PANTANG SEBUT "BAU" Dalam Hutan Borneo
Kisah nyata ini sudah beberapa tahun lalu, tepatnya februari 2016. sejak sebulan lalu kami menanti hari ini tiba. Sangat sulit bagi kami untuk menemukan jadwal cuti yang bersamaan. Aku dan ke-3 temanku Riu, Laron, dan Koteng merencanakan penyegaran otak dengan bertualang ke dalam Hutan Borneo.
Tujuan kami adalah camping di air terjun yang terletak disebuah kabupaten di Kalimantan Barat. Musim memang sedikit kurang jelas karena hari yang sangat cerah bisa tiba-tiba menjadi hujan deras, namun hal tersebut tidak menyurutkan keinginan kami untuk tetap menjalankan rencana.
Satu malam sebelum keberangkatan, aku mengirim sebuah pesan teks di grup chat kami.
“Oo abang-abang, ngape perasaan aku ndak enak ye? Jadi ke kite pergi ni?” tanyaku.
“Eh ngape pulak? Jadi lah. Dah lama kite ngatur jadwalnye masa ndak jadi pulak..” Balas Riu 3 menit kemudian.
Sungguh perasaanku malam itu benar-benar tidak nyaman. Ada keinginan untuk membatalkan petualangan tersebut tetapi akhirnya perasaan khawatir itu berkurang seiring masuknya sebuah pesan baru dari Laron dan Koteng
“Jadi dek, ente kurang bedo’e tu makenye galau.” Sahut Laron sembari menyelipkan emoticon tertawa
“Dah lah dek, yang penting udah ijin same Mamak Bapak. InshaAllah aman. Kite kan nak belibor jak, Bukan nak aneh-aneh. Masa iye dah susah payah nyarek libur same-same lalu tak jadi.” Timpal Koteng.
“Aok ye..Bismillah.” Jawabku pada akhirnya.
Packing barangpun ku selesaikan malam itu juga. Kami berjanji temu di rumahku pukul 3 pagi karena hanya akan mengendarai 2 motor saja. Aku dibonceng oleh Riu, sedangkan Koteng dengan Laron.
Pukul 3.45 WIB, meleset dari jam yang ditentukan barulah teman-temanku datang semua.
Setelah semua dirasa aman, kami memulai perjalanan pagi itu ditemani semburat mentari yang mulai menyapa langit. Perjalanan kami tempuh dari sekitar 7 jam untuk sampai di Desa D***E A*I. Desa tersebut merupakan pintu masuk untuk memulai perjalanan (kaki) menuju air terjun.
Di sana kami menitipkan motor di rumah Kepala Desa karena menuju air terjung hanya ada jalan setapak dan tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor. Kemudian kami memperkenalkan diri sekaligus meminta ijin dan doa dari beliau sebelum memulai perjalanan.
Saat bertemu sapa dengan Kepala Desa, Beliau berucap
"Nak, kau beranikah naik kesana? Kebanyakan anak perempuan putar balik pas udah sampai di pondok (Rumah istirahat disetengah perjalanan). Pesan apak, kalian jaga omongan. Kalau cium bau ndak enak jangan sebut.
Kalau ndak tau arah jalan ikut jak suara air. Ingat ya, kalau cium bau usah disebut.” Tegas Pak Kepala Desa. Beliau kemudian memberi sebotol air putih yang telah diberi bacaan ala tetua kampung. Untuk berjaga katanya.
Sejenak nyaliku menciut. Kalau perempuan tidak kuat berjalan kesana dan hanya sampai setengah perjalanan, bagaimana nanti kalau aku benaran tidak kuat? Masa pulang sendiri?.
Koteng sepertinya membaca pikiranku “Udaaah, mampu kok mampu. Cupu kau ni dek.” Katanya sambil tergelak.
Kamipun mulai perjalanan naik sekitar pukul 14.00 WIB. Menurut informasi dari salah satu penduduk desa yang kami ajak berbincang tadi, jarak dari Desa hingga ke Air Terjun kurang lebih memakan waktu sekitar 5-6 jam apabila berjalan dengan santai. Hingga muncul perkiraan bahwa kami akan sampai sekitar pukul 8 atau 9 malam.
Belum sampai setengah jam berjalan, Laron yang belum pernah bertualang sebelumnya tiba-tiba berkata “bauk ape ni teng?? Busuk benar.” Sepertinya ia lupa akan pesan yang disampaikan oleh apak tadi.
Riu secara mendadak pun menepuk kepala Laron sambil berucap
“Heh bodo bale kau ni. Ndak ingat ke ape kate orang tue tadi tu? Tak usah nyebot kalau ciom bauk!”. Aku melihat wajah Riu sedikit kesal. Kurasa dia mengkhawatirkan hal tersebut.
