Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 23) - Telaga Kuning


"Mas Jaka tidak lama lagi kita akan sampai di telaga kuning, bagaimana kalau nanti kita istirahat sejenak, sebelum melanjutkan ke Pegunungan Kapila."

"Okay... siiip....!" Kata Jaka Indi sambil mencium pipi Dewi Yuna, disaat Dewi Yuna bicara dengan memalingkan wajahnya. 

Beberapa waktu kemudian sampailah mereka di telaga kuning, sebuah telaga yang cukup luas dan airnya terlihat jernih, serta disekitar telaga banyak ditumbuhi pepohonan rindang, dengan sebagian pohon yang tampak daunnya mulai berwarna kuning karena mengalami keguguran.

Pantulan sinar matahari dan pantulan sebagian besar daun yang mulai berwarna kekuningan pada permukaan air telaga, memberi efek warna kekuningan. 

Sementara di atas telaga kuning banyak burung yang seperti burung belibis berterbangan. 

Setibanya di tepi telaga kuning Jaka Indi dan Dewi Yuna melompat turun dari kuda unicorn yang mereka kendarai. 

"Mas Jaka, tunggulah didekat batu itu, aku mau cari beberapa buah-buahan sebentar." Ucap Dewi Yuna sambil menunjuk sebuah batu besar dengan permukaan datar yang terdapat persis ditepi telaga kuning. 

Kemudian Dewi Yuna mengambil busur kristal dan anak panahnya, lalu pergi berlalu dari pandangan Jaka Indi menuju hutan kecil yang tak jauh dari telaga kuning.

Jaka Indi berjalan menuju pinggiran telaga kuning, terlihat beberapa ikan yang cukup besar berseliweran ditepi telaga. Dengan menyalurkan hawa murni pada telapak tangan kanannya, kemudian Jaka Indi menepuk permukaan air telaga, ikan-ikan yang ada disekitarnya langsung muncul kepermukaan seperti dalam keadaan mabuk, dengan mudah Jaka Indi mengambil dua ekor ikan yang gemuk dan besar.

"Alhamdulillah...., setelah sekian lama hanya makan buah, sayur dan bubur sarang walet, akhirnya bisa juga makan ikan," Ujar Jaka Indi dalam hati dengan perasaan senang. 

Setelah itu Jaka Indi mulai mengumpulkan ranting dan beberapa rumput kering, dengan menyalurkan energi panas pada rumput kering yang ada di genggamannya, perlahan rumput tersebut mulai mengeluarkan asap dan terbakar, lalu Jaka Indi meletakkan rumput kering yang mulai terbakar di atas telaga tumpukan ranting kayu kering yang telah disusunnya.

Api unggun telah mulai menyala, ikan yang dipanggang juga sudah mulai matang dan mengeluarkan aroma yang harum tapi Dewi Yuna belum juga datang, jauh diujung seberang telaga terdapat 6 atau 7 peri wanita yang juga sedang bersantai ditepi telaga, dari potongan busananya seperti dari peri kalangan rakyat biasa.

Tak lama Dewi Yuna datang kembali dengan membawa buah-buahan serta beberapa jenis bunga serta dua buah kelapa muda yang cukup besar.

"Lho... mas Jaka suka ikan ya...!?" Ujar Dewi Yuna, sambil meletakkan barang bawaannya dekat api unggun.

"Iya... ini aku masak dua dan satunya lagi buat kamu," Kata Jaka Indi sambil menyodorkan ikan yang sudah matang. Sementara Jaka Indi mengambil satu sisanya dan mulai menyantapnya.

"Ah... mas Jaka masa lupa, kalau kami para peri hanya makan buah dan bunga tertentu saja." ujar Dewi Yuna seraya menyantap beberapa bunga cempaka putih yang didapatnya.

"Kalau daging burung mas Jaka suka 'gak?" Tanya Dewi Yuna dengan menunjuk burung belibis yang banyak berterbangan di atas dan disekitar telaga kuning.

