Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JANUR IRENG

Sore itu,
Pak Wawan yang sedang berjalan santai sambil memikul cangkul dipundaknya terhenti, ketika ia mengendus sesuatu yang baunya tak sedap dari arah Sawah tepat disampingnya.

Pak Wawan yang tau bermacam-macam bau bangkai terheran ketika aroma busuk menyengat hidungnya.

Tak tahan dengan baunya tapi rasa penasaran mulai menghantui dalam benak Pak Wawan,

"Bukan Tikus, Ayam, Anjing... Bau apa ini..." Bisik hati Pak Wawan.

Langkah demi langkah Pak Wawan mulai menghampiri bau tersebut, langit yang kemerahan masih membuat Pak Wawan sedikit lega, karena masih nampak jalan setapak yang ia lalui.

Maklum Pak Wawan sudah tak lagi muda.

Terhenti, Pak Wawan tak ingat apapun, selain ia sudah berada dirumah sakit, dan beberapa Polisi sudah mengelilinginya.

"Ada apa ini Pak?" Tanya Pak Wawan dengan tubuh bergemetar karena baru kali ini ia berurusan dengan Polisi, sontak saja Pak Wawan kembali Pingsan.

"Haduh Pingsan lagi, gimana mau dimintai keterangan." Bisik seorang Polisi, pada Polisi berseragam bebas disebelahnya.

"Sudah bubar saja dulu, biarkan dia disini sampai kondisinya benar-benar pulih, kita tunggu hasil olah TKP dari yang dilapangan." Ucap seorang Komandan Polisi.

Semua petugas mengangguk menyetujui.

Dua hari kemudian setelah kejadian yang menggegerkan satu desa.

Bagaimana tidak, sebuah jasad ditemukan dengan keadaan yang tidak biasa, matanya Melotot tajam keatas, sekujur tubuhnya berwarna merah kehitaman.

Pantas saja itu membuat Pak Wawan tak sadarkan diri ketika melihatnya.

Namun tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.

Polisi masih terus menyelidiki kasus penemuan mayat tersebut, dan meminta beberapa keterangan saksi-saksi, termasuk Pak Wawan yang kini sudah berada dirumahnya setelah dinyatakan tidak bersalah.

Polisi hanya menemukan sebuah kertas kecil lusuh, yang digenggam erat oleh Korban, bertuliskan...

"Aku adalah musuh pertamamu dikehidupan berikutnya..."


JANUR IRENG

Tidak ada kejelasan dari kasus tersebut karena minimnya bukti, serta tidak ada yang tau identitas korban yang sebenarnya, tak terasa 5 Tahun berlalu Kasus yang masih abu-abu itu masih belum berujung hingga sawah itu diratakan tanah oleh sebuah perusahaan yang sudah membeli tanah tersebut, katanya ingin dijadikan sebuah sekolah swasta.

Sebenarnya, Kepala Desa sudah menolak atas perintah warga-warga dan beberapa tetua adat disana, alasannya jelas karena tanah itu adalah Warisan Leluhur, namun Kepala Desa tak bisa berbuat banyak...

... setelah sesorang Tetua Adat memberikan penjelasan, bahwa Uang hasil dari penjualan tanah tersebut akan diberikan sepenuhnya untuk kesejahteraan sosial Warga Desa itu, dan ia menambahkan dengan adanya pembangunan Sekolah tersebut akan membantu anak-anak disana mendapatkan pendidikan yang layak, karena sebenarnya Desa itu tertinggal jauh dari desa-desa lainnya dalam berbagai aspek.

Akhirnya semua warga menyetujui, memang ada beberapa Pro dan Kontra diantaranya, namun tetap keputusan ada di Para Tetua Desa.

Sebelum terlaksananya pembangunan itu, akan ditentukan oleh para Tetua Desa kapan hari akan dilaksanakannya pembangunan tersebut, karena menurutnya tak sembarang hari bisa dipakai untuk membangun sesuatu yang berkaitan dengan Warisan Leluhur.

***

Hari itu dimana Pak Sudir orang suruhan Pak Kades menuju Rumah Ki Amon,

Ki Amon ini berumur 93 Tahun yang biasanya memutuskan kapan hari itu tiba lewat upacara yang akan dilakukannya.

Rumahnya berada diujung desa perbatasan antara Hutan Alami yang tak pernah boleh dimasuki siapapun, konon katanya, siapapun yang melangkahkan kakinya meski hanya selangkah, ia tak akan pernah kembali.

Pernah ada seorang anak kecil yang ingin mengambil bolanya, berada dua meter diantara Papan penghalang antara Desa dan Hutan itu.

Padahal anak itu sudah diperingatkan Ki Amon untuk tidak mengambil Bola tersebut.

Namun karena anak itu tidak mau mendengarkan apa yang Ki Amon katakan, Anak itu melompati papan setinggi betis orang dewasa, dan Naas ia tak pernah kembali, bahkan Ki Amon dengan mata telanjang tak tahu kemana perginya Anak itu dengan sekali kedip.

Seperti ada gerbang gaib yang bersarang diseluruh papan pembatas tersebut, akhirnya Pak Kades meninggikan papan-papan itu setinggi orang dewasa, agar anak-anak tidak lagi pergi kesana.

***

Sampailah Pak Sudir dengan motor tuanya disebuah rumah yang cukup besar, namun banyak patung-patung berkalungkan Taring Babi yang katanya untuk mengusir aura negatif ketika siapapun yang berkunjung kerumah Ki Amon,

Entah percaya atau tidak Pak Sudir tidak begitu perduli, kedatangannya bukan untuk memperhatikan patung tersebut melainkan memperhatikan Ki Amon yang sedang berbicara sendiri sembari duduk di kursi goyang miliknya, dengan rokok ditangan, seperti berbicara dengan seseorang...

... tapi Pak Sudir tak melihat siapapun disana, kecuali sebuah patung berukuran sebesar telapak kaki dihadapannya, ditumpu sebuah meja yang membuatnya berdiri tegak.

"Bukan, bukan patung." Gumam Pak Sudir seraya mendekat kearah Ki Amon, "Ki?" Lirih Pak Sudir, Entah mengapa langkah Pak Sudir terayun pelan, matanya masih samar melihat apa yang didepan Ki Amon,

"Ki??" Panggil Pak Sudir, namun Aneh, Ki Amon tak menggubris panggilannya dan masih asik berbicara pada patung tersebut.

Detak jantung Pak Sudir terpacu, Ia hampir sampai ke arah Ki Amon, Pak Sudir baru menyadari sesuatu yang aneh, "Ki, sa..."

PATUNG ITU BERGERAK!

BUKAN PATUNG, TAPI JENGLOT, JENGLOT ITU BERDIRI, MENATAP KI AMON, DAN SEBELUM MENATAP PAK SUDIR, JENGLOT ITU TERTAWA LEBAR SEBELUM AKHIRNYA JATUH, BERSAMA PAK SUDIR YANG TAK SADARKAN DIRI.

Pagi Hari.

"Dir, Bangun." Ucap Ki Amon pada Pak Sudir yang tertidur pulas di tempat yang sama saat ia tak sadarkan diri, Maklum Ki Amon tidak punya siapa-siapa lagi, dia hidup sendiri, dengan tubuhnya yang tak lagi muda ia tak akan mampu mengangkat tubuh Pak Sudir kedalam rumahnya, jadi ya dibiarkan saja seperti itu dari semalam.

"Dir, Bangun.." Ki Amon masih berusaha membangunkan Pak Sudir, dan kali ini ia menggunakan tongkat kayunya untuk memukul pelan tubuh Pak Sudir.

Tak lama, Pak Sudir yang merasa tak nyaman, akhirnya terbangun.

Pak Sudir tersentak kaget, "Dimana a..." Belum sempat ia menuntaskan perkataannya, ia teringat kejadian semalam, dan langsung berdiri tegak serta mundur dari Ki Amon beberapa langkah.

"HAHAHA Sudir, Sudir... Gausah takut begitu, gak apa-apa kok." Ki Amon berusaha menenangkan Pak Sudir yang masih Syok atas apa yang menimpanya semalam.

"Yasudah kamu pulang, bilang Pak Kades, nanti malam ada pertemuan 5 Tetua Desa, ada hal yang ingin dibicarakan." Tutur Ki Amon.

Pak Sudir yang mendengar perkataan Ki Amon segera beranjak pergi dari rumah Ki Amon, tanpa satu katapun yang ia lontarkan.

Namun Ki Amon memaklumi, dan Pak Sudir pun baru kali pertama melihat sesuatu hal yang menurutnya Mustahil.

Tapi benar bagi sebagian orang, mistis tak pernah bisa disandingkan oleh akal sehat.

Jalanan yang rusak membuat Pak Sudir tak memacu kendaraannya lebih cepat lagi, padahal ia ingin sekali cepat-cepat sampai kerumah Pak Kades.

Hingga suatu teriakan membuatnya memberhentikan laju kendaraannya,

"SUDIRRRR...."

Pak Sudir menoleh kearah suara tersebut berasal.

Ternyata Pak Ali, Sahabat baik Pak Sudir.

"Mau kemana kamu? Kerumah Pak Kades ya?" Tanya Pak Ali sambil menenteng sebuah cangkul.

Pak Sudir hanya mengangguk.

"Yasudah aku ikut ya, aku mau ke makam." Tutur Pak Ali, dan segera menaiki sepeda motor milik Pak Sudir.

"Siapa yang meninggal?" Tanya Pak Sudir.

"Enggak, Pak Kades bermimpi semalam, katanya ada seseorang yang meminta tolong jasadnya dipindahkan ke samping sawah."

Pak Sudir terdiam sejenak, "Jasad siapa?"

"Jasad yang tanpa identitas itu, yang meninggal 5 Tahun lalu, disawah."

Pak Sudir menghentikan laju kendaraannya, karena selain mereka sudah sampai di Makam Desa, Pak Sudir berfikir untuk apa memindahkan Jasad seseorang yang tidak dikenal cuma karena mimpi?

"Dir...? Loh kok bengong? Itu Pak Kades ada disini ternyata, sama Pak Wawan."

Pak Sudir yang mendengar ucapan barusan Pak Ali tersadar dari lamunannya, dan segera melihat ke arah sebuah makam yang mana disana sudah ada dua orang berdiri menatap ke makam tersebut.

"Pak Kadess..." Sapa Pak Ali.