“Maap wak, tak sengaje aku. Lupa.” Jawab Laron sambil terus melanjutkan langkahnya.
Sekitar pukul setengah 5 sore kami sampai di pondokan. Ternyata pondokan ini berada tepat dipinggir sungai aliran dari air terjun. Airnya berwarna kemerahan khas tanah gambut.
Di pondokan kami bertemu dengan seorang penduduk kampung yang sedang memancing. Koteng yang begitu antusias dengan pancing memancing mendekati Bapak tersebut.
“Pak tua, nyari apa nuan?” Tanya koteng
“Bodoh kau ni nanya nye. Nyarek ikan la die.” Ujar Laron setengah berbisik.
Pak tua yang mendengar percakapan tersebut tertawa kecil sambil berkata “Sini jang, banyak seluang disini.”
Koteng berjalan menuju tepian sungai mendekati Pak Tua.
“Dah ada dapat kah pak??” Tanya koteng lagi
“Ada ni, bapak dapat 2 ekor. Kalian mau kah?” ujarnya
Aku yang mendengan tawaran ikan segar gratis langsung berlari menuju pak tua.
“Maok lah pak hehehe, lumayan untuk malam.” Jawabku cengegesan.
Pak tua tersenyum sambil melepaskan 1 ekor ikan yang ia ikat di tepi sungai kemudian menyerahkannya padaku.
“Kalian mau naik? Hati-hati ya. Oiya, ikan tu ndak boleh dibakar dalam utan. Kalau mau makannya direbus-rebus jak.” Kata Pak Tua.
“Emangnya ngapa pak?” tanya riu
“Pantang bakar seluang dalam utan nak, kalau kata kami orang kampung. -
Bakar seluang di utan bisa manggil penghuni dari alam lain. Terserah kalian mau percaya atau ndak, Cuma tolong dihargai jak.” Lanjut Pak Tua.
“Ohh.. iya pak, siap.” Sahut kami kompak.
Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Tak terasa terlalu lama beristirahat dan berbincang, kami baru mulai melanjutkan perjalanan setelah isya.
Sudah bisa dipastikan perjalanan ini akan memakan waktu lebih lama dan kami akan sampai sangat larut.
Berada dalam hutan pada malam hari cukup membuat kami merasa was-was, ditambah lagi napas terasa cukup engap karena menggendong tas gunung yang lumayan berat dan juga harus berbagi oksigen dengan tetanaman hijau.
Menjelang satu jam berjalan tiba-tiba aku merasa ada hembusan pada tengkukku seiring dengan bisikan “hoooii..” pelaan sekali. seketika karena terkejut aku berlari menepuk pundak riu yang berada didepanku.
“Bang, ape barusan tu!? takut aku bang!” ucapku sedikit berteriak.
“Ape dek?? Ngape kau ni?” Kata Riu.
Koteng yang berada dibelakangku yang melihat aku ketakutan langsung menyambung obrolan.
“Kau ndak dengar ke yu? Ade yang bilang ooiii tadi tu tapi macam bisik-bisik.” Tukas Koteng.
Belum sempat riu menjawab, tiba-tiba pandangan mataku mengarah kepada sebuah pohon berukuran besar namun sedikit rindang. Badanku kaku lalu aku terduduk ditanah. Kulihat rambut awut-awutan menjuntai dari sebuah dahan pohon tersebut.
Rambut yang begitu panjang sampai menyentuh tanah. Ntah kenapa mataku tak bisa ku alihkan dari sana. Seolah terhipnotis, pandanganku terus mengarah keatas dahan hingga terlihatlah sesosok perempuan pucat tanpa busana dengan kepalanya yang merah. Matanya melotot kearah kami.
Laron dan Koteng kebingungan seolah tidak melihat apa-apa. Sementara Riu, satu-satunya orang yang peka dengan hal-hal berbau mistis langsung mengambil air putih dan mengusap wajahku. Setelah itu barulah aku sadar dan menangis karena takut.
"Ndak usah diliat agik dah." Ujar Riu.
“Bang, bende ape tadi tu. ngape telanjang gitu. Huu..huu..” Kataku sambil terisak.
“Dah ndak ape, Bace doa yang banyak.” Jawab Riu.
Setelah dicari tau ternyata Koteng dan Laron sempat buang air dipepohonan tanpa permisi. Mungkin sosok tadi adalah penunggu wilayah hutan tersebut.
Setelah merasa sedikit lebih tenang, kami melanjutkan perjalanan. Jam menunjukkan pukul 9 malam dan kami masih belum sampai ke tempat tujuan. Ditemani cuaca yang mulai gerimis juga lintah-lintah yang menggerogoti kaki, bau tanah serta dedaunan basah membuat hawa semakin sejuk dan berhasil membuat jemari mengkerut.