"Iya suka..., kami para pria dari kalangan manusia umumnya lebih menyukai daging, sedang buah dan sayuran lebih banyak disukai kaum wanita." jelas Jaka Indi dengan tawa renyah.

Oooh..., kemudian Dewi Yuna mengambil busur dan anak panahnya, dengan membidik kearah burung belibis yang sedang terbang di atas dan hanya sekali melepas anak panah burung belibis yang berada tinggi di atas langsung jatuh didekat mereka, karena terkena sasaran anak panah.

"Ternyata kamu mahir memanah ya...."

"Aku teringat di Danau Asmoro, ada seorang gadis yang juga mahir memanah...," belum selesai Jaka Indi melanjutkan kalimatnya. Dewi Yuna yang sedang membersihkan bulu burung belibis, tiba-tiba telah memotong kalimatnya...

"Aku adalah pemanah yang terbaik di negeri ini, dan juga terbaik dalam bela diri tangan kosong, dalam usia sembilan tahun dan selama tiga tahun berturut-turut, tidak ada satupun yang dapat mengalahkan ku, kemudian aku tidak lagi mengikuti lomba yang diadakan di Danau Asmoro." Tuturnya dengan senyum bangga. 

Lalu Dewi Yuna mulai memanggang daging burung belibis yang telah di bersihkannya. 

Jaka indi hanya menatap istrinya dengan sorot mata kagum dan senyum simpul..

Setelah makan dua ekor ikan dan satu burung belibis serta minum air kelapa muda, perut Jaka Indi merasa sangat kenyang, dan seperti kebanyakan manusia indonesia umumnya, bila perut kenyang terisi, justru rasa kantuk giliran mulai datang. 

"Yuna aku tiduran sebentar ya..." Kalau kamu sudah mau melanjutkan perjalanan kembali, aku dibangunkan saja," Kata Jaka Indi yang mulai merasakan kantuk yang sangat dan sambil menguap lantas merebahkan tubuhnya di rerumputan tebal di tepi batu besar.

Apa yang diucapkan Dewi Yuna, bahkan Jaka indi sudah mulai tidak dapat lagi mendengarnya dengan jelas... karena dirinya sudah mulai tertidur pulas...

zzzZzzz.... zzzZZZzz.... Zzzzz zzzz Zzzz....

Entah sudah berapa lama Jaka Indi tertidur, perlahan Jaka indi mulai tersadar kembali, lamat-lamat terdengar suara gemercik air dan suara dendang lagu indah layaknya suara senandung surga. 

Nyanyian itu terasa merdu, suaranya lembut dan enak didengar, membuat siapapun yang mendengarnya seolah terbuai ke alam impian yang indah. Jaka Indi belum menyadari, apakah dirinya sedang berada di alam impian ataukah berada di alam kenyataan.

Akhirnya Jaka Indi membuka matanya, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit biru yang cerah dengan beberapa burung putih yang berterbangan. Sampai saat ini Jaka Indi belum juga mengingat sedang berada dimanakah dirinya.

Saat ia menengok ke kiri, dilihatnya padang rumput yang terhampar luas dengan beberapa pohon rindang dan bunga warna warni yang indah, seolah menciptakan tempat bernaung yang indah nan romantis.

"Aneh ..!? Siapakah yang membawaku kesini? Tempat apakah ini? Siapa pula yang membaringkanku di rerumputan dan di taman yang indah ini?" 

Kemudian Jaka Indi mulai memalingkan wajahnya ke sebelah kanan, disitu terbentang sebuah telaga yang jernih dengan terlihat beberapa angsa berenang ditengah telaga.

Mendadak Jaka Indi melenggong bengong, kiranya ia melihat seorang nona yang sangat jelita, berambut hitam lurus panjang sepunggung, dengan tubuh putih mulus dalam keadaan telanjang bulat sedang bermain air di telaga sana, sambil mendendangkan sebuah lagu.

