Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 9) - Rahasia Kamar Tengah


Lembah Biru masa kini

Betet dan Gajah sedang duduk di beranda menikmati udara sore yang sejuk. Gajah membuka percakapan,
"Tet, ingat Lek Lacip nggak? Itu lho pas kita kecil tukang ngrampok, tapi nggak pernah kecekel. Jika tertangkap nempel ke pohon kelapa jadi pohon kelapa, kalau nempel ke pohon pisang jadi pohon pisang?"

Betet tertegun, menatap kakaknya nanar penuh kekhawatiran bercampur bingung.

Gajah adalah panggilan kesayangan yang diberikan Nyai Sapu Jagat kepada kakaknya, Gusti Putri Kuning.
Sedang Betet adalah panggilan kesayangan yang diberikan oleh Gusti Putri Kuning kepada adiknya, Nyai Sapu Jagat. Mereka berdua adalah cucu dari Ahmad Husain dan Sumila.

"Nyapo, Jah. Kok ngomongke Lek Lacip?" alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, ia malah balik bertanya, suaranya setengah berbisik.

"Enggak, denger-denger Lek Lacip ada di Sumatra, katanya sedang sakit?" Gajah, terus saja membahas Lacip dengan santai, sementera Betet, tampak tidak nyaman.

"Kata siapa?" ketus Betet balik bertanya.

"Temen-temen di facebook membicarakannya, keponakan Lek Lacip temenku di facebook." 

"Ooooo...,"

Gajah melirik adiknya, "kenapa dulu Lek Lacip pergi ke Sumatra, apa ngrampok ketangkep?"

"Hush! Ora."

"Terus, kenapa kok minggat?"

"Hanya ketahuan mencuri dua buah kelapa. Orang jaman dulu nggak tahan menanggung malu. Dari pada nanggung malu lebih baik mati. Karena sayang anak-bojo akhirnya mereka dibawa minggat ke Sumatra. Tidak seperti orang jaman sekarang, korupsi milyaran malah pamer di social media, banyak yang jadi pejabat cuma supaya bisa mencuri."

"Jadi cuma perkara kelapa dua?" 

"Iya,"

"Ooooo..."

Gajah seperti tidak percaya dengan jawaban Betet. Sementara Betet tampak berfikir keras, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Beberapa saat kemudian, ia berucap,
"Ayo kalau mau bicara tentang Lek Lacip di kamar tengah saja, aku memang masih kecil waktu itu, tapi aku punya catetan milik Mbah Kung.'' Betet berjalan meninggalkan kakaknya menuju gudang.

"Katanya mau ke kamar tengah, kok malah belok ke gudang?!" Gajah menggerutu, bingung.

"Sebentar, ngambil linggis." Ucap Betet memberi jawaban atas keluhan Gajah. Setelah dari gudang, Betet menuju kamar tengah sambil membawa linggis. Gajah mengakor di belakangnya.

Betet jonggok, tanggannya dikepalkan. Kemudian mengetuk-ngetuk lantai, di satu titik lantai berbunyi lebih ringan. Ia menghentikan ketukan, lalu mengambil linggis yang digelatin di lantai. Detik selanjutnya mulai mengcongkeli lantai kamar tengah pakai linggis. Suara linggis yang beradu dengan lantai memecah ruangan. Entah mengapa, Gajah merasa adiknya sedang marah. Seolah ada luka yang sangat dalam, kembali terusik saat dirinya menanyakan tentang Lacip.

Gajah semakin penasaran,
"Sesungguhnya misteri apa yang tersimpan di balik lantai kamar tengah, hingga harus ditanam seperti ini? kenapa hanya Betet yang mengetahuinya? jangan-jangan semua orang juga tahu dan hanya aku saja yang tidak tahu? Lalu kenapa mesti dirahasiakan dariku?" Banyak sekali pertanyaan mulai ngrecoki hati dan pikirannya.

Betet terus ganclongi lantai kamar tengah dengan linggis. Akhirnya linggis itu, telah membuang hampir seluruh semen yang menutup patelah. Betet mulai membenturkan linggis dengan patelah, satu-persatu dia congkeli batu bata, membuang semen yang menghubungkan antara satu batu bata dengan batu bata lainnya. Hingga linggisnya menyentuh tanah.

"Tolong ambilkan pacul di Gudang, Jah! Aku akan menunggumu sambil istirahat." Gajah tidak menjawab langsung ngeloyor pergi meninggalkan kamar tengah menuju gudang.

Betet, duduk leyeh- leyeh begitu kakaknya pergi, raut mukanya terlihat sudah lebih tenang. Amarahnya sudah dia habiskan untuk menghancurkan seluruh lantai kamar tengah.

"Nyapo Gajah ndadak ngomongne Lek Lacip barang, opo pancen wis wayahe? Betet gembreneng dengan bahasa daerah yang kental.

(Kenapa Gajah mesti membicarakan Lek Lacip, apa memang sudah waktunya?)

Dia langsung berdiri ketika melihat kakaknya datang membawa pacul. Tangannya terulur hendak meraih pacul yang dibawa kakaknya, tapi Gajah berujar,
"Sudah, istirahatlah! Aku saja yang melanjutkan."

Sebelum Gajah menyelesaikan kalimatnya, tangannya sudah berayun mencangkuli tanah. 

