Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 8) - Macan Tatu


Suasana berubah beku, angin bertiup kencang, kabut tebal tiba-tiba turun memenuhi permukaan jurang. Dalam sekejap peti-peti itu ditelan oleh kabut tebal.

"Jika kalian tidak bersalah, kalian akan terbebas di hari ke-empat puluh satu. Namun jika semua ini adalah pengkhianatan, maka kalian akan jadi penghuni jurang selamanya."

Kalimat demi kalimat yang diucapkan Sawedang penuh luka, Sawedang teramat sangat menyayangi orang-orang kepercayaannya, mereka telah bersamanya hampir sepanjang hidup. Lunglai, Sawedang melangkah mendekati kereta lalu naik perlahan ke atas kereta, dihentaknya perlahan tali kekang kuda. Kuda-kuda itu melangkah perlahan seolah mengerti bahwa Ndoronya sedang berduka.

"Begitulah, antara baik dan buruk sesungguhnya pembatasnya sangat tipis. Pembatasnya adalah hatimu sendiri, mergo atimu sing mutusne." (Karena hatimu yang memutuskan.)

Sawedang tersentak mendengar Sumila berucap. Lalu menghentikan kudanya dengan menarik tali kekangnya, kemudian menoleh ke belakang. Sumila masih terbaring, tertidur karena totokannya. Detik berikutnya dengan jari telunjuknya, Sawedang menyentuh beberapa bagian tubuh Sumila, serta-merta Sumila membuka mata. Tersenyum tipis, Sawedang membantunya untuk duduk.

Di luar kereta, macan-macan yang mengepung area yang dikembeni mulai melangkah mendekat. Mereka mendekat dengan tatapan garang, aura haus darah mengoar memenuhi tempat itu. Sawedang tercekat, bukan karena ciut menghadapi macan-macan yang mengepungnya. Namun Sawedang tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Namun sepertinya, kali ini Sawedang tidak ada pilihan lain.

"Matur suwun, Yayi.'' Ucap Sumila, pelan.

"Inggih, Ndoro Putri. Meniko sampun dados kewajiban kulo." (Inggih, Ndoro Putri. Ini sudah menjadi kewajiban saya.)

Keduanya tampak canggung. Tanpa diduga oleh Sawedang, Sumila menyentuh beberapa bagian tubuhnya dengan ujung jari telunjuk. Sawedang terkulai, Sumila tersenyum puas, lalu menyambar tali kekang kuda, menyentaknya.

"Lereno, Yayi! Atimu yo kudu dinggo leren. (Istirahatlah, Yayi. Hatimu juga mesti isitirahat.) Ucap Sumila pelan, seolah berbicara pada diri sendiri.

"Pekerjaan kita masih sangat banyak, hampir lima ratus orang yang menunggu kita, memerlukan pertolongan."

Sumila juga ikut terluka terhadap apa yang sudah dialami oleh Sawedang, makanya sengaja menotoknya agar Sawedang istirahat. Selain itu, Sumila juga sangat canggung jika harus satu kereta dengan Sawedang.

Sumila tersenyum sinis menatap macan-macan yang mengepung kereta, "Yayi Sawedang akan dianggab bersalah jika melukai kalian, tapi tidak dengan diriku. Menyingkirlah! Atau kalian semua akan menjadi kepingan yang tidak dikenali!"

Sumila berteriak lantang sambil menghunus busur yang telah berisi anak panah, anak panah berwarna emas yang membuat macan-macan itu bergerak mundur. Sementara kereta kuda yang ia tumpangi membelah kerumunan macan yang mengepungnya. Ada salah satu dari macan-macan itu yang nekad menyerang Sumila, Macan itu meloncat ke udara, meluncur deras mengarah tepat ke dada Sumila. Namun belum sampai ia ke mendekat, tubuhnya terbelah oleh anak panah yang melesat dari busur Sumila. Perutnya pecah, seluruh isi perutnya terburai, menimbulkan kengerian.

Yang lain mundur pelan-pelan, tatapan mereka yang tadinya garang menjadi pudar. Bagiamana pun mereka sudah sering mendengar kehebatan busur dan anak panah milik Sumila. Namun baru kali ini melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan busur dan anak panah tersebut.

Busur dan anak panah itu bernama Dewi Larasati, anak panah yang jika dilepaskan dari busurnya bias membelah rambut. Sumila menyimpan anak panah dan busur itu dalam tubuhnya dengan bentuk besi Kuning. Diletakkan di atas daging dibawah kulit. Dewi Larasati jika sudah mujud harus dilepaskan, jika tidak maka akan memakan tuannya sendiri. Makanya Sumila tidak bias sembarangan mengluarkan Dewi Larasati dari tubuhnya, jika tidak benar-benar dibutuhkan Sumila tidak pernah mempergunakannya.

