Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 25) - Jejak Panji Dewantoro


Kemudian Jaka Indi mengajak jalan Dewi Yuna melihat pekarangan rumah eyang Wicaksono, lalu mulai membicarakan pemandangan di kaki Pegunungan Kapila yang indah, asri dan damai, dan mengusulkan untuk memiliki tempat tinggal disekitar kaki pegunungan tersebut, hanya saja Dewi Yuna tidak setuju, karena dirinya lebih menyukai tinggal dilingkungan istana, dekat dengan bunda Ratu.

Saat Jaka Indi bersama Dewi Yuna kembali ke teras, ternyata eyang Ageng Wicaksono sudah duduk menunggu di kursi teras.

Dewi Yuna langsung menghampiri dan mencium punggung telapak tangan eyang Ageng Wicaksono dan memperkenalkan Jaka Indi sebagai suaminya, serta sedikit menceritakan leluhur Jaka Indi.

Sikap dan ekspresi eyang Ageng Wicaksono terlihat sedikit berubah, mengetahui Jaka Indi merupakan keturunan Ki Ageng Tarub, yang juga keturunan Bondan kejawen yang merupakan putra Prabu Brawijaya.

"Sepertinya diantara bibit, bebet, bobot, bibit atau keturunan dan budi pekerti, lebih memiliki keutamaan dikalangan alam astral. Berbeda dengan alam manusia saat ini, dimana bobot, yaitu harta dan kekuasaan, yang umumnya lebih diutamakan." Renung Jaka Indi dalam batin. 

Jaka Indi lantas mengamati eyang Wicaksono dan terkesima memperhatikan wajah eyang Wicaksono yang berwibawa dan nampak masih segar layaknya pria paruh baya. 

Sungguh tak menyangka pria berusia 1000 tahun lebih, tampilannya masih gagah dan masih seperti pria usia 40 tahun, hanya rambutnya saja yang telah memutih semua.

"Mengingat saat ini sudah waktunya makan malam, Kalau ada yang ingin diutarakan, disampaikan besok saja, sekarang kita makan malam dahulu, kemudian setelah itu Yuna dan Raden bisa beristirahat dikamar samping yang telah dipersiapkan Bimo muridku."

Lalu Eyang Wicaksono beranjak menuju ruang makan diikuti dewi yuna dan jaka indi, ternyata dimeja makan sudah ada Bimo bocah peri yang bantu menyiapkan sajian.

Selain menu sayuran dan buah-buahan ada pula ikan bakar dan nasi putih yang tersaji di atas meja, membuat Jaka indi merasa senang dan juga heran.

Saat diperhatikan ternyata eyang Wicaksono juga makan sedikit nasi putih dan ikan bakar. Jaka indi sebagai orang yang baru kenal walau merasa heran, tapi tak berani menanyakan hal itu, mengingat eyang Wicaksono hanya makan tanpa banyak bicara. 

Selesai santap malam, Dewi Yuna dan Jaka Indi menuju kamar peristirahatan.

Setelah menempuh perjalanan seharian penuh tubuhnya terasa penat dan lelah, karenanya mereka langsung menjatuhkan diri di atas pembaringan. 

Pembaringan yang bersih, empuk dan lembut, pembaringan ini juga membawa aroma harum tubuh Dewi Yuna yang berbaring disebelahnya. Seorang wanita peri yang halus, lembut dan harum... 

Setiap kali Dewi Yuna bertemu dengan Jaka Indi sekulum senyuman yang lebih manis dari gula akan menghiasi bibirnya.

Dengan lembut dipeluknya istrinya yang telah pulas lebih dahulu, kemudian rasa kantuk mulai datang hingga membuat Jaka Indi menguap panjang lalu hanyut dalam ke lelapan.

Udara pagi hari di kaki Pegunungan Kapila terasa lebih dingin, daripada udara pagi di paviliun Kaputran, namum tidak seperti biasanya Dewi Yuna kali ini bangun lebih pagi dari Jaka indi dan sudah tidak terlihat ada disisinya.

Jaka Indi segera keluar dari selimut tebal menuju kamar pemandian, seperti rutinitas biasanya setelah mandi... sholat... berzikir... lalu dilanjutkan meditasi. 

Cahaya matahari pagi mencorong masuk lewat celah jendela, hari ini udara cerah, angin berhembus lewat membawa bau harum bunga yang semerbak. 

Agak termanggu Jaka Indi memandang langit nan biru di luar jendela, akhirnya ia menghembuskan napas panjang seraya bergumam:

"Hari ini memang hari yang cerah!"

Baru saja mulai menikmati suasana pagi, Dewi Yuna sudah masuk kedalam kamar dan meminta Jaka Indi untuk sarapan pagi bersama, rupanya Dewi Yuna bangun pagi sekali, karena membantu eyang ageng Wicaksono dalam menyiapkan sarapan pagi.

