Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMPAH SEBELUM KEMATIAN (Part 1) - Keluarga Raden Sasmito

Sebuah kisah yang diangkat dari sebuah tempat di Jawa Tengah

SUMPAH SEBELUM KEMATIAN

Teror Pocong Ningrat

Malam begitu sepi, sudah beberapa hari tidak ada warga desa yang berani keluar setelah adzan maghrib berkumandang. Saat itu seorang perempuan yang baru pulang dari tempat kerjanya terburu-buru melangkah menuju ke rumah setelah turun dari angkutan umum. Ia cukup tenang saat mendengar suara kentongan dari warga yang tengah menjalankan ronda. Setidaknya ia tidak sendirian malam itu.

Sebenarnya, malam belum terlalu larut. Tapi apa yang terjadi di desa belakangan ini membuat warga terpaksa mengunci pintunya rapat-rapat dan menjawalkan ronda untuk berkeliling lebih awal.

Sayangnya, sepertinya perempuan itu  terlalu cepat menyimpulkan rasa leganya.

Dia yang dimaksud ada di sana..

Pocong itu ada di sana…

Kali ini sosok jasad yang terbungkus kain kafan lusuh itu tengah memandang salah satu rumah yang menjadi awal tragedi itu. Tragedi yang membuat rentetan kejadian tak masuk akal hingga membunuh satu keluarga di desa ini, Desa Danumulyo.


Keluarga Raden Sasmito

Tahun 1994, Jawa Tengah

Katanya Tuhan itu Maha Adil, tapi mengapa takdir dan nasib tiap orang bisa begitu berbeda dan terkadang malah berbanding bagaikan bumi dan langit. Apa yang membuat itu semua begitu berbeda? Kerja keras kah? Pendidikan? Atau apa? Bahkan mereka yang lahir dari rahim yang sama dan tumbuh bersama pun bisa memiliki hidup yang jauh berbeda.

Cerita ini tentang keluarga Raden Sasmito. Keluarga terpandang yang benar-benar dikenal sangat berpunya dan berpengaruh di kota ini. Dulu, Eyang Sasmito memiliki usaha pengrajin perhiasan yang sudah berjalan turun-temurun dan menjadi kepercayaan beberapa kerabat keraton. Sedangkan Raden Ayu Sulastri, istri Eyang Sasmito memiliki pabrik batik yang sudah dikelola oleh puluhan karyawan.

Rumah keluarga Raden Sasmito cukup mencolok di desa Danumulyo. Rumah yang besar, namun terlihat sederhana dengan bangunan kayu yang mendominasi. Mereka adalah pekerja keras, bahkan sebagian sisi rumahnya pun dijadikan bengkel kerajinan perhiasan dan satu sisi rumah mereka juga sebagai tempat membatik. Sudah sepuluh tahun sejak Eyang Sasmito wafat. Ia wafat di umur delapan puluh tahun dan disusul oleh Eyang Lastri satu tahun kemudian.

Eyang Sasmito memiliki sepuluh anak, namun yang tinggal di desa ini hanya setengahnya. Hanya keluarga Bu Siti yang tinggal di rumah Eyang Sasmito yang begitu besar, dan sisanya tinggal tak jauh di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang pada jaman itu dianggap terpandang karena bisa menempuh pendidikan dengan tuntas hingga sarjana.

Dengan semua kelebihan itu, ternyata tidak semua dari mereka bernasib sama. Ada yang hidup dengan harta melimpah melalui bisnisnya, ada yang merasa cukup dengan membuka warung yang sangat sederhana, dan ada juga yang hidup berkurangan seperti Lek Samin.

Desa Danumulyo tidka begitu besar. Bahkan hampir seluruh warga di desa Danumulyo sebenarnya mungkin memiliki hubungan kekerabatan walau dari garis keturunan yang cukup jauh. Hanya sebagian kecil dari pendatang yang akhirnya menetap di desa ini.

Lek Samin hanya hidup bersama istrinya Lek Indri di rumah sederhana berdinding anyaman bambu dan masih menggunakan sumur timba. Rumah layak warisan pemberian ayahnya, Raden Sasmito sudah dijual untuk biaya pengobatan Lek Samin sewaktu sakit dulu dan untuk membayar hutang almarhum orang tua istrinya. Rumah yang mereka tinggali saat ini adalah rumah peninggalan orang tua Lek Indri.