"Eh Ali... Loh sama Sudir juga?" Tanya Pak Kades yang melihat Pak Ali dan Pak Sudir datang bersamaan.

"Iya ni Pak Ali, saya gak sengaja ketemu Sudir dijalan, lagian tujuan kita sama, sama-sama ingin bertemu Pak Kades." Jawab Pak Ali, ditambah senyumnya.

"Ah iya-iya, oh iya gimana Sudir? Apa kata Ki Amon?"

"Ki Amon menyuruh Pak Kades untuk datang nanti malam di pertemuan 5 Tetua Desa."

"Ohh...baiklah."

Pak Sudir menatap kearah makam yang mana makam ini satu-satunya makam yang tidak diberi papan.

"Pak Kades benar ingin memindahkan makam ini?" Tanya Pak Sudir dengan raut wajah tak biasa.

"Iya Dir, semalam saya bermimpi, orang ini minta tolong pada saya, untuk dipindahkan makamnya.

Karena hanya saya yang punya wewenang atas makam ini, saya pikir hanya itu yang bisa saya bantu."

Pak Sudir hanya terdiam, begitu pula Pak Ali dan Pak Wawan.
Akhirnya makam itupun dibongkar.

"Loh kok masih bau..." Ucap Pak Ali, ketika setengah kuburan itu sudah mulai digali.

"Iya Li, kok masih Bau." Timpal Pak Wawan yang masih magang sebagai tukang gali kubur sekitar 1 tahun lalu.

"Bagaimana ini Pak?" Tanya Pak Ali pada Pak Kades.

"Coba lanjutkan saja."

Akhirnya Pak Ali dan Pak Wawan menuruti perintah Pak Kades, mereka terus menggali makam tersebut, walau entah berapa kali mereka nahan muntah akibat bau yang makin lama semakin menyengat.

"HAH?! MASIH UTUH?!!!!" Teriak Pak Ali, sedangkan Pak Wawan sudah kabur lebih dulu, diikuti Pak Ali yang keluar dari liang lahat tersebut.

Semua mata melongo ke Liang Lahat, melihat sebuah Jasad utuh, tanpa sedikitpun yang termakan oleh cacing tanah.
Yang berbeda dari jasad ini hanyalah bentuk tubuhnya yang membengkak, serta warna tubuhnya menghitam pekat sekali seperti gosong.

Tidak ada yang beranjak dari makam itu dan tidak ada yang berkata sedikitpun saat itu, kaki terasa begitu berat... seperti halnya Mulut yang ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun seperti terhalang oleh sesuatu.

Bahkan tangan yang sedari tadi menutup hidung karena bau busuk yang menyengat, terlepas.

"PAK KADESSS..." Teriak seseorang dari kejauhan.
Semua lamunan terbuyarkan karena suara itu, dan semua mata menatap suara itu berasal.

Ternyata suara itu dari Pak Wawan yang sudah kabur duluan sedari tadi, dan ia bersama seseorang yang mana Pak Kades, Pak Ali, dan Pak Sudir mengenalnya.

"Ki Amon?"

Ki Amon tiba-tiba membentak Pak Kades,
"GOBLOK! SUDAH DIBILANG DARI AWAL JANGAN PERNAH BONGKAR KUBURAN INI APAPUN YANG TERJADI."

"Tapi Ki, saya gak tega, setiap malam dia datang ke mimpi saya." Tutur Pak Kades dengan nada lemah.

"Terus gimana ini Ki?" tanya Pak Ali.

Ki Amon terlihat menghela nafas panjang, "Sudah, jangan terlibat terlalu jauh, turuti saja permintaan terakhirnya."

Semuanya terdiam, meski semuanya berfikir keras apa maksud dari perkataan Ki Amon yang menyatakan "jangan terlibat terlalu jauh."

"Baik Ki." Tutur Pak Kades.

Namun, Pak Ali dan Pak Wawan menolak,
"Maaf Pak Kades, bukan saya ingin menolak perintah Pak Kades, tapi Mayat ini bener-bener buat saya merinding, apalagi harus membopong keluar dari liang lahat itu, ditambah saya gak kuat cium bau busuknya."

"Benar Pak Kades, mungkin Pak Kades bisa cari orang lain."

"Waduh, bagaimana ini Ki?" Tanya Pak Kades pada Ki Amon, seolah meminta pendapat.

Ki Amon hanya menggelengkan kepala,
"Yasudah, minggir." Ki Amon menggeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah keris seukuran jari manis dibalut rapih oleh kain berwarna merah, Ki Amon duduk bersila, menghadap kearah makam itu, mulutnya merapalkan mantra, kemudian Ki Amon berdiri, mengangkat tinggi-tinggi keris itu, lalu melempar keris itu dengan sangat keras.

Semua mata terbalalak ngeri, ketika keris itu menancap rapih didahi jasad tersebut.

Seketika, mata dari Mayat itu terbuka, namun kosong, tidak ada bola matanya.

"A..." Pak Wawan berteriak, namun sebelum teriakannya semakin kencang,

Ki Amon segera berkata,
"Sstt... Tutup lagi liang lahat ini, CEPAT!"

Pak Wawan dan Pak Ali berkeringat dingin sambil menutup kembali liang lahat tersebut, tak ada kata yang terucap oleh mereka sampai liang lahat itu kembali seperti semula.

"Fyuhhh..." Pak Ali menyeka keringat yang mengucur dari dahinya.

"Sekarang kalian gali untuk sebuah makam disamping sawah itu." Perintah Ki Amon.

"Untuk siapa Ki Amon?" Tanya Pak Ali.

"Sudah lakukan saja." Tutur Ki Amon.

Akhirnya mereka menuruti perintah Ki Amon dan segera menuju ke arah Sawah itu.

Pak Ali dan Pak Wawan segera membuat sebuah liang lahat sesampainya disana.

"Sudah Ki Amon." Ucap Pak Ali.

"Yasudah kalian pulanglah, dan tutup kembali liang lahat ini esok hari."

Pak Ali dan Pak Wawan mengangguk, dan mereka bergegas setelah berpamitan pada Pak Kades dan Ki Amon.

Hari mulai petang, satu-persatu dari mereka meninggalkan liang lahat itu, dan kembali pada urusannya masing-masing.

"Wan, gimana bisa Mayat yang udah dikubur 5 Tahun masih tetep utuh gitu?" Tanya Pak Ali, yang sedang dalam perjalanan pulang bersama Pak Wawan.

"Gak tau Li, seumur hidup baru kali itu liat mayat utuh. Dulu Li, saya yang pertama kali nemu mayat itu, tapi bentuk tubuhnya masih normal, cuma sekujur tubuhnya berwarna merah kehitaman setelah itu aku gak inget apa-apa lagi Li, tiba-tiba udah dirumah sakit."

"Kamu sama sekali gak tau kenapa dia bisa meninggal?"

"Enggak Li, tapi berbagai omongan yang saya denger katanya itu Korban Santet."

"Santet? Masa iya sampe segitunya Wan?"

"Iya Li, dan kayanya si Korban dendam sama si pelaku santet ini, Polisi ngejelasin ke saya bahwa ada tulisan yang menjelaskan bahwa Korban ini punya dendam yang begitu besar terhadap si Pelaku."

Pak Ali terdiam dan langkahnya terhenti.

***

Malam itu sudah diputuskan kapan akan dilaksanakannya pembangunan Sekolah Swasta lewat pertemuan antara Pak Kades dan 5 Tetua Desa, tidak ada yang mengetahui pembicaraan dari pertemuan yang mereka lakukan, karena hanya mereka-merekalah yang berperan penting terhadap Desa ini dan pembangunan itu akan dilaksanakan hari Rabu Wage.

***

Keesokan harinya, sebuah kabar yang lagi-lagi menggegerkan satu Desa, semua warga sudah berkumpul di tanah yang cukup lapang disebelah Sawah Desa, dengan raut wajah yang terheran-heran,

Mereka melihat suatu kejadian yang tak akan pernah dilupakan, dimana tepat didalam sebuah Liang Lahat itu terdapat dua Mayat berdempetan, dengan mata melotot tajam ke atas, salah satu dari mayat tersebut sangat di kenali oleh Warga Desa.

"KI AMON?! DAN MAYAT TANPA NAMA ITU!" Teriak Pak Ali, setelah sampai disana.

Benar, salah satu Mayat itu adalah Ki Amon dan satunya lagi adalah Mayat tanpa nama, yang anehnya sebuah keris yang seharusnya menancap di Dahi Mayat tanpa nama tersebut, kini berpindah ke dahi Ki Amon.

Pak Ali bingung setengah mati beserta Para Warga, mengapa bisa Mayat itu berpindah kesini, padahal Pak Ali yakin Liang Lahat Mayat tanpa nama itu sudah ditutup kembali, mustahil jika ada yang berani membongkarnya lalu memindahkannya kesini.

Akhirnya berita kematian Ki Amon tersebar sangat cepat hingga ke Telinga Pak Kades, hingga Pak Kades datang bersama Pak Sudir dengan motor tuanya.

Namun Pak Kades hanya terdiam mematung, seolah tak percaya apa yang ia lihat sekarang, padahal baru semalam ia melihat Ki Amon segar bugar tanpa ada tanda-tanda bahwa ia akan Mati hari ini.

"Li Mayat ini..?" Tanya Pak Sudir pada Ali, yang juga tak percaya bahwa Mayat Ki Amon bersama dengan Mayat tanpa nama itu.

"Saya juga gak tau Dir, siapa yang memindahkan mayat itu kesini, saya yakin gak ada yang berani mindahin mayat itu kesini, karena ngeliat Mayat itu juga udah bikin jantung mau copot, ditambah bau busuk Mayat itu bukan seperti mayat-mayat yang pernah saya Kuburin Dir."

"Benar juga Li." Tutur Pak Sudir.

Ditengah riuhnya suasana, tiba-tiba datang seorang kakek tua berambut putih panjang, mengenakan pakaian serba hitam, "Permisi..." Kata Kakek itu yang berusaha menembus padatnya warga.

Warga yang mendengar perkataan itu sekaligus mengenal siapa seorang Kakek tua tersebut segera memberi jalan.

Siapa yang tak mengenal Ki Jambrong, seorang Jawara, namanya Mahsyur se-Kabupaten, sekaligus salah satu Tetua Desa.

