Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 10) - Iblis Rupo Menungso


Kini, Gajah bukan hanya bisa merasakan kehadiran mereka, matanya menyaksikan begitu banyak orang mengitari mereka. Wajah-wajah menyeramkan, kening mereka sangat hitam, tubuh mereka lebih tinggi dan lebih besar dari manusia pada umumnya. Gajah memang tidak pernah mampu membedakan mana manusia dan mana yang bukan. Salah satu dari mereka berteriak,
 
"SERAHKAN BUKU ITU PADA KAMI ATAU KEPALA KALIAN AKAN SEGERA MENGGELINDING!" suaranya lantang, mengintimidasi.

Betet tersenyum sinis,
"BUKU OPO?" suaranya terdengar berkelakar, mengejek.

"Tet, ojo ngece, aku wedi." (Tet, jangan mengejek. aku takut.)

Gajah berbisik kepada adiknya, yang ditegur tidak menggubris malah balik berbisik,
"Dang mencoloto ning gegere Sembrani!" (cepat naik ke punggung sembrani!) suaranya jelas bernada perintah, Gajah langsung menurut.

Serta-merta dia menarik kain yang menutupi mata kuda putih itu, lalu meloncat ke punggungnya. Saat ia telah duduk di atas punggung Sembrani.

Betet memberikan sebuah buku yang diambilnya dari balik bajunya, dengan sigap Gajah membungkus dengan baju yang tadi menutup mata Sembrani. Lalu diikatnya melingkar di punggung dan dadanya seperti gendongan bayi, sedetik kemudian Betet memukul kuda putih itu.

Kuda itu meringkik keras, berlari meninggalkan tempat itu. Siapapun yang mencoba menghalangi pasti tersungkur oleh anak panah milik Gajah. Tangan Gajah telah memegang busur, lengkap dengan anak panah. Bidikannya selalu tepat sasaran, dia mewarisi busur dan anak panah milik Sumila.

Busur dan anak panah itu tersembunyi di dalam tubuhnya berbentuk besi kuning. Diletakkan di dalam kulit di atas daging, hanya bisa dipergunakan pada saat genting.

Bersama sentakan kaki kuda putih itu, pertarungan pun pecah. Namun jelas pertarungan tidak seimbang. Gajah hampir berhasil meloloskan diri, salah satu dari mereka melempar parangnya, tepat mengenai punggungnya. Parang itu tertancap di punggungnya, darah mulai merembes membasahi bajunya.

Gajah tersungkur jatuh dari kuda. Sedang Betet dan para pemuda itu mulai kewalahan menghadapi musuh-musuhnya. Laki-laki yang tadi melempar parang berjalan mendekati Gajah yang sedang merintih kesakitan, bibirnya mengulas senyum licik penuh kemenangan. Laki-laki itu dengan kasar mencabut parangnya dari punggung Gajah.

AAAAAACCCHHHKKK!

SSSSSTTTT,

"Gusti...!" Gajah memekik kesakitan, raungannya menyayat hati, kemudian tersungkur. Mendesis menahan sakit. Tanpa memperdulikan Gajah yang tersiksa, Laki-laki itu mencengkeram lengan Gajah, memaksanya berdiri, sambil meletakkan parangnya tepat di depan leher Gajah. Gemetaran, Gajah memaksa kakinya berdiri, ia menatap laki-laki yang mencengkeram lengannya tajam, penuh kebencian.

"Iblis rupo menungso!" umpat Gajah di dalam hati, matanya masih menatap tajam laki-laki yang menyandranya penuh kebencian. Laki-laki itu lagi-lagi menyerinagi penuh kemenangan. Tangannya hendak meraih buntalan yang melingkar di tubuh Gajah, namun tiba-tiba.

DEEEG!

Seseorang memukul tengkuknya hingga ia terkapar.

"Kau beruntung, Nimas, karena buku ini melindungimu jika tidak
....?!" Laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya.

"Mas Yanto?!" Ucap Gajah lemah, matanya membulat sempurna tak percaya bahwa Yanto yang menyelamatkannya. Yanto tidak menjawab, bola matanya memberi isyarat agar Gajah tidak mengundang perhatian.

Punggung Gajah memang terluka tapi tidak terlalu dalam, Yanto memungut buku dalam buntalan yang melingkar di tubuh Gajah, meletakan ke dalam pelukannya. Lalu menyingkirkan kain yang melingkari punggung yang tadi dipakai buat menggendong buku, selanjutnya merobek baju bagian belakang.

