Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TRAH KARTO SURO


Sumardi tertegun saat  sudut matanya menangkap satu sosok yang tengah jongkok, terlihat jelas bagian punggung yang ditumbuhi bulu hitam lebat.

Sesaat Sumardi terdiam tidak bergerak deru nafasnya memburu tak beraturan, sebuah tarikan nafas panjang dilakukan Sumardi dan perlahan bergerak mendekati satu sosok berbulu hitam yang tengah berjongkok, tangan kanan-nya bergetar saat mengarahkan Lampu Senter kearah sosok itu, butuh waktu bagi Sumardi untuk mengumpulkan keberanian guna menyalakan lampu senternya dan "klik" satu suara  dari tombol lampu senter berbarengan dengan cahaya terang benderang yang menerangi tempat di mana sosok hitam itu tengah jongkok.
...

"Grrrrrhhhh" suara geraman terdengar seiring dari sosok hitam yang berbalik badan.

Mata Sumardi seakan meloncat keluar tatkala melihat sosok yang berbalik badan, mulut Sumardi menganga beserta telunjuk jarinya yang mengarah pada Sosok Hitam, terlihat dengan jelas kedua mata makhluk itu merah menyala serta sepasang tanduk yang bertengger di kepalanya.

Kedua tangan makhluk itu menggenggam sesuatu dan menjilatinya, sementara itu terlihat jelas bibir dari sosok hitam itu berwarna merah, darah.

"Han...hantu..." Teriak Sumardi lalu tubuhnya jatuh menyentuh tanah.

"Grhhhhhh" makhluk hitam bertanduk kembali keluarkan suara geraman seiring langkah berat dari kakinya yang mendekati tubuh Sumardi.

Jari tangan makhluk itu berusaha untuk mencengkram leher Sumardi, sementara tangan yang satunya melempar sebuah benda putih yang sedari tadi di genggam dan dijilatinya.

"Pluuk" benda itu jatuh cukup jauh, benda putih itu terlihat ada noda darah yang mana semenjak tadi di dijilati makhluk itu, benda itu tiada lain adalah sebuah pembalut wanita yang biasa digunakan saat datang bulan.

Sebuah kilatan cahaya, menyambar sosok hitam dimana jemari tangan besar serta berkuku tajam hendak mencengkram leher Sumardi.

"Siapa itu...?" Satu suara bertanya seraya menyorotkan cahaya lampu senter ke arah makhluk tinggi besar berbulu hitam.

"Grhhhh...," Makhluk itu kembali keluarkan geraman seraya menyeringai menunjukan sepasang taring di atas dan bawah barisan giginya.

"Astagfirullah... Astagfirulah..." Teriak Paimin tatkala melihat wajah sosok hitam, langkahnya surut beberapa langkah dengan tubuh yang bergetar.

"Grrhhh..." Kembali geraman dari makhluk itu terdengar seiring dari tubuh makhluk itu yang membalikan badan dan menghilang menyisakan kepulan asap hitam pekat yang terus berputar dan membungbung keatas lalu melesat ke arah sebuah pohon Beringin besar yang berdiri tegak tidak jauh dari fasilitas umum atau fasum Warga.

Cerita kemunculan sosok hitam yang tengah menjilati pembalut akhirnya menjadi buah bibir Warga komplek perumahan yang dijaga oleh Sumardi dan Paimin.

"Bagaimana kalau untuk malam selanjutnya.. ada beberapa warga yang ikut untuk berjaga secara bergantian setiap malamnya untuk menemani bapak-bapak penjaga malam ini.." usul Pak Rt membuka pembicaraan pagi itu di teras Fasum.

"Kemunculan Sosok itu, selalu pada malam malam tertentu.. jadi hal ini bersangkutan dengan hal yang berbau mistis.. hal ini harus di tangani oleh seseorang yang mengerti tentang hal mistis..." timpal pak Basimin.

"Untuk memastikan hal itu, tidak ada salahnya kita mengundang Mbah Diro.. beliau sangat faham.." usul Pak jo.. yang menjabat sebagai bendaraha Rt.

"Aku Mbah Diro... datang kemari untuk mengundangmu.. angger Buto Dendo.." batin mbah Diro, sesampainya di bawah pohon beringin tua yang tumbuh tidak jauh dari fasilitas umum warga.

Terlihat Paimin duduk dibelakang tubuh mbah Diro,malam itu.

"Min.. kamu mau lihat sosok kemarin yang menampakan diri..,"  Ujar mbah Diro setengah berbisik.