Lima belas menit kemudian, pacul di tangan Gajah menyentuh sesuatu.

DOOOKKK!

Betet terlihat sumringah, dengan isyarat dia meminta pacul dari tangan kakaknya. Gajah mengulurkan pacul, pelan-pelan Betet menyingkirkan tanah. Mulai tampak ada kayu yang memanjang, Betet terus menggalinya pelan-pelan. Semakin banyak tanah yang terangkat bentuk asli dari kayu tersebut semakin jelas. Sebuah peti, bentuknya mirip peti mati.

"Memang peti mati." Guman Gajah bergidik ngeri, Betet hanya melirik kakaknya yang ketakutan dengan senyum licik. Lalu membersihkan tanah yang masih tersisa di atas peti mati. Gajah terpaku tidak percaya. 

***

Di atas peti mati, tertulis hurup jawa kuno yang diukir dengan serampangan. Gajah mengejanya perlahan, "ju-rang.'' Betet terlihat tenger-tenger, menopang dagu. Tatapannya kosong, entah apa yang sedang dipikirkan.

Gajah masih meneruskan membaca ukiran di atas peti mati. Di bawah kata jurang ada tulisan yang lebih kecil yang ditulis dengan hurup pegon,
"Munggaho nganggo joyo sukmo." (naiklah menggunakan joyo sukmo.)

Gajah tampak juga tercenung, memikirkan arti tulisan di atas peti mati.

"Kalimat itu bernada perintah, namun di akhiri dengan titik? Maknanya tidak ada jalan keluar lain?" Gajah tampak berpikir keras.

"Joyo sukmo?!" Gajah mengulang dua kata terakhir, suaranya nyaris berbisik. Keningnya berkerut, mencari arti dua kata tersebut.

"Yang kupahami joyo berarti berjaya atau berhasil, sukmo adalah sukma. Namun jika disatukan bisa saja bermakna lain?!"

Betet masih terpaku, masih menopang dagu, tatapannya kosong. Gajah mendekati adiknya,
"Tegese kui opo, Tet?" dia bertanya, matanya tidak beralih dari tulisan yang ada di atas peti mati.

Betet diam saja, tidak menjawab.
Karena Betet tidak menjawab, Gajah mengalihkan pandangan kepadanya.

Gajah tidak menyadari bahwa bola mata Betet tidak berkedip,
"Tet, semauro!" kali ini suara Gajah lebih keras, adiknya masih tidak menjawab. Disitu, Gajah baru sadar bahwa ada yang salah. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan muka adiknya.

Betet tidak bergekedip, Gajah menyentuh tubuh adiknya. Tubuh Betet langsung roboh, Gajah sangat terkejut, dia tidak sempat meraih tubuhnya. Sejenak terpaku, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Setelah Gajah mampu mengusai diri, sadar apa yang terjadi, dia langsung menghambur meraih tubuh Betet yang terkulai.

"Tet, bangunlah! Bangunlah!" ucapnya sambil menggoyang-nggoyankan tubuh Betet. Namun, Betet tidak bergeming. Matanya memang terbuka, tapi tak berkedip.

Gajah mulai menangis. Masih terus mengoyang-ngoyangkan tubuh adiknya, hingga lelah dia melakukannya. Akhirnya dia jatuh terduduk sambil memegangi kepala. Benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Betet baik-baik saja beberapa saat yang lalu, bahkan dia yang membersihkan tanah di atas peti mati. Terakhir kali aku melihatnya bergerak, saat dia membersihkan peti mati, setelah itu, dia terpaku sambil menopang dagu?! Ah aku bisa gila memikirkan hal ini." keluhnya.

"Bagaimana mungkin bisa tiba-tiba jadi seperti ini?!"

Beberapa saat kemudian, dia memutuskan menyeret tubuh Betet. Memegang kedua bahunya, dengan susah payah dia menyeret tubuh adiknya keluar dari kamar tengah. Lalu rebahkannya di lantai ruang tamu, kemudian balik ke pintu kamar tengah, menguncinya. Memasukkan kunci itu ke dalam saku bajunya. Namun sebentar kemudian dia keluarkan lagi, tampak bingung. Keningnya berkerut, jelas sedang berfikir keras.

Beberapa detik kemudian, dia berjongkok di samping tubuh adiknya yang terkulai. Membuka telapak tangan adiknya yang sebelah kanan. Lalu meletakkan kunci itu di atas telapak tangan Betet yang terbuka kemudian mengatupkan hingga kunci itu hilang ke dalam genggaman adiknya. Dia memejamkan mata sejenak lalu membuka mata kembali. Saat dia membuka mata, dia membuka kembali telapak tangan Betet. Kunci itu lenyap.

Gajah tersenyum, mendekati telinga Betet, membisikkan sesuatu di telinganya.

"Aku tidak yakin apa yang terjadi denganmu tapi aku yakin kau memerlukan kunci itu."

Yang dibisiki tetap saja seperti mayat hidup, tak bergeming. Gajah meraih bahu Betet, kembali menyeret tubuhnya, kali ini dia menyeret ke arah dipan yang ada di ruang tamu.