Sarapan pagi kali ini tidak terlihat Bimo, kata eyang Wicaksono Bimo kalau pagi hari suka mandi dan meditasi di air terjun yang tak jauh dari Pesanggrahan. 

Selesai sarapan, dan masih duduk bersama dimeja makan, eyang Wicaksono mulai membuka percakapan. 

"Raden...! Hal apakah yang ingin Raden ketahui atau yang bisa kubantu ?"

"Saya ingin mengetahui keberadaan kakakku Panji Dewantoro, eyang, yang melakukan perjalanan ke negeri astral, tapi sudah dua tahun lebih belum kembali, barangkali eyang bisa memberi petunjuk kemana sebaiknya aku mencari," 

Eyang Wicaksono terdiam sejenak, kemudian tangannya mengambil sebuah buku dari tumpukan buku yang ada di atas rak meja, dari tampilan bukunya seperti buku nama-nama tamu yang hadir.

Setelah memeriksa sesaat, eyang Wicaksono kembali bicara. 

"Sebenarnya tidaklah banyak manusia yang pernah melakukan perjalanan ke alam astral, khususnya ke negeri para peri ini, yang Raden cari itu apakah seorang pemuda berkulit sawo matang, berbadan tinggi langsing, rambut hitam sebahu dan memakai udeng bali ?"

"Benar eyang! Itu kakak seperguruanku, Ia memang senang memakai ikat kepala khas bali dengan corak batik." Jawab Jaka Indi dengan antusias.

"Aku ingat kakakmu mas Panji memang pernah berkunjung kemari, meminta petunjuk alamat dan minta dibuatkan peta, hanya saja, melihat perisai energi yang Raden miliki saat ini, aku belum bisa memberitahukan keberadaannya, dikarenakan bila Raden menyusul mencarinya, maka dengan ilmu yang Raden miliki sekarang ini, belum cukup untuk melindungi diri Raden dalam kemungkinan menghadapi berbagai bahaya."

"Lantas apa yang sebaiknya mas Jaka lakukan eyang" sela Dewi Yuna memotong percakapan.

"Raden bisa tinggal disini dua sampai tiga minggu, untuk meningkatkan kemampuan daya tahan tubuhnya dan juga keahlian bela dirinya. 
Aku akan membantu mengajarkan dasar-dasar latihannya." 

"Tapi kamu Yuna, tidak boleh berada disini selama Raden latihan, karena keberadaan wanita dapat mengganggu konsentrasi latihannya." 

Jaka Indi juga menyadari, bagi siapa yang ingin belajar berbagai ilmu, atau atau menjadi seorang ahli beladiri, maka dia mesti lebih menitik beratkan pada mempelajari tenaga dalam dan memperkuat perisai energinya sebagai pondasi awal terlebih dahulu.

"Bagaimana, apa sanggup," Ucap eyang Wicaksono sambil menatap Jaka Indi dan Dewi Yuna.

"Sanggup eyang." Kata Jaka Indi dengan mantap.

"Ijin sebentar eyang." Ucap Yuna, sambil menarik tangan Jaka Indi menuju kamar. 

"Mas Jaka ini bagaimana sih, 'gak tanya-tanya main sanggup saja. Latihan yang diberikan eyang Wicaksono itu sangat sulit dan berat, bahkan para peri yang pernah berguru banyak yang tidak sanggup, apalagi mas Jaka yang bukan dari kalangan peri." Seketika Jaka Indi memeluk Dewi Yuna, sambil mengelus punggungnya,

"Tak apa-apa, gak usah merasa cemas dan khawatir, eyang Wicaksono hanya akan mengajarkan dasar-dasarnya saja, berarti hal itu tidak akan terlalu sulit, semisal nanti dalam perjalanannya aku tidak sanggup, aku akan mengundurkan diri dari latihan. Oh...iya... Ini uang dan plakat emas yang waktu itu kamu titipkan, aku kembalikan lagi." Kata Jaka Indi sambil mengeluarkan buntalan berisi kepingan emas dan perak, serta plakat emas bergambar tiga kuntum bunga wijaya kusuma.

"Gak usah dikembalikan, itu buat keperluan mas Jaka," kata Dewi Yuna menolak keras pengembalian barang miliknya.

"Ya... sudah... kalau itu sudah menjadi ketetapan mas Jaka, selama menjalani latihannya... hati-hati ya mas."

"Dalam tiga minggu mendatang aku akan kembali kesini." Sambil mengecup pipi Jaka Indi lembut.

Kemudian mereka bersama, kembali menemui eyang Wicaksono sekalian Dewi Yuna pamit, dan meminta eyang Wicaksono untuk berkunjung ke istana bila ada waktu luang.

BERSAMBUNG
close