Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 4) - Jejak Masa Lalu

DESA BUKIT MAKAM
(Sudut Pandang Dirga) Sebuah desa kecil terlihat menyembunyikan dirinya dari keramaian. Entah apa yang menjadi rahasia sehingga mereka memutuskan untuk mengasingkan diri dan rela hidup jauh dari perkembangan zaman. Yang lebih membuatku bingung, mengapa Nyai Jambrong membawaku dan Guntur ke tempat seperti ini. Ia tidak memberi tahu sama sekali maksud dan tujuan kami ke tempat ini selain bahwa perjalanan ini adalah langkah untuk menanggulangi tragedi yang mulai datang. Menurut Nyai Jambrong, saat ini siapapun manusia yang berada di desa itu tidak bisa pergi dari sana. Hutan-hutan yang mengelilingi desa itu dipenuhi kutukan yang tak akan membiarkan siapapun meninggalkan desa itu walau hanya selangkah. “Kenapa sih kita harus sampai datang ke desa terpencil kayak begitu, Eyang? Emang Eyang yakin masih ada yang hidup di sana?” Keluh Guntur. “Ada, mereka pasti masih hidup..” Jawab Nyai Jambrong singkat. “Eyang yakin?” Tanyaku. “Lebih tepatnya eyang ingin percaya bahwa mereka masih hidup. Eyang akan lebih menyesal kalau tidak berbuat apa-apa dan ternyata masih ada nyawa yang masih bisa diselamatkan di sana..” Mendengar ucapan Nyai Jambrong itu, tak ada lagi perdebatan diantara kami. Ucapannya benar, walaupun hanya ada satu nyawa yang bisa diselamatkan di sana, itu sebanding. Sejak tadi kami memasuki wilayah hutan dengan waspada. Desa kecil itu berada di salah satu bukit yang sudah terlihat sejak sebelum kami memasuki hutan. Sepertinya keberadaan desa itu memang sengaja berada di puncak bukit seolah bertujuan untuk memantau berbagai hal di sekitarnya. Sayangnya, persis seperti apa yang diceritakan Nyai Jambrong, hutan ini dikelilingi oleh makhluk-makhluk pembawa kutukan. Di beberapa pohon bertengger makhluk hitam yang tak henti-henti meneteskan liurnya. Ketika liurnya menyentuh tanah, cairan itu bergerak dan berkumpul jadi satu membentuk seperti ular yang semakin membesar. Di sisi lain hutan terlihat sekumpulan siluman kelelawar yang bergelantungan di pohon-pohon. Aku mendengar suara aneh dari tempat itu seolah hutan itu sudah dikuasai dengan suara terkutuk yang berasal dari siluman itu. “Kita mulai dari mana, Eyang? Apa harus kita hadapi mereka satu persatu?” Tanya Guntur. Plakkkk!

“Pakai otakmu! Sudah bertahun-tahun ngelawan demit masih saja sradak sruduk,” Balas Nyai Jambrong. “Bener, Tur.. Mending kita nyari buhul yang mengikat setan-setan itu di hutan ini atau sekalian mencari siapa yang memerintah makhluk-makhluk itu,” Ucapku. “Nah! Itu Dirga aja ngerti..” Guntur mengelus-ngelus kepalanya yang dipukul oleh Nyai Jambrong. Terkadang ia memang sering bertingkat tanpa berpikir panjang, tapi aku tahu itu terjadi karena ia sudah terlalu khawatir dengan orang-orang di desa itu. “YA SUDAH, TERUS NUNGGU APA LAGI?!” Bentak Nyai Jambrong. Aku dan Guntur pun kaget dan segera bergegas berlari ke dalam hutan. Guntur mencari pohon tertinggi di dekatnya, memanjatnya dan mencari keberadaan sosok yang menjadi biang keladi kekacauan di hutan ini. Aku tidak mengikutinya dan hanya meletakkan tanganku di tanah hutan itu. Sebuah alunan doa dan ayat-ayat suci kubacakan untuk meruwat tanah yang telah dikutuk ini. Dalam sekejap kehadiranku disadari oleh makhluk-makhluk yang tengah menguasai hutan ini. Tetapi saat itu juga, aku dan Guntur mendapati apa yang kami cari. “DISANA!” “DISANA!” Teriak kami bersamaan. Kami pun melesat ke dalam hutan mengarah ke dua tempat yang kami tuju. Seketika siluman bersayap kelelawar menyadari kedatangan Guntur dan beterbangan mengincarnya. Sedangkan di hadapanku, sosok ular-ular yang bangkit dari liur makhluk yang menjadi induknya pun menghadangku.Mereka tumbuh semakin besar setiap tetesan liur itu mencapai tanah. Aku melindungi penciumanku ketika sadar bahwa ular-ular ini adalah wujud racun gaib yang berbahaya. Dengan cekatan aku menghindari lilitan ular-ular yang mengincarku. Selama bergerak aku melindungi telah melindungi diriku dengan amalan yang diajarkan Nyai Jambrong untuk menghindari diri dari kutukan atau racun makhluk-makhluk itu. Selamat dari sergapan ular, sang empu nya melompat dari atas pohon dan bersiap menghadangku. Aku menoleh ke arah Guntur dan mendapati dia melesat dari pohon ke pohon dengan begitu lincah. Ia tidak menghiraukan siluman kelelawar itu dan bertahan sekuat tenaga dari suara gaib yang memekakan telinga itu. Saat aku yakin bahwa Guntur tetap fokus dengan apa yang ia incar, aku pun semakin yakin dengan tujuanku. Tepat sebelum mencapai makhluk hitam yang bersiap melahapku dengan mulutnya yang besar, aku melesat ke samping menghindari dirinya. Makhluk itu tidak menyangka bahwa aku tak berniat melawannya. Yang kuincar bukanlah itu. Aku mengencangkan tasbih yang kuikat di pergelangan tangan kananku dan membacakan ajian pada pergelangan tanganku. Saat itu juga sebuah kekuatan mengalir ke telapak tanganku. Srattt!!!