Ada sebuah dipan di ruang tamu, terletak di pojok kanan utara, rumah itu memang menghadap ke utara. Susah payah dia menaikkan tubuh adiknya ke atas dipan. Setelahnya dia mengusap wajah adiknya, perlahan. Sambil membisikkan sesuatu di telinganya.

Pelan-pelan, Gajah menyeka wajah, leher, tangan dan kaki Betet. Ketika, selesai membersihkan tubuh Betet, dia membawa ember kembali ke dapur.

"Piye to, Tet. Kok bisa kayak gini?!" keluhnya, dalam hati dia menyesal kenapa bertanya tentang Lacip. Gajah duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan Betet, sesekali ia meletakkan telapak tangan kanannya di kening Betet. Bingung, marah, sedih bercampur jadi satu. Memejamkan mata berkali-kali berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Gajah merasakan hawa di sekitarnya makin lama semakin dingin.

"Kemana orang-orang? Kok aku nggak ngelihat siapa pun sejak aku keluar dari kamar tengah?" ucapnya, bingung. Suasana memang begitu hening, seolah rumahnya berada jauh dari perkampungan.

"Ah, kenapa baru sekarang terpikir tentang orang-orang?" keluhnya, Gajah langsung berdiri lalu berjalan menuju dapur. Saat membuka pintu belakang dia sangat terkejut, karena di balik pintu cuma ada batu hitam, batu hitam yang sangat kelam dan licin. Membentuk dinding, sedikit basah dan lembab. Gajah langsung menutup pintu, sedetik kemudian dibukanya kembali, masih hal yang sama yang dilihatnya.

Dia melakukan hal sama berkali-kali tapi tetap saja cuma ada batu hitam. Seolah berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya benar adanya. Dia mendongak, dinding itu begitu tinggi bahkan gajah tidak dapat melihat ujungnya, seolah tak berujung. Gajah mencubit pipinya, berharap semua hanya mimpi, nyatanya dia kesakitan oleh cubitannya sendiri.

"Ouch!'' keluhnya. Buru buru dia menutup pintu kembali, duduk bersandar di pintu, tenger-tenger.

Setelah beberapa lama dia bangkit menuju ruang tamu langsung ke pintu depan. Saat memegang gagang pintu, bibirnya berucap,
"Bismillah...,'' dia berharap menemukan halaman rumah.

Ketika pintu terbuka, dia memang menemukan halaman rumah. Namun, itu bukan halaman rumah Betet. Halaman rumah Betet bersih dan rapi. Yang dilihatnya adalalah halaman cukup luas, banyak bunga-bunga liar di sana, rumputnya mulai tinggi tak terawat. Hatinya semakin ciut saat pandangannya sampai di ujung halaman. Halaman itu berujung pada dinding batu, batu yang sama persis seperti saat dia membuka pintu belakang.

Gajah berniat melangkah keluar pintu tapi ia urungkan, entah mengapa ada kengerian sendiri, takut salah langkah dan berakibat fatal. Gajah menutup pintu, kembali ke tempat tidur di mana Betet ia baringkan, putus asa Gajah kembali menggenggam telapak tangan adiknya.

"Bangun, Tet. Jangan tidur terus! Jangan seenaknya sendiri, aku kau bawa ke sini terus kau tinggal tidur." Gajah terus ngoceh, airmatanya mulai jatuh satu-satu. Betet, yang diajak bicara masih terbujur kaku bagai mayat.

Gajah merasa tidak berguna,
"Kenapa aku selalu aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Betet?!" ucap Gajah, mulai menyadari bahwa hampir sepanjang hidup dia selalu tergantung pada adiknya.

"Kau yang selalu membantuku mengambil keputusan dan langkah apa pun. Membantuku keluar dari segala kesulitan, hal kecil apa pun apalagi hal besar." Sekarang terkurung di tempat ini, tapi Betet terbujur kaku, "aku benar-benar nggak tahu harus apa?"

Gajah terus menangis, bahunya mulai tergoncang, tanpa ia sadari airmatanya mulai jatuh satu-persatu, menetes di atas telapak tangan Betet. Pelan-pelan melebar membasahi punggung telapak tangannya. Ada hal yang tidak dia sadari, kulit Betet yang pucat pasi tiba-tiba terlihat hidup, kulit yang terkena airmatanya berubah warna, tampak hidup "ono coyone". Warna kehidupan melebar ke pergelangan tangan, lengan, terus menjalar ke pundak, wajah dan seluruh tubuhnya hingga ujung kaki. Gajah terus menangis hingga dia kecapean lalu tertidur.

Ya begitulah, Gajah isone gur nangis. Seneng nangis, marah nangis, kecewa nangis, takut nangis, bingung nangis. Pengeran dundum tangis ning ngarep dewe. (Di saat Tuhan membagi tangis, dia berada paling depan.) Nadahi Peparinge Gusti.

"Seandainya ada yang bisa kupercaya agar aku bisa menitipkan ketiga putra-putriku juga suamiku, mungkin aku bisa pasrah dan ikhlas." Betet berbisik pelan, suaranya sangat lemah, seperti tidak bertenaga.

"ORA! PIYE-PIYE-O AKU RA LILO!" Gajah menjawab setengah bertereiak, emosi. Sambil menyeka airmatanya, tapi airmatanya terus mengalir menganak sungai.