Perlu diketahui bahwa berada di dalam hutan kali ini tentu saja tidak ada sinyal telepon, namun yang terjadi pada kami cukup mengejutkan.
Terdengar suara nada dering yang sangat nyaring. Kami berempat saling berpandangan lalu mengecek handphone masing-masing.
Benar saja, tidak ada sinyal sama sekali dan handphone kami dalam mode pesawat. Lalu suara apa tadi??
Merasa cukup lelah dengan beberapa kejadian aneh sejak sore tadi, kami memutuskan untuk meregangkan pinggang di sebuah atap beralas kayu kemudian membuka tas mengeluarkan peralatan masak untuk menyeduh kopi juga mie instan.
Begitu tas terbuka yang kulihat adalah ranting pohon dan batu-batu kali. Pikiranku langsung mengarah pada Laron.
“Bang ron, ngape banyak ranting daon same batu dalam tas aku ni? Tak usah macam gitu la. Berat kali..” ujarku sewot menuduh kepada laron.
Karena dari kami berempat Laron adalah orang yang paling jahil. ia yang tidak merasa melakukan hal usil tersebut membela diri dengan sedikit marah
“Ngape jadi aku pulak ni yang kau tudoh. Ade ndak kau liat aku buka-buka tas kau tu??!!” Jawabnya.
Aku terdiam dan sedikit membenarkan ucapannya. Koteng, yang tertua diantara kami menengahi.
Ia mengambil alih tasku dan memeriksanya. Semakin ia membuka tas, lagi-lagi hal mengejutkan seperti menohok jantung.
Separuh isi tas yg berisi logistik utk camping hilang. Tidak ada beras, tidak ada telur, hanya tersisa 2 botol air kemasan, 4 dari 10 mie instan, 2 kaleng sarden, beberapa sachet kopi.
Aneh!/ Bagaimana bisa persediaan makanan kami menghilang padahal sudah dicek sebelum berangkat?
Bagaimana bisa ranting pohon & batu berada dalam tasku sementara sepanjang jalan kami tidak membuka tas? Koteng memandang Riu seakan bertanya apa dan bagaimana semua itu bisa terjadi. Riu menghela napas kasar
“Dah la yook, bikin kopi jak dulu sama mie nye kite bagi biar cukup.”
Aku yang masih merasa sungkan kepada Laron belum berani menegurnya dan kamipun saling diam.
mungkin karena lelah yang sudah tercampur aduk dengan gelisah juga takut. Hening sudah malam itu.
Koteng yang paham dengan perasaanku berkata
“Dek kite jalan duluan jak yok. Biar Riu same Laron cek ulang perlengkapan, kite cari jalan. Kayaknye udah ndak jauh, di depan mulai masok kebun bambu. Kalau ndak salah tadi pak tua bilang abis kebun bambu tu air terjunnye.”
“Ndak ah bang, takot aku. Same-same jak berempat.”
“kau tu lagi kesal. Ndak boleh di hutan bawa emosi. Kite duluan biar agak santai. Ndak usah takut, abang bekal parang. Kalau ade antu kite tebas jakunnye hehehe.”
Akupun akhirnya memutuskan untuk berjalan bersama koteng duluan.
Memasuki kebun bambu, hawa malah menjadi semakin dingin padahal gerimis sudah mereda. Sepanjang jalan aku memegang tali tas Koteng karena takut.
Kebun bambu yang teramat rimbun itu menimbulkan suara gesekan yang cukup membuat bulu kuduk berdiri.
Ditambah lagi suara monyet hutan dan kodok bangkong yang bersahutan semakin membuat sugesti rasa dinginku menjadi-jadi.
Tak lama terdengar
“kikikk..kikiikk..”
Aku dan Koteng berdiri mematung saling pandang. Rasa takut yang sudah melebihi ambang batas berhasil membuat pikiranku buyar.
Aku menatap sekeliling, begitu pula dengan Koteng. Kami menyenter setiap batang bambu disekitar kami yang bergoyang-goyang.
“kikikk..”
Kudengar suaranya menjauh. Aku menatap Koteng, ia melihatku dan berbisik
“Yok dek, pelan-pelan. Bilang numpang lewat atokk inek, kami ndak ngacau (ganggu).” Ujarnya.
Aku mengikuti langkah koteng sampai melewati sebuah jembatan bambu diatas aliran anak sungai.
Tiba-tiba ‘Dugg !’ sebuah batu kecil mengenai pundakku.
Aku menoleh ke asal batu itu terlempar dan
“Bang Tenggg, antuuu merah tu!!!!” jeritku sambil menunjuk sesosok kuntilanak merah yang berada di atas rerimbun bambu sebelah kiriku.