Dengan seksama, Yanto memeriksa lukanya, bola matanya menatap ngeri. Kemudian kembali melilitkan kain tersebut. Setelahnya, ia membuat lingkaran dengan ujung jarinya melingkari tubuh Gajah. Lingkaran warna keemasan tampak mengitari tubuh Gajah. Detik selanjutnya, Yanto melesat memasuki hutan, beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa pupus pakis tis.

Dengan lahap ia mengunyak pupus pakis tis itu, kemudian ia muntahkan, menadahnya dengan telapak tangan. Ternyata Yanto sedang membuat obat, ia melumurkan pakis ke punggung Gajah yang terluka, dibobokne. Meratakan ke seluruh bagian yang terluka hinga tertutup semua oleh pupus pakis yang bercampur dengan ludahnya. Terakhir ia membalut luka itu.

Betet dan para pemuda itu semakin terdesak, Yanto dengan tenang melangkah ke arena perkelahian, dia melepaskan sendalnya lalu melemparkan secara serampangan. Sendal itu mengenai beberapa orang, yang terkena sendal ini langsung mebuang parangnya dan berlutut gemetaran.

Yang tidak terkena, terlihat bingung, begitu menyadari siapa yang melempar sandal, mereka juga langsung membuang parang lalu menekuk lutut. Tubuh mereka menggigil ketakutan.

Yanto mendekati Betet lalu menekuk lututnya.

"Piro-piro luputku aku njauk ngapuro, Nduk. Tenan, aku rangerti sopo sing ngongkon arek-arek iki. (Ma'afkan aku, Nduk. Sungguh aku tidak tahu siapa yang menyuruh anak-anak ini.)

"Ngadheko, Mas! Sing ngongkon kae delik. Metu-o, Lek!" (Berdirilah, Mas! Yang nyuruh itu sembunyi. Keluarlah, Lek!)

Mata Betet menatap tajam ke arah pohon pinus yang berdiri tak jauh dari mereka. Serta merta dari balik pohon pinus muncul seorang laki-laki setengah baya, berpakaian adat jawa kuno berjalan perlahan mendekati Betet dan Yanto.

"Bukankah dia yang terbaring di dalam peti mati di kamar tengah?!" batin Gajah bingung.

Betet mengangkat tangan kirinya ke arah Gajah. Buku yang dipeluk Gajah melayang dengan sangat cepat ke arah telapak tangan Betet, seolah tersedot. Jelas sekali, Betet ingin menunjukkan kekuatannya. Ia memang sangat marah dengan kelakuan Lacip. Lacip telah membuat kesalahan yang sangat fatal.

***

Lacip adalah orang yang memiliki linuwih, salah satu orang yang dikabarkan pernah mengalami mati pindah. Saat Gajah bercerita bahwa Lacip, Betet jadi ingat wasiat nenek sebelum meninggal.

"Nduk, aku mendhem Lacip ono ing jurang, tak segel karo Joyo Sukmo. Mbah kungmu yow is miyeng nggolek i Lacip, ning ora temu. Mbesok lek wis teko titimangsane awakmu tur mbak ayumu kudu medhun jurang nggowo Lacip munggah."

(Nduk, aku menanam Lacip di jurang, kusegel dengan menggunakan Joyo Sukmo. Kakekmu sudah berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukan. Suatu saat jika waktunya tiba, kau dan kakakmu mesti turun ke jurang untuk membawanya naik.)

"Inggih, Mbah Putri. Sendiko dawuh." Saat itu banyak sekali yang ingin Betet tanyakan.

"Kalau Lek Lacip ditanam di dalam jurang, lalu siapa yang minggat ke Sumatra bersama keluarganya?!"

"Amonge sing duwene rogo dewe?" Jawab Mbah Putri.

"Amonge punya raga sendiri?!" Aku semakin bingung.

"Nggak usah bingung, jika waktunya tiba, kau akan paham dengan sendirinya."

Apa yang diucapkan Sumila menjadi kenyataan, Betet ditakdirkan mewarisi semua ilmu yang dimiliki oleh Ahmad Husain dan Sumila.

"Hampir sepanjang hidup, aku mempelajari beberapa rute dari Jurang ke Lembah Biru. Aku mempelajari rute paling aman. Banyak sekali rute yang bisa kutempuh. Tapi rute paling aman adalah rute yang sudah kulewati bersama Kakakku, Gajah.