Dengan cepat aku menancapkan tanganku ke tanah dan merogoh sebuah benda yang sudah kuincar. Benda itu adalah sebuah bungkusan kain kafan yang berisi jantung manusia yang menjadi tumbal. Aku menariknya dan membawanya pergi sebelum setan-setan itu menyusulku. Masih ada satu benda lagi. Tak jauh dari tempatku berada saat ini. Sayangnya makhluk itu sudah menyadari niatku. Mereka berpencar mengincarku namun aku lebih dulu sampai. Sekali lagi aku mengambil sebuah benda yang terkubur yang ternyata merupakan sebuah tulang yang tertuliskan rajah. Aku mengumpulkan kedua benda itu jadi satu dan bersiap untuk membakarnya. Whoooossssh!!!! Tepat saat api itu menyala seketika makhluk-makhluk yang dengan beringas bersiap mengeroyokku pun menghilang.


Aku lega ketika makhluk yang terikat oleh buhul santet itu tak lagi bisa mempertahankan keberadaanya setelah aku menghancurkan perantaranya. Namun masalah belum selesai, mereka masih mungkin kembali ketika sang empunya mengirimkan lagi. Shrrruaaaaakkk!!! Suara dahan-dahan pohon yang patah terdengar bersama jatuhnya sesosok makhluk berwujud kakek dengan tinggi hampir sepohon pisang. Tumbangnya makhluk itu disusul dengan keberadaan Guntur yang berdiri di salah satu dahan pohon. “Bocah kurang ajar! Ini semua bukan urusanmu!” Teriak kakek dengan wujud mengerikan itu. Jelas manusia biasa akan merinding ketakutan saat melihat sosok seperti itu. Guntur mengencangkan tasbih di tangan kirinya dan membacakan ajian yang sama dengan yang aku bacakan sebelumnya. “Bukan urusanku?! Saat ada satu saja nyawa manusia yang terancam oleh kalian. Itu sudah pasti menjadi urusanku!” Blammmm!!! Pukulan tangan kiri Guntur menembus tubuh setan itu. Itu bukan tubuh roh, itu adalah tubuh dari jasad manusia dari ratusan tahun lalu yang dibangkitkan kembali. “Mayat yang bangkit? Nggak salah lagi, Trah Pakujagar dibalik semua ini..” ucapku menghampiri Guntur. Guntur mengangguk dan merenggangkan kembali tasbih di tangan kirinya dan memasukkan kembali ke sakunya. Aku menggeleng melihat kejadian itu. Bila aku menggunakan butiran tasbih di tangan kananku untuk memohon kekuatan kepada Sang Pencipta, Guntur menggunakan Tasbih itu untuk memohon kemampuan yang mampu menahan kekuatan di dalam dirinya. Kami tidak menyangka bahwa kami akan sampai di titik seperti ini. “Jangan ngelamun, cepet jalan! Banyak nyamuk!” Ucap Nyai Jambrong dengan santainya. Aku dan Guntur hanya saling bertatapan melihat tingkah Nyai Jambrong yang seolah tak mau repot itu. Walau begitu, samar-samar aku melihat senyuman kecil di bibirnya. Mungkin saja senyuman itu menandakan bahwa ia puas dengan hasil latihan kami di pertarungan tadi. Semoga saja… Perjalanan kami berujung pada sebuah desa kecil diatas bukit yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang. Hanya ada beberapa rumah tua yang berjarak dengan satu bangunan besar di pusat desa tersebut. Entah mengapa aku sedikit merasa tidak asing dengan jenis desa seperti ini. “Kulonuwun! Apa ada orang?” “Punten!!” Aku dan Guntur mengelilingi desa itu dan mengetuk rumah-rumah disana satu persatu. Sayangnya tak ada satupun jawaban dari rumah-rumah itu. Semua kosong, tak ada yang terkunci. Benda dan perabotan di rumah itu sudah berdebu seolah telah ditinggalkan cukup lama. “Tidak ada orang?” Tanyaku. Guntur hanya mengangkat bahunya sambil kembali mencari petunjuk. “Kalau tidak ada orang, tidak mungkin setan-setan tadi repot-repot menyegel desa ini. Kehkehekhe..” ucap Nyai Jambrong yang tiba-tiba tertawa. “Keluar kau, nenek nakal!” Aku tidak mengerti apa maksud perkataan Nyai Jambrong. Namun setelah ucapan itu aku merasakan suasana desa mulai berubah seolah akan muncul sesuatu di dekat kami. Raksasa! Itu sosok raksasa dengan tubuh setinggi rumah! Makhluk itu melesat menghantapkan pukulannya kepada kami. Guntur yang berada di depan melesat lebih dulu dan menghantam siku makhluk itu hingga serangannya meleset. Mungkin di mata manusia biasa, mereka akan bingung denan retakkan tanah yang tiba-tiba muncul di sekitar kami. Tapi bagi yang bisa melihat sosoknya, itu adalah perbuatan sosok raksasa yang mencoba menyerang kami.

Aku bersiap mengencangkan tasbihku lagi dan ikut membantu Guntur, tapi Nyai Jambrong meremas bahuku dan memintaku untuk tidak ikut campur. “Kenapa, Eyang?” Tanyaku menoleh ke arahnya. Sayangnya ia tidak berkata apapun dan hanya menggeleng. Guntur bertarung dengan sengit. Pukulan demi pukulan menghantam persendian raksasa itu. Namun Raksasa itu tidak juga rubuh. Dengan tubuhnya yang besar, ia bisa bergerak begitu cepat mengimbangi Guntur. Walau Guntur sudah membawa pertarungan itu menjauh dari kami, hembusan angin dari pertarungan mereka terasa hingga tempatku dan Nyai Jambrong berdiri. Pertarungan itu begitu intens hingga membuatku lupa mengambil nafas. Sayangnya, aku merasakan sesuatu yang berbeda setelahnya. Raksasa itu melukai telapak tangannya dan membentuk darahnya seperti sebuah aksara. Seketika kekuatannya meningkat dengan pesat. Menyadari hal itu, Guntur kembali mengenakan tasbihnya dan menghimpun kekuatan di kepalan tangannya. Di depan mataku dua kekuatan besar beradu antara sebuah tangan manusia biasa dengan pukulan sosok raksasa yang besarnya berlipat-lipat dari tangan Guntur. Dhummm!!!! Raksasa itu terjatuh, Guntur sedikit lebih unggul. Namun alih-alih melanjutkan serangannya, Guntur malah berhenti dan berjalan dengan tenang. “Hahahaha!! Bagaimana bisa aku menjadi sekuat ini dalam waktu singkat!” Ucap Raksasa itu. “Apa yang kau katakan? Kau sendiri jauh lebih kuat sejak pertarungan sebelumnya..” Balas Guntur. “Kau masih ingat denganku?” Guntur mengangguk. “Berapa banyak raksasa yang kutemukan sepanjang hidup? Semua bisa kuhitung dengan jari. Untuk mengingat seorang Yai Bayuwono bukanlah perkara yang sulit..” Balas Guntur. Yai Bayuwono? Tunggu? Aku juga tahu mengenai raksasa itu. Tapi seharusnya ia menjadi di makam keramat Trah Biryasono, dan wujudnya harusnya lebih menyeramkan dari ini? Dan bila Mbok Sar sampai membawa Yai Bayuwono yang sempat mengkhianatinya dulu, Berarti keadaan benar-benar genting. “Sepertinya kamu kalah satu langkah lagi dari Guntur ya?” Tanya Nyai Jambrong.