"Kowe sing nggowo awakku rene! terus saiki awakmu pamit mati? piye piye-o ora bakal tak ikhlasne"! (kamu yang bawa aku kesini! sekarang kamu pamit mati?! tidak akan ku ikhlaskan!")

Gajah terus mamarahi adiknya, bahkan dia lupa kalau Betet masih sangat lemah. Emosinya meluap mendengar ucapan Betet yang bernada putus asa.

Gajah menangis semakin keras, bahunya kembali terguncang.

"Jah! Jah! Melek-o!" Betet mendorong tubuh kakaknya. Gajah membuka mata, seperti tidak percaya, adiknya sudah duduk di sampingnya. Rupanya, Gajah menangis dalam tidurnya.
Airmatanya masih membasahi pipi, disekanya dengan kasar menggunakan punggung telapak tangan lalu memaksakan diri untuk tersenyum.

"Tak pikir kowe moh tangi," ucapnya kemudian.

"Lho, jare ralilo? apa aku mbalik tidur saja ya?" Betet pura pura kembali membaringkan tubuh lalu memejamkan mata.

"Tangio! nggak bosen apa turu terus?" Keduanya tertawa lepas, seolah mereka lupa sedang dalam masalah.

Beberapa saat kemudian, Gajah berkata, "kamu sudah nggak papa, Tet?"

"Aku sudah nggak papa."

"Sebetulnya kau ngelayap kemana saja?"

"Aku dipanggil sama yang punya tempat."

"Terus?"

"Sebetulnya aku dipaksa tinggal, tapi sampeyan nangis terus. Malah aku kau mandikan dengan airmatamu."

"Lho, nyatanya air mataku mujarab, kulitmu yang pucat pasi sekarang bercahaya. Skin care saja kalah." Keduanya kembali tertawa lepas.

"Sebetulnya aku tadi sudah dibungkus tapi bungkusnya leleh oleh airmatamu. Karena kau nangis terus airmatamu tembus ke dalam kulitku, terus berjalan masuk ke dalam daging, darah mandhek di hati. Membangunkan hatiku, hingga aku bisa menggunakan Ajian Pangrekso Rogo.

Asline bukan hanya airmatamu yang membangunkan hatiku, tapi karena kau terlalu keras mangil-manggil, jadi aku terganggu.

Lain waktu nggak usah keras-keras manggilnya." Betet tersenyum, mengejek. Gajah melengos, masih meneruskan tangis.

"Sebetulnya kenapa aku kau ajak ke sini? ini sebenarnya tempat apa?" tanya Gajah kemudian, matanya menatap ke arah pintu, ngeri.

"Sudah buka pintu apa belum?" alih-alih menjawab pertanyaan Gajah, Betet balik bertanya.

"Uwis," jawab Gajah singkat, matanya masih tidak beralih dari pintu.

"Apa yang kau lihat?"

"Batu hitam, seperti tembok. Tinggi sekali, tidak kelihatan ujungnya di mana."

"Artinya, kau sudah melihatnya?"

"Ya, cuma begitu."

"Jangan bilang hanya, Syukuro!" Betet berhenti sejenak sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.

"Seandainya yang muncul harimau atau ular bagaimana?" Gajah tertegun dengan jawaban adiknya, bergidik ngeri.

"Sebetulnya kenapa kita kesini? ayo kita pulang saja, aku takut."

"Lho, kau sendiri yang menanyakan Lek Lacip? ya di sini Lek Lacip dibuang oleh bolosewu. Ini namanya jurang. Dulu nggak ada rumah, Lek Lacip yang buat." Gajah Cuma diam mendengar penuturan Betet, tatapannya menerawang, entah apa yang ia pikirkan.

"Lho, katamu Lek Lacip minggat ke Sumatra?"

"Yang ke Sumatra itu Amonge yang punya raga sendiri." Gajah tampak bingung mendengar jawaban Betet.

"Omonge sing duwe rogo dewe?!" Guman Gajah, raut mukanya tampak shock.

"Sudah baca tulisan di atas peti, Jah?" Alih-alih menanggapi ucapan Gajah, Betet malah mengajukan pertanyaan. Seolah ingin mengalihkan topic pembicaraan.

"Sudah." Jawab Gajah pelan.

"Joyo sukmo kui ilmune Mbah buyut."

"Itu sebetulnya peti apa, Tet?" ada kengerian di nada kalimat yang diucapkan Gajah. Sesungguhnya, dia tidak ingin membicarakan peti mati itu. Namun entah mengapa bibirnya tiba-tiba berucap, membahas peti mati.

Betet tersenyum, "Nyapo, sampeyan takut ya?" Gajah tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.

Betet turun dari ranjang, "ayo!" dia memberi iyarat kepada kakaknya agar mengikutinya. Ia melangkah menuju kamar tengah, di depan pintu kamar tengah dia mengepalkan telapak tangan kananya sambil memejamkan mata. Beberapa saat kemudian dia membuka mata, bibirnya tersenyum. Di genggaman telah ada kunci kamar tengah. "Gajah memang tidak hanya pandai menangis tapi memiliki perhitungan yang matang. Seandainya kunci tidak ditaruh di telapak tanganku, mungkin aku tidak akan bisa keluar dari kamar tengah."

"Kau yakin, Jah? nggak bisa kembali lho ya?"

