Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU JIWO (Part 2) - Bersekutu Atau Mati


“Kalau gak enak badan, istirahat dulu ajaa, Dek. Besok aja kita pergi belanjanya kalo kamu sehat.” ucap Yadi mengakhiri obrolan pagi itu.

Semenjak kejadian itu, Warni berubah. Seolah tak mempunyai semangat seperti hari sebelumnya.

Rasa penyesalan dan ketakutan, menggelayuti jiwanya. Ingin rasanya berkata jujur namun ia takut kalau suaminya murka. Lagi-lagi semua itu hanya mampu ia pendam. Meskipun satu alasan telah ia ungkap, namun Yadi seperti tak mempercayai.

“Yasudah, Mas tak keluar dulu beli makan.” sambung Yadi sebelum pergi meninggalkan Warni.
“Iya, Mas.” Jawab Warni lirih.
Sambil menghela nafas panjang, Yadi menyadari sesuatu yang di sembunyikan oleh istrinya. Yadi mengerti betul watak Warni, kalau dia tidak bisa di paksa.

Hingga sore, tak ada kegiatan apa pun yang di lakukan mereka berdua. Mereka hanya bersantai di dalam rumah sampai waktu menjelang malam.
Baru setelah adzan isya terdengar, Yadi kedatangan tamu yang tak lain adalah Slamet.

Keduanya berbincang sebentar di ruang tamu, sebelum memutuskan untuk keluar. Begitu pun dengan Warni, yang sudah terbiasa dengan semua yang di lakukan suaminya. Bahkan mendapati Yadi pulang dalam keadaan mabuk, telah menjadi harian untuknya.

Tapi untuk malam ini, berat rasanya bagi Warni untuk mengijinkan Yadi keluar bersama Slamet. Ada ketakutan menyelip dalam hatinya kala teringat kejadian kemarin. Namun akhirnya ia tak mampu menahan kepergian suaminya walau sudah mengutarakan berbagai alasan.

Rasa takut Warni semakin menyeruak memenuhi jiwanya, setelah suara kendaraan Yadi menghilang. Menandakan kini dirinya sendirian di dLm rumah. Warni kemudian beranjak masuk ke dalam kamar setelah menutup dan mengunci pintu rumahnya.

Tapi baru saja Warni terpejam, dari arah pintu depan suara ketukan mengagetkannya. Beberapa kali ketukan itu sempat ia abaikan, tapi semakin lama suara ketukan itu, semakin cepat dan keras.

Memaksa Warni untuk bangkit untuk memastikan siapa yang telah berani menggedor pintu rumahnya di waktu malam begini.

Sejenak terdiam, manakala tak mendapati siapa pun di luar setelah dirinya membuka pintu. Hanya hembusan angin malam yang menyapu wajah dan tubuhnya ketika ia keluar untuk memastikan.

Sejenak ia mengamati suasana yang sepi dengan perasaan heran. Ia bingung dan mengingat-ingat kembali. Yakin bila telinganya benar-benar mendengar suara gedoran pintu. Akan tetapi sampai beberapa saat dirinya mencari, tak menemukan seorang pun di luar rumah.

Perasaan seketika berubah tegang dan takut ketika ia memutuskan untuk masuk dan hendak menutup pintu. Saat belum sempat tangannya merapatkan seluruh daun pintu, dari celah dan bantuan cahaya lampu jalan,-

matanya melihat sosok pria tetiba saja sudah berdiri di pinggir jalan ujung halaman rumahnya.
Sosok itu menghadap serta memandangi Warni. Dari bantuan cahaya lampu jalan, sedikit jelas Warni melihat raut wajah sosok berbaju hitam itu.

Bagi Warni, tak ada yang aneh dari tampilan dan wajah sosok itu. Tapi melihat gelagat serta kemunculannya yang secara tiba-tiba, membuat dirinya tersusupi rasa takut.
Buru-buru Warni untuk segera menutup pintu dan menguncinya kemudian segera melangkah ke dalam kamar.

Jantungnya masih terus berdegup kencang membayangkan tatapan sosok lelaki itu, yang seperti mengintimidasi. Untuk beberapa saat lamanya, Warni menikmati suasana hening, sebelum keheningan itu terpecah oleh satu suara dari arah depan.