“I—iya, Nyai. Aku tidak segera mengenali sosok raksasa itu,” Balasku. Sosok Raksasa itu pun perlahan mengecil, ia berubah mengambil wujud manusia dengan tubuh yang hitam dan mata yang merah. Walau tidak semenyeramkan wujud raksasanya, setidaknya wujud Yai Bayuwono saat ini lebih tidak merepotkan. “Khekehkehe… Maafkan penjagaku itu, ia bersikeras ingin menyambut kalian.” Ucap seorang nenek yang tiba-tiba muncul dari pintu bangunan besar yang seketika ditutupi kabut. “Sudah tua tapi masih suka iseng, kapan kowe arep inget umur, Sar?” Ucap Nyai Jambrong menyambut sosok yang dikawal oleh beberapa orang itu. Aku mengingatnya. Ia adalah Kanjeng Sarwinah Biryasono yang kami kenal dengan nama Mbok Sar. Tidak heran jika Yai Bayuwono ada di tempat ini. “Eyang ngomongin orang, nggak inget sama tingkahnya sendiri,” Celetuk Guntur. Plakkk!!! “Aduh!” Aku tertawa melihat tingkah Guntur. Tidak ada yang salah dengan ucapannya. Tingkah Nyai Jambrong sendiri kadang memang tak jauh berbeda dari Mbok Sar. Hanya saja, berani-beraninya Guntur meledek Nyai Jambrong di depannya langsung. “Eyang sudah tahu kalau Mbok Sar yang berada di desa ini?” Tanyaku. “Hanya menebak, eyang baru yakin saat memasuki desa tadi..” Jawabnya. “Matur nuwun lho, Nyai. Sudah mau repot-repot menolong kami,” Sambut Mbok Sar yang segera mengajak kami masuk ke dalam rumah. “Repot opo, aku ndak ngapa-ngapain kok,” Balas Nyai Jambrong. Mbok Sar berhenti sejenak dan menoleh ke arah kami menyadari maksud Nyai Jambrong. “Mereka benar-benar sudah tumbuh, ya” “Iya, kita nya saja yang nggak tahu diri. Masih hidup sampai sekarang,” Balas Nyai Jambrong yang terdengar seperti kalimat bercanda. Namun aku merasa ada maksud yang dalam dari kalimat itu. “Iya Nyai, mungkin umur panjang kita adalah kutukan yang harus kita tanggung. Walau begitu, saya lihat perlahan nyai mulai bisa mensyukuri kutukan ini , kan?” Ucap Mbok Sar. “Mbuh, Sar. Sekarang kita Cuma bisa menjalaninya saja..” Walau dikatakan memasuki sebuah rumah. Sebenarnya kami diajak menembus kabut yang menutupi pintu bangunan tersebut. Kami bukan masuk ke dalam rumah, melainkan ke sisi alam lain dari bangunan itu.

“Pantas saja nggak ada orang di desa itu,” ucap Guntur. “Rupanya bisa juga berlindung dengan cara seperti ini, ya?” tanyaku. Mbok Sar mempersilahkan kami untuk masuk, namun ia belum menutup gerbang penghubung tempat ini. “Mereka disuruh masuk sekalian, toh kita juga sudah saling kenal,” ucap Mbok Sar. Kami menoleh ke arah Nyai Jambrong dan ia memberi anggukan sebagai isyarat. Saat itu aku keluar sebentar dan memanggil sosok-sosok lain yang menemani kami dalam perjalanan ini. Seekor kera ekor panjang dan seekor kera putih menyambut isyarat kami dan melesat masuk ke balik kabut. “Maaf ya, aku menggunakan kekuatanmu terlalu banyak,” Ucap Guntur pada Wanasura yang bersemayam di tubuh kera putih itu. Sementara aku menyambut Kliwon yang masih terlihat cemas. Aku mengerti perasaanya, sama sepertinya kami juga cemas dengan keadaan Cahyo dan yang lainnya. “Nyai Jambrong, kedua muridnya, dan panglima kembar Alas Wanamarta. Siapa yang tidak gentar melihat kedatangan kalian?” Ucap Mbok Sar. “Jangan sok-sok memuji seperti ibu-ibu di pasar, kau tahu sendiri kami masih jauh dari cukup untuk menyelesaikan tragedi kali ini..” Balas Nyai Jambrong. “Nyai benar.. Tapi kedatangan kalian saat ini sangat membantu untuk menghentikan masalah di tempat ini,” ucap Mbok Sar. Tragedi? Bukankah setan-setan di hutan itu sudah kami taklukkan? Apa Artinya masih ada lagi yang harus kami hadapi di tempat ini? “Itulah yang harus kau jelaskan kepada kami terlebih dahulu,” Balas Nyai Jambrong yang sudah mendapatkan posisi duduk nyamannya di tikar bangunan tua itu. Beberapa gelas minuman hangat sampai di hadapan kami. Beberapa abdi trah Biryasono juga memberikan beberapa benda pada Mbok Sar. “Eyang? Apa tidak apa-apa jika kami tinggal?” pamit abdi itu atas perintah Mbok Sar. “Tenang saja, mereka jauh lebih mampu melindungiku dibanding semua abdi yang ada di tempat ini,” ucap Mbok Sar. Mendengar ucapan itu suara tawa Yai Bayuwono terdengar merespon perkataan itu. “Mungkin kalian sudah tahu kalau ada sosok Trah terkutuk yang ingin membangkitkan mayat-mayat yang sengaja disimpan untuk zaman ini?” Buka Mbok Sar. “Trah Pakujagar?” Ucapku. Mbok Sar mengangguk. Ia pun melanjutkan ceritanya tentang ketika ia menyadari keberadaan kekuatan terpenting Trah Pakujagar tersimpan dibawah bukit ini. Menurut penyelidikkan Trah Biryasono, bukit ini adalah kuburan atau makam-makam dari makhluk-makhluk terkutuk yang pernah hidup di zaman kejayaan Pakujagar. “Mungkin ada puluhan jasad dari makhluk sekuat Nyai Jambrong di bawah bukit ini,” Jelas Mbok Sar. Aku pun menelan ludah mendengar kenyataan itu. Itu artinya, bila Trah Pakujagar bisa membangkitkan mereka, kami akan melawan sekelompok pasukan sekuat Nyai Jambrong? Ini tidak masuk akal! “Lantas kami harus apa, Sar?” Tanya Nyai Jambrong. “Ada beberapa cara, yang pertama kita gali bukit ini dan memusnahkan jasad-jasad itu..” “Itu sulit, kita membutuhkan peralatan berat untuk menggali jasad yang sudah terkubur ratusan tahun yang lalu,” balasku.