Walau hidup dengan keadaan seperti itu, Lek Samin mungkin salah satu anak Raden Sasmito yang paling dihargai oleh warga desa. Ia tidak segan membantu berbagai kegiatan di desa tidak seperti kakak-kakaknya yang seperti memiliki jarak dengan warga. Hanya pada setiap acara-acara keraton mereka ikut serta, dan sebaliknya keadaan Lek Samin yang seperti itu seringkali dipandang remeh oleh mereka yang bangga dengan darah birunya.

“Kulo nuwun..”

Seorang pemuda SMA mengetuk pintu rumah yang benar-benar jauh dari kata layak untuk disebut sebagai rumah anak juragan. Hanya ada beberapa lampu bohlam kuning yang terpasang dan masih ada beberapa lampu sentir terpasang di dinding sebagai cadangan apabila mereka tidak mampu membayar listrik.

“Eh, Yanto..”

Seorang pria dengan tubuh yang kurus dan rambut yang mulai memutih membukakan pintu itu dengan ramah dan mempersilahkanya untuk masuk.

“Nggak usah repot-repot, Lek. Cuma mau ngasi ini dari ibu,” ucap Yanto memberikan sebuah rantang yang berisi lauk masakan ibu.

“Ya ampun, Matur nuwun yo, Le! Sebentar ya..”
Lek Samin tanpa segan menerima masakan ibu Yanto dan mengembalikan rantang setelah memindahkan lauk dan mencucinya.

“Ngapunten yo, Le.  Lek Samin belum bisa ngasi apa-apa. Nanti kalau kacang Lek Samin sudah panen nanti Lek Samin kirimin ke rumah,” ucap Lek Samin.

“Ndak usah repot-repot, Lek. Ibu malah bilang, kalau nanti berasnya habis bilang sama ibu saja. Nanti Yanto anterin lagi ke sini,” Balas Yanto.

“Alhamdulillah, sampaikan salamku sama ibu dan bapak.”

Pemuda pun berpamitan dan kembali ke rumah dan menyampaikan salam dari Lek Samin ke ibunya. Saat itu ibunya baru bercerita, ternyata Lek Indri sudah sakit selama satu minggu sehingga Lek Samin lebih sering ada di rumah dan pekerjaanya cukup terbengkalai.

“Kalau sudah sakit begitu, mungkin akan lama sembuhnya. Ibu jadi kasihan..”

“Emang Lek Indri sakit apa, Bu?”

“Sepertinya stroke, tapi pas ibu datang ke sana kulitnya menguning. Mungkin saja ada penyakit lain,”

“Nggak di bawa ke dokter saja?”

“Sudah, sudah dapet obat juga. Semoga saja keadaanya bisa membaik,”

Yanto pun sedikit acuh dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Lek Indri dan Lek Samin. Tapi tanpa  disadari ternyata cerita yang ia dengar itu adalah sebuah awal dari tragedi yang menggegerkan desa ini.

Beberapa bulan kemudian tersebar kabar di warga desa bahwa keluarga besar Raden Sasmito datang dan berkumpul sekedar untuk silahturahmi. Ibu dan Bapak pun sempat menghampiri kediaman Eyang Sasmito yang dijadikan tempat mereka berkumpul. Awalnya mereka hanya datang untuk bernostalgia mampir ke beberapa tempat di desa dan menemui tetangga dan teman-teman mereka semasa kecil, tapi setelah pertemuan malam suasana menjadi berubah.

Pranggg!!!

Suara kaca jendela yang pecah membuat beberapa di sekitar kediaman sasmito mengintip dari rumah masing-masing apa yang terjadi.

“Tolong, Mas! Tolong! Saya butuh untuk pengobatan Indri,”  Terdengar suara Lek Samin yang terdorong keluar.

“Keluar kamu! Kamu hanya bisa mempermalukan keluarga Sasmito!” Teriak Pak Rusdi anak anak tertua dari keluarga itu.

“Tapi Mas, Kalau rumah ini dijual bagian saya bisa untuk mengobati Indri. Dia benar-benar butuh pengobatan yang layak,” Lek Samin benar-benar seperti mengemis saat itu.

“Kamu tahu sendiri jerih payah bapak untuk membangun rumah ini, dan sekarang malah kamu meminta untuk dijual? Otak kamu dimana?”

Lek Samin benar-benar menangis. Sepertinya hanya sisa warisan dari pembagian rumah itulah yang menjadi harapannya untuk mengobati istrinya itu.