Koteng menoleh kearah tempat yang kutunjuk, ia mengeluarkan parang sembari berlari kesana.
Aku yang penakut ini turut berlari mengejar Koteng yang tetiba terdiam menatap kearah bambu.
“Ndak ade dah dek mahluknye.”
Aku menahan takut dengan meremas rumput yang ntah kapan kucabut
Aku hanya diam sambil memandang sekeliling mengamati setiap rimbunan bambu yang ada disekitar kami.
Kosong, tak ada siapa-siapa selain kami berdua namun seperti ada yang janggal.
“Bang, cobe ente peratikan. Kite udah lewat sini 3x. Liat tunggul besar yg bekas tebakar tu.” Kataku sambil menunjuk sebuah potongan pohon sisa tebangan.”
Sekarang, gantian Koteng yang terdiam, kurasa iapun merasakan keganjilan itu.
Diantara rasa takutku yang entah kemana, --
“Benar kan bang, harusnye tadi kite same-same berempat jangan misah. Kite tunggu disini jak ye bang. Dah ndak kuat dah, sejok, dengkul dah leteh, seram pula.” Ujarku.
Koteng hanya mengangguk.
Kami berdua pun duduk diatas tanah dekat dengan tunggul sembari menunggu Laron dan Riu menyusul kami. Selang 20 menit berlalu, Aku masih menunggu kedatangan 2 teman kami yang lain sambil mengedarkan pandangan, memeriksa sekeliling. Mataku mengarah kedepan, aku seperti melihat sosok yang sepertinya ku kenal.
“Bang teng, cobe tengok disana. Itu bukannye bang Riu same laron??”
“Mane??”
“Itu tuu, yang di pinggir jalan agik duduk. Bajunye same.”
Kotengpun terkejut melihat Riu dan Laron sedang duduk dipinggir jalur perjalanan. Jaraknya sekitar 30 meter didepan kami.
Aku mengajak Koteng menyusul sesegera mungkin. Mendekati Riu dan Laron, Koteng yang sedari tadi terlihat bingung langsung menyerbu mereka dengan pertaanyaan
“Oi.. bile kitak (kalian) lewat?? Kok aku ndak liat kitak ngelewatin kame’ bedua?”
“Hah??? aku sm Laron dah 10 menit duduk disini wak. Kok kau malah muncul dari arah belakang?? Bukannye tadi duluan?” Tanya riu kaget.
“Dah dah, ndak beres ni. Yok mending kite langsung jalan biar cepat sampai.” kata Laron.
Kamipun melanjutkan langkah ditemani hening dan suara angin. tak lama kami mendengar suara deras air.
Timbul perasaan senang dan tenang karena itu pertanda Air terjun sudah didepan mata.
Kami mempercepat langkah hingga sampailah pada tujuan menjelang pukul 11. Benar-benar jauh dari perkiraan. ah Sudahlah.
Laron membersihkan area dipinggir aliran sungai kemudian Riu dan Koteng membangun tenda. Sedangkan aku mempersiapkan peralatan untuk memasak sisa-sisa logistik yang kami punya.
Rasa lapar membuat tubuh kami gemetar namun apa daya, sepertinya setan sedang ingin banyak tertawa.
Tenda beres masak pun beres. Kami duduk mengelilingi api sambil bercerita dan minum kopi.
Koteng disebelahku sibuk menyantap ikan pemberian Pak Tua yang kami rebus alakadarnya.
Ntah aku apes atau apa, berkali-kali aku mencium aroma yang keluar dari lubang jubur salah satu temanku. Yakin sekali aku mendengar suara hembusannya dari arah Riu. Kucubit lengannya,-
“Gile busuk kentut kau bang. Ndak berak berape bulan?? abis makan telor rebus taun lalu ke??” selorohku santai sambil mengunyah.
Ketiga temanku saling berpandangan kemudian Riu berkata
“Mati lah kite matiiii.” Sambil menepuk jidatnya.
Aku yang tersadar baru saja melakukan kesalahan menjadi kikuk. Suasana menjadi semakin kaku.
Burung hutanpun tak lagi terdengar kicaunya. Hanya terdengar suara air, seperti hanya kami berempat yang berada disini. Riu, Koteng dan Laron akhirnya memutuskan untuk segera tidur setelah menyelesaikan makan dan ngopi. Rencananya besok sore kami akan pulang karena menimbang-nimbang persediaan logistik yang sangat tidak cukup untuk berkemah lebih lama sesuai rencana.
Cukuplah berfoto-foto beberapa jam dan mandi di air terjun yang indah itu.
*Sesaat setelah tenda dipasang dan menanti kopi panas*
Aku memasuki tenda mencoba untuk memejamkan mata kemudian terlelap. beberapa waktu berikutnya aku merasa kaki ku sangat dingin.