Mbok Sar mengangguk. “Cara kedua adalah menaklukkan roh dari jasad-jasad itu hingga mereka tidak dapat dibangkitkan kembali..” Aku menoleh ke arah Guntur dan Nyai Jambrong. Sepertinya kami sepakat dengan kemungkinan kedua. Kami tahu, roh dari mereka yang tubuhnya telah mati seharusnya tidak sekuat saat mereka hidup. “Kau sudah tahu kami akan memilih cara yang mana, jadi apa rencanamu, Sar?” Tanya Nyai Jambrong lagi. “Perang gaib..” Jawab Mbok Sar. “Kita siapkan umpannya, dan kita hadapi ketika mereka berkumpul di desa ini,” Aku dan Guntur menyimak rencana yang dijabarkan oleh Mbok Sar. Yang aku tangkap, secara garis besar Mbok Sar akan memancing roh-roh itu ke desa ini, dan kami akan menghadapi mereka semua. Namun yang menjadi persalahan makhluk seperti apa saja yang akan muncul? Dan umpan apa yang akan digunakan untuk memancing mereka. “Kau sudah menyiapkan umpannya?” Tanya Nyai Jambrong. “Khekhekeh….” Mbok Sar tertawa, aku seperti melihat maksud lain di balik tawanya itu. “Sudah kusiapkan di bangunan belakang, kehkekhe…” Aku dan Guntur curiga, kami pun meminta Mbok Sar membawa kami menuju bangunan belakang untuk melihat apa yang telah ia persiapkan. Sebuah bangunan kayu tua terlihat di belakang rumah utama yang hanya berjarak beberapa langkah. Saat mendekat, aku mencium aroma kemenyan yang berasal dari dalam bangunan itu.

Krieeettt… Tepat setelah pintu terbuka, terdengar suara rintihan manusia dengan suara yang lirih. “A—ampun.. hentikan Kanjeng.. hentikan…” Aku terperanjat saat melihat pemandangan mengerikan di bangunan ini. Bangunan ini dipenuhi tubuh manusia yang tergantung terbalik di langit-langit rumah. Tubuh mereka penuh dengan luka hingga darah mulai menetes perlahan dari tubuhnya. “Mbok Sar? Apa-apaan ini?” Tanyaku kesal ketika melihat pemandangan itu. “Benar, Sar. Siapa mereka?” Tanya Nyai Jambrong. Bukannya langsung menjawab, Mbok Sar malah tertawa terkekeh-kekeh. “Khekehkeh… Mereka pantas menerimanya, Nyai!” Mbok Sar membuka ruangan di belakang bangunan itu. Brakkk… Kali ini bau amis yang menyengat tercium dari sana. Bau itu sebelumnya tertutup oleh bau kemenyan dari ruangan ini. Kami pun mendekat ingin mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Mbok Sar. Hoeeeekkk!!! Guntur sepertinya tak kuat menahan rasa mualnya melihat apa yang ada di ruangan itu. Di sana menumpuk jasad-jasad yang sudah membusuk. Sama seperti di ruangan sebelumnya. Ada jasad-jasad tanpa kepala yang digantung di langit-langit dengan darah yang telah mengering. “Mereka adalah dukun-dukun biadab yang ingin mengulang kembali ritual terkutuk itu…” Mbok Sar menceritakan bahwa kedatangan mereka di desa itu disebabkan oleh masalah ini. Mereka mendapat kabar bahwa ada sekumpulan dukun yang mencoba melakukan ritual pengorbanan seperti yang dilakukan pada Trah Biryasono dulu. Mereka menipu pengikut-pengikutnya yang bodoh untuk menjadi tumbal mereka. “Apa tujuan ritual itu, Mbok?” Tanya Guntur. “Memanggil makhluk dari alam lain untuk mengikat perjanjian dengan mereka,” Jelas Mbok Sar. “Apa hubungan mereka dengan Trah Pakujagar?” Tanya Nyai Jambrong. “Dukun-dukun itu mengaku sebagai keturunan-keturunan dari trah terkutuk itu…” “Bukankah saat itu Trah Pakujagar sudah mati sampai ke keturunan-keturunannya?” “Sepertinya mereka terhasut. Mereka menganggap dirinya bagian dari Trah pakujagar. Padahal mereka hanya dimanfaatkan dan akan berakhir sebagai tumbal. Roh-roh yang belum memiliki tubuh itu pasti akan dengan senang hati merasuki tubuh-tubuh mereka sambil menanti mendapatkan tubuh aslinya.”