Malam itu Lek Samin meninggalkan kediaman masa kecilnya itu dengan putus asa. Dari balik jendela warga menyaksikan Lek Samin berjalan seorang diri sembari terisak sementara saudara-saudaranya melanjutkan acara mereka dengan begitu meriah.

Penyakit Lek Indri semakin parah. Sudah beberapa kali warga membantu untuk membawa ke rumah sakit, namun hanya dirawat selamat tiga hari dan akhirnya dipulangkan karena terkendala biaya.

Mungkin benar apa yang dipikirkan Lek Samin. Apa yang mungkin bisa menyelamatkan Lek Indri mungkin hanya warisan keluarga Sasmito saja. Namun semua itu seperti jalan buntu untuk Lek Samin. Ia sudah menghampiri saudaranya satu-persatu namun hanya penolakan yang mereka terima. Entah mengapa saudara Lek Samin sekejam itu. Seandainya tidak mau menjual rumah Eyang Sasmito, setidaknya mereka meminjamkan uang untuk pengobatan Lek Indri. Sayangnya itu tidak terjadi.

Akhirnya satu bulan setelah pertemuan itu, Lek Indri pun meninggal…

Warga desa membantu pemakaman Lek Indri, namun sepanjang hari Lek Samin hanya terpaku tak mampu menerima kenyataan bahwa istri yang sangat ia sayangi itu sudah tiada. Warga desa lah yang membantu segenap prosesi pemakamanya hingga benar-benar selesai.
Ada yang aneh. Saat prosesi pemakaman, tidak ada satupun dari keluarga sasmito yang datang ke pemakaman Lek Indri.

Setelah kepergian Lek Indri, Lek Samin seperti orang yang bingung. Warga desa sering melihat Lek Samin berjalan dengan tatapan kosong. Tak hanya siang, bahkan di tengah malam pun ia sering keluar seorang diri berkeliling desa tanpa maksud yang jelas.
“Tau nggak? Kemarin sempat Bu Siti sempat lari ke rumah pak RT. Dia dateng hujan-hujanan sambil ketakutan,”
Sebuah pergunjingan terjadi diantara warga desa yang tengah berkumpul di pos untuk menonton pertandingan bulu tangkis melalui televisi di pos ronda.

“Ketakutan gimana? Memangnya ada apaan?”

“Bu Siti ketakutan, malam-malam dia ngeliat Lek Samin diam di seberang rumahnya memandangi rumah itu dari sana. Hujan-hujanan, katanya wajahnya nyeremin..”
“Lah gimana sih? Kan saudaranya sendiri?”

“Nggak tahu,  tapi katanya sudah berhari-hari seperti itu..”

Beberapa hari ini Bu Siti, Istri Pak Rusdi, dan keluarga sasmito yang lain yang tinggal di desa ini terlihat aneh. Mereka beberapa kali mengaku takut dengan keberadaan Lek Samin yang sering terlihat di depan rumah mereka. Mereka sempat mengusir Lek Samin, tapi setelahnya ia datang lagi dan menatap di tempat yang sama.

Satu hal yang membuat cerita itu semakin aneh. Mereka melihat Lek Samin di depan rumah mereka masing-masing di waktu yang sama.

Pak Kades  pun kebingungan mendengar laporan dari mereka. Terlebih yang mengadu adalah kerabat Lek Samin yang seharusnya orang yang dimintai tolong ketika terjadi sesuatu dengan Lek Samin. Mereka pun mengambil jalan tengah untuk menghampiri Lek Samin ditemani oleh perangkat desa.

“Si Samin harus dikasi pelajaran, walau dia adik kita tapi dia sudah keterlaluan. Itu kan namanya meneror” ucap Pak Rusdi.

“Jangan begitu, Pak. Kita datangi dan omongin baik-baik dulu,” Tahan pak kades.

Saat itu terlihat pemandangan mereka  tengah beramai-ramai mendatangi rumah Lek Samin seolah-seolah terlihat seperti mendatangi rumah seorang penjahat. Mereka mengetuk pintu rumah yang sangat mengenaskan itu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Mereka menunggu cukup lama namun tidak ada pertanda akan ada yang membukakan pintu itu.
Pak Rusdi pun berinisiatif membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Tapi tepat saat pintu itu terbuka, bau busuk tercium dari dalam rumah.

“Bau apa ini? Bangkai?” Tanya Bu Siti.

“Bu—bukan…”

Pak Rusdi menjawab dengan wajah pucat. Ia tidak mampu mengatakan apa yang ia lihat dan memilih untuk berpaling menjauh dari pintu.