“Ganti musike to! Dangdutan lho, wes mabuk iki!” (Ganti musiknya sih! Dangdutan lho, sudah mabuk ini!) teriak Yadi kepada Slamet.

Berkumpul, nongkrong di sebuah warung, itulah yang di lakukan Yadi dan beberapa temannya termasuk Slamet.

Seperti malam itu, tepatnya setelah Yadi memutuskan untuk keluar sejenak bersama Slamet. Yadi terlihat riang dengan permainan kartu yang sesekali meneguk air beralkohol itu. Tubuh dan kepalanya bergoyang, mengikuti hentakan musik tak begitu keras yang di putar Slamet.

Apalagi malam itu kebetulan cuaca sangat cerah, secerah hati dan pikiran Yadi yang setelah mendapatkan uang yang begitu banyak. Setidaknya membuat Yadi melupakan kejadian janggal yang menimpa istrinya di rumah.

Dari kursi ujung, seorang lelaki mendekat ke arah Yadi. “Denger-denger makamnya Pak Sukirman di bongkar ya, Kang?”
“Dibongkar? Maksudnya?” Sahut Yadi terkejut mendengar sebuah nama yang di ucapkan lelaki yang baru saja mendekat, lelaki yang biasa di panggil Kosim tersebut.

“Iyo Kang, ini baru katanya. Tapi saya juga belum lihat.” Jawab Kosim seakan memancing rasa penasaran Yadi dan beberapa orang lainnya.
Beberapa saat tak ada sahutan dari Yadi. Ia seolah tak peduli dengan ucapan Kosim.

Tapi ketika permainan sudah selesai, sejenak Yadi memandang Kosim penuh rasa heran dan takut. Takut kalau ucapan Kosim barusan benar.
“Di cek saja ke makamnya, gimana?” lagi, Kosim malah memberi saran.

Yadi dan beberapa orang lainnya termasuk Slamet saling pandang, seperti ingin tahu reaksi masing-masing.

“Gini ajaa, buat pembuktian saya dan Kang Kosim ke makam, gimanaa Kang?” tanya Yadi.

Berawal dari rasa penasaran yang semakin bergelayut, Yadi mempunyai satu pemikiran konyol seperti itu. Namun pada akhirnya, Kosim memilih untuk mengiyakan. Mereka berdua termakan gosip yang beredar.

Meski tergolong pemberani, namun Yadi saat itu juga merasakan merinding, ketika memasuki area makam yang sedikit terang karena cahaya bulan. Pasalnya, mereka harus memastikan kondisi kuburan Sukirman yang katanya di bongkar.

Sedangkan jarak makam dengan tempat Yadi dan beberapa temannya sedang nongkrong, tak terlalu jauh, itulah yang menjadi satu alasan.
Kosim yang mengekor di belakang Yadi, sedari awal masuk gerbang makam tampak diam.

Berkali-kali Yadi berbicara, tapi tak di indahkannya. Ia seolah menyesali perbuatannya karena membuat Yadi penasaran. Karena semenjak mereka masuk ke area makam, hawa tak mengenakkan mulai muncul. Tapi kini sudah terlanjur. Hingga mau tak mau Kosim harus mengantar Yadi.

Setelah beberapa langkah masuk, Yadi berhenti. Matanya mengedar, mencari nisan yang bertuliskan nama Sukirman. Yadi kembali melangkah setelah melewati gundukan-gundukan tanah dan beberapa yang berkeramik.

Puluhan langkah dan puluhan kuburan sudah keduanya lewati. Namun belum juga menemukan nisan yang bertuliskan nama Sukirman. Sampai akhirnya, mata Yadi menangkap sebuah gundukan tanah yang masih berpayung, menandakan jika makam itu tentu masih baru.

“Loh kang, ini kuburannya Sukirman masih lengkap!” ucap Yadi ketika sampai di samping gundukan kuburan Sukirman. Tapi Kosim tak menggubrisnya.
Terjadi perdebatan kecil antara mereka berdua, saat Yadi ngotot kalau kuburan Sukirman masih dalam kondisi masih lengkap.