"Untuk apa kalian mempertontonkan sebuah Mayat yang entah dosa apa dia pada kalian, cepat angkat Mayat Amon, mandikan dan kuburkan dengan layak." Perintah Ki Jambrong dengan suara beratnya, serta tatapannya yang tajam membuat siapapun akan takut menatapnya.

Tidak ada yang berani menolak perintah Ki Jambrong, tapi tak ada pula yang berani mengangkat Mayat Ki Amon dari Liang Lahat tersebut.

"Ali? Tunggu apa?" Tanya Ki Jambrong seraya melirik Pak Ali yang sedari tadi berdiri didepan Liang Lahat itu.

"Anu Ki, saya gak kuat mengangkatnya sendiri." Jawab Pak Ali beralasan.

"Lalu warga-warga yang menonton kedua mayat ini, untuk apa berada disini? Melihat suatu musibah yang sama sekali tidak layak untuk dipertontonkan." Sindir Ki Jambrong pada para Warga,

"Jika mayat Amon tidak diangkat dan dikuburkan dengan layak, saya bersumpah ada sesuatu musibah besar yang akan menimpa desa ini." Tambah Ki Jambrong yang sudah sedikit geram melihat tingkah para Warga, dan ia segera pergi meninggalkan kerumunan Warga tersebut.

Para Warga yang mendengar ultimatum dari Ki Jambrong, segera membantu Pak Ali yang sudah terjun duluan ke dalam Liang Lahat tersebut.

Akhirnya Mayat Ki Amon diangkat oleh beberapa Warga yang membantu Pak Ali,
"Gimana dengan Mayat ini Li," tanya seorang Warga sambil menunjuk Mayat yang tadi berada disamping Mayat Ki Amon.

"Sudah kuburkan saja disini." ucap Pak Kades menyela pembicaraan.

Pak Ali menatap Pak Kades sejenak, sebelum mengiyakan perkataanya, "Iya, kuburkan saja disini."

Akhirnya Liang Lahat itu perlahan ditutup kembali oleh tanah, membiarkan Mayat tanpa nama itu disana.

Sedangkan Mayat Ki Amon akan dilakukan otopsi untuk mengetahui apa penyebab kematiannya,

Namun hasil Autopsi membuktikan tidak ada tanda-tanda kekerasan ditubuhnya,

Hanya ada satu luka tusuk didahinya, itupun menyatakan bahwa Ki Amon sendiri yang menusuk dahinya, dan Ki Amon dinyatakan meninggal karena Bunuh Diri.

Para warga tak meyakini hasil dari Autopsi itu karena tahu betul, Tetua Desa itu tidak bodoh sampai-sampai melakukan bunuh diri.

Ki Amon pun jadi perbincangan hangat disetiap warung-warung kopi yang berada di desa, desas-desus yang beredar Ki Amon dibunuh oleh seseorang yang tak senang atas keberadaannya, namun lagi-lagi tak ada yang mempunyai cukup bukti untuk mengungkap hal itu.

Hingga hari itu tiba, hari dimana pembangunan Sekolah akan dilaksanakan yang dihadiri oleh 4 Tetua Desa, dan Pak Kades, serta para Warga yang antusias bergotong-royong membantu pembangunan tersebut.

Tidak ada keanehan yang terjadi ketika pembangunan dimulai, semua berjalan baik.

Tak terasa 2 tahun berlalu sejak Sekolah Swasta itu didirikan, semua warga senang akhirnya anak-anak mereka bisa bersekolah tanpa harus berjalan jauh lagi, namun semua berubah, ketika lagi-lagi Pak Kades menyetujui pembangunan sebuah Lapangan disebelah sekolah tersebut dimana mayat tanpa nama itu dikubur, dan harus memindahkan mayat itu lagi.

Namun, Pak Wawan dan Pak Ali menolak untuk memindahkan kembali Mayat itu, alasannya jelas ia tak mau melihat sesuatu hal yang membuat jantungnya hampir copot.

Akhirnya Pak Kades mencari orang yang mau memindahkan Mayat tanpa nama itu, namun siapapun orang yang Pak Kades suruh tak satupun yang berani memindahkan Mayat tersebut walau sudah membongkar Makam itu berkali-kali, sampai akhirnya Pak Kades menyerah untuk mencari seseorang yang mau memindahkan Mayat itu, namun ia tak dapat lagi menolak pembangunan sebuah lapangan, karena sudah menandatangani sebuah berkas tersebut.

Akhirnya mau tak mau Makam tanpa nama itu ikut diratakan.

Disinilah, sesuatu hal aneh terjadi, sehari setelah Makam itu diratakan, semua pekerja yang ikut serta saat itu mengalami penyakit yang tak biasa, tubuh para pekerja itu seperti terbakar.

"PANAS!!! TOLONGG!!! TOLONGG!!!" Teriak salah satu pekerja yang berlari kesana-kemari meminta pertolongan,
"KENAPA PAK?!!!" Kata salah satu warga.

"PANASS!! AIR!!! AIRR...!!!" Teriak lagi pekerja itu, sambil berlari ke arah sebuah Danau Desa.

"PAK!! JANGAN MELOMPAT!!" Himbau Warga, seraya mengejar Pekerja tersebut.

Namun naas tak dapat ditolong, Pekerja itu tak mendengarkan apa yang warga itu katakan.

Pekerja itu melompat ke sebuah Danau yang cukup dalam dan tak pernah kembali, meski beberapa Tim Sar sudah membantu, para warga yang ikut serta pencarian pekerja itu pun tak membuahkan hasil.

Sanak keluarga para pekerja histeris... karena keesokan harinya semua pekerja itu tewas, disaat yang bersamaan, dijam yang sama, penyakitnya pun sama.

Hingga terdengar sebuah berita yang sangat mengejutkan, dimana seorang yang sangat di hormatipun ikut tewas karena penyakit itu.

Orang itu adalah Pak Kades.

Berita itu terdengar sampai ke telinga 4 Tetua Desa,

4 Tetua Desa itu geram bukan main, karena ada sesuatu yang terjadi pada desanya, dan ini bukan lagi untuk mereka bersantai-santai, hingga sebuah Upacara Keramat akan dilakukan, untuk sebuah pembersihan dari segala hal ghaib.

Upacara ini hanya akan dihadiri oleh para Tetua Desa karena tak akan ada yang boleh mengikuti sesuatu Upacara Keramat itu jika bukan orang-orang yang mempunyai Garis keturunan leluhur.

***

Malam Jum'at Kliwon.

Semua warga tidak diizinkan keluar rumah, semua lampu jalan dipadamkan, itu adalah salah satu syarat Upacara Keramat hanya ada 6 Orang yang berada diluar, yaitu Ki Jambrong, Ki Joko, Ki Nawa, Ki Aji, dan Kedua orang yang akan membantu pelaksanaan upacara tersebut,

orang itu adalah Pak Ali dan Pak Wawan, mereka semua berjalan ke arah sebuah tanah yang sudah diratakan disamping Sekolah Swasta, bermodalkan lampu senter yang tak begitu terang tapi mampu menerangi jalan yang mereka lalui.

"Jika tidak karena Desa, aku tidak mau tengah malam begini ke sana." Bisik Pak Wawan pada Pak Ali.

"Sudah tenang saja, kita bersama orang-orang sakti." Tutur Pak Ali, berusaha menenangkan Pak Wawan yang sudah takut setengah mati.

"Si Kades itu gila uang, akhirnya Matinya nyusahin." Celetuk Ki Joko.

"Hustt... Kamu ini orang sudah engga ada masih aja diomongin keburukannya." Ucap Ki Jambrong.

"Habisnya, ponakanku itu yang kerja disana kemarin, ikut kena imbasnya." Ki Joko geram.

"Sudah jadi takdir Jok, tidak usah ada yang perlu disesalin, semua manusia punya nafsunya masing-masing, semakin mengikuti nafsu, semakin nafsu nguasain kita, jadi, cukup jadikan pelajaran saja Jok." Kata Ki Aji.

"Betul, lain kali jika dapat jatah ya dibagi-bagi, hahaha." Canda Ki Nawa.

"Kalian ini, sudah diam, yang kita hadapi dulunya bukan sembarang orang!" Ucap Ki Jambrong yang membuang para Tetua Desa lainnya terdiam.

Hingga akhirnya mereka sampai disana, semua Tetua Desa mengeluarkan pusakanya masing-masing.

Ki Jambrong mengeluarkan 2 Keris yang menyilang dan menyatu, gagangnya dilapisi Batu Merah Delima yang manakala itu terlihat pancarannya.

Ki Aji mengeluarkan sebuah Jenglot berkepala dua, rambutnya yang panjang melilit tubuhnya yang mungil.

Ki Nawa hanya membawa sebuah Kain berwarna putih, tapi banyak bercak darah disana konon katanya, itu adalah tetesan darah Kuntilanak Merah.

Dan terakhir Ki Joko, yang membawa sebuah Potongan Rambut serta kuku-kuku yang tersimpan rapih disebuah toples seukuran kepalan tangan.

Mereka ber-empat duduk dan membuat lingkaran, di depan Kuburan Tanpa nama itu.

"Ali, Wawan?" Ucap Ki Jambrong.

"Iya ada apa Ki" Jawab Pak Ali dan Pak Wawan yang diam mematung dibelakang Para Tetua Desa.

"Gali Kuburan itu."

Pak Ali dan Pak Wawan saling menatap, sebelum akhirnya mereka mengatakan isi hatinya, "Kami takut, Ki." Dengan bibir yang bergemetar hebat.

Siapapun yang berada disana selain mereka, pasti akan terkencing-kencing karena suasana yang hening dan gelap gulita, hanya ada 4 lampu senter berukuran kecil yang masing-masing dari senter itu hanya mampu menerangi satu titik, karena pencahayaannya yang tak terlalu luas.

"Cepat gali kuburan itu, sudah tidak ada lagi untuk berbincang-bincang disini!" Ki Jambrong menegaskan.

Tak ada pilihan untuk Pak Ali dan Pak Wawan, selain mengikuti perintah Tetua Desa.

Merekapun mulai menggali Makam itu ketika Ki Jambrong mengangkat Kerisnya dengan satu tangan.

Ki Aji melepas ikatan rambut yang melilit tubuh jenglot miliknya,

Ki Nawa membuka lipatan sebuah Kain putih bercak merah darah, dan ternyata di dalamnya terdapat sebuah Jarum Emas, yang biasa disebut Wesi Kuning.