"Cukup sekali.. mbah, ngeri.. mbah" balas Paimin.

"Ya sudah kalau gitu" jawab Mbah Diro seraya menaburkan kembang telon dan komat kamit membaca mantra pemanggil.

"Klotak..klotak.." sebuah peti kayu kecil bergetar serta berguncang menimbulkan suara cukup keras hingga tak ayal membangunkan sosok laki-laki sepuh yang tengah tertidur.

"Ada apa denganmu.. ngger..." Ucap sosok tua yang bisa dipanggil Uyut Sepuh seraya beringsut bangun dan membuka pintu lemari tua.

Tangan keriput Uyut Sepuh meraih peti kayu kecil yang sedari tadi terus berguncang menimbulkan bunyi, "klatak kletok."

"Tenang.. tenang.. ngger.." ujar Uyut Sepuh sambil mengelus ngelus penutup peti kecil dan kemudian bibir Uyut Sepuh terlihat bergerak membaca sesuatu.

Perlahan-lahan dibukanya penutup peti kayu kecil ukiran dan dari bentuknya peti kayu kecil itu terlihat sangat Antik dan Langka.

Saat penutup peti kayu kecil terbuka, terlihat dalam peti satu sosok kecil terbaring dengan bagian mata tertutup kain merah, sementara dua tangannya bertumpuk di atas perut dengan ujung kuku runcing berwarna hitam, selain itu dari mulut makhluk kecil dalam peti menyembul sepasang taring, menyeringai.

"Grrrhhh... Uyut.. ada yang mengusik keberadaanku.. di Beringin itu..." 

"Ngger..ngger.. Uyut juga merasakan, kamu tenang saja ngger.. kita lihat sampai dimana Si Diro mampu mengusik dirimu.." jawab Uyut Sepuh.

"Aku Buto Dendo akan memberi pelajaran pada orang yang telah berani mengusik ketenanganku.. Uyut." 

Tidak lama kemudian kain penutup mata makhluk kecil yang terbaring dalam kotak peti terbuka dengan sendiri dan satu cahaya merah melesat keluar.

"Jangan.. jangan.. ngger.." teriak Uyut sepuh, tapi sudah terlambat cahaya merah telah melesat keluar dari kamar Uyut Sepuh

"Celaka...." Gumam Uyut Sepuh seraya bersila dan merapatkan kedua telapak tanganya depan dada.

Uyut Sepuh merapatkan kedua telapak tangan depan dada, mulutnya  bergumam membaca mantra pemanggil

"Balik.. balik.. ngger..."

"Mbah... mbah..." Bisik Paimin saat merasakan deru angin yang sangat kencang.

"Diam.. kamu.. Min.. tak lama lagi makhluk itu akan datang kemari, tahu.." hardik Mbah Diro tanpa menoleh ke arah Paimin.

"Waduh... ketemu maning.." gumam Paimin.

"Diam.." kali ini Mbah Diro membentak seraya mengusap wajah Paimin.

Tidak lama setelah wajahnya di usap Mbah Diro, Paimin merasakan kantuk yang mendera dan ambruk tertidur.

"Kamu tidak akan melihat makhluk itu dan tidak akan pernah tahu apa yang terjadi malam ini.. Min." ujar mbah Diro

"Manusia.. ada keperluan apa? Engkau mengundangku..?"  Terdengar satu suara yang datang dari bagian atas pohon beringin tua yang berbatang besar.

"Ngger.. Angger.. Buto Dendo, wujudkan dirimu..? dihadapanku" balas mbah Diro.

"Manusia bodoh yang sok pintar, buka matamu lebar-lebar.. kalau kamu bisa melihatku berarti kamu manusia yang layak aku jumpai.. hahahaha..." Balas Buto Dendo diakhiri suara tawa yang bergema.

"Aku memang bodoh.. dan biarkan yang bodoh ini mencongkel dua bola mata merahmu yang menyala itu untuk kujadikan mainan buat  cucuku.. hehehe.." balas mbah Diro dengan nada datar.

"Kurang ajar manusia tua ini, apakah manis-kata katamu, semanis darah merah yang mengalir dalam tubuhmu? Grrrhhhh.." 

"Darahku tak semanis madu, tapi setidaknya bisa menghilangkan dahaga yang menderamu.." 