Aku terbangun dan melihat layar handphone yang menunjukkan pukul 2 pagi.
Samar kudengar suara Koteng berbincang entah dengan siapa sambil mengaduk kopi karena terdengar pula suara temu cangkir dan sendok dari arah luar.
“Bangun ke kau dek?” tanya Koteng dari luar.
Bagaimana ia tau aku terbangun? pikirku.
“Iye bang, ntah ni kaki aku sejoookk. Padahal dah pakai kaos kaki same sleepingbag. Abang ngape ndak tidok??.” tanyaku pelan.
“Abang nak mandi, cobe kau ikot abang sini. Aek sungai nye hangat.” Jawab koteng dengan suara datar.
“gile kali bang mandi jam segini.” Ujarku.
Tak mendengar jawaban dari Koteng, akupun keluar dari tenda dan kulihat koteng sudah berada ditepi sungai.
“Yoook..” Ujarnya lagi sambil melambaikan tangan.
Entah antara sadar dan tidak, aku mengikuti koteng menuju sungai hingga air mencapai pinggangku tiba-tiba kudengar riu berteriak
“Ano!!” Riu bergegas menuju sungai dan aku ditarik olehnya menuju tepian.
“Woy bodo!! Ngape kau??!! Nak mati ke!!.” Tanya riu cepat.
Aku merasa linglung dan kebingungan.
Kulihat riu, kulihat pula tendaku, api unggun yang setengah menyala. Kemudian kubilang
“Bang, tadi bang koteng ngajak aku main ke air. Aku kedinginan, die bilang di sungai angat.--
Jadi aku ikot.” Jawabku pelan.
“Koteng?? Kau tengok tu di tenda sebelah kau, koteng lagi tidok begulung die!”
Kuperhatikan tenda mereka. Benar, ada koteng disana sedang tidur dengan nyenyak. Seketika tubuhku menggigil dan mataku terasa panas, napaspun menjadi sesak tiba-tiba.
“Astaghfirullah.. nah minum lok, abis tu ganti baju.” Kata Riu sembari memberikan segelas air putih.
Aku mengangguk kemudian masuk ke tenda dan berganti baju. Masih tak habis pikir, aku sangat yakin kalau tadi itu Koteng dan dia sudah ke dalam sungai duluan.
Karena terlalu lelah akupun tertidur kembali hingga pagi menjelang.
Sedari subuh sebenarnya aku sudah terbangun, tak bisa benar-benar tertidur lelap. Kembali aku mencium aroma yang memenuhi rongga hidung.
Bedanya, kali ini yang tercium adalah wangi asap kayu lukai.
Kayu lukai sendiri biasanya dipakai masyarakat dayak untuk mengusir energi negatif.
Arang bakarnya dioleskan ke anak bayi yang katanya “dijahilin” mahluk alam lain. Ataupun sekedar dibakar untuk mendapatkan aroma asap yang wangi.
Sebelum lanjut ada info tambahan dr mamaku, beliau baca thread ini. Jd maksudnya kayu lukai ini bukan cm untuk ngobatin anak kecil ya. 🔥
Aku benar-benar menahan diri untuk tidak lagi menyebut bebauan yang kuhirup. Cukuplah kejadian semalam membuatku jera walaupun aku mengatakannya tanpa sengaja.
Pukul 6 kupaksakan diri keluar dari tenda, masih kudapat sentuhan embun diwajahku. sejuk menyegarkan.
Kulihat tenda sebelah tempat para bujang merebahkan tubuh, mereka masih terlelap.
Bau asap kayu lukai seperti aromatherapi yang membuat semakin tenggelam dalam tidur.
Aku menyalakan kembali perapian sisa semalam yang mungkin padam karena embun.
Mendidihkan sedikit air kemudian menyeduh kopi yang sepertinya menjadi pilihan yang ciamik sebagai teman menikmati keindahan air terjun dan sungai-sungai disekitarnya.
Waktupun berlalu. Menjelang pukul 10 pagi ketiga temanku bangun, sepertinya mereka kelelahan.
Semoga saja tidurnya cukup untuk mengisi ulang energi yang terkuras kemarin.
Sudah kumasak habis logistik yang memang tersisa sedikit untuk makan pagi ini, lagipula kami akan mempercepat jadwal pulang mengingat kondisi yang memang sudah tidak mendukung. Cuaca sangat cerah, selesai makan dan ngopi kami sempatkan untuk bermain di air terjun dan berswafoto sebagai kenang-kenangan dan dokumentasi perjalanan.
Setelahnya kamipun berkemas merapikan tenda, membersihkan sisa sesampahan yang kami bawa dan bersiap-siap pulang.
