamu tahu kan apa yang sedang menunggu kita diluar sana? Hahah” kata Ayu yang kini mulutnya sudah penuh dengan darah.

Farah berhenti, napasnya terlihat memburu. “Bangun” ucap Farah sambil menarik keras rambut Ayu.

“Arrrgggg” teriak Ayu kesakitan saat Farah memaksanya untuk berdiri.

Sekuat tenaga, Farah menyeret Ayu dengan menarik rambutnya. Ia sudah tidak peduli lagi, jika harus menukar jiwa suaminya. Maka tidak ada pilihan lain, dia atau sahabat karibnya itu yang akan mati.

Kemudian, saat sudah sampai di depan pintu Farah langsung mendorong Ayu dengan keras. Tubuh wanita itu terpuruk ke tanah berlumpur yang basah karena air hujan.

“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ada di dalam kendi itu? kamu pikir aku tidak tahu apa yang ada di dalam keranda itu. Kamu pikir aku tidak berani untuk menyelesaikan ini semua?” kata Farah dengan satu tarikan napas.

Ayu terkesiap, tubuhnya menengang. Melihat para pemanggul keranda yang berdiri dihadapan mereka. “Lihat, lihat apa yang sudah kau lakukan. Aku tidak pernah membunuh orang-orang yang sudah membantumu.-

-Mereka mati karena ulahnya sendiri. Jika kau tahu siapa sebenarnya Mbah Wongso, maka kamu tidak akan pernah membelanya. Jika kamu tahu siapa sebenarnya Santi, maka kamu tidak akan pernah berteman dengannya” teriak Farah kencang.

Ayu masih terdiam, matanya masih terpaku dengan sosok para pemanggul keranda. Ia tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Farah.

“Apa maksudmu?” ucap Ayu gemetaran.

“Ku pikir kamu wanita yang cerdas Yu. Nyatanya kamu hanya wanita lemah yang mudah terpedaya” kata Farah datar, memandang Ayu dengan hampa.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close