"Kurang ajar.. kamu menantang Buto Dendo penguasa hutan Kali Wungu"

"SeParuh hidupku telah habis untuk menelusuri tempat-tempat Wingit sepanjang pulau jawa, jadi tidak sedikitpun aku untuk takut dengan penguasa Hutan Kali Wungu, apa lagi dengan sebangsa Denawa seperti mu..."

"Grrrhhhhh..." Geraman Buto Dendo terdengar seiring kibasan tangannya yang menghasilkan angin yang menderu menerpa tubuh mbah Diro.

Sementara itu mbah Diro tetap bersila dengan posisi tangan yang terlipat depan dada, rambut panjang putih mbah Diro tampak berkibar diterpa angin kibasan Buto Dendo dan sesekali terdengar dengkuran dari Paimin yang tidak merasakan deru angin dan terlihat semakin pulas Paimin tertidur.

Merasa serangannya tidak membuahkan hasil, Buto Dendo kembali menyerang dengan mengubah diri menjadi asap hitam pekat yang menyelimuti tubuh mbah Diro.

Serangan kedua dari Buto Dendo kali ini, tak ayal membuat mbah Diro merasakan sesak dan membuatnya membuat sebuah gerakan dengan secara langsung merentangkan kedua tanganya.

"Lebur rogo.. sirno jiwo.."  teriak mbah Diro.

Asap pekat yang menyelimuti tubuh mbah Diro menipis seiring kemunculan cahaya kuning yang keluar dari tubuh mbah Diro.

"Buto Dendo.. hanya ini kemampuan mu.." tantang mbah Diro.

Tiba-tiba asap hitam pekat yang menipis kembali bergulung dan membentuk garis dengan ujung lancip menembus cahaya kuning yang membungkus tubuh mbah Diro tanpa disadari mbah Diro.

"Ughh...heik.." mbah Diro tertahan dengan deru nafas turun naik, sebuah serangan yang membuat mbah Diro terluka dalam bersama muntahan darah segar yang keluar disela sudut  bibir laki-laki tua yang bertarung dengan penguasa hutan Kali Wungu.

"Hahahaha... kakek bodoh.. tak lama lagi akan aku rasakan segarnya darah manusia yang tengah sekarat.."

"Gawat..." Gumam mbah.

"Gawat.. celaka, makhluk ini sangat berbahaya.." batin Mbah Diro seraya mencabut keris yang terselip di pinggang belakang.

"Geni manjing jero bumi.. geni metu seko Garba, balik rogo balik roso.. maujud ing sajati.. maujud.. maujud.. maujud.. sajatine rogo.. maujud rogo badagmu.. Kolo Dendo.. sabangsaning denowo..."  Ucap Mbah Diro seraya menancapkan  keris di atas tanah.

Tak lama kemudian dari dalam tanah mengepul asap pekat hitam kemerahan dan kepulan asap berputar bak puting beliung.

"Wussssshhhh.." kepulan asap  menghilang dan di atas tanah tergeletak sosok kecil yang sebelumnya terbaring dalam kotak kayu berukir.

"Betoro kolo.. ini akhirnya dapat aku taklukan dan tidak ada salahnya aku bawa pulang untuk aku sempurnakan agar menjadi pembantu setiaku... hahahaha..." Lantang suara mbah Diro memecah keheningan seraya mengulurkan tangan untuk meraih "Betoro kolo atau Betara Karang, wujud nyata dari penguasa hutan Kali Wungu."

Sesaat sebelum jemari tangan Mbah Diro meraih "BAtara Karang" satu kelebatan cahaya perak terlihat menyambar tangan Mbah Diro.

"Kurang ajar..." Pekik Mbah Diro sambil menarik mundur pergelangan tangannya.

"Suuuiuut..." Cahaya perak menebas angin.

"Jangan pernah menyentuh apalagi berkeinginan untuk mengambil ingon-ingon (peliharaan) orang lain, Diro..."

"Akhirnya pemilik makhluk ini keluar dengan sendirinya.. hehehe dan caraku memancing dirimu keluar berhasil juga.. dan ternyata dugaanku tidak meleset.. kamu memang Karto Suro.. hahahaha.."

"Diro Sumpeno... bagus kau mengenalku dan setelah tahu ada baiknya cepat pergi dari sini jangan pernah mengusik aku dan peliharaanku apalagi berniat untuk memilikinya, faham.." bentak Karto Suro alias uyut sepuh.

"Hahhahahahaaha... Suro.. Suro... watakmu.. tak berubah, gampang naik darah dan galak..." balas mbah Diro.