Dan Ki Joko membuka toples yang berisikan rambut serta kuku-kuku, yang entah milik siapa, namun konon katanya itu adalah milik leluhurnya.

Dan kemudian mereka ber-empat merapalkan sebuah Mantra dengan mata terpejam.

Hingga terpaan angin yang begitu dingin dan hawa yang berbeda mulai dirasakan Pak Ali dan Pak Wawan.

"Li, perasaanku gak enak, kita kabur yuk, mumpung para Tetua Desa lagi mejamkan matanya." Ucap Pak Wawan, yang matanya mengawasi sekitarnya.

"Kamu ini Wan, kamu gak dengar kata Ki Jambrong ini semua demi Keluarga kita dan Desa ini, kamu gak mau kan ada sesuatu yang terjadi padanya?"

Benar juga kata Pak Ali, Pak Wawan tidak mau sesuatu terjadi pada Keluarga tercintanya, akhirnya mereka terus menggali Makam tersebut.

Hingga teriakan satu dari Rumah Warga tak terdengar terlalu keras tapi mampu membuat bulu kuduk Pak Ali dan Pak Wawan merinding.

Bukan hanya satu, terdengar lagi suara teriakan-teriakan dari beberapa Rumah Warga Desa, sehingga suasana yang hening tadi berubah menjadi mencekam.

"Bagaimana ini Li?" Tanya Pak Wawan, yang keringatnya sudah mengucur deras, bukan karena lelah tapi karena ketakutan.

Pak Ali juga terlihat takut dan seolah memberanikan dirinya, "Sudah lanjutkan saja Wan, udah hampir selesai."

Ternyata Pak Wawan sudah tak mampu lagi menahan rasa takutnya, ia melompat keluar dari Liang Lahat itu, dan betapa terkejutnya ketika ia berhasil keluar dari sana.

Ia melihat ribuan pocong berkain Kafan Hitam, sudah memenuhi seluruh tanah yang yang sudah di Ratakan itu, namun Para Tetua itu masih memejamkan matanya, dan mulutnya masih merapal mata, entah menyadari atau tidak, Pak Wawan tak begitu perduli, tubuhnya tiba-tiba lemas.

Dan untuk yang kesekian kalinya Pak Wawan jatuh pingsan.

Sedangkan Pak Ali, masih terus menggali Makam itu, tanpa tahu apa yang terjadi pada sekitarnya.

Hingga sebuah Mayat tanpa nama itu mulai terlihat, "Apa ini?" Batin Pak Ali, ketika sebuah tetesan Air mengenai tangannya.

"Hujan?" Pak Ali mendangak keatas, betapa terkejutnya ia Bahwa tetesan Air itu adalah Air Liur Pocong yang membungkukkan badannya sambil menatap Pak Ali dari atas Liang Lahat tersebut.

Sontak Pak Ali langsung keluar dari Liang Lahat itu, dan berteriak pada Para Tetua yang sedang duduk melingkar didepannya.

"KI ADA POCONG!!"

Para Tetua Desa akhirnya membuka matanya,

Tepat ketika Para Tetua Desa membuka matanya, sebuah Jasad Tanpa Nama itu terbang dari dalam Liang Lahatnya, bersama ribuan pocong berwajah Hancur.

Tapi tunggu sebentar, memang para Tetua Desa membuka matanya, tapi bola matanya berwarna putih semua.

"KALIAN INGIN MENGUSIRKU YA? HAHAHA." Ucap Mayat tanpa nama itu.

Tiba-tiba suara Ki Jambrong memekik, dan berubah menjadi suara Nenek Tua, "AKU HANYA MEMBUATMU TAK BERBAHAYA UNTUK DESAKU."

"Ki Jambrong berdiri dari tempat duduknya, tangannya yang memegang Keris seperti menarik sesuatu dari atas kebawah, membuat Mayat tanpa nama itu jatuh tersungkur ketanah yang berada ditengah-tengah para Tetua Desa,

Sedangkan ribuan pocong hitam itu menghilang tanpa jejak, belum sampai disitu, Ki Nawa mengambil Jarum berwarna Emas, lalu menancapkannya perlahan ke kepala Mayat tersebut sontak membuatnya berteriak kesakitan, kemudian perlahan tubuhnya menyusut, kukunya menyilang di dadanya, Rambutnya terurai hingga betis kakinya, tak lain tak bukan itu adalah Jenglot dengan Jarum Emas dikepalanya.

Para Tetua Desa perlahan mulai tersadar, sedangkan Pak Ali yang masih tak mampu meresapi apa yang terjadi barusan hanya diam tak satu katapun terucap dari mulutnya.

Sebuah hal yang benar-benar tak bisa di cerna oleh Akal, namun inilah Nyatanya Pak Ali sendiri yang menyaksikan kengerian itu.

Ki Joko mengambil Jenglot itu, "Bolehkah ini menjadi Koleksiku?"

"Tidak! Biarkan ia dikubur disini sesuai permintaan terakhirnya." Ki Jambrong menolak.

Ki Joko terlihat menghela nafas, seolah mengungkapkan rasa kecewanya.

"Ali, kuburkan lagi ia disini."

Ali terdiam sejenak memperhatikan Jenglot itu dengan seksama, "Tapi Ki, kenapa tubuhnya berubah menjadi seperti Jenglot?"

"Pada dasarnya, semua Manusia akan diterima oleh Bumi, ketika ia Mati, namun orang ini adalah penganut Ilmu Hitam yang sangat-sangat merugikan, sehingga ia tak bisa diterima di Bumi, di tambah orang ini mempunyai Dendam yang sangat besar pada seseorang yang sudah membunuhnya... ia akan diambang oleh dua Dunia, antara Kematian dan Kehidupan selanjutnya, seperti Arwah Penasaran." Penjelasan Ki Jambrong.

"Berarti sebenarnya ia masih hidup?"

"Yang hidup hanya Rohnya, sudah cepat lakukan tugasmu Li."

"Baik Ki."

Pak Ali pun mulai perlahan menutup kembali Liang Lahat tersebut oleh tanah.

Hingga selesai, Pak Ali menatap Pak Wawan yang masih terbaring tak sadarkan diri, "Gimana dengan Wawan Ki?"

"Sudah, biarkan saja disini, nanti juga sadar sendiri."

"Apa gak akan terjadi apa-apa Ki?"

"Sudah, tenang. Lagipula kami ber-empat sudah Tua, terlalu buang-buang tenaga untuk mengangkat tubuh si Wawan."

"Benar, sudah mari pulang." Ucap Ki Aji, yang memulai langkahnya lebih dulu meninggalkan tempat itu, diikuti Para Tetua yang lainnya, hingga tersisa Pak Ali, sendirian.

Pak Ali menatap Pak Wawan sejenak, sebelum lari terbirit-birit karena mengingat segala hal yang terjadi tadi.

***

Akhirnya pembangunan sebuah Lapangan dilaksanakan diatas sebuah makam tanpa nama, tidak ada keanehan di hari-hari selanjutnya hingga sampai pembangunan itu selesai.

Dan hari itu dimana Ki Jambrong ditunjuk sebagai Kepala Desa yang baru atas perintah Warga Desa.

Tidak ada yang keberatan satupun, karena Ki Jambrong sudah banyak berjasa terhadap Desa.

***

Rina, Anak dari Pak Ali, yang akan didaftarkan Pak Ali untuk masuk ke Sekolah Swasta itu.

Hari itu dimana Rina sangat senang karena akhirnya ia dapat bersekolah tanpa Perlu lagi berjalan 5 km, ke Desa sebelah untuk bersekolah, karena di Desanya, sudah ada Sekolah Menengah Pertama.

Rina adalah anak semata wayang Pak Ali, dan satu-satunya Harta yang paling berharga untuk Pak Ali, karena setelah kematian Sang Istri, hanya Rina yang mampu menjadikan Pak Ali bekerja siang malam demi menghidupi si Buah Hati, dan mewujudkan Impian manisnya sebagai seorang Dokter Spesialis.

Biaya masuk sekolah itu cukup terbilang menguras Tabungan Pak Ali, belum lagi biaya bulanan yang harus ia keluarkan, namun Pak Ali tak mau lagi melihat lelahnya Rina setelah berjalan 5 km demi mendapat Ilmu.

Akhirnya Pak Ali setuju dengan kesepakatan Sekolah Swasta itu.

Rina pun mendapat Seragam serta buku LKS dan kemudian berjalan pulang bersama Pak Ali setelah mendaftar diri.

"Bapak, makasih ya Pak, udah mau berjuang menyekolahkanku, aku janji sama Bapak, kelak, Aku yang berjuang demi Bapak." Tutur Rina seraya menenteng kantong kresek berisi Seragam dan Buku LKS.

Pak Ali tersenyum bangga, karena Rina memperhatikan perjuangan Bapaknya tercinta.

"Kamu sekolah yang bener ya, Nak. Itu sudah cukup bagi Bapak merasakan Perjuanganmu."

"Pasti Pak." Senyum manis Rina.

Hari-hari berlalu,
Pak Ali yang selalu berangkat ke Makam tak lupa mengantarkan Rina ke Sekolah Swasta itu, selain searah, Pak Ali harus memastikan bahwa Rina benar-benar selamat sampai Tujuan.

Hingga hari itu dimana Rina berbeda, ia tak lagi menampakkan senyum Manisnya, ia terlihat lesu ketika sepulang sekolah.

Pak Ali yang merasa bahwa ada yang tak beres dengan Putrinya lantas menanyakan,

"Kamu kenapa, Nak?"

"Aku gaenak badan Pak."

Mendengar pernyataan itu, Pak Ali langsung membawa Putrinya ke kamar, merebahkan badan Putrinya di sebuah Ranjang Kayu, lalu mengambil Teh Hangat.

"Minum dulu, mungkin kamu kelelahan."

Rina pun meminum secangkir Teh buatan Pak Ali,

"Makasih Pak." Rina pun tersenyum lesu,

"Yasudah, kamu istirahat, besok biar Bapak ke sekolah untuk Izin bahwa kamu Sakit."

Rina mengangguk, lalu kembali merebahkan badannya.

"Bapak, mau beli Obat dulu untuk kamu, Kamu jangan kemana-mana ya, Nak."

"Iya Pak."

Pak Ali pun segera bergegas untuk ke Apotik.

"Pak?" Ucap Rina yang membuat Pak Ali menghentikan langkahnya.