Kulihat kantong celanaku yang berisi 4 sachet kopi instan dan sebungkus roti selai. Cukuplah pikirku untuk jaga-jaga selama perjalanan.
Tepat pukul 1 siang kami berjalan pulang, meninggalkan cerita dan jejak di Air terjun.
Melangkahkan kaki dengan perasaan yang puas karena sudah berhasil menginjakkan kaki di tempat itu.
Sepanjang jalan kami bercerita, tertawa, berbincang tentang segala pengalaman, hal lucu juga mistis.
Ah, siang hari. Bukan masalah kan? Takabur??? Tentu saja.
Akhirnya kami memasuki kawasan kebun bambu, siang ini semua terlihat sangat jelas. Ternyata setengah dari kebun bambu yg kami lewati kemarin berada dipinggir jurang, benar-benar jalur yang menyeramkan.
Perjalanan pun kami lanjutkan, sampai tibalah kami pada suatu persimpangan.
“Kite kemaren ade ketemu simpang ke?” tanya Laron.
“Ha?? Kayakny ndak ad sih? Lurus-lurus jak kite bejalan.” Jawab Riu.
“Tapi ini simpang ni bang, ambek arah mane kite??” tanyaku
Dari sinilah cerita menegangkan kembali terjadi.
________
Kami berempat berdiskusi sembari mengingat-ingat jalan yang tengah kami lewati, rasanya tidak melewati persimpangan seperti ini.
Setelah cukup lama berbincang sambil beristirahat, kami memutuskan untuk mengambil jalan kearah kanan.
Mengingat pesan bapak kepala desa bahwa apabila kehilangan atau salah jalur, kami cukup mengambil jalan yang dekat dengan sungai untuk bisa kembali ke Desa.
Belum jauh perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
Kami yang tidak sempat mengeluarkan jas hujan pun kebasahan. Sekejap saja basah kuyup sudah.
Melihat langit yang sangat hitam, kami memutuskan untuk memakai jas hujan dalam kondisi baju yang sudah basah karena tidak ada tempat berteduh terdekat.
Jalur ini terasa sangat asing. Memang, walaupun berada di pinggiran sungai yang seharusnya mengarah ke Desa namun perasaan kami malah menjadi sangat tidak tenang.
Seperti akan ada sesuatu yang tidak beres yang akan terjadi. Sambaran petir dan kilat membuat suasana semakin mencekam, tak ada obrolan diantara kami.
Yang kami lakukan hanya berjalan dan terus berjalan membersamai hujan yang semakin deras. Melangkahkan kaki dalam genangan lumpur dengan binatang-binatang air yang mulai menampakkan wujudnya.
Beberapa ekor ular menggeliat di batang pohon, serangga-serangga sibuk naik kedahan menghindari air yang semakin lama semakin naik. Sungai meluap dengan cepat. Kami yang berada di jalur pinggir mulai merasa was-was, berharap hujan mereda dan air surut dengan segera.
Namun sepertinya kenyataan tak selalu berjalan sesuai harapan.
Sejauh kami berjalan rasanya tidak kunjung sampai pada pondokan tempat kami beristirahat kemarin.
Sementara hari semakin sore, hujan tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Air yang semakin lama semakin tinggi berhasil membuat kulit mengkerut dan tubuh menggigil.
Jam menunjukkan pukul setengah 6 sore, sudah hampir 5 jam kami masih berada didalam hutan yang entah kemana arahnya.
Tersesatkah?? Semoga saja tidak.
Sampai kami melihat sebuah jembatan dengan titian bambu yang tergenang.
Semoga jembatan tersebut adalah jalur yang menjadi titik terang perjalanan kami.
Air yang hampir mencapai pinggang sungguh mengganggu langkah.
Koteng mengambil inisiatif untuk melewati jembatan itu dahulu sambil mengulurkan tali guna mengamankan kami yang dibelakangnya.
Baru beberapa langkah, kejadian naas terjadi. Koteng terpeleset di jembatan dan tercebur.
Beruntung ia masih berpegang pada titian dipinggir jembatan itu sehingga masih bisa naik ke atas lagi.
Namun wajahnya memucat, aku hampir menangis saat ia bilang
“kayaknye lengan aku patah ni, pas jatoh tadi bebunyi karne sangkut di pinggir kayu. Sakit wak” ucapnya sendu.
Memang, terlihat ada luka gores di lengannya dan tulang yang sedikit menonjol.
“Bang, macam mane ni bang?” tanyaku sedikit merengek
“Kuat ndak kau bejalan teng? Kalo kuat kite terabas utan ambil arah ketengah cari dataran yg agak tinggi.” Tanya Riu
“Yok pakse jak, ndak mungkin juga betahan disini. Kaki aku udah ndak ade rase ni.”