Mungkin karena pengaruh alkohol, Yadi memaki Kosim. Kosim yang merasa Yadi orang paling sangar di desa, memilih untuk tetap diam.

Tapi lain halnya dengan Kosim. Meski ia mendengar semua ucapan Yadi, namun Kosim enggan untuk menyahuti.

Ia sendiri dari mulai masuk area makam, merasakan keganjilan. Kosim merasa jika ada mata yang memandangi mereka. Bahkan Kosim yang berjalan di belakang Yadi, berkali-kali harus menoleh memastikan tak ada apa pun di belakangnya.

Sebab, ia merasakan betul jika langkah di belakangnya, seolah ada satu langkah lain yang mengikuti.

“Braaaak!”

Yadi yang baru saja sampai di tempat biasanya, menggebrak meja. Membuat mereka yang sedang asyik menikmati musik seketika terkejut.

Hening suasana saat itu. bahkan setelah mendengar gebrakan Yadi. Tapi ketika semua mata tertuju pada wajah Yadi yang sudah merah, seketika wajah-wajah mereka memucat.

“Sampean itu kenapa, Kang? Datang-datang kok marah-marah?” Slamet yang terkejut, bangkit dari kursinya. Berusaha menenangkan Yadi yang sudah kacau pengaruh alkohol.

“Sudah-sudah, kita pulang saja, Kang.” Sambung Slamet sambil merengkuh tubuh Yadi.

Mencoba menahan agar Yadi tak kelepasan emosi. Karena bisa dipastikan, kalau saja Yadi emosi, bangku dan meja yang ada di sana bakal terbalik.

“Ayo kang kita balik, istrimu kasihan sendiri di rumah.” Ucap Slamet sekali lagi, masih berharap dengan mengucapkan begitu, Yadi setidaknya bisa menyurutkan emosinya.

Yadi terdiam, ia berpikir, menimbang ucapan Slamet tentang istrinya.

Karena bagaimana pun, Yadi sudah mendengar cerita dari Warni yang merasakan ada hal aneh akhir-akhir ini.

Supri dan Mbah Kardi sudah merencanakan sesuatu. Malam itu setelah melakukan ritual biasanya, Supri kembali menyusuri jalanan gelap dan sepi menuju ke sebuah rumah tak begitu besar.

Mbah Kardi memerintahkan Supri untuk sekali lagi menanamkan Sewu Jiwo dan Tarik Sukmo kepada istri Yadi.

Sesampainya Supri di depan rumah Yadi, tepatnya di sebrang jalan. Ia sedari tadi mengamati rumah Yadi.

Tak lama, Yadi dan satu orang lelaki keluar sebelum Warni menutup pintu rapat-rapat.
Namun sebelum Warni sepenuhnya menutup pintu, mata Supri memandang ke arah Warni yang juga sedang melihatnya.

Terjadi jeda beberapa detik sampai Supri bisa membayangkan bagaimana bentukan tubuh Warni yang begitu menggoda di lihatnya. Bagaimana tidak, Supri membayangkan jika sosok wanita yang ada di balik pintu itu, bagaikan Aura Kisah.

Supri masih berdiri di depan pintu dengan menggunakan jubah hitam milik bapaknya. Dari jubah itu, siapa pun tak mampu melihatnya. Sampai Supri membuka pintu rumah dengan sangat mudah.
"Krieett ... clekkk."
"Mas?" panggil Warni saat telinganya mendengar suara pintu di buka.

Namun, beberapa kali Warni mengulangi panggilannya, tetap tak ada sahutan.
Sebentar Warni terdiam. Mengamati serta menajamkan indranya dengan perasaan was-was.

"Dug ... Dug ... Srekkkk...." Supri melangkah dan menarik sebuah kursi kayu sebelum duduk.

Lagi, kali ini Warni benar-benar di buat senam jantung. Kala suara panggilannya malah tersahuti suara langkah kaki dan deritan kursi yang di geser. Bayang-bayang wujud sosok menyerupai suaminya pun seketika muncul dalam benaknya.

Wajah pucatnya, dengus nafas berbau wangi melati, dan tatapan liar nan nakal memenuhi pelupuk matanya.