Kuda-kuda yang menarik kereta berlari bagai terbang menembus pekadnya belantara Raung menuju Lembah Biru. Meninggalkan macan-macan yang menatapnya dengan tatapan yang susah diartikan.

*** 

Hampir pagi, ketika kereta yang dikendarai Sumila mamasuki halaman rumah tengah. Sebelum Sumila turun dari kereta, Sumila melepas totokannya terhadap Sawedang. Sawedang membuka mata, memindai ke segala arah.
"Aku sudah di Lembah Biru." Ucapnya.

Mbah Wir tampak sangat sibuk, dibantu oleh orang-orang yang selamat dari jurang. Melihat Sumila datang, Mbah Wir segera mendekat,
"Sugeng rawuh, Ndoro Putri." (Selamat datang, Ndoro Putri.) Ucapnya.

"Piye kahanane, Mad?" (Bagaimana situasinya, mad?)


"Sae, Ndoro Putri. Ingkang tilar sampun kulo dugeaken dateng keluarganipun sedoyo." (Baik, Ndoro Putri. Yang meninggal sudah saya antar ke keluarganya semua.)

"Artine isuk iki bakal geger, yo wis siap-siapo!" (Artinya pagi ini bakal geger, bersiaplah!)

"Inggih, Ndoro Putri, sendiko dawuh." (Baik, Ndoro Putri, sesuai perintah.)

Sumila berlalu menghampiri orang-orang yang terluka. Mbah Wir mengikutinya, menunjukkan beberapa orang yang kondisinya paling parah. Sumila masuk rumah setelah mendengarkan penjelasan Mbah Wir, keluar lagi dengan membawa selendang. Sumila bersimpuh di hadapan salah satu orang yang kondisinya paling parah. Selendang digelar memanjang, detik berikutnya Sumila memejamkan mata. Diraba-nya perlahan selendang itu dengan gerakan khas, berirama khas, sangat hati-hati. Iramanya membuat Mbah Wir tertegun, memperhatikan dengan seksama. untuk pertama kalinya Mbah Wir paham setiap gerakan.
"Aku juga mesti ikut menolong mereka,'' batinnya.

Orang yang terbaring lemah tak berdaya di hadapan Sumila, tiba-tiba terbatuk, muntah darah. Darah kental kehitaman keluar dari mulutnya. Sumila meraih leher laki-laki itu, berbisik di telinga, "Keluarkan semua, Le!"

Sebagian darah muncrat ke tubuh Sumila. Tak tampak jijik dari raut muka Sumila, malah kelegaan yang tergambar.

Sumila tersenyum simpul, ketika laki-laki itu telah mengeluarkan semua yang mengganjal ditenggorokan. Kini Wajah laki-laki itu lebih seperti orang hidup dari pada seperti orang mati. Tadi sebelum muntah darah seperti mayat, sekarang sudah ada tanda-tanda kehidupan. Selanjutnya Sumila berpindah dari satu orang ke orang lainnya.

Mbah Wir tampak keluar dari dalam rumah bersama selendang. Bersamaan dengan itu, Sawedang keluar dari kereta mendekati Mbah Wir. Keduanya berbasa- basi sebentar, kemudian membantu Sumila.

Mereka bertiga seperti tidak kenal lelah, berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Kesibukan yang sangat luar biasa terjadi di rumah tengah, mereka seolah lupa terhadap duka mereka masing-masing.

***

DITUNAIKAN

Pagi itu, di tempat yang berbeda di Lembah Biru dan beberapa desa serta daerah-daerah di sekitarnya terjadi geger karena warga menemukan mayat yang sudah dikafani di depan rumahnya. Setelah dilihat itu adalah mayat keluarganya yang telah lama menghilang. Tidak ada yang tahu siapa yang telah mengantar mayat-mayat tersebut.

Sementara di rumah tengah, Sumila, Mbah Wir dan Sawedang masih terus sibuk mengurus orang-orang yang terluka.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Orang-orang yang sudah sembuh mulai meninggalkan rumah tengah. Tiga bulan kemudian, rumah tengah telah benar-benar sepi. Tinggal Mbah Wir sendiri duduk di pendopo sambil menikmati rokok klobotnya.

Mbak Wir terus berusaha mencari keberadaan Lacip, namun tidak pernah mampu menembus kedalaman Jurang. Mbah Wir juga tidak berani berucap sepatah kata pun tentang Lacip di depan Sumila.

***

Bebera tahun kemudian, Mbah Wir menikahi Sumila. Mereka dikaruniai sepuluh putra-putri, salah satu putri mereka yang mendiami rumah tengah bernama Siti Sa'adah.

Siti Sa'adah menikah dan mendiami rumah tengah. Hubungan baik dengan Gusti Pangeran Sawedang juga masih terjalin dengan baik, Siti Sa'adah dan anak-anaknya juga memiliki hubungan baik dengan Sawedang.

Lalu bagaiman nasib Lacip? Apa dia akan menjadi penghuni abadi jurang?

BERSAMBUNNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close