“Ma—mayat?? Itu Lek Samin??”

Di dalam rumah itu terbaring jasad seorang pria yang telah terbungkus dengan kain kafan. Di bawah sebuah amben yang sudah lapuk tempat jasad itu dibaringkan, ada bekas sesajen berisi kembang, kemenyan, dan berbagai ubo rampe yang sudah kering. Dengan mudah warga desa bisa mengenali bahwa itu adalah jasad Lek Samin yang hampir membusuk.

Namun asal bau itu bukan hanya dari Jasad Lek Samin, tapi di sebelahnya juga ada sesosok jasad yang kain kafannya sudah lusuh dengan tanah bekas kuburan. Kulitnya sudah membusuk dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat.

“Itu jasad Indri? Samin membongkar kuburan Indri?!!” Pak Rusdi tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Pak Kades merasa bertanggung jawab dan memeriksa jasad itu. Ada cawan kayu di deka jasad Lek Samin yang sepertinya sebelumnya berisi racun yang mengakhiri hidupnya. Tapi bukan itu yang membuat Pak Kades gemetar.

Sebuah tulisan tertulis dengan jelas di dinding rumah Lek Samin yang terbuat dari anyaman bambu. Ia sengaja menulisnya dengan darah, entah darah apa itu. Namun isi tulisan itu tak mungkin bisa mudah dilupakan oleh keluarga Sasmito.

Tidak ada satupun dari Keluarga Sasmito yang pantas hidup. Mereka bertanggung jawab atas nyawa Indri. Mereka harus melihat dan terus mengingat apa yang telah mereka lakukan pada Indri.

Mereka dan siapapun yang terlibat harus merasakan akibatnya…
Aku bersumpah setiap tetes darahku akan merintih dan menuntut nyawa atas kematian Indri. Bila aku tidak bisa membalas dengan hidupku, akan kubalas dengan kematianku…

Seketika wajah Pak Rusdi, Bu Siti, dan anggota keluarga Sasmito yang datang menjadi pucat. Pak Kades menoleh ke arah mereka. Yang ia tahu hanya Indri meninggal karena penyakit dan Lek Samin mungkin dendam pada mereka karena mereka tidak ingin menjual rumah Eyang Sasmito. Tapi dari raut wajah mereka, Pak Kades menduga ada hal lain yang mereka sembunyikan.

Yang ada di kepala mereka saat itu, bila Lek Samin sudah meninggal cukup lama. Lantas siapa sosok Lek Samin yang ada di depan rumah Pak Rusdi dan saudara-saudaranya setiap malam?
Setelah penemuan jasad Lek Samin dan Lek Indri, suasana desa menjadi berbeda. Cerita tentang kemunculan Lek Samin di depan rumah anak-anak keluarga Sasmito juga sudah menjadi buah bibir di desa Danumulyo.

Sementara itu, Pak Rusdi semakin sering terlihat di rumah Bu Siti di Kediaman almarhum eyang Sasmito. Wajah mereka begitu cemas dan semakin jarang berbicara dengan warga desa.

“Ini semua karena Mas Rusdi! Kita nggak harus ngelakuin itu!” Bu Siti terlihat begitu kesal dengan Kakaknya itu.

“Aku? Aku cuma ngelanjuti apa yang Bapak lakukan! Kalian sudah tau apa akibatnya kalau kita tidak melakukan itu?!” Bentak Pak Rusdi.

Bu Siti terlihat bingung hingga matanya berkaca-kaca, bagaimana ia menjelaskan pada suaminya tentang apa yang terjadi. Ia begitu takut dengan sumpah yang ditulis Lek Samin di dinding rumahnya itu.

Kriiinggg…

Suara telepon berbunyi memecah kebingungan mereka. Bu Siti pun mengusap air matanya dan megangkat telepon itu.

“Halo..?”

“Mbak? Mbak Siti? Ini Mbak Siti kan?”

Terdengar suara perempuan yang suaranya tidak asing di telinga Bu Siti.

“Erna? Tumben nelpon jam-jam segini? Ada apa?”

Bu Erna adalah anak ketujuh dari keluarga Sasmito yang tinggal di Surabaya. Ia adalah adik dari Bu Siti dan Pak Rusdi. Mendengar nama Erna disebut, Pak Rusdi merasakan perasaan yang tidak enak dan menghampiri Bu siti.

“Mbak, Samin Mbak. Dia ke sini,” ucap Bu Erna.

Mendengar ucapan itu seketika wajah Bu Siti pucat. Ia pun menoleh ke arah Pak Rusdi.