Hening. Membuat pikiran Warni bimbang antara percaya dengan suara barusan atau hanya halusinasi.

Entah berapa lama ia berpikir, sampai akhirnya Warni memberanikan diri melawan rasa takut dan bangkit dari ranjang.

Pelan nyaris tak bersuara langkah Warni. Hingga beberapa detik kemudian ia sampai di ambang pintu kamar.

Ragu. Apakah Warni ingin membuka pintu atau hanya diam berdiri saja di depan pintu? Perasaan itu muncul saat tiba-tiba bau wangi bunga santer menyapu. Namun satu rasa penasaran mendorong keberanian Warni untuk membuka pintu dengan perlahan.
Deg....

Jantung Warni bagaikan tersengat listrik ketika pandangannya mengarah ke kursi yang biasa untuk mereka gunakan makan sekaligus bercengkrama. Kini telah di duduki oleh sesosok lelaki berjubah hitam.

Jiwa Warni benar-benar tercekat saat tatapan sosok lelaki itu mengarah kepadanya. Seperti tahu bila dirinya sedang mengintip dari celah pintu. Dengan cepat Warni pun mundur dan buru-buru kembali ke atas ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut.

Sedangkan Supri yang tahu kalau Warni ketakutan, kemudian berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar Warni. Dilihatnya tubuh Warni dari balik selimut dengan gemetaran, memacu adrenalin Supri untuk segera melakukannya. Hal pertama yang dilakukan Supri, menyentuh kaki Warni.

Dengus nafas memburu dan keringat yang deras mengucur, tetiba saja seperti terhenti dan membeku ketika tubuh Warni merasakan satu sentuhan lembut di bagian kaki. Warni ingin memberontak, berteriak namun semua itu hanya bisa ia lakukan dalam hati.

Semakin lama, sentuhan Supri tak hanya berkutat di kaki, melainkan perlahan naik menelusur ke bagian atas.

Hal itu terus berlangsung tanpa adanya penolakan dari Warni, membuat Supri dengan leluasa untuk melepas pakaian Warni dengan mudah. Seolah Warni terhipnotis dengan Supri.

Sampai akhirnya, selimut dan beberapa pakaian yang melekat di tubuh Warni, telah terlepas. Memperlihatkan tubuh Warni yang begitu menggoda di mata Supri.
Untuk pertama kalinya bagi Supri dalam sepanjang hidupnya bisa merasakan dengan sangat dekat.

Berbeda dengan sebelumnya, Supri dengan bantuan Mbah Kardi hanya mampu sukmanya yang keluar namun kali ini raganya sekaligus bisa merasakan tubuh seseorang.

Wajah Warni yang sudah merasakan takut amat luar biasa, manakala matanya melihat dengan jelas sosok berjubah hitam beraroma kembang sudah di atas tubuhnya. Wajah Supri terus tersenyum, menyeringai dan mendengus keras.

Kibasan gerak tubuhnya seirama dengan dengusan nafas Warni yang memburu. Membuat Warni yakin, bila sosok itu bukanlah manusia.
Selang beberapa menit, terdengar suara kendaraan yang berhenti dan kemudian berlalu setelah menurunkan seseorang di depan rumah.

Yadi baru saja pulang bersama Slamet. Yadi kemudian melangkah mendekat ke arah pintu rumah sebelum memanggil nama istrinya.
“Dek...Dek? buka pintunya!”
Untuk kesekian kalinya Yadi mengetuk dan memanggil nama Warni.

Di samping Yadi yang masih mabuk, tapi Yadi masih bisa merasakan ada hal aneh yang terjadi. Tak seperti biasanya ketukan dan panggilan sampai berulang-ulang dan Warni tak menyahut. Sampai puluhan menit Yadi menunggu dan mulai tak sabar, Yadi memutuskan untuk mendobrak pintu.

Namun kembali ia merasakan hal aneh, manakala awalnya pintu itu terkunci, mendadak terbuka sendiri.
Yadi sempat terdiam bingung. Berpikir mungkin karena efek mabuknya yang membuat kepalanya pening, ia pun mengabaikan kejanggalan itu.

akan tetapi, sesampainya ia di dalam, tapatnya di depan ruang keluarga yang terhubung dengan kamarnya, mata Yadi membelalak dan memerah. Yadi melihat ada sosok yang baru saja keluar dari dalam kamar membuat spontan Yadi tersulut emosi.
“Heh! Siapa kamu!” teriak Yadi keras.