Gantian riu yang duluan menyeberang jembatan, disusul Koteng, aku lalu Laron.
Kamipun memaksakan diri untuk terus berjalan dengan kondisi lengan Koteng yang sepertinya lumayan parah sehingga tasnya dibawa oleh Laron untuk mengurangi beban lengan yang cidera.
Selepas magrib kami akhirnya berada pada sebuah area yang lumayan tinggi, lebih seperti sebuah gundukan.
Tak apalah asal tidak tergenang. Kami sepakat untuk secara terpaksa membangun tenda darurat karena sudah tak kuat lagi menahan dingin oleh hujan yang menghantam tanpa ampun.
Aku, perempuan satu-satunya diberi kesempatan untuk masuk ke dalam tenda duluan untuk berganti baju yang agak kering.
Suatu hal yang bisa kami syukuri karena tas kami tertolong raincover dan masih tersisa pakaian kering.
Demikian hingga kami semua sudah berada dalam tenda dengan keadaan yang cukup aman.
Saling bersandar punggung menghadap ke 4 arah mata angin.
Setidaknya cara ini cukup meredakan lelah dan perasaan yang kacau.
“Bang, sampai sini jak k cerite kite ni? Ndak ade yang nolong bang.” Ucapku
“Ano, ndak boleh ngomong gitu. Bedo’e lah, inshaAllah baek-baek jak. Balek kite besok.”
“Dah bedo’e dari tadik ni ndak gak kite keluar dari utan, malah kayak gini.” Aku menangis deras.
“Yu, aku haus yu..” Ucap Koteng tiba-tiba.
Kulihat wajahnya semakin memucat, kulitnya yang mengkerut, pun lengannya mulai membiru, lemas dia.
Semacam malaikat pencabut nyawa sudah berdiri dihadapannya.
Apes lagi, trnyata persediaan air kami habis.
Akupun sambil menangis mengajak Riu menampung air dengan jas hujan yang kami bentuk seperti mangkok.
Kulupakan semua rasa takutku atas hantu, setan, atau apapun itu.
Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya agar Koteng bisa segera minum dan bertahan.
Sejahat itu aku berpikir bahwa koteng akan mati. :’D
Cukup lama aku dan Riu menadah hujan, sedikit airnya yang terasa seperti lumpur cukup menghilangkan dahaga, melenyapkan lapar walau sebentar.
Tak bisa kubohongi diriku bahwa aku kelaparan. Aku yakin ketiga temanku juga merasa hal yang sama.
Kami mencoba memejamkan mata dalam keadaan duduk.
Namun belum juga terlelap, terdengar suara beberapa ekor babi hutan dari semak pepohonan di balik tenda.
Emosiku tak lagi terkontrol,
“Ya Allaaaaah, udah laaaahh..!! Lengkap dah hari ni. Ndak cukup ke?? Maok nyuruh babi ngantam kamek agik ke??” ucapku keras.
Aneh, suara babinya mendadak hilang.
Aku menarik kesimpulan kalau babi-babi hutan itu takut padaku.
“Jadi gimane ni? Nunggu hujan reda trus kite cau, atau nunggu besok??” Tanya riu
“Ntah la bang, tak bise mikir dah.” sahutku
“Aku nak balek yuuuuu.. aku nak baleeeeekk...” Ucap Koteng dengan mata yang berkaca-kaca.
“Gimane ye, kalau nekat takutnye malah makin sesat soalnye udah larut. Tapi kalau nunggu besok aku takot koteng tak kuat.” Sanggah laron.
“Disini saja jang.. disini saja..” Tetiba terdengar suara berat menyahut dari luar tenda disusul suara langkah seperti ranting yang terseret-seret.
Samar kulihat sesosok bayangan mahluk kerdil seukuran kira-kira setengah meter memutari tenda kami.
Sejenak ia menjauh kemudian kembali mendekat disertai napas yang kasar.
Pupus sudah harapan untuk istirahat dengan tenang malam ini. Menderita, benar-benar menderita.
Sosok yang entah seperti apa bentuknya itu terus menerus memutari tenda kami seraya menggaruk sisi tenda dengan benda yang dibawanya.
Kami semua terdiam, aku menangis sambil sesekali menahan napas untuk menyamarkan suara. Sekian banyak doa gumamkan, mungkin juga terselip doa mau makan karena sudah terlalu panik. Yang kami inginkan hanyalah “pulang dengan selamat sampai rumah".
Menjelang pukul 3 pagi, hujan berubah menjadi gerimis.
Riu dan Laron nekat memberanikan diri untuk keluar dari tenda guna mengusir mahluk aneh yang sepertinya masih berada diluar.
Berbekal parang yang sudah disiapkan, mereka membuka pintu tenda sedikit demi sedikit.