"Jika kamu faham watak ku.. sebaiknya cepat enyah dari hadapanku sebelum aku menebas batang lehermu.." ujar Karto Suro sambil mengarahkan mata pedang ke arah Mbah Diro.

"Hmmm.. entah bagaimana caranya kamu.. bisa memiliki pedang itu Suro.. tapi aku tahu sepak terjangmu di dunia spritual dan tapa semedi mu.. selama ini hingga memiliki senjata ampuh dan berbagai mustika, aku tidak akan datang lagi dan mengusik dirimu.. jika kamu tidak membiarkan peliharaanmu berkeliaran serta menakuti warga sekitar, selama ingon-ingon mu berkeliaran maka selama itu akan menjadi urusanku bahkan aku tak segan-segan untuk membakar peliharaanmu.. dengar itu Karto.."

"Halahhh.. banyak bacot kau Diro.." sergah Uyut Sepuh sambil mengerakan tanganya.

"Wurrr..." Gerakan tangan Uyut Sepuh menaburkan semacam serbuk kearah mata mbah Diro.

Mbah Diro yang sedari tadi siaga dan waspada langsung meloncat menghindar dari serangan gelap Karto Suro.

"Licik.. kamu Suro.." gerutu mbah Diro.

Namun suasana hening tanpa jawaban, mbah Diro mengibas ngibaskan tangannya untuk menghalau serbuk putih yang di sebarkan Uyut Sepuh.

"Kabur dia.." batin mbah Diro sesaat setelah melihat keadaan dan sosok Betoro Karang telah raib.

"Nger.. nger... kita akan membuat perhitungan dengan dia.. cepat atau lambat.. dan orang yang pantas untuk melakukan perhitungan itu adalah TRAh dari Karto Suro...
Nantikan saja akan datang tanggal mainnya dari perhitunganku.. bangun... bangun.. nger... bangun nger... belum saatnya kamu Moksa Nggerrr..."

Betoro karang itu hanya diam, matanya terpejam tanpak cahaya merah yang menyala, rambutnya yang panjang kini membalut seluruh tubuh Batara Karang, sepasang taringnya kini patah sementara itu kain merah penutup raib entah kemana...

"Diro.. kamu membuat aku harus kembali ke hutan Kali Wungu.. untuk mengambil isi dari jasad Betoro Karang.. kurang ajar kamu Diro, kau buat isi dari jasad Betoro karang itu kembali ke asalnya.. kamu sudah menghina Karto Suro.. Dirooooo... tunggu pembalasanku.." teriakan uyut sepuh membahana.

"Karto Suro... aku tahu, apa yang akan engkau lakukan dan sebelum engkau dapat mengambilnya kembali, aku harus mendahuluinya atau aku akan berada dalam posisi berbahaya.." Gumam Mbah Diro seraya menutup pintu gubuknya yang mengeluarkan suara berderit.

Tangan kanan mbah Diro menyingkapkan tirai penutup pintu kamar lalu di hempaskan dirinya di atas balai Bambu dan segera duduk bersila dengan mata terpejam serta kedua tangan yang bertumpu pada lipatan kaki yang bersila.

"Diro...Diro.. kamu pikir bisa mendahuluiku.. kita lihat saja nanti.." ucap Uyut Sepuh sambil menaburkan bubuk kemenyan pada nyala bara api dalam dupa, seiring bibirnya yang komat kamit membaca Mantra.

"Manjing... manjing.. mabur melu angin.. puah.. puah.."  ucap uyut sepuh sambil meludahi telapak tangannya dan tak lama kemudian dalam telapak tangan yang di ludahi terdapat satu Keris berukuran kecil dengan gagang keris berbentuk kepala ular.

"Mabur.. kowe.. bunuh si Diro.." Karto Suro alias Uyut Sepuh berteriak seraya mengangkat telapak tanganya.. bilah keris kecil tiba-tiba melesat.

"Edan.. kowe Suro..." Pekik mbah Diro tersentak dan segera merogoh balik baju hitam yang dikenakan.

Telapak tangan Mbah Diro terkepal dan secara perlahan-lahan terbuka.

"Tahan dia... terbanglah... puah.." cetus Mbah Diro sambil menggerakan tanganya seakan-akan sedang melempar.

"Suit..." satu benda kecil pipih dengan ujung lancip berbentuk Tombak melesat dari kepalan tangan Mbah Diro.

