Pengalaman Mistis Selama Kerja Di Pabrik (Part 3 AND)
JEJAKMISTERI - "Lha soal anak pendiam yang hilang di kamar mandi itu gimana nasibnya Mbak?" Slamet bertanya disela kesibukannya mengunyah.
"Itu lebih menyeramkan lagi Mas," jawab Mbak Lintang. "Karena penasaran setelah si ibu helper itu tak sempat melanjutkan ceritanya, aku lalu berusaha bertanya kepada teman-teman yang sudah lama bekerja disana. Alhamdulillah mas, akhirnya setelah bertanya kesana kemari, ada juga yang mau cerita, meski awalnya agak keberatan."
"Terus, gimana ceritanya Mbak?" Slamet menelan makanan di mulutnya.
"Jadi, begini ceritanya Mas......"
***
POV Mbak Wulan (Temennya Mbak Lintang)
Sebenarnya agak segan untuk menceritakan kisah ini, karena menyangkut nama baik dan privasi seseorang yang telah meninggal. Namun karena Mbak Lintang sepertinya sangat penasaran dan terus mendesakku untuk menceritakan kisah kelam ini, maka terpaksa aku menceritakannya. Tentu dengan segala pertimbangan yang matang demi kebaikan bersama. So, semoga dari cerita ini bisa sama sama kita petik hikmahnya.
Perkenalkan, namaku Wulan, (tentu bukan namaku yang sebenarnya,) dan ini kisah dari salah seorang teman, sahabat, dan juga kawan yang kini telah tiada (semoga engkau tenang di alam sana kawan.) Kita sebut saja dia Bunga.
Dia salah satu teman kerjaku saat dulu bekerja di pabrik 'B', sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konveksi. Perusahaan yang cukup besar, dan berada di kawasan industri yang cukup terkenal di kota ini.
***
Si Bunga ini, termasuk salah satu karyawan baru saat itu. Baru dalam hitungan bulan ia bekerja di pabrik ini. Seorang gadis yang lumayan manis sebenarnya. Namun sifatnya yang sangat pendiam dan pemalu membuatnya tak memiliki banyak teman di pabrik ini.
Namun begitu, ia termasuk karyawan yang cukup rajin. Aku sendiri salut dengan semangatnya dalam bekerja. Tak pernah mengeluh meski sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari para seniornya. (U know lah, dalam sebuah lingkungan kerja, kadang antara senior dan junior sering ada something yang..., ya begitulah!)
Aku masih ingat. Sangat ingat malah. Hari itu, seperti biasa kami bekerja seperti biasanya. Dan kebetulan posisi kami bersebelahan. Dan seperti biasa juga, Bunga bekerja tanpa banyak bicara. Tak seperti karyawan lain yang sesekali ngobrol dan berkelakar sekedar untuk melupakan rasa lelah, Bunga hanya fokus pada apa yang dikerjakannya. Hanya sesekali ia menyahut dan tersenyum jika ada yang menyapanya.
Namun sebagai seorang teman yang bisa dibilang paling dekat dengan Bunga ini, aku merasa ada yang sedikit lain dengan sikap Bunga hari itu. Kuperhatikan, ia sedikit agak kurang tenang dalam bekerja. Seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu gitu.
Saat istirahat makan siang, sempat kutanya kenapa. Tapi ia bilang dia baik baik saja. Seperti biasa, singkat dan tanpa basa basi. Hingga saat kembali bekerja lagi, terjadilah peristiwa memilukan itu.
Aku tak ingat pasti waktunya, yang jelas waktu itu setelah jam makan siang. Bunga yang sedang bekerja beberapa kali kulihat melihat ke salah satu sudut ruangan tempat kami bekerja. Raut wajahnya jelas menampakkan kecemasan, dan sedikit kebingungan gitu. Awalnya saat kutanya, ia bilang tak ada apa apa. Tapi lama kelamaan, gurat kecemasan semakin nyata terlihat di wajahnya. Akupun mendesaknya untuk bercerita, takut kalau dia sakit atau kenapa gitu.
Akhirnya Bungapun mau mengatakan apa sebenarnya yang mengganggu perasaannya waktu itu.
"Itu Mas 'A' kenapa ya Mbak?" tanya Bunga waktu itu. Aku sedikit kaget mendengar pertanyaannya waktu itu. Karena Mas 'A' yang dimaksud oleh Bunga adalah salah satu karyawan yang sudah beberapa hari tak masuk kerja karena sakit.
"Mas 'A'?" aku balik bertanya dengan nada heran. "Mas 'A' kan sudah beberapa hari ini izin karena sakit Bunga."
"Oh, pantesan! Kalau belum sehat kenapa sudah masuk kerja ya Mbak? Kasihan tuh, kuperhatikan dari tadi pagi kerjanya nggak fokus. Beberapa kali dusuk ngelesot di lantai gitu kayak orang kecapekan. Ternyata lagi sakit to."