"Iya Nak?"

"Tadi saat aku dilapangan, aku ketemu seorang Pria Tua, dia mengaku bahwa Ia teman Bapak, dan dia mengucapkan Terimakasih karena udah di bebaskan."

Pak Ali terdiam, mengingat siapa seorang Pria Tua yang Rina maksud.

"Siapa?" Tanya Pak Ali.

"Enggak tau Pak, orangnya langsung pergi setelah mengucapkan itu."

Pak Ali terdiam sejenak, berusaha mencari jawaban itu namun tak ia dapatkan.

Namun, bukan itu yang menjadi Prioritas Utama baginya, Rina lah yang menjadi beban pikirannya sekarang karena Anak Semata wayangnya sedang kurang sehat, Pak Ali pun kembali melanjutkan langkahnya keluar Rumah, dan menuju Apotik.

Sesampainya di Apotik ia membeli beberapa Obat, dan kemudian segera Pulang Kerumahnya.

Sesuatu hal yang Pak Ali sesali, adalah Pulang Kerumah.

Atau seharusnya Pak Ali selalu berada di Rumah,

Karena sesuatu terjadi di Rumah Pak Ali, ketika Pak Ali pergi.

Pak Ali jatuh tersungkur di sebuah lantai yang penuh dengan Darah, Tangisnya pecah ketika mengangkat sebuah tubuh yang mungil.

Putri tercinta, harta yang berharga bagi Pak Ali sudah tiada.

Tak ada lagi Senyum manis yang dapat Rina tampakkan bersama Impian manis yang ia katakan pada Pak Ali berulang kali.

Rina ditemukan tak bernyawa disebuah Lantai Kamarnya, dengan mulut yang menganga dan Darah mengucur deras dari Mulutnya.

Bagaimana rasanya seoarang tukang Kubur harus menggali sebuah Liang Lahat untuk keluarganya sendiri, apalagi Buah Hatinya sendiri.

Pupus sudah segala harapan yang ia tanam pada Rina, sekarang, Rina hanya terdiam kaku ketika diturunkan perlahan kedalam Liang Lahat.

Semua warga yang menghadiri pemakaman turut Berduka Cita atas meninggalnya anak dari Pak Ali, terutama Pak Sudir sahabat Pak Ali.

"Li, Sabar ya, aku tahu ini berat untukmu, tapi larut dalam kesedihan terlalu lama gak baik, nanti segala aktivitas kamu terhenti." Tutur Pak Sudir.

"SIAPA YANG SEDIH DIR??! AKU?! AKU GAK SEDIH SAMA SEKALI DIR HAHAHAHA!!" Ucapan Pak Ali membuat Pak Sudir tak tega,

Pak Sudir yakin kondisi hatinya benar-benar hancur, itu dibuktikan ketika semua warga satu-persatu pergi meninggalkan sebuah pemakaman itu, sedangkan Pak Ali masih diam membisu di depan makam Anaknya.

"Li, ayo pulang." Ajak Pak Sudir.

Namun Pak Ali tetap terdiam membisu, dengan tatapan yang kosong.

"Li...?"

"Sudahlah Dir, kamu pulang saja, biarkan aku disini, dan tidur disini menjaga anakku."

Pernyataan Pak Ali membuat Pak Sudir geleng-geleng kepala.

"Istighfar Li." Tepat ketika ucapan ini dikatakan oleh Pak Sudir tiba-tiba angin berhembus pelan, namun menusuk tulang.

Membuat perasaan Pak Sudir tak enak, mata Pak Sudir mengawasi area Pemakaman, tepat disamping sebuah Pohon Beringin,

Ada sesosok anak Kecil bertubuh pucat pasi sedang berdiri, ia sedang menatap ke arah Pak Sudir dan Pak Ali.

Pak Sudir mengenalinya, itu adalah Rina.

Tapi ada sesosok lagi dibelakang Rina, seorang Pria bertubuh besar, tangannya yang dipenuhi Ulat sedang menutup mulut Rina

"LI, AYO PERGI DARI SINI!" Ucap Pak Sudir menarik paksa Pak Ali.

"APA SIH DIR? AKU MASIH MAU DISINI!" Pak Ali memaksa berhenti.

"LI, AKU TAU KENAPA ANAKMU MENINGGAL!"

"SERIUS KAMU?!"

"SUDAH IKUT AKU." Ucap Pak Sudir, tak lagi memaksa Pak Ali meninggalkan Makam tersebut karena Pak Ali mengikuti langkah Pak Sudir.

Mereka berdua menuju ke suatu tempat menggunakan Motor Tua Pak Sudir.

Pak Sudir dan Pak Ali terheran-heran ketika melihat sekumpulan Para Warga yang berkumpulan disekitar sebuah Rumah yang mereka berdua kenali.

Pak Sudir dan Pak Ali yang merasa ada yang tak beres, segera turun dari motornya, lalu menembus kerumunan Warga,

Betapa terkejutnya mereka berdua, melihat sebuah Mayat terkapar dengan mulut yang menganga lebar,

"KI JAMBRONG?!" Pak Ali berteriak.

Pak Sudir menarik Pak Ali keluar dari kerumunan.

"Ngapain sih Dir, itu Ki Jambrong MATI!"

"Aku tau Li... Ikut aku!"

"Kemana?"

"Sudah ikut." Pak Sudir menyalakan motornya.

Mereka berdua menuju suatu tempat lagi.

"TOLONGG!!!" Teriak salah satu Warga sambil berlari kesana-kemari.

Bertepatan ketika Pak Sudir dan Pak Ali, lewat.

"Ada apa Pak?" Tanya Pak Sudir.

"Ki Nawa meninggal."

Pak Sudir dan Pak Ali saling menatap.

Kemudia Pak Sudir menancap Gas motornya lagi, kesebuah Rumah.

Hingga lagi-lagi, seorang Warga berteriak sambil berlari.

"TOLONGG!! KI AJI MENINGGAL!!! TOLONGG!!!"

Disambut lagi oleh salah satu warga yang berteriak,

"TOLONGG, KI JOKO MENINGGAL!"

Hari itu dimana 4 Pilar bagi Desa tumbang bersamaan tanpa sebab, suasana riuh disana-sini, kejadian itu membuat seluruh Desa takut, sekaligus bingung karena kematian 4 Tetua itu tanpa sesuatu yang jelas,

Ada beberapa Warga yang mengetahui, bahwa ada sebuah cahaya api melayang-layang di atap Rumah Ki Jambrong malam sebelum kematiannya,

Bukan hanya di atap Rumah Ki Jambrong, di atap para Tetua lainnya juga ada.

Pak Sudir yang mendengar pembicaraan para Warga itu lantas berbisik pada Pak Ali,

"Kamu tahu kan siapa yang melakukan ini?"

Pak Ali mengangguk seolah mengerti apa yang dimaksud oleh Pak Sudir.

"Ayo ke lapangan sebelah sekolah itu, Dir."

"Iya Li." ucap Pak Sudir.

Akhirnya Pak Sudir dan Pak Ali bergegas menuju sebuah Lapangan.

Sesampainya disana,
"Dir hancurkan semen lapangan ini, kita harus bongkar makam itu."

Sudir mengangguk, dan berbagai upaya ia menghancurkan semen yang sudah dibuat lapangan itu.

Kemudian, Pak Ali dengan penuh rasa kesal, ia membongkar kembali sebuah Makam tanpa nama tersebut, karena ia yakin sesuatu yang terjadi pada Desanya, terutama Anaknya pasti karena ulahnya.

Sampai ketika sebuah Makam Tanpa nama itu sudah dibongkar, namun Pak Ali dan Pak Sudir tak menemukan apapun disana, tidak ada Jenglot ber-paku emas dikepalanya, maupun tanda-tanda bekas Jasad tanpa nama itu di dalam sana.

"Sepertinya sudah ada orang yang membuka Makam ini lalu mengambil Jenglot itu Dir."

"Tapi siapa? Bukankah makam ini berada diatas Semen? Dan aku yakin jika ada seseorang yang membongkar makam ini, pastilah ada tanda-tanda bekas pembongkaran dilapangan ini Li."

Pak Ali terdiam sejenak seolah berfikir, "Lalu kemana Jasad tanpa nama itu?"

Pak Sudir yang tak mampu menjawab pertanyaan Pak Ali hanya terdiam membisu.

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Pak Sudir dan Pak Ali yang duduk diam dan termenung dipinggir Liang Lahat.

"Li?!"

"Ada apa, Man? Kok wajahmu lelah begitu."

Hoalah! Kamu disini toh dicariin ga ketemu-temu."Pak Man mengeluarkan sesuatu dari Kantongnya, "Ini titipan Ki Jambrong, dia sebenarnya ingin mengantarkannya sendiri kerumahmu, namun Naas, aku melihatnya tergeletak sekarat depan rumahnya, dan dia menyuruhku untuk memberikan kertas ini padamu."

Pak Ali meraih kertas dari Pak Man.

"Sebuah alamat? Alamat siapa ini?" Pak Ali bertanya, entah siapa yang harus menjawabnya,

Pak Man dan Pak Sudir menggelengkan kepalanya seolah ia bukan orang yang tepat untuk ia tanyakan.

Pak Sudir meraih sebuah kertas dari tangan Pak Ali, menatap alamat itu sejenak lalu berkata, "Mungkin alamat ini jawaban dari pertanyaanmu sebelumnya."

Tepat ketika pernyataan itu diucapkan, Pak Ali menatap Pak Sudir mantap seolah menemukan Titik Terang.

"Tapi Dir, lokasi ini cukup jauh, dan memakan biaya, uang tabunganku sudah habis, untuk biaya sekolah."

Pak Sudir tersenyum, "Li, kita ini dari kecil sama-sama, sampai sekarangpun masih sama-sama, ketika manis ditelan berdua, jangan pahit di sisakan untuk seorang saja, aku siap menguras tabunganku, untuk Anakmu, untuk Desa yang telah hidup bersama kita puluhan tahun, jangan biarkan satu nyamuk, membunuh ribuan mata lainnya Li."

Siapa yang tak mengenal kisah persahabatan Pak Sudir dan Pak Ali, bahkan semesta yang melihat mereka berduapun iri, memang seharusnya begitu, meski tak sedarah bukan berarti tak searah.

"Sudah pikirkan itu nanti saja Li, besok kita berangkat!"