"Piye maksudmu, Tet?!" tatapan Gajah bingung memandang adiknya.

"Jangan bertanya! tanya hatimu!" mendengar jawaban adiknya, serta merta Gajah memejamkan mata. Beberapa saat kemudian ia kembali membuka matanya. Tersenyum tipis, kemudian mengangguk pasti. Betet memasukkan kunci, memutarnya perlahan. Lalu memegang gagang pintu dan memutarnya, mendorongnya perlahan.

KREEEETTTT!

Pintu terbuka, perlahan mereka berdua masuk kamar tengah, sisa kekacauan yang mereka buat masih di sana. Semen, batu bata masih berserakan di mana-mana bercampur tanah. Peti mati itu juga masih gagah di tempatnya, membuat kamar itu semakin seram.

Betet berjalan perlahan mendekati peti mati, diikuti Gajah. Betet terlihat begitu tenang berbeda dengan Gajah, tampak gugup.

DUUUK!

DUUUK!

DUUUK!

Degub jantungnya begitu kencang, seolah ingin membelah dadanya. Keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuh. Kakinya mulai gemetaran, ia merasakan aura yang begitu gelap mengungkung kamar tengah. Gajah merasakan begitu banyak orang yang sedang mengawasi setiap geraknya.

"Jah!" Betet menepuk pipi kakaknya.

"Nggak boleh kosong pikirannya, nggak usah takut! memang banyak orang di sini, yang penting kita tidak mengusik, tidak akan terjadi apa-apa." Betet menggenggam telapak tangan kakaknya, menatapnya tajam, sambil tersenyum meyakinkan.

Gajah mengangguk ragu, sudah tidak bisa mengukir senyum. Keduannya memang dianugerahi kemampuan berbeda, Betet pemberani, tidak pernah takut apa pun karena lahir tengah malam. Sedang Gajah penakut, gampang bingung, mudah menangis, dia lahir pagi.

Betet bisa melihat, bisa berkomunikasi dengan dunia lain sedang Gajah hanya mampu merasakan kehadiran mereka. Betet sangat tertarik dengan dunia lain sedang Gajah memilih untuk menjauh.

Gajah sudah lebih tenang karena Betet menggenggam tangannya. Ada energi positive yang perlahan menyelusuf. Betet menarik tangan Gajah mendekati peti mati lalu melepaskan genggamannya.

Saat mereka berdua telah berada tepat di depan peti mati. Perlahan Betet membuka peti mati itu, susah payah didorongnya penutup peti mati. Gajah sempat terpaku sebentar, kemudian dia membantu Betet. Pelan-pelan penutup peti mati bergeser, terdorong jatuh, menimbulkan bunyi berdebam, menggema memenuhi ruangan. Lagi-lagi, Gajah terpaku menatap peti mati yang telah terbuka, kosong.

Beberapa saat kemudian, ia melangkah mundur karena mulai merasakan hal yang berbeda.

"Kenapa, Jah. Kok mundur?" tanya Betet, pelan seolah ingin memastikan sesuatu.

"Aku melihat sumur yang sangat dalam, tidak kelihatan dasarnya. Namun datang dan pergi?!" jawabnya bingung.
Betet tersenyum sinis menanggapi jawaban Gajah.

"Aku benar-benar tidak dapat mengartikan senyumanmu," bathinnya, ia berfikir keras tapi tetap saja dia tidak menemukan jawaban.

"Terkadang aku merasa ini bukan dirimu, senyum licik itu jelas bukan dirimu, tapi sorot matamu?!" Belum habis rasa yang berkecamuk di dalam dadanya, tiba-tiba Betet mengusap wajah Gajah.

Saat telapak tangan Betet diangkat dari wajahnya dia melihat pemandangan lain. Matanya membulat sempurna, di dalam peti mati ada seseorang yang sedang terbaring kaku, seperti mayat hidup. Seorang laki-laki berpakaian jawa kuno memegang sebuah buku. Gajah langsung mundur beberapa langkah, kemudian bersembunyi dibalik punggung Betet.

Entah mengapa, semakin diperhatikan wajah laki-laki di dalam peti mati semakin seram, seperti tersenyum sinis padanya.

"Kok wajahnya mirip Lek Lacip?!" batin Gajah, ketakutan. Betet mengambil buku itu lalu memeluk dengan tangan kirinya. Melangkah masuk ke dalam peti mati kemudian duduk di tepinya. Detik selanjutnya, ia meraih tangan Gajah dengan tangan kanannya. Memberinya isyarat untuk melakukan hal yang sama, Gajah menggeleng pasti, wajahnya semakin ketakutan.

"Cepetan, Jah! kita hampir kehabisan waktu." Betet membentak Gajah, marah. Tatapannya panik, mengintimidasi. Gajah tetap tidak bergeming, akhirnya Betet kembali berdiri lalu menyeret kakaknya dengan paksa. Mendudukkan Gajah di tepi peti mati, mengangkat kedua kaki kakaknya agar masuk kedalam peti mati. Setelah itu, dia pun duduk disamping Gajah, mengenggam erat tangannya

"Pejamkan matamu!" Betet memberi perintah, belum sempat Gajah menuruti kata-kata adiknya, dia merasakan tubuhnya melayang dengan sangat cepat. Gajah berteriak keras, 

AAAAAAAAAAAAAAAA!