Aku semakin heran mendengar perkataan Bunga itu. Jelas jelas kalau Mas A hari itu belum masuk. "Kamu ngomong apa sih Bunga? Mas A kan belum masuk hari ini. Jangan nakut nakutin ah," ujarku.
"Beneran Mbak! Masa Mbak Wulan nggak lihat sih! Tuh kan, Mas A ngelesot lagi di lantai Mbak. Wajahnya pucet banget Mbak! Dan, heran, itu teman disebelahnya kok cuek gitu sih, ga mau nolongin apa gimana gitu."
Aku mengikuti arah pandangan Bunga. Jujur, aku mulai merinding saat itu, karena sudah sering aku mendengar kalau pabrik ini memang sedikit 'angker'. Tak nampak sosok Mas A yang dibilang oleh Bunga itu. Bahkan tak ada karyawan yang duduk mengelesot di lantai seperti yang dibilang oleh Bunga. Yang kulihat hanyalah para karyawan lain yang semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing.
"Jangan ngawur deh, nggak ada Mas A disana Bunga, bahkan nggak ada..."
"Ya Allah! Mbak! Ayo kita tolongin Mas A Mbak! Itu lihat, dia kayak teriak teriak minta tolong! Dia nunjuk nunjuk ke kita Mbak! Aduh! Itu orang orang kenapa pada nggak peduli sih?! Keterlaluan banget!"
"Bunga...."
Aku tak sempat mencegah Bunga yang saat itu segera meninggalkan pekerjaannya dan berjalan bergegas menuju ke salah satu sudut ruangan. Namun baru beberapa langkah, kulihat ia berhenti dan tertegun. Kupikir, kenapa anak itu? Kulihat wajahnya semakin menegang seperti orang ketakutan, lalu tiba tiba berbalik dan setengah berlari keluar dari ruangan produksi.
"Bunga! Mau kemana?" aku masih sempat menegur waktu itu.
"Toilet Mbak!" hanya itu jawaban yang ia serukan tanpa menoleh sama sekali. Aku tak menyangka, kalau itu adalah kata kata terakhir Bunga yang pernah kudengar. Dan aku juga sama sekali tak menyangka, kalau itu adalah pertemuanku yang terakhir dengan Bunga. Aku sangat menyesal! Benar benar menyesal! Andai saat itu aku mau mendengar kata katanya, mungkin...., Ah, Bunga! Kuharap kau mau memaafkanku, temanmu yang bodoh ini!
Aku tak berpikir macam macam waktu itu. Kukira Bunga hanya kebelet dan sudah nggak tahan lagi. Namun setelah beberapa saat Bunga tak kunjung kembali ke ruangan produksi, rasa cemas mulai menghantuiku. Aku takut terjadi sesuatu dengannya. Beberapa kali aku melirik arloji di pergelangan tanganku. San begitu telah satu jam lebih bunga tak kembali juga, aku segera menyusulnya ke toilet.
Dan kekhawatirankupun akhirnya terjadi juga. Suasana toilet sangat sepi waktu itu, karena memang masih jam kerja. Satu persatu pintu toilet aku buka, namun tak kutemukan Bunga disana. Semua ruangan toilet kosong. Aku bahkan sampai berteriak teriak memanggil namanya, namun tak ada sahutan sama sekali. Teriakanku yang menggema di ruangan toilet itu justru menarik perhatian beberapa orang yang mendengarnya. Mereka menghampiriku dan bertanya tanya, akupun menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya.
Orang orang itu lalu ikut membantuku mencari keberadaan Bunga. Namun tetap saja hasilnya nihil. Aku semakin khawatir. Alu takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bunga. Dan kekhawatiranku akhirnya menjadi kenyataan.
Bunga menghilang bagai ditelan bumi. Sampai shif berakhir Bunga tak kunjung kembali juga. Pulang lerja aku menyempatkan untuk mampir ke tempat kostnya. Namun Bunga tak kutemukan juga disana. Kata teman teman kostnya Bunga belum pulang.
Aku semakin cemas. Semalaman aku bahkan tak bisa tidur memikirkan anak itu. Keesokan harinya, Bunga belum juga muncul di tempat kerja. Astaghfirullah Bunga! Kemana dia?
Kasak kusuk mulai terdengar. Dari dugaan Bunga yang kabur karena tak kerasan kerja di pabrik itu, sampai bisik bisik yang mengatakan kalau Bunga hilang dibawa makhluk 'peliharaan' si pemilik pabrik, membuat perasaanku semakin tak tenang.
Sehari, dua hari, sampai hari keempat, kabar mwnghilangnya Bunga akhirnya sampai kuga ke telinga keluarga gadis itu. Mereka datang ke pabrik dan menanyakan tentang keberadaan Bunga. Sempat terjadi keributan waktu itu, karena pihak keluarga Bunga menuduh pihak pabrik seolah tak peduli dengan menghilangnya Bunga. Bahkan mereka sempat mwngancam akan melaporkan kejadian ini kepada polisi.
