Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 26) - Latihan Olah Pernafasan


Cahaya sinar matahari pagi lembut membelai dan menghangatkan badan Jaka Indi yang sedang duduk bersila di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

Saat ini sudah memasuki musim semi, yang kata kebanyakan orang, musim semi adalah musim yang terbaik dan terindah, dimana alam sangat bersahabat, cuaca cerah, udara hangat, bunga-bunga mulai tumbuh bermekaran.

Tapi buat Jaka Indi saat ini, keindahan musim semi tak sempat terperhatikan dan dinikmatinya, karena sudah hari kedua Jaka Indi melakukan meditasi di atas dahan sebesar lengan orang dewasa. Tapi masih sulit rasanya bagi Jaka Indi untuk dapat duduk meditasi dengan sempurna.

Satu jam pertama tidaklah sukar bagi Jaka Indi melakukannya, tapi bila seharian tentu tidak mudah baginya untuk menjaga konsentrasi dan keseimbangan tubuhnya.

Terlebih angin tak jarang bertiup kencang, serta didalam meditasi Jaka Indi harus selalu dalam keadaan berpuasa.

Jaka Indi teringat saat pertama kali disuruh meditasi diatas dahan. 

"Eyang apa yang aku harus lakukan saat meditasi ?"

"Matikan jasad, hidupkan hati, Matikan hati, hidupkan qolbu, Matikan qolbu, hidupkan ruh."

"Dan ingat selama meditasi teruslah membaca :

"YA HAYYU YA QAYYUM, LAA ILAAHA ILLA ANTA." 

Terang eyang Wicaksono.

"Lalu apa maksudnya matikan jasad hidupkan hati...?" Tanya Jaka Indi lebih lanjut.

"Matikan keinginan dan nafsu ragawi dan hidupkan hatimu, begitu seterusnya, dan nantinya kamu akan paham dengan sendirinya."

Lalu eyang Wicaksono pergi berlalu meninggalkan Jaka Indi. 

Walau waktu terasa berjalan lambat akhirnya selesai juga tiga hari Jaka Indi menjalani meditasi di atas dahan pohon. 

Awalnya dihari pertama bermeditasi di atas dahan pohon sebesar paha orang dewasa, hari kedua di atas dahan sebesar lengan orang dewasa, hari ketiga, hanya meditasi bersila di atas dahan sebesar ibu jari orang dewasa.

Saat ashar menjelang, tak jauh dari pandangan Jaka Indi, terlihat eyang Wicaksono datang menghampiri kearahnya sambil membawa sekeranjang makanan termasuk nasi putih dan lauk pauk ikan bakar kesukaannya.

Selesai Jaka Indi bersantap, eyang Wicaksono mengajak Jaka Indi ketengah hutan jati, ditengah hutan jati terdapat sebuah lubang kubur dan pada sisi atas kubur terdapat sebuah peti mati.

"Kali ini kamu akan meditasi dengan cara berbaring dalam peti dan dipendam dalam tanah selama tiga hari tiga malam," Terang eyang Wicaksono. 

"Huaah !! Lantas bagaimana saya sholat, makan dan bernafas eyang ?" Cetus Jaka Indi dengan nada terkejut. 

"Selama dalam peti kamu dapat sholat sambil berbaring, kamu juga tetap berpuasa, dan pada sudut peti ada bambu kecil yang berlubang, yang tembus kepermukaan tanah, guna kamu bernafas." 

Tapi sebelum itu, aku akan mengajarkanmu cara bernafas dengan tidak menggunakan hidung dan mulut, melainkan bernafas dengan menggunakan pori-pori tubuh, sehingga bilamana saluran udara tertutup kamu juga tetap bisa bernafas."

Jaka Indi diam beberapa jenak seolah menyimak perkataan eyang wicaksono, tetapi sesungguhnya dalam batinnya sedang berfikir...,

Itukan teorinya eyang Wicaksono, kalau ada kesalahan bisa wassalam dah gue. 

"Waktu ujian sarjana hukum, ujian pekerjaan di firma hukum, bahkan ujian jadi driver ojol, rasanya gak seribet ini. Sudahlah aku coba dulu, kalau gak tahan aku bisa keluar sendiri." Pikirnya dengan menguatkan hati.

Eyang Wicaksono tidak langsung menyuruh Jaka Indi masuk dalam peti, tapi justru mengajaknya naik keatas gunung Kapila, sepanjang perjalanan eyang Wicaksono mengajarkan cara dan tehnik bernafas melalui pori-pori tubuh. 

Jaka Indi memang pernah tahu ada beberapa hewan yang bernafas dengan permukaan kulitnya, seperti cacing tanah, kecebong, tapi baru kali ini ia tahu ada ilmu yang bisa melatih manusia bernafas dengan pori-pori tubuhnya. 

Seperempat jam kemudian sampailah mereka disebuah sebuah telaga yang jernih dengan air terjun yang deras. Nanti setelah kamu selesai latihan didalam peti, kamu lanjutkan latihan merendam seluruh tubuhmu didalam telaga ini, dan bernafaslah dengan melalui pori-pori tubuhmu sebagaimana yang telah kuajarkan tadi.