Aku bisa meminta tolong Kang Sawedang untuk membuka pintu lalu menuruni tangga yang dibuat oleh Kang Sawedang. Lalu naik kembali melalui jalur yang sama. Namun aku khawatir Lek Lacip akan berbuat onar. Jika sampai salah satu penunggu asli jurang atau anak buah Kang Sawedang jadi korban maka akan terjadi kekacauan.

Aku bisa saja turun ke jurang sendirian lalu membawa peti mati milik Lek Lacip ke Lembah Biru. Namun aku juga khawatir, akan tercium oleh orang-orang yang menginginkan buku yang dipakai untuk menyegel Lek Lacip. Maka bukan tidak mungkin akan terjadi pertikaian. Jika sampai peti mati dirampas dari tanganku, artinya sangat kecil kemungkinan Lek Lacip akan selamat. Selain itu, jika buku tersebut jatuh ke tangan yang salah juga akan terjadi bencana.

Satu-satunya pilihan terbaik adalah membawa Gajah ke jurang, dia satu-satunya keturunan Surodiko yang mampu membuka peti mati milik Lek Lacip. Bukan karena memiliki ilmu tinggi tapi karena wetonnya yang memungkinkan untuk itu. Garis tangannya ditakdirkan memungkinkan melakukan tugas berat ini.

Selain itu, besi kuning milik Mbah Putri yang ada di dalam tubuhnya mampu menetralisir keberadaan siapa pun yang membawa buku Joyo Sukmo.

Tujuanku ke Jurang adalah untuk membebaskan Lek Lacip seperti titah almahumah Mbak Putri. Aku tahu saat peti mati milik Lek Lacip disentuh oleh Gajah, maka dengan mudah terbuka. Lalu saat buku kuambil dari genggaman Lek Lacip, ia langsung tersadar. Namun tetap pura-pura mati karena kamilah orang yang ia tunggu untuk membawanya naik.

Lima puluh tahun lebih, Lek Lacip berusaha naik tapi tidak pernah mampu menembus segel yang dipasang oleh Mbah Putri. Puluhan tahun Lek Lacip melakukan tapa brata, ia mendapat dua jawaban. Satu, bisa keluar dari jurang dengan Joyo Sukmo. Kedua menunggu dua orang gadis datang ke jurang untuk menjemputnya, dua orang tersebut adalah cucu Sumila dan Ahmad Husain. Keturunan Surodiko.

Lek Lacip pasti mengenali kami saat kami turun ke jurang, karena bagaimanapun kami pasti punya kemiripan dengan Mbah kung maupun Mbak putri. Tadinya aku sangat berharap Lek Lacip akan menyambut kami, atau sekedar menyapa. Namun ternyata tidak ada sepatah kata pun yang terucap, malah aku menangkap gelagat yang kurang baik. Lek Lacip mempergunakan ajian panglimunan agar kami tidak bisa melihatnya. Aji panglimunan itu memang berfungsi terhadap Gajah tapi tidak padaku. Firasat buruk terus menghantuiku, Namun berusaha kutepis.

Aku terus mengingat almarhumah Mbah Putri pernah berpesan,
"Gur kari Lacip sing ning njeru jurang, awakmu karo mbakyumu sing iso nulung pokok atimu ikhlas. Semono ugo atine mbakyumu yo kudu ikhlas. Yin ra ikhlas awakmu tur mbakyumu bakal melok kependem yen wani-wani mudun jurang."

(Tinggal Lacip saja yang ada di jurang, kamu dan kakakmu bisa menolongnya jika hatimu ikhlas. Begitu juga hati kakakmu juga mesti ikhlas, kalian akan ikut tertanam jika turun ke jurang jika hati kalian tidak memiliki keikhlasdan.)

Aku tahu, Lek Lacip terus mengikuti langkah kami, akupun diam-diam terus meningalkan jejak. Aku melakukannya tanpa sepengetahuan Gajah. Entahlah, aku merasa akan lebih aman jika Gajah tidak menyadari keberadaan Lek Lacip. Meski terus berusaha kutepis firasatku Lek Lacip bisa saja mencelakai Gajah jika dirasa Gajah menjadi ancaman baginya.

Aku telah mempertaruhkan nyawaku dan nyawa kakaknya untuk masuk jurang. Demi membebaskan kutukan atas dirinya. Malah dia menyuruh anak buah Mas Yanto untuk menyelakai kami?! Aku trenyuh saat mendengar Lek Lacip sedang sakit. Saat Gajah bertanya tentang Lek Lacip aku berfikir bahwa memang sudah waktunya aku membeberkan semua tentang Lek Lacip kepadanya. Sekarang Lek Lacip takkan kuampuni!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close