Pak Sudir hampir menginjak kepala empat namun belum pernah Menikah, karena ia belum menemukan tambatan hati yang pas, padahal jika dibilang uang tabungannya sudah lebih dari cukup.

***

Keesokan harinya di Pagi hari yang cerah menambah semangat keduanya mencari jawaban di atas sebuah pertanyaan sekaligus peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi di desanya.

Pak Ali dan Pak Sudir sudah berada di Terminal Bus S, Kota tujuan alamat itu berada cukup jauh yang mengharuskan mereka untuk menaiki Bus antar Kota.

Berbekal tas punggung berisi bermacam-macam, ada Pakaian, Makanan ringan serta minuman Berkemasan berada dalam kedua tas masing-masing, karena waktu ke kota tersebut memakan waktu sekitar 7-8 Jam.

Berbekal tas punggung berisi bermacam-macam, ada pakaian, makanan ringan serta minuman berkemasan berada dalam kedua tas masing-masing, karena waktu ke kota tersebut memakan waktu sekitar 7-8 Jam.

Disebuah kaca jendela bus Pak Ali bersandar, matanya berkali-kali melihat beberapa rumah seiringnya laju Bus, sedangkan Pak Sudir asik melihat sebuah berita TV yang terpasang dalam Bus, meski suara TV kalah dengan suara Sound dangdut Pak Sudir tetap menikmati seolah paham apa isi berita yang ditayangkan kemudian tak terasa mereka hanyut dalam tidur membiarkan Supir Bus melakukan tugasnya yaitu mengantarkan Kami sampai tujuan dengan selamat.

Tak terasa waktu cepat berlalu ketika mereka sedang terlelap, hingga bus memasuki terminal kota tujuan, sore itu langit tampak kemerahan, membentang luas seperti sebuah harapan yang tak pernah tuntas.

Seorang Kenek Bis mengetuk kaca jendela menggunakan uang logam, berhasil membangunkan mereka

"Sudah sampai ya?" Tanya Pak Sudir.

"Sepertinya." Jawab Pak Ali, melihat sebuah Plang nama Kota dari kaca jendela Bus.

Bus terhenti, menandakan mereka sudah boleh melanjutkan perjalanan selanjutnya, entah kemana para penumpang lainnya Pak Sudir dan Pak Ali tak terlalu perduli.

"Li, coba liat alamatnya lagi, biar kita tanyakan pada Tukang Ojek." ucap Pak Sudir seraya menaiki sebuah tas ke punggungnya,

Pak Ali mengambil sebuah kertas dari sakunya, dan mereka menghampiri seorang Ojek,

"Pak, tau alamat ini?" Tanya Pak Ali menyodorkan sebuah Kertas berisikan alamat sebuah Desa bernama Blarak.

Seorang Tukang Ojek itu menatap Pak Ali dan Pak Sudir dari ujung kaki hingga ujung kepala setelah ia membaca Alamat tersebut, "Kalian yakin kesana?"

"Memangnya kenapa Pak?"

"Ah enggak, lokasinya cukup Jauh."

Pak Ali meyakini bukan itu jawabannya,"Jadi, bisa antar kami kesana?"

"Tapi harga untuk 1 orang penumpang 50rb, gimana?"

Pak Ali dan Pak Sudir menelan ludah, mungkinkah jarak yang akan ditempuh sesuai yang harus mereka bayar,

"Dir, kita coba cari alternatif lain, mungkin angkutan umum ada yang mengarah ke Desa Blarak itu." Bisik Pak Ali.

"Ah sudahlah Li, daripada harus mencari Angkot, dan memakan waktu, lebih baik kita pakai Ojek, karena matahari hampir terbenam."

"Yasudalah Pak, kami setuju." Pak Ali menyetujui si Bapak Tukang Ojek.

Pak Ali dan Pak Sudir pun menaiki Ojek menuju Desa Blarak,

Jalan yang mereka lalui pertama yaitu sebuah Jalan Raya yang sepi, mungkin sesekali menemui pengendara Motor selebihnya mobil dan truk-truk besar bermuatan, setelah itu mereka mulai memasuki jalan yang tak terlalu luas di sisi kanan dan kiri adalah hamparan sawah yang luas.

Sejuk dan dingin menusuk tulang tak bisa mereka hindari, ternyata benar kata Tukang Ojek ini, perjalanan yang mereka lalui cukup jauh dan memakan waktu, tak terasa Matahari pamit bersama keindahan langit yang merah merona, berganti Bulan yang senantiasa datang bersama kengerian Malam, bagaimana tidak, mereka tidak lagi melihat pengendara yang lalu lalang bersama lampu jalan yang remang-remang.

Hingga mereka berhenti di sebuah Gapura yang tak terawat, disana tertulis.

"SELAMAT DATANG DI DESA BLARAK."

Pak Ali dan Pak Sudir turun dari Kedua Ojek yang membawanya kesini.

"Benar ini desa yang tertulis di alamat itu Li?" Tanya Pak Sudir yang heran, karena ini tampak seperti Desa mati, yang tak berpenghuni.

"Benar Dir—Ya kan Pak?"

Kedua Tukang Ojek itu tak menjawab pertanyaan Pak Ali, melainkan langsung tancap Gas tanpa salam perpisahan.

"LHO?! KOK?? WOIII PAK?!!" teriak Pak Ali melihat kedua Tukang Ojek itu pergi dan menghilang ditelan gelapnya Malam.

Mata Pak Sudir mengamati desa ini dari segala penjuru arah.

Desa ini hampir 75% Di penuhi Pohon Kelapa, sisanya hanya rumah-rumah yang tak layak dan berjarak sekitar 25-30 meter di setiap masing-masing rumah, namun, masih ada penerangan disetiap rumah meski remang-remang, yang berarti setiap rumah masih ada penghuninya.

"Li, nomor berapa rumah yang Ki Jambrong tulis disitu." ucap Pak Sudir, seraya mengeluarkan senter dari dalam tasnya, "untung aku bawa Senter."

"Nomor 4." ucap Ali mengingat kertas yang sekarang sudah tak ia pegang, karena tertinggal disaku si Tukang Ojek sialan.

"Setiap rumah disini berjarak 25 meter, jadi kita harus berjalan 100 meter."

"Sial!" Umpat Pak Ali.

"Sudah ikuti aku dari belakang." Pak Sudir melangkahkan kakinya lebih dulu memasuki Desa tersebut.

Suara jangkrik menemani perjalanan mereka kali itu, bersama angin yang berhembus namun sedikit berbeda hawa yang mereka rasakan ketika sudah memasuki Desa Blarak, entah mengapa langkah mereka berdua pelan, dan keringat mengucur deras seolah mereka sedang berlari padahal berjalan penuh hati-hati dan rasa takut yang menghantui. Hingga sesuatu memaksa mereka berlari,

Bugg!!!

Sesuatu jatuh dari atas, sekarang berada dihadapan Pak Sudir, tepat dimana cahaya senter berlabuh.

"Kelapa?"

Bukan, ketika yang ia anggap kelapa itu berbalik, menampakkan sebuah kepala Botak dengan penuh luka, wajahnya hampir mirip dengan kelapa jatuh, sama hancurnya.

"AAA..." teriak Pak Sudir lalu berlari begitu kencang, disusul Pak Ali yang tak mau kalah, keduanya sama-sama tak memikirkan rasa lelah, yang penting tak liat Kepala penuh Darah.

Keduanya berlari Semakin jauh dari Gapura Desa, Pak Sudir dan Pak Ali berharap Mati, karena sesuatu mereka berhenti, matanya menatap sesuatu yang menanti.

Sosok yang tak diundang datang wanita berwajah terbelah dua, dengan Gaun putih panjang hingga menutupi kakinya yang sebenarnya tak ada.

Menyeringai penuh tanda tanya.

Pak Sudir bergerak mundur, yang tak sengaja menabrak Pak Ali, berharap untuk lari ke belakang, malah terhalang oleh seutas tali yang melingkar, yang digunakan biasanya untuk bunuh diri, lengkap dengan kepalanya.

Rasa ketakutan mulai menghantui, tak sadar Pak Sudir dan Pak Ali saling bergandeng tangang, menyalurkan masing-masing rasa takutnya berharap menjadi sebuah kekuatan, namun seakan kakinya terpaku pada tanah bergerak sedikitpun terasa berat dan lelah, akhirnya Pak Sudir menyerah, ia terjatuh di tanah, bersama Rintik Hujan yang turun perlahan di ikuti Gema Petir.

"Lhoo... Badanku?" batin Pak Ali, yang merasakan seluruh tubuhnya lemas seketika,

Pak Ali berusaha sekuat tenaga menahan tubuhnya yang hampir Jatuh, matanya berkedip berkali-kali menahan sebuah rasa kantuk yang luar biasa, hingga ia menangkap sesuatu yang tidak biasa, di depan sebuah Pohon Kelapa, ia melihat sesosok Bocah, berbaju putih rapih tak bernoda, ditangannya terdapat sebuah Payung Hitam, sedang mengamati Pak Ali dan Pak Sudir.

"Siapa Bocah itu?"

Jderrr!!!

Suara petir dan Cahaya Kilatannya berhasil membuat Pak Ali menyadari sesosok bocah itu sekarang, karena Bocah itu sudah berada di hadapannya, entah bagaimana caranya, yang Pak Ali yakin ia bukan seorang Bocah biasa atau bukan Manusia.

"Ucapkan salam." Kata seorang Bocah itu, pada Pak Ali yang kesadarannya mulai hilang dan ia bersiap bermimpi.

Sesuai keyakinan Pak Ali, ia mengucap salam.

"Assalamualaikum."

***

DISEBUAH RUMAH TUA

Rumah yang di bangun 100 meter dari Gapura Desa ini memiliki Arsitektur Belanda, mungkin memang bekas peninggalan belanda, cuma ini satu-satunya Rumah yang menurut saya layak untuk dihuni, karena beberapa Tembok yang masih kokoh meski, beberapa noda mendiami.

Serta beberapa tanaman yang menjalar ke seluruh Tembok tersebut, Rumah ini begitu luas, namun saya menyakini betul bahwa Rumah ini sudah berusia Ratusan tahun.

Disalah satu ruangan didalam rumah tersebut ada Pak Sudir dan Pak Ali yang sedang pulas tertidur diranjang kayu.

Mereka berdua tak menyadari bahwa sudah berada di rumah seseorang yang akan mereka sadari ketika mereka mendengar dengan jelas suara rintihan yang tertahan.