Mendengar perbincangan itu aku sedikit merasa kasihan dengan dukun-dukun itu. Mereka mungkin berharap kesaktian atau yang lebih dari itu, namun pada akhirnya mereka akan menyesal saat mengetahui sekejam apa Trah Pakujagar itu. “Khekehkehe! Kau memang keterlaluan, Sar! Seharusnya sekalian kau letakkan api unggun dibawah kepala mereka, Kkhekhee” Nyai Jambrong tertawa terkekeh-kekeh setelah mengetahui siapa dukun-dukun yang digantung itu. “Ternyata kekejamanmu belum berkurang sejak dulu, Nyai!” Mereka berdua pun menertawakan dukun-dukun yang masih merintih kesakitan itu. Tak ada lagi alasan untuk kasihan pada mereka yang memperlakukan nyawa manusia dengan seenaknya. “Berdoa saja kalian tidak menjadi mangsa setan-setan itu,” Ucap Mbok Sar pada dukun-dukun itu. “Berdoa sama siapa, Sar? Bukannya sesembahan mereka yang ingin membunuh mereka? Khekhekehke..” Ledek Nyai Jambrong puas. Untuk hal seperti ini sepertinya kedua nenek sakti ini memang sangat kompak. ***

ADZAN DI DESA TERKUTUK Saat waktu yang telah di tentukan, kami bersiap saat Mbok Sar akan melepaskan tabir gaibnya. Tanpa sadar kami sudah melewati satu hari di sana dan saat kami kembali langit tengah berada di batas siang dan malam. Sama sekali tidak ada penerangan yang menerangi desa ini. Suara jangkrik pun enggan menemani kami yang berada di desa terkutuk ini. Kami semua berdiam di sebuah bangunan yang dipenuhi aroma kemenyan ini. Tok…tok.. tok… Suara ketukan terdengar dari salah satu jendela kayu. Tok.. tok… tok… Suara itu semakin terdengar dari beberapa sisi bangunan. Tidak ada siapapun di desa ini, jelas kami tahu bahwa yang berada di luar sana adalah setan-setan yang memakan umpan kami. “Tolong!! Ibu!! Tolong Ibu!!!” Ditengah persiapan kami, suara anak perempuan tiba-tiba terdengar dari luar. “Ibu! Isma takut bu…” Aku dan Guntur saling menoleh mempertanyakan asal suara itu. “Jangan lengah, mereka mencoba menjebak kita,” Peringat Mbok Sar. Aku mencoba menahan diri, tapi firasatku benar-benar tidak enak. Guntur yang juga merasa tidak tenang lebih memilih untuk menghampiri jendela dan memastikan apa yang terjadi di luar sana. “I—itu?” Ucap Guntur dengan raut wajah yang berubah bingung. Aku pun menghampirinya dan turut menyaksikan apa yang ada di luar sana. “Eyang, sebenarnya ini tempat apa sebelum menjadi bukit?” Tanyaku kaget dengan apa yang terlihat di luar sana. Segerombolan makhluk bergentayangan memenuhi desa ini. Mereka semua terlihat mengenakan pakaian jaman dulu dan tak sedikit yang berpakaian prajurit tanpa kepala. Di atap-atap rumah berdiri sosok-sosok yang tubuhnya menyatu dengan hewan seolah sudah menjadi siluman seutuhnya. “Mungkin saja tempat ini dulunya kerajaan. Dan mereka adalah rakyat dan prajurit yang ditumbalkan,” Tebak Nyai Jambrong. “Yang kalian lihat itu hanyalah korban dari sosok-sosok yang bertengger di atap-atap rumah. Mereka menanti jasad mereka dibangkitkan dan bergabung dengan Trah Pakujagar lainnya,” Ucap Mbok Sar. Bukan itu masalah utamanya. Diantara prajurit-prajurit tanpa kepala itu terlihat seorang anak perempuan yang terikat di tubuh salah satu prajurit tanpa kepala. Ia terus meminta tolong menahan rasa takut atas semua yang mereka lihat. “Kita tidak boleh berpisah. Saat kekuatan kita terpencar, sulit untuk mengalahkan mereka,” jelas Mbok Sar. “Tapi anak perempuan itu benar manusia, dan ia masih hidup,” ucapku. “Seharusnya mereka yang memakan umpan kita, jangan sampai sebaliknya,” Tegas Mbok Sar. Brakkk!!!

Suara pintu terdengar terbanting dengan keras. Itu Guntur! Rupanya ia tidak peduli dengan penjelasan Mbok Sar dan dengan nekad menerobos serombolan prajurit tanpa kepala itu. “Guntur! Jangan gegabah!!!” Teriak Mbok Sar. “Khekehkhe!! Dasar bocah, memang repot kalau panutannya orang seperti itu!” Tawa Nyai Jambrong yang segera menyusul kepergian Guntur. “Nyai!! Rencana kita akan berantakan?!!” Cemas Mbok Sar. Aku menoleh sebentar ke arah Mbok Sar. “Mau gimana lagi, Mbok. Kalau Mas Cahyo di sini, dia juga bakal ngelakuin hal yang sama kan?” Ucapku. “Yai Bayuwono, titip lindungi mereka dari dalam ya! Biar kami urus mereka yang berada di luar,” Sosok Raksasa yang masih mengambil wujud manusia itu menggeram setuju, sementara Mbok Sar hanya menggeleng rencananya berantakan begitu saja. Walau begitu, ia masih harus berjaga. Tubuh-tubuh dukun ini masih berharga untuk mereka. Terlebih mereka masih ingin menghabisi Mbok Sar dan orang-orangnya yang menjaga tanah ini. Duaaggg!!! Guntur terpental, sosok panglima berekor ular menghantam Guntur dengan keras. Aku menahan punggung Guntur menjaganya agar tidak terjatuh. “Sekali lagi,” Ucapku. Guntur mengangguk, Kali ini kami berdua menyerang makhluk-makhluk itu secara bersamaan. Aku menghantamkan pukulanku ke makhluk itu namun ia memilih untuk menghindar, sayangnya seranganku pun hanya pengalihan agar Guntur dapat menghantamkan serangannya dengan telak ke makhluk itu. Dhuaaaaagggg!!!!! Makhluk itu pun tersungkur di tanah, kami tidak menghiraukannya dan bergegas menuju anak perempuan itu. Saat itu aku dan Guntur cukup terkaget saat mendapati prajurit-prajurit tanpa kepala itu tak bergerak sedikitpun seperti patung. Sekilas kami menoleh dan menyadari bahwa ini semua adalah ulah Nyai Jambrong. “Jangan lengah, selamatkan dulu anak perempuan itu agar kita bisa lebih leluasa,” teriak Nyai Jambrong yang menarik energi dari setan-setan itu hingga tak bergerak dan menghalangi kami. Aku tahu bahwa Nyai Jambrong tidak bisa bertahan lama. Kami pun mengincar satu prajurit tempat anak bernama Imas itu diikat. Dan apa yang kami duga pun terjadi. Tak ada yang menghalangi kami.. Setan-setan diatas atap tadi memilih untuk menyerang rumah dimana Mbok Sar saat kami berada jauh dari tempat itu.