Sampai seminggu semenjak Bunga menghilang, tiba tiba gadis itu muncul kembali di ruang produksi. Tapi aku merasa itu bukanlah Bunga yang pernah aku kenal.
Kemunculan Bunga yang tiba tiba memancing kehebohan. Kondisi gadis itu, jelas tidak baik baik saja. Bunga nampak seperti orang linglung. Semua pertanyaan yang diajukan kepadanya tak satupun yang ia jawab. Ia seperti orang kebingungan. Tatapan matanya kosong, menatap satu persatu orang di sekitarnya dengan tatapan aneh, seolah Bunga sama sekali tak mengenal orang orang itu. Bahkan saat aku mendekatinya dan bertanya, sikapnya juga seperti itu. Ia menatapku seolah tak mengenaliku. Dan tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bunga, keluarganyapun segera dihubungi. Mereka lalu membawa Bunga pulang. Sebagai seorang sahabat, tentu aku merasa sangat kehilangan.
Kabar yang kudengar setelahnya, keluarga Bunga membawa Bunga berobat kemana mana. Rumah sakit, dokter, orang pintar, semua sudah mereka datangi. Namun nasib berkata lain. Seminggu setelah Bunga kembali itu, iapun pergi menghadap Illahi!
Innalillahi wa innaillaihi roji'un! Aku benar benar sangat terpukul waktu itu. Kusempatkan untuk datang bertakziah bersama beberapa orang temanku. Masih sempat kulihat wajah terakhir Bunga yang terlihat begitu tenang dan damai.
Sempat kudengar bisik bisik dari pihak keluarga Bunga, bahwa benar Bunga meninggal tak wajar. Menurut salah satu orang pintar yang sempat mereka datangi, Bunga menjadi tumbal 'peliharaan' si pemilik pabrik. Bahkan saat Bunga tiba tiba muncul dan tampak linglung itu, sebenarnya sebagian dari jiwa Bunga sudah diambil oleh makhluk jahat itu.
Wallahualam bishawab! Benar atau tidaknya aku tak tahu. Yang masih menjadi misteri bagiku adalah, kemana Bunga saat menghilang sampai seminggu itu?
Bunga, sahabatku, maafkan aku yang tak bisa menolongmu waktu itu! Kini kau telah tenang di alam sana kawan! Dan suatu saat kami juga akan menyusulmu! Al Fatihah untuk Bunga!
***
Mbak Lintang menghela nafas begitu mengakhiri ceritanya. Aku yang terhanyut oleh kisah Mbak Bunga inipun sempat tertegun. Demikian juga dengan Slamet, ia sampai melongo dengan mulut penuh makanan. Tak kusangka kalau ternyata akhir dari kisah Mbak Bunga ini sedemikian tragis.
Sampai saat seorang laki-laki datang menjemput Mbak Lintang, suasana baru sedikit mencair. Mbak Lintang pamit, setelah aku berjanji akan menuliskan kisahnya itu di salah satu lamanku.
"Asem! Tak kira masih jomblo! Nggak taunya dijemput sama suaminya," gerutu Slamet begitu Mbak Lintang telah menghilang dari pandangan kami.
"Matamu Met! Nggak bisa lihat perempuan agak bening sedikit langsung ijo!" sentakku.
"Hehe, habisnya lumayan cantik sih Mas," Slamet terkekeh.
"Ya udah, sudah sore nih, pulang yuk Met," ajakku sambil membereskan tas kerjaku. "Eh, besok kamu nggak ada acara kan? Kita ke Wonogiri yuk Met. Nyari rumahnya Pak Bowo."
"Beres Mas!" Slamet bangkit dari duduknya. Akupun ikut bangkit sambil meraih bungkusan martabak yang tadi kubeli untuk indri. Tapi....
"Lho?" aku terkejut saat mendapati bungkusan plastik itu terasa sangat ringan.
"Udah habis Mas," seru Slamet sambil mengelap sudut bibirnya.
"Edan kamu Met! Ini kan martabak pesenan Mbakyumu!"
"We lha, tadi tak kira memang sengaja beli buat teman ngopi Mas."
"Teman ngopi dhengkulmu anjlok itu! Wis, aku ndak mau tau Met. Pokoknya harus kamu ganti! Aku ndak mau nanti kena omelan sampai rumah!"
"Halah Mas, cuma martabak ini Mas, berapa sih harganya? Tinggal beli ini! Gaji sampeyan kan lebih gedhe dari gajiku Mas. Masa iya sampeyan tega gajiku yang nggak seberapa ini harus dipotong buat beli martabak."
"Asem! Wedhus tenan kowe Met!"
--==TAMAT==--
*****
Sebelumnya