Bahkan sekarang dengusan nafas Yadi yang memburu jelas terdengar. Ketika sosok itu bukannya menjauh, melainkan mendekat ke arah Yadi sedang berdiri.
Sejenak suasana hening. Yadi yang awalnya tersulut emosi penuh amarah,-

kini sedikit mengendur ketika sosok itu mulai menampakkan wajahnya. Mata Yadi lekat menatap sosok yang berdiri berjarak tiga meteran darinya. Sekilas dia mengenali perawakan dari sosok tersebut.

namun kala dirinya ingin mendekat untuk memastikan, Yadi tiba-tiba saja malah beringsut mundur.

Sedangkan Supri yang melihat kalau Yadi malah mundur, ia kemudian semakin mendekat ke arah Yadi. Pelan namun pasti.

Kini terlihat jelas, amarah dan keberanian Yadi seolah terkebiri ketika Supri mulai mendekat. Apalagi ketika Yadi mengucap sebuah nama, ingin rasanya Supri tertawa melihat wajah Yadi yang tampak ketakutan setengah mati.

“Pak Sukirman!” pelan penuh ketakutan suara yang keluar dari bibir Yadi.

Supri yang melihat tubuh Yadi semakin bergetar dan mulai berkeringat akibat ketakutannya, mulai mendekat. Sembari menyeringai Supri mendekatkan wajahnya ke arah telinga Yadi.

“Terimakasih Kang Yad. Terimakasih,” ucap Supri lirih.

Tubuh Yadi goyah. Kakinya terasa kaku tak mampu di gerakkan. Tubuhnya hanya mampu menyandar di dinding, membiarkan sosok Supri yang menjelma menjadi sosok Sukirman mendekat hingga tepat berada di hadapannya.

Bahkan Yadi tak mampu menjawab. Ia justru semakin ketakutan dengan nafas tersengal.
Setelah mengucapkan beberapa kalimat, Supri pun beranjak meninggalkan Yadi.
Sedikit demi sedikit Yadi mulai bernafas lega.

Walau tak berlangsung lama, namun kejadian itu membuat mental dan kesangarannya runtuh. Ia benar-benar di buat syok. Sesaat lamanya hanya mampu terduduk menyadar di tembok. Mencoba menguasai diri dan mengumpulkan tenaga.

Setelah di rasa mampu berdiri dan bisa menguasai pikiran, Yadi bangkit dan melangkah perlahan menuju dalam kamar. Ia ingin segera melihat istrinya. Sampai tak lama, ketika Yadi sudah berada di dalam kamar, hal mengejutkan kembali menghiasi pandangannya.

Yadi masih terdiam sambil menatapi beberapa pakaian Warni yang berserak di bawah lantai. Yadi masih mencoba mencerna. Tapi beberapa detik kemudian, ketika otaknya mampui membaca situasi tentang apa yang sudah terjadi, matanya tak mampu menahan air matanya.

Perlahan Yadi bersujud, bersimpuh di sela isak tangis sembari memunguti satu persatu pakaian istrinya. hatinya benar-benar hancur dan perih, tak terlukis dalam benaknya. Apalagi ketika ia sampai pada tepian ranjang,

melihat istrinya terpejam dengan posisi terlentang tanpa tertutup sehelai benang pun, membuat Yadi semakin tersayat.
Hanya isakkan yang menghiasi ketika Yadi perlahan menutupi tubuh telanjang istrinya dengan selimut.

Yadi terduduk di samping Warni, meratapi kehancuran jiwanya. Menangis tersedu hingga nafasnya tersengal. Namun di saat itu, satu pikiran berkelebat perihal asbab musabab malapetaka yang sudah menghancurkan hidupnya.

Dengan tertatih Yadi bangkit. Berjalan pelan mendekati lemari kayu di sudut kiri kamar. Perlahan ia membuka salah satu pintu lemari, sebentar menatap tumpukan kain lama, sebelum mengalihkan pandangan ke bagian tengah.