“Yai Bayuwono! Tunjukkan kekuatanmu!!!” Teriak Guntur. Raksasa itu pun kembali pada wujudnya dan menghantam setan panglima bersisik buaya hingga terpental. Namun masih ada panglima ular dan panglima bersayap kelelawar yang memaksa untuk menyerang masuk. Mbok Sar kembali menggunakan kabut gaibnya untuk membawa sebagian sisi dari alam gaib ke tempat itu. Saat itu dua sosok kera muncul dan meraung dengan keras. Grrraaaorrrr!!!! Samar-samar terlihat kera raksasa dari dalam kabut yang menghantamkan pukulannya ke kedua panglima siluman itu. “Terima kasih panglima-panglima kera,” ucap Mbok Sar. Aku dan Guntur berhasil menyelamatkan Imas dan bergegas kembali ke rumah. “Dirga, tenangkan prajurit-prajurit itu. Mereka hanya arwah penasaran!” Perintah Nyai Jambrong. Mengetahui kenyataan itu aku pun memanjat salah satu rumah dan memilih tempat yang cukup tinggi. Dari tempat itu aku bisa melihat seberapa mengerikannya desa ini dengan berbagai makhluk yang mengerumuni berbagai sisi desa.

Setelah mengetahui kondisi Imas telah aman. Aku pun menenangkan diri dan memusatkan tenagaku ke suaraku. Dari atas, aku mengumandangkan Adzan untuk mengingatkan arwah-arwah itu akan keberadaan Penciptanya. Sebagian setan berteriak dan mengerang kesakitan. Tapi sebagian roh-roh penasaran yang terikat oleh sosok setan lainnya mulai tenang. Ia tidak lagi mengincar kami dan perlahan menghilang. Aku bersyukur, walau lantunan Adzanku tidak seindah Abah namun tetap mampu menenangkan mereka. Entah kapan terakhir kali suara Adzan berkumandang di desa terkutuk ini. “Bagus Dirga!” Teriak Guntur. Kini perlahan roh-roh itu mulai menghilang. Hanya terisisa panglima-panglima bertubuh siluman itu yang tidak gentar dengan keberadaan kami. “Jangan takut! Mereka tidak ada apa-apanya dengan kekuatan kita!” Tiba-tiba sebuah tombak besar melayang ke arah Yai Bayuwono. Ia mencoba menahan dengan tangannya, namun yang terjadi tangannya berlubang hingga menembus tubuhnya. “Aaarrrgggh!!” “Yai Bayuwono! Teriak Mbok Sar khawatir…” “Aku tidak apa-apa, Hati –hati Nyai! Sosok besar di balik mereka akhirnya muncul!” Benar.. Kekuatan besar tiba-tiba datang. Aku sempat mengira panglima-panglima siluman itu adalah lawan terakhir kami. Namun ternyata aku salah. Ada sosok prajurit lain yang jika kunilai dari pakaiannya, ia berada diatas pangkat setan lainnya. Ia menunggangi sosok kuda hitam yang melayang-layang diudara. Aku yakin kuda itu juga bukanlah kuda biasa. “Dialah yang menyokong kekuatan hitam dari roh panglima siluman itu. Kalau dia mati, tak ada lagi yang mempertahankan keberadaan roh mereka dan mayat-mayat itu tak bisa bangkit lagi..” Jelas Mbok Sar. “Jadi, setan itu gentayangan ratusan tahun Cuma buat jagain mayat? Hahaha.. kasihan!” Tawa Guntur. Benar juga ucapan Guntur. Aku ikut tertawa mendengar ucapannya. “KhekehkeheLihat aja, jalannya sampai dibantu kuda gitu. Mending eyang kan bisa jalan-jalan pake kaki sendiri,” Tambah Eyang. “Sudah eyang, nggak baik ngeledekin orang.. eh setan cacat,” Tambahku. Mbok Sar terlihat menahan tawanya, Yai Bayuwono yang menahan sakitpun sampai menggeleng melihat tingkah kami. “MANUSIA KURANG AJARRR!!!”

Setan itu pun termakan provokasi kami. Ia memerintahkan panglima-panglima siluman itu untuk menyerang kami, namun kali ini kami sudah bertiga. Guntur menangkap ekor Panglima ular, memutar tubuhnya, dan melemparkannya kepada kami. Sebelum aku menyerang, Nyai Jambrong sudah membacakan ajian di tangannya dan sebuah pukulan yang menggemakan suara harimau mendarat di tubuh setan itu hingga tak berdaya. Aku berpindah ke panglima bersisik buaya dan menghindari semua serangan yang datang dari taring-taringnya yang tajam. Saat ia mengira berhasil menangkapku, sebuah keris muncul menusuk lehernya yang keras dari belakang. “Minggir, Dirga!!” Teriak Guntur yang segera menghantamkan pukulannya yang mengerikan. Dhuaaaaggg!!! Panglima buaya itu pun tumbang bersama sebuah pohon di dekatnya. Kami tak memakan banyak waktu dan segera menghampiri Setan berkuda itu kali ini berbekal keris ragasukma milikku. Sayangnya Panglima bersayap kelelawar menghadang kami. Ia melebarkan sayapnya dan mendengungkan suara yang benar-benar membuat kami kewalahan. “Lemparkan ini!” Mbok Sar memberikan sebuah gumpalan pada Yai Bayuwono yang mulai pulih. Dengan cekatan gumpalan itu melesat ke arah panglima kelelawar itu dan membuatnya terbakar. “Aarrrrrgghhh!!Panass!! Sialan! Saat tubuhku bangkit, akan kubalas perbuatan kalian berlipat-lipat!” Umpatnya. “Tidak usah repot-repot! Mayatmu hanya akan membusuk dan tak punya kesempatan untuk bangkit,” Ucapku. Dengan kobaran api yang menyala di tubuhnya, ia masih berusaha untuk menyerang kami. Namun kami bisa menghindarinya dengan mudah hingga ia habis terbakar oleh serangan Yai Bayuwono itu. Aku, Guntur, dan Nyai Jambrong menatap sosok yang tersisa di tempat ini. Sesosok setan bertubuh besar yang menunggangi seekor Jaran Demit. “Jangan berpikir kalian sudah menang, aku bisa memiliki kuasa untuk membangkitkan roh mereka lagi!” Ucapnya. “Itu kalau kau masih hidup kan?” Tantang Guntur. “Cecunguk rendahan seperti kalian berani menantang seorang patih yang sudah menghabisi ratusan nyawa?! Jangan bermim…” Dhuaaaaaggg!!! Aku kesal…