“Ng—nggak, nggak mungkin, Na! Memangnya belum ada yang ngasi tau kalau Samin sudah meninggal,” ucap Bu Siti.

“Su—sudah meninggal? Tapi dia ada di sini, tadi anak-anak yang nyuruh dia masuk. Sekarang dia di ruang tamu,”

Mendengar ucapan itu Pak Rusdi merebut telepon dari genggaman Bu Siti.

“Itu bukan Samin! Usir saja Erna!” ucap Pak Rusdi.

“Mas? Mas Rusdi lagi di rumah Mbak Siti?”

“Iya, Mas ada urusan sama Siti. Sudah usir saja dia!”

“Ta—tapi mas, kalau bukan Samin bagaimana dia bisa tahu?” ucap Erna dengan nada gemetar.

“Tahu apa?”

“Di—dia bertanya, si—siapa yang meletakkan foto dan rambut indri di guci tua milik bapak?” Ucap Bu Erna sembari menatap ke ruang tamu dimana Lek Samin sedang berada di sana dan terus memandangnya dengan wajah yang pucat.

Mendengar ucapan itu Pak Rusdi menelan ludah.
“Gimana, Mas? Aku jawab apa?”

Wajah Pak Rusdi dan Bu Siti menjadi pucat. Pak Rusdi pun menutup telepon itu dengan tangan yang gemetar.

Kriiinggg!!!

Telepon itu berbunyi lagi, Bu Siti ingin segera mengangkat namun Pak Rusdi melarangnya.

“Jangan diangkat!”

“Ta—tapi Erna?”

“JANGAN DIANGKAT!!!” Pak Rusdi membentak adiknya itu hingga Bu Siti memutuskan untuk tidak mengangkat telepon dari adiknya itu. Ia pun mengambil jaketnya dan bergegas mengendarai sepeda motor meninggalkan rumah Bu Siti.

Bu Erna pun kembali ke ruang tamu dan melihat Lek Samin sedang bermain bersama kedua anaknya yang masih SD di sana. Dengan cepat Ia menarik kedua anaknya dan membawanya menjauh dari Lek Samin.

“Bu? Kenapa bu?” Tanya anak-anak Bu Erna.

“Pergi kamu!” Teriak Bu Erna mengusir sosok yang menyerupai Lek Samin itu.
“Kenapa disuruh pergi, Bu? Kita kan masih mau main sama Lek Samin..” Tanya anak-anak.

Bu Erna tetap tidak menggubris ucapan anak-anaknya dan tetap mengusir Lek Samin. Sosok menyerupai Lek Samin itu tersenyum dan senyumnya terlihat begitu mengerikan di mata Bu Erna.

“Nanti malem main lagi sama Paklek, ya!” ucap Lek Samin.

Mendengar ucapan itu Bu Erna segera menyuruh anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah. Saat ia kembali menoleh, Lek Samin sudah tidak ada ditempat itu. Sontak saja rasa takut Bu Erna semakin menjadi-jadi. Ia pun bergegas menelepon suaminya dan memintanya untuk segera pulang.

Malam itu Bu Erna tidak bisa tidur dengan tenang. Suaminya sudah mencoba menenangkan istrinya itu, namun perasaan takut tetap menyelimuti dirinya. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk tidur di kamar kedua anaknya untuk menemani mereka.

Langkah Bu Erna terlihat ragu. Ada perasaan yang sangat mengganggunya yang tidak dapa ia jelaskan. Dan baru saja ia membuka kamar anaknya, ia Pun sudah disambut dengan pemandangan yang mengerikan.

Di langit-langit berhadapan kasur tempat kedua anaknya tengah tertidur, terlihat sosok pocong dengan wajah yang membusuk sedang menatap kedua anaknya. Erna terjatuh kaku melihat sosok yang terus meneteskan liurnya ke kedua anak erna yang mengigau kesakitan.

“Ja—jangan! Jangan!” Erna Takut, tapi nalurinya sebagai ibu memaksa dirinya untuk memberanikan diri.

“Ba—Bapak!! Tolong pak!!”

Teriakan Erna memancing sosok pocong itu menoleh ke arahnya. Erna mengenali wajah itu. Itu adalah wajah dari orang yang mati bunuh diri bersanding dengan mayat istrinya yang ia gali sendiri dari kuburnya. Jasad dari saudara yang satu rahim denganya.

Wajah pocong itu adalah adiknya sendiri, Lek Samin…

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close