Gadis yang berenang dan bermain di telaga itu perlahan menuju tepi telaga lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar telaga. Jaka Indi pada dasarnya adalah pemuda yang alim, tapi disuguhi tontonan yang merangsang ini, mau tak mau matanya menatap tanpa berkedip dan dadanya berdebar-debar kencang.

Gadis telanjang itu tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang mengawasi tubuhnya yang molek yang dalam keadaan bugil itu.

Ia masih bernyanyi kecil dan berjalan perlahan keluar telaga. 

Rambutnya yang basah terurai dan tubuhnya yang mulus tampak berkilau terkena cahaya sinar matahari, serta wajahnya yang sangat jelita.

Membuat Jaka Indi merasa yang dilihatnya adalah bidadari yang sedang keluar dari telaga.

Sesaat anak dara cantik itu, seperti menyadari sesuatu, lalu tatapannya beralih melihat ke Jaka Indi, dan saat mendapati Jaka Indi sedang menatapnya dengan mata membelalak. 

Tiba-tiba anak dara cantik jelita itu berseru dengan kegirangan, 

"Ooh.. mas Jaka sudah sadar kembali," Dengan antusias dan sangat gembira anak dara cantik itu berlarian menghampiri Jaka Indi. 

Mata Jaka Indi semakin terbelalak lebar, betapa tidak ia saksikan gadis jelita yang bertelanjang bulat itu menghampiri dirinya semakin mendekat, sehingga semua bagian sensitif dari tubuh polosnya terpampang jelas, terutama d**a ranumnya yang berguncang lembut.. disaat anak dara itu berlari, pahanya yang putih mulus, pinggulnya yang bulat, perutnya yang langsing, dan.... Anak dara jelita tersebut tidak terlihat sedikit pun merasa jengah dan rikuh saat menghampiri Jaka Indi dalam keadaan telanjang bulat. Bahkan ia tertawa riang dan terlihat antusias mendekati Jaka Indi. 

Dalam keadaan masih tanpa busana dara cantik itu mengusap wajah dan kening Jaka Indi, dengan telapak tangannya yang halus dan lembut.

Jaka Indi dapat melihat wajah cantik dara tersebut, seperti pernah mengenalnya, tapi masih belum bisa mengingatnya. d**a yang ranum dengan p****g kecil kemerahan dari gadis jelita tersebut saat ini persis berada didepan wajah Jaka Indi, membuat jantung Jaka Indi semakin berdebar keras.

"Mas Jaka, kamu habis keracunan, dan sudah seharian ini tak sadarkan diri, karena keracunan ikan wulan wiru yang mas makan, ikan wulan wiru sepintas serupa dengan ikan mas biasa, tapi kalau diperhatikan pada sirip dan ekornya berwarna kebiruan, tetapi kalau sudah dipanggang akan tampak sama seperti ikan panggang umumnya, jadi aku tadi kurang memperhatikannya." Kata dara cantik itu dengan tangan lembutnya masih mengusap pipi dan kening Jaka Indi. 

"Melihat Jaka Indi yang masih melongo dan mendelong menatap dirinya..."

Dara jelita itu membentangkan tangannya lebar-lebar lalu menjatuhkan dirinya kedalam pelukan Jaka Indi dengan kemanjaan, 

"Oouh.... Mas Jaka... sayang,. Akhirnya kamu sadar kembali." serunya dengan nada gembira. 

"Tahukah mas Jaka, kalau, sudah seharian aku disini menemanimu yang dalam keadaan tidak sadar."

"Mulai sekarang jangan makan sembarangan." 

"Untung... saja... mas Jaka sudah minum air keabadian... Kalau tidak....belum lama nikah bisa-bisa aku jadi rondo teles..." Kata dara jelita itu sambil tertawa geli.

Perlahan ingatan Jaka Indi mulai pulih. Ia mulai ingat bahwa dirinya sedang melakukan perjalanan ke alam astral, dan dara jelita yang ada di pelukannya adalah Dewi Yuna yang merupakan istrinya.