Tanpa kusadari tubuhku bergerak sendiri menghantamkan pululan pada setan yang mengaku sebagai patih itu. “KEHEBATAN SEORANG PATIH BUKAN DIHITUNG DARI SEBERAPA BANYAK MUSUH YANG KALIAN BUNUH! TAPI SEBERAPA BANYAK RAKYAT YANG KALIAN LINDUNGI! CAMKAN ITU!” Teriakku kesal. Tanpa kusadari Keris Dasasukma menyala, setan patih itu menyadari keberadaan kerisku. “Keris Darmawijaya??? Bahkan setelah ratusan tahun kalian masih mencoba menghalangiku??!!!” Teriak patih itu. Seketika sebuah tombak melayang ke arah kami. Kami pun menghindarinya dan tombak itu kembali ke tangan setan patih itu. Trangg!! Setan patih itu melampiaskan amarahnya dan menghantamkan tombaknya ke arahku. Dengan sigap aku menahannya dengan keris Dasasukma. Tapi tenaganya terlalu besar. Aku hanya bisa mengalihkan serangannya saja. “Lemah!” Ucapnya yang menyerap kuda yang ia tunggangi itu kembali ke tubuhnya. Trangg!! Trangg!!! Kali ini posisi berbalik. Tanganku gemetar menahan setiap serangannya. Mungkin jika bukan Keris Dasasukma yang ada di genggamanku, tanganku pasti sudah terpisah. “Wanasura…” Terdengar suara bisikan Guntur yang meminjam kekuatan dari sosok yang dititipkan oleh Mas Cahyo dan menahan dengan tasbih di lengan kirinya.. Ggrrrrrrr….. Dhuaaaaggg!!!Serangan itu menghantam Setan patih itu bersambut dengan tendangan Nyai Jambrong yang menghantamnya dari sisi yang berbeda. “Jangan sombong!!!” Mata setan itu memerah dan mengibaskan tombaknya dengan kekuatan hitam yang menyelimutinya.

“Kekuatanku bahkan bisa menghancurkan bukit ini!” Ucapnya dengan kekuatan hitam yang mulai menyatu pada dirinya. “Kekuatan kami bisa menghancurkan makhluk yang mengaku bsia menghancurkan bukit ini..” Ucap Guntur. Kabut putih mengelilingi Setan Patih itu. Aku yakin ini perbuatan Mbok Sar. Sepasang kera berlarian diantara kabut itu. Dari balik sisi kabut aku melihat Nyai Jambrong membacakan ajian dan melakukan sebuah gerakan yang mengumpulkan kekuatan. “Mana mungkin kami takut dengan makhluk bodoh, yang menjual dirinya pada kekuatan hitam,” ucapku. “Masih ada Ada jurus-jurus bela diri di alam ini yang tidak kalah kuat dengan ilmu hitam yang menyia-nyiakan jiwa. Ilmu-ilmu yang pantas dimiliki oleh mereka yang mau berkorban untuk melindungi mereka yang tidak bersalah,” ucap Guntur. “Aku tak butuh ceramahmu! Kekuatan sebesar ini kudapat dengan mudah hanya dengan bayaran darah dan nyawa,” Ucap Setan Patih itu sembari mengayunkan Tombaknya ke arah Guntur. Namun itu hanya bayangannya saja. “Kalau sebanyak apa nyawa dan darah yang telah dikorbankan, aku berani bersaing. Tapi semua itu hanya menjadi kubangan dosa yang akan mengikatmu menjadi sosok terendah di alam ini..” Ucap Nyai Jambrong. Sama seperti Guntur, serangan Setan ke arah Nyai Jambrong hanya menyapu bayangan kabut saja. Makhluk itu pun semakin geram dan menyerang membabi buta ke segala arah. Aku merasakan kekuatan yang tak biasa. Dari balik kabut. Wujud besar kera raksasa dari balik kabut mulai terlihat dan sepasang pukulan yang mengerikan dengan cepat menghantam tubuh Setan patih itu hingga memuntahkan darah hitam dari mulutnya. Ada dua kekuatan mengerikan lagi dari sisi lain. Saat ingin kembali berdiri aku melihat bayangan harimau putih melesat dari balik kabut. Namun aku tahu dengan jelas bahwa itu bukan lah sosok harimau yang sebenarnya. Itu adalah perwujudan pukulan ilmu Nyai Jambrong yang segera mendarat di dada makhluk itu tanpa meleset sedikitpun. Sementara Guntur menyusulnya dengan sebuah pukulan yang menciptakan kekuatan petir dalam pukulannya. Itu adalah ilmu yang sama, hanya saja mereka mempunyai wujud yang berbeda. Aku pun menyelesaikan tugas terakhir dengan membacakan doa pada keris Dasasukma. Ketika Setan Patih itu mencoba mengambil tombaknya kembali, aku melompat setinggi mungkin dan menghujamkan keris dasasukma di dahinya. Wwhusssss!!!!