"Jagat batara weruh sadurung Winara sakti pilih tanding nyocob langit nembus bumi.. ilangne nyawa wong iki..." Batin Uyut Sepuh sambil menusukan jarum pada bagian dada boneka yang terbuat dari jerami.

"Modar.. modar.. modar.. kowe Diro Sumpeno.. hahahaha..." Uyut sepuh tawa bergelak saat ujung jarum menembus boneka jerami yang berada dalam genggaman nya.

"Huuukkk... heikkk.. kurang ajar kamu Suro... Kamu pikir mudah untuk menyerangku" Gumam Mbah Diro sambil mendekap dadanya sementara disela sudut bibirnya meleleh darah segar.

"Sahyang agung.. penguasa alam... lelaku jeroning ati.. tumamprak nyata.. metu diri ing sajati.. lungo rogo ing kersane hyang Dewata... ilang ilang.." imbuh mbah Diro seraya menepukan telapak tangannya ke lantai kayu dalam kamarnya.

"Sudah saatnya kita bertempur secara ghaib Diro..." Cetus Uyut Sepuh sambil mengusapkan telapak tangan keseluruh tubuh.

"Ilang diri ing sajati... ilang ilang ilang..."  Ucap Uyut Sepuh sambil terpejam.

Dua sosok yang tengah bertarung dan bertempur secara batin meninggalkan raga yang sama-sama duduk bersila dengan mata terpejam tanpa terlihat adanya tarikan napas.

Nun jauh di alam tak kasat mata raga halus dari dua orang kakek tengah bertarung dan saling serang dan nampaknya keduanya sama-sama tangguh dengan ilmu yang setara.

Sementara itu diluar rumah Uyut Sepuh terlihat satu sosok laki-laki muda tengah mengintip dari luar jendela.

"Aduh.. kemana sih.. Uyut ini.. mana pintu di kunci.." gumam pemuda itu sambil berteriak memanggil Uyut Sepuh.

"Yut.. Uyut.. cucu mu datang.. Yut.. uyut.. ayolah Yut.. buka pintunya.." panggil anak muda yang tidak lain cucu dari Uyut sepuh.

"Bahaya... cucuku datang di saat yang tidak tepat.." batin Uyut sepuh.

"Jaga seranganku.. Karto Suro.." bentak Diro Sumpeno seraya melakukan gerakan mendorong dengan telapak tangannya.

"wusssh..." satu serangan dahsyat menimbulkan deru angin yang berhembus.

"Celoko.. celoko..." Batin Uyut Sepuh sambil mengangkat kaki dan menghentakannya ke bumi yang menghasilkan deru angin.

"Wussshhh.." satu serangan dari Uyut Sepuh berusaha menjegal serangan lawan.

Dua kekuatan bentrok menimbulkan dentuman dahsyat yang mengakibatkan terpentalnya dua tubuh.

Dengan sigap kedua tokoh tua ini menjejakan kaki di tanah lalu sama-sama terhuyung kebelakang.

Mbah Diro cepat menguasai diri dan dengan cepat melakukan serangan di kala tubuh Karto Suro tengah terhuyung.

"Heatttt.. modar kowe.. Suro... hahaha.. modar.. Kowe.. Suro.." teriak membahana mbah Diro menggema.

"Blarrrr..." pukulan jarak jauh mbah Diro menghantam tubuh Uyut Sepuh dan tubuh Uyut Sepuh terpental cukup jauh dengan teriakan kesakitan.

"Aaaaaaaa...." tubuh Uyut sepuh terbaring tak berdaya dengan mulut mengeluarkan darah.

"Aku ampuni selembar nyawamu.. Suro.." ujar mbah Diro sambil menjejakan kakinya di dada Uyut sepuh dan setelah itu mbah Diro membuka celana lalu mengencingi tubuh Karto Suro sambil tertawa bergelak.

"Hahahaha... Suro.. Suro.. kamu memang pantas menerima semua ini... hahahaha.. dan kamu harus tahu bahwa Batara Karang itu akan aku taklukan.. suatu saat peliharaanmu.. yang akan menghabisi nyawamu... Suro.. Suro.."

"Diro.. ini sebuah penghinaan.. heik.. heik.." sebatas itu ucapan uyut Sepuh lalu tubuhnya menghilang.

"Hahahaha... kamu baru tahu.. siapa Diro Sumpeno... hahaha... besok lusa nyawamu pasti aku ambil.. camkan itu Karto Suro."

-SEKIAN-

Terima kasih sudah membaca chapter ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close