Ia sempat terperangah, seperti tak percaya melihat isi di dalamnya. Di mana, awal dirinya menyimpan sisa uang yang telah terpakai sebagian, hasil dari mengambil milik Sukirman, tapi kini bukan hanya sisa atau beberapa tumpuk saja, melainkan bagian tengah lemari itu telah penuh oleh tumpukan uang.

"Tidak mungkin! ini tak masuk akal!" gumam Yadi seolah tak percaya.

Akan tetapi, saat tangannya menyentuh, mengambil beberapa tumpuk, uang itu sangat nyata baginya.

Membuat ia yakin bila semua yang ada di depan matanya bukanlah mimpi.

Yadi akhirnya menutup kembali pintu lemari dan menguncinya setelah memastikan. Ia pun beranjak balik mendekat ke ranjang dan berbaring di sisi Warni yang masih terpejam dengan nafas pelan teratur.

Sesekali Yadi menatap wajah kelelahan istrinya. Dalam pikirannya, terbayang bagaimana nasib sang istri saat dirinya pergi. Membuat hatinya menjerit pilu. Namun di sisi lain, melihat tumpukan uang yang begitu banyak dalam lemari, membuatnya sedikit terobati.

Entah pikiran dari mana Yadi langsung mengaitkan kejadian yang di alami istrinya dengan munculnya uang itu. Ia pun kembali mengingat kalimat "Terima Kasih" yang di ucapkan sosok Sukirman.

Meski tak jelas makna dan buat apa sosok Sukirman mengucapkan itu, tapi Yadi sedikit bisa menerkanya.

Binar kebahagiaan terpancar dari wajah Supri yang baru saja merebahkan tubuhnya di kursi kayu. Matanya terpejam sembari menyunggingkan bibirnya.

Di samping itu, Mbah Kardi yang sedang berdiri sambil memperhatikan dari ambang pintu, kepalanya sebentar manggut-manggut dan sesekali mengelus jenggotnya sebelum menutup perlahan daun pintu kamar Supri.

Namun malam itu, Supri yang baru saja memejamkan mata untuk sekian lamanya, tiba-tiba terganggu sebuah suara panggilan yang sering ia dengar terlafal dari bibir Bapaknya. Memaksa Supri untuk bangun, menuntun ke dua kakinya untuk menapak lantai.

Kini Supri sudah sepenuhnya sadar dalam posisi berdiri. Ia sekali lagi menajamkan pendengarannya, mencari asal suara panggilan tersebut. Tapi setelah dicari, Supri tak mendapati ada siapa pun di dalam kamar.

Hingga pandangannya tertuju pada lemari tua, seakan ada hawa lain yang membuat rasa penasaran Supri membuncah.

Supri kemudian melangkah pelan, tergerak untuk mendekati lemari kayu berukir yang terletak di sudut kamar.

Perlahan tangannya menarik pegangan pintu, menatap nanar isi dalam lemari yang hanya terpampang tumpukan kain.

Puas mengedarkan mata ke seluruh sudut dalam lemari, tangan Supri kemudian mengambil sebuah kotak kayu yang terselip di tengah-tengah antara tumpukan pakaian.

Sebentar tangannya membuka bagian atas kotak, lalu meraih sebuah blangkon warna hitam dengan ukiran batik.

Harum, terhembus dari blangkon yang biasa Alm Bapaknya gunakan untuk menghadiri sebuah acara wayangan.

Satu profesi telah di geluti puluhan tahun lamanya, sebelum mengakhiri hidupnya. Pekerjaan Sukirman itulah juga di anggap sebagai sumber penghidupan dan mencari tumbal.

Sementara Ibunya Supri, ia sudah lama meninggalkan Sukirman setelah tahu kalau Sukirman melakukan perjanjian dengan salah satu iblis dari leluhurnya.

“Pakailah, Nak. Blangkon itu akan membuatmu dihormati, pakailah...” lirih tapi mampu menghentakkan tubuh Supri, suara membisik yang entah dari mana datangnya.