Kemudian eyang Wicaksono langsung mencontohkan dirinya masuk kedalam telaga, Seluruh tubuh juga kepala eyang Wicaksono tenggelam dalam air telaga. Tak ada gelembung udara yang keluar sama sekali, keadaan eyang Wicaksono saat didalam air maupun di atas air terlihat sama saja. 

Hingga tiga puluh menit berlalu, berikutnya eyang Wicaksono kembali muncul kepermukaan, dan berkata :

"Lakukan dan latih terus hal ini sampai setidaknya Raden bisa bertahan selama enam jam."

"Ingat bukan belajar menahan nafas, tapi bernafas biasa hanya tidak menggunakan sarana hidung atau mulut, melainkan melalui pori pori tubuh." 

"Maaf ya Raden... Aku terpaksa memberi petunjuk sekaligus karena setelah ini, aku akan pergi ke alam manusia untuk beberapa hari, sepulangnya aku akan menguji hasil latihanmu,"

Kemudian eyang Wicaksono mengajak kembali Jaka Indi ke tempat peti mati ditengah hutan jati. 

"Masuklah kedalam peti, setelah tiga hari Bimo akan menghantar makanan kesini."

Jaka Indi melompat masuk dalam peti, lalu peti ditutup oleh eyang Wicaksono, dan dimasukkan dalam kubur kemudian dipendam dengan tanah.

Ini pertama kalinya dalam hidup Jaka Indi mengalami dikubur hidup-hidup. Tentu saja ini bukan suatu hal yang menyenangkan. 

Untungnya peti ini cukup lapang, dan saluran udaranya juga cukup longgar buat keluar masuknya udara segar.

Beberapa waktu berjalan... tetap dalam keheningan... dan kegelapan... Mulailah Jaka Indi mengatur pernafasan dan latihannya....

"YA HAYYU YA QAYYUM, LAA ILAAHA ILLA ANTA" 

Entah sudah berapa lama Jaka Indi berada dalam peti, bahkan Jaka Indi sudah tidak begitu mengingatnya, tapi perkiraannya kemungkinan ini sudah masuk hari ketiga atau hari keempat... 

Lapat-lapat Jaka Indi mendengar suara gemericik air dan tercium aroma wangi yang aneh, semacam aroma yang memabukkan, yang belum pernah ia rasakan.

Sejak latihan meditasi yang diajarkan eyang Wicaksono, kemampuan kelima Indra dan ketajaman mata batin Jaka Indi berkembang pesat. Indra penciuman dan pendengarannya bisa mencapai jarak 1 km lebih, bahkan Jaka Indi bisa mengetahui kalau sumber aroma harum dan suara gemercik air, bersumber dari tempat yang sama. 

Entah kenapa setelah mencium aroma harum tersebut, ada dorongan yang kuat bagi Jaka Indi untuk mencari sumber suara air dan sumber aroma harum yang dirasakannya. Diiringi menggunakan tenaga dalam yang disalurkan pada kedua tangannya, dengan mudah Jaka Indi mendobrak tutup peti mati dan keluar dari dalam makam.

Saat itu waktu ashar telah berlalu. Jaka Indi mengibas-ngibas bajunya, untuk membersihkan debu dan sedikit tanah yang melekat di pakaian.

Tak tampak siapapun diarea tengah hutan jati tersebut, Bimo si bocah peri tampaknya juga belum hadir.

Kemudian Jaka Indi berlari ringan mengikuti arah sumber suara gemercik air dan aroma harum berasal.

Setelah melalui hutan jati, lalu melewati hutan pinus, entah hutan tumbuhan apalagi yang tak dikenali Jaka Indi, sampailah Jaka Indi di sumber gemercik air tersebut berasal.

Jauh didalam hutan perawan pegunungan kapila yang lebat, ternyata terdapat sebuah kolam kecil yang berair bening kehijauan, tampak kolam kecil itu mengeluarkan asap dan gemercik air serta uap panas.

Rupanya kolam kecil itu merupakan pemandian air panas belerang, yang mata airnya bersumber dari mata air Pegunungan Kapila.

Tak jauh dari kolam kecil terdapat satu bangunan rumah bambu kuning yang asri dan apik, yang dikelilingi oleh berbagai macam bunga yang sedang bermekaran, di depan rumah bambu terdapat anak kucing hutan kecil berwarna hitam dan berbulu lebat, yang tidur berbaring di beranda rumah.

Kolam pemandian air panas itu tidak dipagari oleh apapun, sehingga keadaannya terbuka dan terlihat jelas. Terlebih dari sisi Jaka Indi yang berdiri di atas salah satu dahan pohon dekat tepi kolam, dapat melihat kolam pemandian air panas tersebut dengan sangat jelas, tampak seorang gadis remaja jelita berusia sekitar enam belas tahun, berambut panjang keemasan sedang mandi di dalam kolam. 

Semula Jaka Indi mengira yang ada di kolam adalah seorang perempuan yang masih anak-anak, mengingat perempuan tersebut tingginya hanya sekitar 140 cm. tapi setelah diperhatikan bentuk tubuhnya serta raut wajahnya, ternyata ia adalah seorang gadis remaja bertubuh mungil.