Ia juga menyadari kalau kaum peri memiliki adat istiadat yang berbeda dengan manusia.

"Yuna segeralah berpakaian. Tidak baik kalau ada yang melihat kamu dalam keadaan seperti ini." Ucap Jaka Indi seraya mengelus punggung istrinya yang halus licin dengan lembut.

"Kenapa harus berpakaian, aku dari kecil biasa mandi di danau seperti ini, dan lagi, disini jauh dari perkampungan penduduk, kalaupun ada yang kesini, paling-paling hanya peri wanita yang ingin mandi di telaga kuning ini." Katanya dengan tubuh masih berbaring di pelukan Jaka Indi.

Jaka Indi mendorong bahu Dewi Yuna secara perlahan kesamping. Kemudian bangkit dari posisi rebahnya. 

Bagaimanapun kamu sudah bukan anak-anak lagi, ayo kenakan pakaianmu,

"Aku lapar nih..." kata Jaka Indi.

"Oh iya sudah seharian mas Jaka tidak sadarkan diri, sudah tentu mas Jaka lapar," kata Dewi Yuna sambil menepuk keningnya.

Lalu Dewi Yuna bangkit segera mengenakan pakaiannya, dan mulai menyiapkan beberapa buah-buahan untuk dimakan mereka bersama. Setelah menghabiskan semua hidangan, kemudian Jaka Indi sholat dan berzikir sebentar... 

Berikutnya mereka mulai melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini Jaka Indi yang berada didepan, Dewi Yuna duduk dibelakang sambil memberi petunjuk arah jalan. 

"Yuna...! Mengapa aku makan ikan wulan wiru aku bisa pingsan tak sadarkan diri ??" Tanya Jaka Indi pada Dewi Yuna dengan rasa heran...

"Itu karena racun ikan wulan-wiru sangat kuat, dan mas Jaka memasukkan racun dengan mengkonsumsinya langsung, apalagi makan dua sekaligus, tapi ini juga karena proses metabolisme tubuh mas Jaka dalam melakukan regenerasi sel belum sepenuhnya berjalan sempurna, nanti kalau sudah tiga atau empat pekan, baru mas Jaka akan sepenuhnya kebal racun." Terang Dewi Yuna.

"Apakah semua para peri kebal racun ?" Tanya Jaka Indi lebih lanjut. 

"Umumnya para peri kebal racun, namun untuk jenis racun yang berbahaya, seperti racun yang dapat langsung menyerang hati, dapat mengakibatkan kematian bagi para peri. 

Tapi selama bukan jenis racun yang mematikan, bila sampai para peri terkena racun, lambat laun racun yang ada pada diri para peri bisa hilang dengan sendirinya. Kecuali kakakku Dewi Rheena, ia kebal segala jenis racun.

"Apa mas Jaka tidak apa-apa, belum lama sadar sudah melakukan perjalanan kembali." tanya Dewi Yuna dengan perasaan khawatir dan tangan memeluk mesra pinggang Jaka Indi.

"Tidak apa-apa..., keadaanku sudah sehat seperti sedia kala..."

Melihat kondisi pemandangan negeri suralaya yang dipenuhi rumput hijau dan tumbuh-tumbuhan yang membentang luas, tidak ada kemacetan kendaraan, tidak ada gedung-gedung pencakar langit, dan banyak kondisi alam yang masih alami dan perawan, membuat Jaka Indi merasa betah menikmati perjalanannya.

Rasanya berbeda sekali dengan tinggal di Jakarta, yang terasa sumpek, padat, dan serba macet.

"Yuna, berapa lama lagi kah kita sampai di Pegunungan Kapila ?" 

"Sebelum sore hari kita sudah akan tiba disana." Ujar dewi Yuna sambil menyandarkan wajahnya dipunggung Jaka Indi.

Seharian tanpa tidur karena menjaga Jaka Indi yang tidak sadarkan diri, membuat Dewi Yuna mulai merasa mengantuk.

BERSAMBUNG
close