Supri sejenak memalingkan wajah, mengitari seluruh isi ruang kamar, mencari sumber suara yg nyata ia dengar. Sampai berulang memastikan, Supri tak menemukan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Supri kembali fokus pd blangkon batik yg sudah ia pegang, membukanya, kemudian memakai.

Pas dengan lingkar kepalanya. Membuat tanpa sadar menuruti bisikan lirih yang beberapa saat lalu telinganya dengar, untuk memakai di kepalanya. Merasa begitu cocok, Supri ingin melihat dirinya sendiri. Supri menggeser tubuhnya ke samping, berdiri lurus pd cermin yg ada di lemari.

Sunggingan senyum tipis kemudian tersemai dari bibirnya, mendapati dirinya begitu gagah dan berwibawa. Membawanya pada memori masa lalu, ketika Sukirman selalu berada di atas. Tapi tak lama, sunggingan senyum Supri memudar, berganti bias ketakutan menyirat kuat,-

manakala dari belakangnya ia melihat sosok lelaki tua berbelangkon berdiri menatap tajam ke arahnya.

Supri pun segera membalikkan badan, namun kosong. Tak ada sosok lain, yg ada hanya semilir angin lembut menyapu tubuhnya, bersamaan dgn aroma wangi yang biasa Sukirman gunakan.

Tak lama Supri kembali memasukkan blangkon ke dalam kotak kayu serta menyimpan kembali ke dalam lemari. Tapi baru saja Supri menutup pintu lemari, satu suara panggilan kembali mengejutkannya.

“Kemari, Nak. Mendekatlah...” suara itu kembali terdengar lirih. Tak hanya dari ketika memanggil, Supri juga teringat dengan suara bisikan lembut yang sama persis saat menyentuh blangkon tadi.

“Tidak usah ragu. Aku ini eyangmu yang akan menuntunmu.” Ucap kembali sosok lelaki tua yang Supri yakini kalau pemilik suara itu adalah sosok lelaki tua yang sempat Supri lihat dari pantulan cermin tadi.

Supri terdiam sejenak, sebelum nekat untuk membalikkan badan. Seketika terasa anyep di rasa Supri saat matanya mendapati sosok Sukirman tengah berdiri di belakang lelaki tua yang duduk menghadap Supri.

Setapak demi setapak Supri melangkah, ia memberanikan diri mendekat ke arah Bapaknya dan sosok yang terduduk. Langkah Supri segera tersambut aroma wangi menyengak seperti ketika ia membuka kotak kayu.

“Ambillah blangkon tadi.” Perintah lelaki tua itu.

Seperti ditarik satu kekuatan, Supri tak membantah dan menurut. Sebentar, lalu dia kembali mendekat dengan membawa kotak kayu berukir berisi blangkon.

“Bukalah, setelah ini kamu yang akan memiliki, harus kamu teruskan ritual ini.”

Supri tahu makna dari kalimat yang tersemat di dalamnya, lelaki tua atau yang Supri yakini adalah eyangnya, menginginkan dirinya menggantikan Sukirman untuk menjadi seorang pendalang.

Kalut dan bimbang, membuatnya tak sadar bila waktu hampir menjelang pagi. Yadi tak sedikit pun terpejam malam itu. ia baru tersadar ketika mendengar isak tangis istrinya. Yadi pun memeluk, mencoba menenangkan Warni yang semakin deras menangis.

Warni yang masih di rundung ketakutan, memanggil Yadi sebelum akhirnya mengeraskan suara tangisnya. Beban begitu berat dalam batinnya ia tumpahkan dalam dada Yadi.

Sementara Yadi hanya tercenung mendengar cerita Warni dari awal sampai akhir asal tragedi mengerikan yang sudah beberapa kali ini di alaminya.

Namun dari semua cerita yang di curahkan Warni, Yadi sedikit merasa lega ketika Warni tak bertanya atau mendesak asal Yadi mendapatkan uang dengan jumlah yang banyak itu, karena Warni berasumsi, jika kejadian ini terjadi setelah Yadi membawa uang yang banyak itu.

Namun asumsi Warni tetap saja hanya mampu ia pendam. Sehingga Yadi merasa tak perlu untuk bercerita apa sebenarnya pangkal dari tragedi memilukan itu.