BYUUUUR!

Mereka berdua jatuh ke dalam air, geragapan Gajah berusaha berenang, panik. Betet menyeret kakaknya terus berjalan di dalam air, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Gajah Cuma bisa menurut. Beberapa saat kemudian, Gajah mulai minum air, megap-megap. Betet sama sekali tidak menghiraukannya, terus menyeretnya. Hingga akhirnya, mereka berdua muncul ke permukaan. Mereka muncul di dalam sebuah gua.

Betet menyeret kakaknya ke darat yang sudah dalam keadaan pingsan. Paru-paru Gajah minum terlalu banyak air, hingga susah bernafas lalu pingsan.

Betet berusaha menolong kakaknya dengan memberinya nafas buatan. Beberapa saat kemudian, Gajah terbatuk. Betet langsung menghempaskan tubuhnya ke tanah, tenger-tenger.

Gajah membuka mata, mencoba memahami apa yang terjadi. Setelahnya dia duduk, pandangannya menyapu sekitar. Saat Pandangannya terhenti kepada Betet yang masih tenger-tenger.

Gajah bangkit, langsung menyerang Betet. Betet tidak sempat menghindar, terjadi pergumulan sengit antara mereka berdua.

Gajah menyerang dengan beringas sedang Betet hanya terus menghindar dan bertahan, hingga Gajah kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal dengan tubuh basah oleh keringat. Dia menghempas tubuhnya ke tanah sementara sorot matanya menatap Betet penuh amarah.

Betet masih berdiri, waspada, nafasnya juga tersengal-sengal. Saat dirasa Gajah tidak akan menyerangnya lagi Betet pun ikut duduk.

"Tet!" pangil Gajah tiba-tiba, tampak sudah lebih tenang, ada rasa bersalah dalam sorot matanya.

Yang dipanggil tersenyum kecut, "masih kuat jalan nggak?" tanya Betet kemudian. Gajah cuma mengangguk, lalu berdiri. Melihat kakaknya sudah berdiri Betet pun ikut berdiri.

Dia menggandeng tangan kakaknya lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Membimbing Gajah masuk ke sebuah gua. Mereka berdua menyusuri gua itu hampir dua jam. Akhirnya menemukan air terjun kecil-kecil yang sangat indah, mata Gajah sedikit berbinar. Berhenti beberapa saat, terpesona oleh keindahan air terjun. Namun, Betet segera menyeret tangan Gajah. Terus berjalan hingga mereka berdua sampai di balik air terjun yang sangat besar, disitu keduanya berhenti.

"Pilih turun pelan-pelan dengan memanjat tebing apa lompat?" tanya Betet, Gajah tampak bingung.

"Ah, kesuwen mikire!" sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya, Betet berlari sambil menyeret tangan Gajah, menabrak air terjun.

AAAAAAAAAAAAAA!

Gajah berteriak ketakutan, Betet terkadang memang gila, ide nekadnya hanya berdasarkan keyakinan. Hati dan otaknya bilang iya langsung jalan.

Tubuh mereka melayang di antara air terjun, tumpah bersama air terjun lalu hilang di dalam air. Beberapa saat kemudian mereka tampak muncul ke permukaan. Megap-megap sambil berenang ke tepi lalu naik ke daratan. Berbaring di tepian beralaskan bebatuan dengan nafas terengah-engah. Saat nafasnya mulai teratur, Betet berdiri.

"Aku sudah nggak mau jalan, sudah capek." Ucap Gajah, sambil berdiri meski masih enggan.

"Nggak mau jalan opo ape brangkang atau mau tidur di sini?" timpal Betet ketus.

"Giaaah lek kon brangkang apalagi tidur disini!" sebelum Gajah menyelesaikan kalimatnya tampak seekor macan putih muncul dari balik rimbun semak belukar.

Reflek, Gajah mundur lalu bersembunyi dibalik punggung adiknya, wajahnya ketakutan, keringat dingin mulai membasahi tubuh. Kakinya juga gemetaran, tenagannya memegang erat lengan Betet, tidak bicara sepatah katapun.

Macan putih berjalan mendekat, Gajah makin ketakutan,

BRUUUKKKK!

Gajah terkulai pingsan, Betet tersenyum geli menyaksikan kakaknya pingsan. Sementara macan putih itu perlahan berdiri, saat tubuhnya tegak sempurna, ia berubah menjadi seorang pemuda tampan berpakaian serba putih. Tersenyum santun kepada Betet sambil membungkukkan badan. 

"Selamat datang kembali, Nimas.'' ucapnya.

"Inggih, Kang. Matur suwun,'' jawab Betet santun, tampak canggung.

"Nimas, mestinya tidak usah repot-repot turun ke jurang, mbokya paring titah saja." Ucap pemuda itu tak kalah canggung.

"Opo yo ngono kang?" Betet tampak tersipu.

"Ayo kita segera keluar dari sini, tolong Gajah dipangul saja, Kang." 

"Inggih, Nimas. Sendiko dawuh." lalu pemuda itu memanggul tubuh Gajah, seperti karung beras setelah menotok beberapa bagian tubuhnya.

"Penjenengan di depan saja, Kang."