Setelah semua serangan itu selesai, angin pun berhembus meniup kabut yang mengelilingi kami. Sosok kliwon dan Monyet putih kembali berlarian ke atas pohon meninggalkan kami. “Sialan!! Sialan!!! Aku Patih Jatayu Wungu! Tak sudi dikalahkan oleh manusia keroco seperti kalian!!!” Teriaknya yang masih berusaha untuk berdiri. Kami bersiap bila ia ingin mencoba kembali menyerang, namun keris dasasukma yang menancap di dahinya seharusnya bisa menahan sukmanya dan menghentikan kekuatannya. “Sudah selesai…” ucap Mbok Sar yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami. “BRENGSEK!! Seandainya ketiga pemuda itu tidak menggagalkan ritualku dulu, bahkan Darmawijaya, Indrajaya, ataupun Sambara pun takkan mampu mengalahkanku!!” teriaknya berusaha menahan kekuatan hitamnya yang mengalir keluar dari luka di dahinya yang masih tertancap keris Dasasukma. Mendengar ucapan itu, ekspresi Mbok Sar terlihat berubah. Ia pun buru-buru kembali ke dalam bangunan sementara kami memastikan setan yang mengaku bernama Patih Jatayu Wungu itu benar-benar lenyap tak bersisa. “Setidaknya aku sudah membangkitkan tiga danyang penunggu bukit. Prabu Junoyo pasti akan membuat mereka menghabisi kalian… HAHAHA” Ancamnya. “Kenapa kau masih bisa tertawa? Apapun yang terjadi pada kami, bukankah tidak akan mengubah siksa neraka abadi yang akan kau alami setelah ini?” Ucapku. Seketika raut wajah setan itu berubah. “Tidak!! Tidak!! Prabu Junoyo!! Tolong!! Selamatkan aku dari api neraka itu!!” Teriaknya. Aku dan Guntur berpaling meninggalkan sosok yang mulai hangus terbakar hitamnya api dosa miliknya itu. Tapi Nyai Jambrong masih menatapnya di sana. Kami pun menahan niat kami untuk pergi dan mengajak Nyai Jambrong. Aku dan Guntur sadar, saat ini Nyai Jambrong pasti membayangkan bagaimana nasibnya saat ia meninggal kelak. Apa Tuhan akan memaafkan dosa-dosa kejinya di masa lalu, atau ia akan bernasib sama seperti Patih Junoyo. “Tidak usah khawatir, Eyang. Saat Eyang sudah tidak ada nanti, kami akan menjadi saksi atas semua hal baik yang Eyang lakukan semasa hidup..” Hiburku. Tidak terucap kata-kata apapun dari Nyai Jambron, namun air matanya yang menetes menunjukkan ketulusannya atas semua pertobatannya. Aku dan Guntur pun menuntun Nyai Jambrong untuk menenangkannya. …
“Kalian! Cepat kemari!!” Teriak Mbok Sar yang sudah berada di rumah utama dengan sebuah tempayan besar dan sesajen. Ia sudah melakukan sebuah ritual yang hanya bisa dilakukan oleh trah Biryasono. “Saat setan tadi mengatakan keberadaan ketiga pemuda yang menggagalkan ritualnya dan menyebut nama Sambara, Darmawijaya, serta Indrajaya, aku mencoba mengaitkan sukmanya dengan ritual ini. dan lihatlah..” Kami pun menatap ke dalam air di tempayan itu dan samar-samar terlihat sosok Patih Jatayu Wungu di masa hidupnya. Penglihatan itu menunjukkan sebuah ritual yang ia lakukan di desa dengan mengorbankan rakyatnya. Ia menumbalkan warga desa yang ia isolir untuk persembahannya pada sosok besar yang ia puja. Ada sekumpulan prajurit yang mencoba menggagalkan rencana itu, namun mereka semua gagal. Sampai saat penghabisan tiba-tiba muncul tiga pemuda yang menolong prajurit kerajaan hingga Patih Jatayu Wungu gagal dengan ritualnya. “Coba kalian lihat gerak-gerik tiga pemuda itu..” ucap Mbok Sar. Kami memperhatikan tiga pemuda yang sekilas tidak terlihat aneh. Tapi semakin lama saat melihat gerak-gerik dan setiap jurusnya kami seolah mengenalnya. “Itu ajian lebur saketi mas Danan?” Tanyaku. “Yang satunya mirip kayak Mas Cahyo, dan yang satu masih muda juga tapi kenapa gerak geriknya seperti sudah tua?” Tanya Guntur. Nyai Jambrong mencoba menerka apa yang ingin Mbok Sar Sampaikan. “Maksudmu, tiga pemuda ini adalah Danan, Cahyo, dan Paklek? Apa ini semua terlalu tidak masuk akal?” Tanya Nyai Jambrong. Memang tidak masuk akal, tapi reaksi Kliwon dan kera putih yang ikut masuk dan bereaksi senang dengan penglihatan itu seolah memberi kepastian. “Sesuatu yang gila memang sedang terjadi. Kekuatan besar yang akan bangkit dan menghancurkan tanah ini mungkin tak terbendung. Semua ini seolah sudah seperti takdir. Aku sempat merasakan keberadaan roh mereka bertiga di Jagad Segoro Demit. Bila itu benar, mungkin saja alam itu menjebak mereka di masa lalu. Bagaimana jika ternyata mereka mempunyai peran sendiri untuk tragedi ini? Mungkin jika mereka bertiga tidak menghentikan ritual di masa lalu, kita sudah habis dilumat oleh Patih Jatayu Wungu yang mendapatkan ilmu yang sempurna.” Jelas Mbok Sar. Benar ucapan Mbok Sar. Semua ini terdengar tidak masuk akal. Tapi aku juga tidak bisa mengelak bahwa ketiga pemuda itu memang sangat mirip dengan Mas Danan, Mas Cahyo, dan Paklek. “Walau dalam wujud roh, mereka tetap berjuang bahkan sampai melintasi alam dan garis waktu. Kita tidak boleh menjadi beban untuk mereka,” Ucap Guntur yang terlihat termotivasi dengan cerita itu. “Tapi semoga saja waktu kita cukup..” Ucap Mbok Sar yang menyibakkan air di tempayan itu dengan sebuah daun. Sebuah pusaka batu hitam ia celupkan di tempayan itu.

Kali ini apa yang terlihat berbeda dengan sebelumnya. Yang terlihat adalah gambaran Mbah Jiwo yang tengah berdiri di salah pinggir kawah gunung yang menyala. Keadaan disana terlihat begitu mengerikan. “Itu Mbah Jiwo?? Apa yang ia lakukan?” Tanyaku. Mbok Sar menggeleng menunjukkan ketidaktahuan nya, namun penglihatan itu menunjukkan keberadaan sosok lain yang mengejar Mbah Jiwo. Sosok setan-setan kuno dengan berbagai wujud. Aku mengingatnya, wujud-wujud itu seperti wujud setan-setan dari kisah pewayangan. “Saat ini perang dari padang Kurusetra akan kembali terulang di tanah ini…”

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close