Yang menarik perhatian Jaka Indi, bukan saja karena tubuh gadis yang mungil, serta parasnya yang cantik jelita, tetapi pada punggung gadis itu terdapat sayap transparan yang tak kasat mata, yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang biasa.

Ya... sayap eternal pada tubuhnya seperti sayap energi... hanya saja sayap ini bersifat permanen, semacam sayap yang terdapat pada sosok human angel.

Jaka Indi mengetahuinya saat gadis bertubuh mungil tersebut terbang melayang keatas, lalu turun menyelam kedalam kolam, kemudian melayang di udara, dan tegak berdiri di atas permukaan air kolam, dengan sayap transparannya yang mengembang dan tak hilang atau memudar sama sekali.

Hanya saja bila dilihat oleh orang biasa, gadis mungil tersebut layaknya wanita pada umumnya, tak akan terlihat sayap transparan yang dimilikinya.

Sungguh suatu sensasi tersendiri melihat gadis mungil yang cantik bak bidadari, dengan rambut keemasan, mata kebiruan, kulit kuning langsat, dalam keadaan tubuh polos serta sayap transparannya mandi di kolam dengan cara yang unik.

Gadis mungil itu mandi dengan riang gembira, kadang berdendang dan tertawa. Suara tawanya nyaring dan merdu merayu, jarang sekali ada orang memiliki suara yang begini merdu dan lem­but seperti apa yang dimiliki gadis itu.

Cukup mendengar dari suara tertawanya, bisa dibayangkan kalau wajahnya pasti can­tik jelita bak bidadari dari kahyangan.

Gadis mungil itu memang amat cantik. Tidak kalah cantik dari Dewi Yuna. Gadis mungil itu tegak berdiri di atas permukaan air dalam keadaan tanpa busana, bagian tubuh yang se­mestinya lang­sing ternyata memang tidak gemuk, bagian yang semestinya berisi, ternyata memang tidak kurus. Pada salah satu pergelangan kaki gadis itu mengenakan untaian rantai gelang emas. Ia memiliki potongan muka kuaci dengan alis mata tipis memanjang bagaikan semut beriring, bola mata yang berwarna biru, dan bulu mata yang lentik, serta sorot mata yang jeli laksana bintang timur, bibir merah kecil bagaikan delima merekah, sungguh suatu kecantikan yang dapat menggetarkan setiap lelaki yang memandangnya, apalagi dikala tertawa, ke­cantikannya sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Sayang tubuhnya mungil, coba kalau badannya sedikit lebih tinggi layaknya wanita pada umumnya, mung­kin akan jauh lebih memikat dan mempesona.

Namun... sekalipun badannya kecil mungil, tapi seluruh ukuran tubuhnya proposional. 

Sepasang mata Jaka Indi sampai melotot besar, dan biji matanya nyaris melompat ke­luar, menyaksikan tubuh polos yang indah menawan tersebut. 

Mendadak detak jantung Jaka Indi mulai berdebar keras dan nafas Jaka indi mulai terasa berat. Saat lapat-lapat mencium aroma harum semerbak yang berasal dari tubuh dara cantik tersebut. 

Sungguh aneh mengapa melihat tubuh gadis mungil tersebut dan mencium aroma harum, mendadak dapat membangkitkan birahinya. Sebenarnya dalam keadaan seperti ini, sehabis melakukan meditasi panjang, sungguh tiada seleranya menikmati kecantikan seorang gadis, tapi melihat gadis remaja telanjang bulat, yang sedang mandi dengan lekak lekuk badannya yang berisi, d**a yang bernas serta basah dengan hiasan butiran-butiran air terlihat gamblang di depan mata, mau tidak mau matanya jadi membelalak dan tergetar hatinya.

Begitu indah tubuh gadis mungil semampai yang halus putih itu, dengan sayap transparan yang membentang pada tubuhnya dan di bawah pancaran sinar sang surya yang mulai terbenam di ufuk barat, mirip dengan sebentuk patung dewi yang sempurna tiada cacatnya, butiran air yang berkilauan keperakan, jatuh berderet di atas wajah yang ayu, terus mengalir ke tubuh yang indah, berlanjut turun ke tengah dua bukit menonjol yang putih, lalu mengalir perlahan keperut dan...., menyusul suara tawanya yang semerdu kicauan burung, senyaring kelintingan, tak ubahnya laksana ratusan kuntum bunga yang sedang bermekaran.

Jaka Indi yang baru saja keluar dari siksaan derita di dalam latihan meditasi yang panjang, ditengah hutan belantara, dimana perut masih dalam keadaan kelaparan, mulut kekeringan, badan masih terasa letih, karena terpendam tiga harian didalam peti yang dikubur didalam tanah.

Setelah melalui hal itu, mendadak melihat adegan atau tontonan yang begini mengasyikkan, sungguh sukar dia percaya atas pandangannya sendiri, bahwa dirinya layaknya berada di sorga loka.

BERSAMBUNG
close