"Inggih, Nimas. Sendiko dawuh." Pemuda itu lansung meloncat dari satu batu ke batu lainnya mengikuti alur sungai, sungai yang lahir dari air terjun.

Betet mengekor di belakangnya. Tubuh keduanya ringan bagai kapas, terkadang menepi ke darat, memilih jalan darat saat alur sungai ada kedung-nya. Terkadang menyebrangi sungai untuk tetap memilih jalan darat. Namun, ketika jalan darat buntu mereka kembali melompat ke sungai dan meloncat dari satu batu ke batu lainnnya. Begitu seterusnya, hampir satu jam perjalanan. Akhirnya, naik ke tebing, Betet tampak tertinggal.

Setelah sampai di atas tebing pemuda itu menurunkan Gajah, membaringkannya di rerumputan. Lalu kembali turun untuk membantu Betet. Saat mereka sampai di atas tebing pemuda itu berkata, "apa Nimas akan langsung pulang atau ingin beristirahat dulu?"

"Saya akan langsung pulang saja, Kang. Pemuda itu bersiul keras, sedetik kemudian tampak seekor kuda putih muncul dari rimbun pepohonan, berlari mendekat. Ia menggendong tubuh Gajah ala bridal, dinaikkan ke punggung kuda. Lalu membantu Betet naik ke atas pungung kuda. Pemuda itu, kemudian memeluk kuda itu sambil berbisik, "antarkan mereka berdua sampai rumah!" kuda itu meringkik tanda mengerti.

"Selamat jalan, Nimas. Saya akan menyertakan beberapa orang untuk mengawal Nimas sampai rumah."

"Inggih, Kang. Matur suwun." Betet menyentak tali kekang kuda putih itu, kuda putih itu berlari menembus pekadnya belantara menuju selatan, ke arah Lembah Biru.

Di belakang kuda putih itu, beberapa macan putih mengekor. Pemuda itu tersenyum tipis, "kadang aku benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiranmu, Nimas. Penjenengan tinggal paring titah tapi kok memilih menyengsarakan diri." Bathinnya.

"Rasah gembreneng, enggal istirahat, apa nggak capek berjumpalitan satu jam sambil manggul Gajah?" Pemuda itu tersentak, karena mendengar Betet menjawab apa yang dibatinnya, tersipu.

"Inggih, Nimas. Sendiko dawuh. Mohon ma'af beribu ma'af karena ketidakmampuan saya memahami penyebab Nimas turun ke jurang."

"Sudah jangan dipikirkan, jika ingin tahu penyebab aku turun ke jurang aku tunggu di rumah."

"Inggih, Nimas. Sendiko dawuh.'' Lalu pemuda itu berlalu dari tempat itu, menembus pekadnya belantara Raung. Ke arah puncak.

Raung masih gagah di tempatnya bersama berjuta misteri yang tak terungkap. Sementara kuda yang ditunggangi Betet dan Gajah, telah turun hampir separo belantara saat hari menjelang malam. Kuda itu terus berlari bagai terbang.

Betet memutuskan untuk beristirahat saat matahari mulai tenggelam, dia turun dari kudanya, beberapa pemuda perpakaian serba putih membantu menurunkan Gajah.

Betet membangunkan kakaknya tapi susah, lalu salah satu dari pemuda itu mendekat,

"Pangapunten, Ndoro Ayu. Kadosipun Gusti Putri dipun totok kalian Gusti Pangeran." (mohon maaf ndoro sepertinya ndoro putri ditotok oleh Gusti Pangeran Kawedang.)

Betet tersenyum tipis, lalu menyentuh beberapa bagian tubuh kakaknya dengan ujung jarinya, gerakannya sangat cepat. Benar saja. Gajah langsung terbangun, Betet mengumpat dalam hati.

"Telek tenan! Gajah memang tidak pernah bisa akur dengan Kakang Sawedang, pantas saja dia ditotok. Mungkin kakang Sawedang sedang tidak ingin bertengkar dengan Gajah, apalagi hari ini untuk pertama kalinya Kakang Sawedang membuatnya pingsan karena datang dengan wujud aslinya."

"Tet, apa yang kau pikirkan?" Betet terkejut oleh suara Gajah, gerapan terjaga dari lamunan. Belum sempat dia menjawab pertanyan Gajah, kakaknya kembali bertanya, "ini kita ada dimana?" 

"Masih di hutan, Jah. Beristirahat sejenak surup soalnya." Gajah menyapukan pandangan, berhenti pada kuda putih yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berustirahat.

"Lho, bukankah Sembrani dititipkan kepada Kang Mas Sawedang? kok dia ada di sini? Kang Mas Sawedang mana?" Gajah menghujani Betet dengan banyak pertanyaan, tanpa menunggu jawaban betet, Gajah langsung meloncat, berlari mendekati kuda putih. Memeluk kudanya dan bercanda dengannya, seolah dia lupa dengan pertanyaannya. Namun, sejenak kemudian di berusaha mencium bau tubuhnya, mengerutkan keningnya.

"Aku kok mencium bau Kang Mas Sawedang pada tubuhku?" bathinnya.

Betet menyembunyikan tawa menyaksikan tingkah Gajah. Dia takut Gajah menyalahkannya karena meminta Sawedang memanggulnya.