Pak Sudir yang mendengar lebih dulu, karena suara itu cukup menganggu waktu tidurnya, atau malah ia yang mengganggu.

Pak Sudir menatap langit-langit kamar yang ia diami, sebelum akhirnya beranjak, dan berkata,
"Aku dimana?" Pak Sudir menatap sekelilingnya, melihat Pak Ali di pojok ruangan Kamar ini, meringkuk diatas sebuah Tikar.

Pak Sudir melangkahkan kakinya perlahan, menuju Pak Ali.

"Li..." Pak Sudir berusaha membangunkan Pak Ali, sontak hampir membuat Pak Ali berteriak karena menginggat apa yang ia alami sebelumnya, segera Pak Sudir menutup mulut Pak Ali, "sstttt... Jangan berisik."

Pak Ali memeriksa sekitarnya, dan mengangguk, "Kita dimana?" Bisiknya.
"Aku juga gatau, tapi kamu denger suara gak?"

"Suara apa?"

Pak Sudir menunjuk sebuah Tembok di sebelah Ranjang Kayu tempat ia tertidur tadi.

"Ada yang ngerintih kesakitan, tak begitu keras namun jelas."

Pak Ali yang penasaran segera menuju tembok yang Pak Sudir maksud, lalu menempelkan daun telinganya.

Yang ia dengar malah Suara wanita bersenandung, tanpa pengiring musik, tanpa lirik yang berarti, hanya sekedar nada yang tak beraturan yang keluar dari bibir yang tertutup.

"Dir..." Pak Ali menghampiri Pak Sudir, "Kita harus pergi dari sini."

"Kenapa Li?" Tanya Pak Sudir heran.

"Ada sesuatu yang gaberes ditempat ini Dir."

"Tapi ini jam 11 Malam Li, aku takut jika keluar dari sini, para Mahluk itu..."

"Dir! Jika terus menerus disini kita gak akan bisa kembali pulang!" Pak Ali memotong pembicaraan Pak Sudir.
Pak Sudir tertegun, "Bagaimana Desa kita Li."

Pak Ali mundur beberapa langkah, hingga tubuhnya mengenai tembok lalu bersandar disana, wajah Pak Ali tertunduk lesu ketika mengingat kematian Anaknya.

Pak Sudir menghampiri Pak Ali, mencoba menenangkan Pak Ali agar tak hanyut terlalu jauh dalam kesedihan.

"Li, kita sudah jauh datang kesini, menguras tenaga dan tabungan, jika kembali ke Desa malah menambah Duka, mending Mati disini meski penuh Luka."

Tepat ketika Pak Sudir mengatakan itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka, Pak Sudir dan Pak Ali saling menatap, menunggu siapa yang akan datang menemui mereka, mungkinkah Malaikat Maut mengamini perkataan Pak Sudir? Entahlah.

Karena mereka masih menunggu sesuatu disana.

Duggg... Duggg... Duggg...

Sebuah langkah yang begitu berat, terdengar menggema ditelinga keduanya.

Seseorang mulai terlihat bertubuh tegap dan besar, berbaju hitam, dan bersongko hitam, ditangannya memegang sebuah Lampu Petromaks.

"Kalian ditunggu diruangan Ki Mahasura, ia tak suka menunggu lama." Kata Seseorang itu yang sudah pergi lebih dulu.

Sebelum mengikuti seseorang itu Pak Sudir menelan ludahnya, "Apakah yang datang tadi manusia, Li?"

"CEPAT!" Teriak seseorang itu.

Pak Ali dan Pak Sudir bak anak kecil yang sedang diomeli sang Guru, mereka berdua berlari tanpa ragu, menuju salah satu ruangan dipandu oleh seseorang itu.

Sampailah mereka di salah satu kamar yang berada di ruangan ini.

"Masuklah."

Pak Sudir dan Pak Ali mengangguk, sebelum berjalan perlahan dan membuka pintu tersebut.

"Permisi—kami ingin bertemu Ki Mahasura." Ucap Pak Sudir, yang melihat seorang bocah duduk disebuah bangku, bocah itu berwajah Rupawan, berbaju putih rapih, lalu tersenyum, dan dua orang dewasa berbaju hitam keseluruhan sedang berdiri tegap di kedua sisinya.

"Bocah ini?" batin Pak Ali yang pernah melihat Bocah tersebut.
"Sopanlah pada yang lebih Tua dari kalian." Kata Seseorang di samping Bocah tersebut.

Pak Sudir bingung setengah mati, apa yang seseorang itu katakan.

"Dir, yang kamu bilang Bocah itu sepertinya dia Ki Mahasura." ucap Pak Ali yang sebenarnya tak begitu yakin.

"Benar, yang kalian sebut Bocah ternyata ia lebih tua dari kalian, dan sudah berumur 500 tahun—dan satu-satunya yang hidup disini." Penjelasan dari seseorang itu berhasil membuat Pak Ali dan Pak Sudir membungkukkan badannya seraya berkata.

"Maafkan kami, Ki Mahasura."

Tapi tunggu sebentar, Pak Sudir dan Pak Ali mulai mencerna kalimat terakhir dari seseorang itu.

"Satu-satunya yang hidup disini?"

Pak Sudir dan Pak Ali segera memastikan, menaikan tubuhnya kembali yang semula membungkuk.

"Harusnya kita tetap membungkuk." Sesal Pak Ali.

Karena kedua orang yang berada di kedua sisi Ki Mahasura berubah menjadi sebuah Pocong dengan kain kafan hitam, berwajah hitam legam, dan bermata satu, itupun hancur.

Lalu menghilang seketika begitu saja meninggalkan tawa yang menggema ke seluruh penjuru ruangan.

"HAHAHA..."

Ki Mahasura berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah kami perlahan.

"Kenapa kalian datang kesini?" Tanya Ki Mahasura sambil mengitari kami.

"Ki Jambrong..." belum sempat Pak Ali menuntaskan perkataannya.

Ki Mahasura berhenti tepat dihadapannya, "Dia mati?"

Pak Ali mengangguk.

Muka Ki Mahasura berubah menjadi merah padam, "Mereka menyatakan perang!—karena sudah membunuh murid terakhirku!"

"Apa maksud semua ini?" Tanya Pak Ali, karena bingung apa yang Ki Mahasura katakan.

"Dulu, Desa ini adalah tempat perguruan orang-orang disini berguru padaku hingga ratusan tahun, namaku dan perguruan yang ku buat tersohor, hingga banyak orang-orang dari luar pulau datang kesini hanya untuk berguru, mulai dari Ilmu pelet, pesugihan, pengobatan, kebal dan santet. Namun sebagian dari mereka yang datang bukan dari hati yang murni, melainkan keserakahan, aku menolak mengajarakannya, hingga akhirnya mereka membenci perguruan ini, dan mengatakan pada orang-orang bahwa Perguruan ini hanya penuh bualan semata, mulai dari situ petaka datang, ternyata benci dari hati mereka tak hilang begitu saja, mereka mencari seorang Guru yang mampu mengajari kesaktian, hingga mereka menemukan sebuah perguruan yang disebut Sewu Pati, dan Gurunya bernama Rojo Wijoyo, bak Baskom kotor, diisi oleh air yang keruh, maka hitamlah sudah.

Ternyata Rojo Wijoyo memiliki hati yang kotor, ia memang sudah sejak dulu ingin menghancurkan perguruan ini tapi selalu gagal, karena ia iri terhadap perguruanku yang semakin lama semakin mahsyur, puncaknya ketika ia sudah memiliki 1000 anak Murid, ia melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan."

"Apa itu?"

"Sewu Pati, seribu Banaspati dikirim ke Desa ini."

"Lalu?" Tanya Pak Sudir penasaran.

"Semua muridku mati, hanya Jambrong yang selamat waktu itu."

"Mengapa hanya ia yang selamat?"

"Jambrong bukan asli Warga Desa ini dan kebetulan atau tidak, hari itu ia sedang tidak berada di desa ini."

"Kau membiarkan murid-muridmu mati begitu saja?"

"Tidak! Jika ia menggunakan Sewu Pati, aku memakai Ilmu santet tertinggi, dengan kematian yang menyedihkan, memang sebelum mati ia belum merasakan apapun, tapi ketika ia sudah mati, tubuhnya masih merasakan sakit yang luar biasa, seperti di pukuli ribuan orang setiap detik, menit, dan hari, jasadnya pun tak akan diterima oleh bumi, malah jasadnya menghitam dan membengkak bertahun-tahun, maka tak jarang mereka memintak tolong melalui mimpi."

Pak Ali dan Pak Sudir saling menatap seolah mengingat sesuatu, lalu keduanya berkata bersama-sama.

"MAYAT TANPA NAMA ITU?!"

"Benar, Mayat yang kalian temukan itu, ialah satu-satunya Murid Rojo Wijoyo, ia datang kesana hanya untuk membunuh Jambrong, namun aku sudah membunuhnya dengan Janur Ireng sebelum ia sampai kerumahnya."

"Akhirnya Ki Jambrong tetap mati, bersama warga desa lainnya, termasuk—ANAKKU." Pak Ali menendang Ki Mahasura, hingga terpental.

"LHO LI, KENAPA?! APA YANG SALAH?" Tanya Pak Sudir.

"DIR!! KARENA PERANG ITU, DESA KITA KENA IMBASNYA, TERMASUK ANAKKU!—AKU AKAN MEMBUNUH DIA DIR!!" Pak Ali menunjuk Ki Mahasura.

"BODOH! HAHA, AKU SUDAH MATI, SEJAK LAHIR, DAN HIDUP DI BERBAGAI RAGA ORANG LAIN, MAKA DARI ITU HANYA AKU YANG TAK BISA DISANTET, APALAGI DIBUNUH." Ki Mahasura berdiri, membersihkan debu di bajunya.

"ALAH! AKU TAK PERDULI, KAMU HANYA MEMBUAL, MENGAKU SAKTI MENYELAMATKAN MURID-MURIDMU SAJA TAK BISA, CUIH!" Geram Pak Ali.

"Majulah." Ki Mahasura melebarkan tangannya seolah menerima tantangan Pak Ali.

Pak Ali maju, dan sedikit berlari, semua rasa kesal bersatu pada kepalan tangan yang berurat, bersiap menghantam Ki Mahasura yang berbadan cilik, namun belum sampai tangan Pak Ali menyentuh kepala Ki Mahasura, ia terpental jauh, dan berteriak kesakitan.