Laron melongokkan kepalanya keluar kemudian berkata
“Ndak ade siape-siape yu..” ia segera membuka pintu tenda lebih lebar dan mengajak Riu keluar.
Benar. Tidak ada siapapun, tidak ada jejak langkah, atau sisa-sisa yang menunjukkan bahwa ada orang selain kami disini.
Kemudian mereka berdua kembali masuk ke dalam tenda dan memutuskan untuk pulang esok pagi saja karena sudah terlalu lelah.
Kami tak lagi memperdulikan waktu dan apa yang ada disekitar kami.
Lelah dan kantuk sudah tak bisa lagi tertahan. kamipun tertidur dalam keadaan takut, sedih, dan perut keroncongan yang sungguh teramat sangat menyedihkan.
Hingga akhirnya pagi datang, aku terbangun karena mendengar suara orang berbincang dengan bahasa daerah. Dengan tubuh yang terasa ngilu aku keluar dr tenda
“Waaii, ngapa kau disitu nak?” tanya seorang ibu-ibu yang membawa keranjang dikepalanya sambil memeluk seekor ayam. Ia berdiri di dataran yang lebih tinggi lagi dari tempat kami membangun tenda.
Aku yg senang karena melihat orang lain selain kami ber-4 menjawab dengan antusias
“Umaaakk.. kami sesat mak semalam, mau terus jalan tapi jalannya udah tergenang. Ndak tau lagi mau gimana.” Jawabku.
Ketiga temanku bangun dan turut keluar dari tenda.
“Ya ampun, kalian dibikin sesat tu. Ini bah jalur kampung. Coba kau naik kesini tempat umak.” Ujarnya sambil melambai padaku.
Aku naik kearahnya.
Rontok rasa tulangku, jalur pulang hanya berjarak sekitar 6-8 langkah langkah dari tenda yang kami pasang.
Tepat di tempat si mahluk pendek itu menunggui kami diluar tenda semalam.
Umak kemudian menunjuk ke satu arah.
“Ituuu, tu ladang kampung. Kalau tadi malam kau di jalan ini ndak sampai 15 menit dah sampai rumah Kepala Desa.”
Lemas, umak menunjuk perkampungan. Terlihat ladang dan atap-atap rumah penduduk.
Riu menyusul aku keatas, ia tersenyum kesal sepertinya.
“Udah biasa kalau orang baru lewat sini dibikin sesat. Waktu itu juga ada sampai 5 hari dia ndak pulang. ya macam kalian gini lah padahal bejalan disebelah jalur, ngikut sungai. --
Sampai disusul Apak Kepada Desa baru ketemu dia.” Ucapnya
Bisa kan kalian ke kampung sendiri? Umak mau ke hutan ambil kayu jadi ndak bisa antar.” Lanjut umak
“Bisa mak. Bisa.” Jawab kami kompak sambil terus mengucapkan terima kasih pada umak.
Setelah membereskan segala peralatan, kami melangkahkan kaki menyusuri ladang menuju rumah Kepala Desa.
****
Di rumah Kepala Desa, ia menyambut kami dengan senyum sambil melinting rokoknya
“Gimana nak di dalam? Sesat? Apak sih udah tau. hahaha.” Ujarnya dengan enteng sembari tertawa memamerkan giginya yang menghitam.
Kamipun bercerita panjang lebar merunut setiap kejadian yang kami alami, Mak Tua menyuguhkan Indomie rebus + nasi dan es teh manis yang kali ini terlihat seperti makanan mewah.
Koteng yg cidera juga diberikan pengobatan oleh dukun kampung dengan ajian dan ramuan yang dibalur ke lengannya. Begitu juga dengan kaki-kaki kami yang baru terasa nyeri setelah keluar dari “Tanah Tuhan” itu.
Pak Kepala Desa memberi banyak wejangan, yang paling membekas adalah saat ia bilang
“Anakku, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mungkin terdengar tua, namun ini masih berlaku di Tanah Tuhan.
Hutan ini, alam ini Tuhan yang punya dan Tuhan yang jaga. Kalau kita baik sama Alam, Alam juga akan baik sama Kita. Kami, orang kampung berharap hutan itu biar seperti itu. Ndak perlu ada pembangunan jalan aspal untuk kesana, biarlah seperti sekarang.
Biar selalu ada cerita sama kenangan yang bagus. Asal kalian tau, orang kampung sini sendiri juga banyak yang belum ke air terjun itu. Kalian bisa kesana dan pulang dengan selamat itu karena Tuhan. Ingat, Yang menjaga akan dijaga.”
Sungguh petuah yang sangat dalam. Bahwa apapun yang “Sang Maha” kehendaki, maka itulah yang terjadi.