Gajah masih asyik dengan kuda putih itu, setelah beberapa lama dia naik ke atas kuda tersebut. Pelan-pelan dia menyentak perlahan, mengiring ke dekat Betet. Lalu mengulurkan tangan,
"Ayo, pulang! surup sudah lewat, ingin segera mandi aku, bau Kang Mas Sawedang."

Betet menyambut uluran tangan Gajah, meloncat naik ke atas kuda. Gajah menyentak tali kekang kuda, bagai terbang kuda putih itu menyusuri pekadnya hutan pinus. Beberapa macan putih mengekor di belakangnya tak kalah gesit. Jika kuda biasa takkan mampu menembus pekatnya hutan.

Sembrani adalah kuda milik Gusti Pangeran Zimat, kuda itu diberikan olek nenek Zimat saat Zimat kecil. Karena Zimat kecil memang diasingkan dari kecil dan dititipkan kepada neneknya, Jamiah. Zimat memberi nama kuda itu sembrani karena memiliki kemampuan di atas rata-rata, tidak seperti kuda pada umumnya.

Sembrani diberikan kepada Gusti Putri Kuning saat Kuning masih kecil, lalu karena sering tiba-tiba bermain sendiri ke lereng Raung dan bermain di tepi jurang, akhirnya Sembrani dititipkan pada Sawedang. Suatu ketika Kuning membawa seorang anak kecil yang pingsan di atas punggung Sembrani, anak itu seusia Kuning. Sementara Kuning duduk di belakang anak itu dengan wajah linglung. Kuning juga langsung pingsan begitu menyerahkan tali kekang Sembrani kepada Zimat. Anak itu, tidak tau asal usulnya bahkan tidak tahu siapa namanya, Zimat memberinya nama Bima. Sedang Kuning juga tidak pernah memberi jawaban jelas.

"Pangapunten, Pak. Saya menemukannya dalam keadaan pingsan di tengah hutan." Anehnya, Kuning pasti langsung gemetaran jika ditanya soal Bima. Sejak saat itu, Zimat menyerahkan Sembrani dalam pengawasan Sawedang.
...

Lewat tengah malam mereka telah meninggalkan belantara Raung, mulai memasukai kawasan hutan pinus milik perhutani. Terus turun, tiga jam kemudian mereka masuk perkampungan-kawawasan perkebunan. Kopi dan cengkeh mendominasi tanaman di sana.

Setelah melewati lapangan mereka mulai memasuki hutan pinus. Hampir subuh mereka memasuki perkampungan berikutnya, kampung itu masih sangat sepi bahkan terkesan beku karena memang di tengah hutan. Hanya ada beberapa rumah saja, kuda putih itu terus berlari meninggalkan perkampungan.

Terus berlari, kembali memasuki hutan. Di ujung pertigaan, Gajah menyentak kudanya berbelok ke kanan masuh jalan utama. Sekitar setengah kilo, Gajah kembali menyentak kudanya belok kiri, keluar dari jalan utama masuk jalan setapak.

Gajah sengaja memotong jalan agar cepat sampai rumah. Sebetulnya, arah yang riskan karena arah jalan yang dia tempuh adalah jalan terlarang. Jalan itu akan melewati hutan di mana dia pernah hilang bersama sahabatnya saat dia kecil. Namun, ia percaya kepada kudanya. Lagi pula ada Betet serta orang-orang yang mengawalnya. 

Ketika mereka sampai di area hutan di mana Gajah pernah hilang, kuda putih itu tiba-tiba berhenti. Meringkik sambil meloncat-loncat ketakutan. Kuda itu muter-muter nggak mau jalan.

Betet dan Gajah turun dari kuda, mereka berdua berusaha menenangkan Sembrani tapi tidak berhasil.

Akhirnya, salah satu pemuda yang mengawal mereka melepas baju, menutup mata kuda putih itu dengan bajunya. Lalu memeluknya, erat. Bibirnya mengucap mantra pelindung sambil menuntun kuda putih itu hingga dua kilo meter keluar dari area itu.

Gajah memang tidak melihat apa-apa, akan tetapi dia merasakan begitu banyak orang yang sedang mengawasi mereka. Ia merasakan tempat itu lebih beku, seperti ada ramai sekali orang mengawasi mereka lewat. Orang-orang itu sedang kasak-kusuk membicarakan Gajah.

Gajah memegang erat baju Betet, dia tidak berani bicara sepatah kata pun, begitupun Betet tampak sangat waspada. Para pemuda yang mengawal mereka berdua juga tampak waspada. Nyali Gajah semakin ciut, dia satu-satunya yang paling lemah.

Entah mengapa, dia merasa bahwa dirinyalah yang diincar, dirinyalah yang paling diinginkan. Namun mereka sepertinya segan terhadap Betet dan para pemuda yang mengawal mereka.

Situasi mencekam itu berlangsung sangat lamban bagi Gajah, seolah sudah sepanjang malam. Gajah sangat berharap segera bertemu pagi. Mereka terus bergerak, pohon-pohon pinus yang mereka lewati terlihat lebih seram dari biasanya.

Hampir pagi ketika mereka sampai di sebuah bukit yang bernama Mbah Pucung, bukit itu memisahkan antara desa pertama dengan hutan. Mereka bernafas lega, namun kelegaan itu tidak berlangsung lama karena ternyata mereka telah terkepung.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close