"Arghh..."

Pak Sudir menganga tak percaya apa yang ia lihat barusan.

"BIADAB!" Pak Ali berusaha bangkit, namun ia merasakan sesuatu yang aneh terjadi ditubuhnya.

"LI, TANGANMU!" Ucap Pak Sudir.

Barulah Pak Ali menyadari sekaligus merasakan apa yang belum pernah ia rasakan seumur hidup.

Tangan Pak Ali bengkok ke arah yang tak seharusnya, serta jari-jemarinya yang remuk, ia seperti memukul sebuah tembok baja dengan sekuat tenaga.

Pak Ali tak mampu mengangkat tangan kanannya yang terkulai lemas, ia hanya mampu menahan air mata dan menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Bagaimana? Kau bilang aku hanya pembual, dan katanya kau ingin membunuhku? Simpan sombongmu baik-baik!" ucap Ki Mahasura yang berjalan perlahan ke arah Pak Ali.

"Tolong jangan bunuh dia, jika kau ingin membunuhnya, bunuhlah aku sebagai gantinya, cukup sudah ia merasakan kehilangan nyawa anaknya, jangan lagi nyawanya." Pak Sudir bersujud menghalangi jalan Ki Mahasura.

"Jika kau datang jauh-jauh hanya untuk dibunuh, maka pulanglah, dan bunuh dirilah dengan tenang, tanganku terlalu bersih untuk melakukan hal kotor pada Korban seperti kalian, lagian Ki Jambrong yang sebenarnya salah, ia terlalu menganggap remeh orang yang sudah mati, dan menguburkannya di desa kalian adalah hal terbodoh yang ia lakukan."

"Tapi, ia sudah di segel oleh Leluhur Tetua desa, dan menancapkan sebuah jarum emas pada kepalanya.

"Bodoh." Ki Mahasura menggelengkan kepalanya,"sudah kubilang, ia datang dalam mimpi dan meminta tolong untuk melepaskan segel—ah sudahlah, ikut aku." Ki Mahasura berjalan terlebih dahulu.

Pak Sudir, memapah Pak Ali, yang masih merasakan sakit yang tak berujung.

Mereka memasuki salah satu ruangan, yang terdapat tiga peti yang sudah terbuka, satu peti kosong, dan dua peti lainnya terisi oleh sebuah Mayat Pria muda tampan dan berwibawa, wajahnya pucat pasi, urat-uratnya terlihat dari kulitnya yang putih bersih, dan diatas tubuhnya terdapat sebilah pedang.

"Ia adalah Pendekar Pedang, yang terbunuh dalam pertempuran." ucap Ki Mahasura yang menjelaskan, sebelum kami bertanya.

Dan kami melihat peti di kanannya, yang terdapat seorang Kakek Tua berjanggut putih, kurus-kerontang, bibirnya menampik senyum.

"Ia adalah Guruku." Jelas Ki Mahasura, seraya berjalan ke arah peti kosong di sisi kiri, lalu memasuki peti tersebut dan perlahan merebahkan tubuhnya, disana.

Kami hanya terdiam beberapa menit, hingga melihat sebuah kepulan asap putih dari tubuh Ki Mahasura, dan kepulan asap itu berhenti di jasad seorang Pendekar Pedang lalu melesat cepat kedalam tubuh Pendeker Pedang tersebut membuat tubuh seorang Pendekar Pedang itu terbangun, namun masih dengan mata yang terpejam.

"MARI KITA SELESAIKAN INI SEMUA!" ucapnya, seraya membuka mata.

***

Didalam sebuah mobil tua yang dikendarai Pak Sudir, disampingnya Pak Ali, dan dibelakang adalah Ki Mahasura yang berganti raga menjadi Seorang Pendekar Pedang.

Pak Sudir hanya mengikuti perintah Ki Mahasura yang menjadi penunjuk jalan, menembus sebuah Hutan dipedalaman salah satu pulau yang sama.

Ternyata mobil tua milik Ki Mahasura ini masih mampu berjalan jauh melewati beberapa bukit yang menjulang, dan sedikit curam.

"Jangan menengok kiri dan kanan, fokus saja pada jalan." ucap Ki Mahasura ketika sudah memasuki sebuah Desa yang penuh dengan Makam tanpa nama, hanya berbekal sebuah bambu yang ditancapkan yang menjadi saksi bahwa itu adalah sebuah makam.

Pak Sudir dan Pak Ali menyetujui perkataan Ki Mahasura karena mereka sudah merasakan hawa dingin dari jendela mobil yang terbuka.

"TOLONG..."

Terdengar suara teriakan minta tolong, dari dalam makam tersebut, seperti terendap namun masih terdengar.

"Jangan hiraukan! Jalan terus!"

Kali ini Pak Sudir tak mau menuruti kata Ki Mahasura, dan menginjak rem dengan seketika ketika melihat orang berdiri tapi tanpa kepala menghalangi jalan.

"Tabrak saja, kamu tidak akan bersalah, jika menabrak orang yang sudah mati, bukan?"

Pak Sudir menelan ludah, sebelum ia menginjak pedal gas kuat-kuat.

BUGG!!

Suara mobil yang dihasilkan oleh sebuah benturan padahal hanya sebuah bayangan.

"Berhenti." ucap Ki Mahasura.

Pak Sudir memberhentikan mobil didepan sebuah halaman luas yang terparkir rapih mobil-mobil keluaran baru tahun itu, dan ada sebuah Rumah megah, entah bagaimana bisa sang pemilik Rumah ini membangun di sebuah desa yang hampir seluruhnya di huni oleh ratusan Makam tanpa nama.

"ROJO WIJOYO?! KELUARLAH!" Teriakan yang begitu lantang dari Ki Mahasura berhasil membuat seluruh penghuni didalam rumah itu berhambur keluar, bersama sang pemilik Rumah, Rojo Wijoyo.

"WAWAN?!" Pak Ali dan Pak Sudir tersentak kaget karena melihat Pak Wawan yang berada disana.

"Kau lihat sendiri ada seorang pengkhianat dari desamu." ucap Ki Mahasura.

"BAGAIMANA BISA KAMU DISITU, WAN?!"

"HAHAHA." Pak Wawan tertawa penuh tanda tanya, berjalan perlahan menghampiri Pak Ali dan Pak Sudir.

"Maafkan aku Li, Dir. Bukannya aku mengkhianati kalian, aku hanya ingin mengubah nasibku, kebetulan saat sesudah kita melakukan Upacara Keramat, aku bermimpi Mayat tanpa nama itu meminta tolong padaku untuk melepas segel dikepalanya." Pak Wawan mengeluarkan sesuatu dari sakunya sebuah Jenglot dan Jarum Emas yang sudah terpisah dari kepalanya.

"Mayat itu menjanjikan kehidupan lebih layak, lihat sekarang, aku sudah Kaya Li, sudah punya mobil dan sedang membangun rumah di desa kita, aku tak perlu jadi tukang gali ku..." Kepala Pak Wawan terpisah sebelum ia berhasil melanjutkan kisahnya.

"ITU UNTUK MURIDKU, KARENA ULAHMU, DIA MATI!" Hardik Ki Mahasura setelah melayangkan Pedang ke kepala Pak Wawan.

"AKHIRNYA KAU BISA MENEMUKANKU MAHASURA." Ucap Seorang Pria Tua namun gagah seraya membuang sarung Pedang miliknya.

"SELAMA RATUSAN TAHUN AKU MENCARIMU, NAMUN HARUS AKU, AKUI KAU HEBAT DALAM BERSEMBUNYI, BAHKAN HARI INI AKU HARUS MENGORBANKAN UMUR PANJANGKU HANYA AGAR BISA BERTEMU KAU, ROJO WIJOYO!"

"BUKANKAH KAU SUDAH MATI? AKAN KUBUAT KAU MERASAKAN MATI YANG SESUNGGUHNYA..."

Rojo Wijoyo dan Ki Mahasura saling berlari ke arahnya masing-masing, mereka berdua layaknya seorang Guru yang benar-benar sakti dalam hal beladiri maupun Ilmu Hitam, Rojo Wijoyo di tebas kepalanya hingga terputus, namun beberapa detik kemudian tersambung lagi begitupula Ki Mahasura yang tubuhnya kebal meski berkali-kali ditusuk oleh Rojo Wijoyo, pertarungan sengit ini akhirnya membuahkan hasil meski keduanya mengalami cacat fisik, Rojo Wijoyo kehilangan satu tangannya, dan satu kakinya, sedangkan Ki Mahasura hanya mengalami beberapa jari-jemari yang terputus, area pertarungan mereka banjir darah.

"Ternyata Ilmu Anti Ragamu tak terlalu kuat, dibanding Ilmu Tameng Waja milikku, sekuat apapun Besi, meski dipotong oleh sebilah pisau, akan tetap terpotong meski harus mengeluarkan tenaga extra, betulkan Rojo Wijoyo? HAHAHA." ledek Ki Mahasura yang unggul dalam pertarungan.

Kesadaran Rojo Wijoyo mulai hilang akibat darah yang terus keluar dari luka-luka miliknya.

Ki Mahasura keluar sebagai pemenang.

"ALI, SUDIR, KEMARI!" teriak Ki Mahasura.
Pak Sudir dan Pak Ali segera kesana.

Ki Mahasura duduk bersila,
"Li, Dir. Apa yang ingin kalian tanyakan lagi sebelum aku pergi?"

"Kemana Ki Mahasura pergi?"

"Aku akan pergi ke alam sana, karena ILMU TRAWANGAN yang aku pakai untuk mencari tempat Rojo Wijoyo berada memakan sisa-sisa umurku, lagipula setiap Ilmu Hitam pasti ada konsukuensinya yang akan diterima pemiliknya.-

-Sekarang Desamu aman, dan pertanyaanmu sudah terjawab bukan? Siapa dalang dibalik sebuah Peristiwa yang terjadi di desamu, jadi izinkan aku pamit, dan kuburkan aku dengan layak ya Li? Kamukan tukang Gali kubur hahaha—hanya itu permintaanku. Terimakasih." Kata terakhir Ki Mahasura seraya tersenyum, bersama matanya yang terpejam perlahan.

Ki Mahasura tiada dalam keadaan bersila.

SELESAI

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close