"Sudah. Kamu tenang saja, meski hatiku pun sakit, tapi kita tak mungkin mengurus atau melaporkannya. Aku akan berusaha mencari tau penyebabnya, agar tak terulang lagi." Berat suara Yadi, saat minimpali kerisauan hati istrinya.

Hari itu, saat matahari mulai merangkak naik, Yadi memutuskan membawa Warni pergi sementara waktu dari rumah itu. Selain untuk menghiburnya, dia juga ingin mencari tau di balik kejanggalan yang menimpa keluarganya secara pasti, bukan berdasarkan akal rabaan dan buah pikirannya.

Oleh karena itu, Yadi pun memutuskan untuk menyambangi rumah mewah Sukirman setelah menitipkan Warni pada saudaranya.
Siang menjelang sore, Yadi akhirnya sampai di sebuah bangunan penuh ukiran dan berhalaman luas.

Ia tau, bahkan sering melewati jalan di depan rumah yang di dominasi warna coklat tua. Tapi untuk pertama kali, dirinya memasuki halaman rumah milik Sukirman.
Yadi sendiri sebenarnya sudah mengenal baik sosok Sukirman.

Namun selama ini, Yadi hanya mengenal sosok Sukirman sebagai pendalang sukses yang kaya raya, tanpa tau siapa dia sebenarnya, dan dari mana sumber utama kekayaannya.
"Permisi ... Sore...." sapa Yadi setelah langkahnya sampai di depan pintu berdaun kayu jati penuh ukiran.

Berulang-ulang suara Yadi menyapa, sampai akhirnya satu suara langkah dari dalam, kemudian di susul derit pintu terbuka, menandakan jika seseorang telah merespon sapaan Yadi.

"Monggo, ada perlu apa, Mas?" sahut seorang lelaki tua berblangkon batik yang baru saja membuka pintu dan menatap penuh selidik pada Yadi.
Yadi terdiam sebentar. Ia sedikit gugup mendapati tatapan dari lelaki tua itu.

Namun demi tujuannya, ia segera tergelak mengatur nyali keberaniannya.
"Maaf, Pak. Boleh saya masuk? Saya ingin bertemu dan bicara sama pemilik rumah ini," jawab Yadi pelan dan sopan.

Kini, berganti sang lelaki tua itu yang terdiam. Jagunnya turun naik, tatapannya menajam, seperti menggambarkan sesuatu tak enak mendengar jawaban Yadi.

Selagi Yadi dan sang lelaki tua berblangkon terdiam dalam pikiran masing-masing, tetiba saja dari arah dalam, satu suara sedikit keras mengejutkan keduanya, terutama sang lelaki tua.

"Biarkan dia masuk, Mbah," ujar suara itu.
"Baik, Mas." Sang lelaki Tua menyahut sembari mempersilahkan Yadi untuk masuk.

Ada rasa takjub, tapi juga takut, saat Yadi melangkah masuk mengikuti sang lelaki berblangkon. Takjub melihat isi dalam rumah yang begitu berkesan dan belum pernah ia lihat di manapun. Hampir semua isi dalam rumah itu terbuat dari hasil ukiran kayu jati yang mengkilap.

Tampak sekali kesan mewah berkelas tinggi, dalam penilaian Yadi.

Akan tetapi, ketika matanya tertuju pada tiap-tiap patung yang terpajang di setiap sudut ruangan, perasaan Yadi menciut, ngeri. Ia melihat jika patung-patung itu seperti hidup.

Mengawasi tiap langkahnya sedari awal masuk, hingga ia sampai pada sebuah ruangan besar seukuran rumahnya.
Di situ, diruangan tak kalah mewahnya, Yadi di persilahkan duduk oleh sang lelaki tua.

Saat itu juga Yadi tersadar, bila tadi sewaktu di luar ia mendengar suara jelas seorang lelaki yang mengijinkannya masuk, tapi sampai pada detik itu, dirinya belum melihat sang pemilik suara.

"Aneh! Padahal tadi suaranya seperti dekat? Tapi di mana orang itu?" pikir Yadi dalam hati.
Lama Yadi terdiam, duduk sendiri di kursi empuk berwarna kuning ke emasan. Matanya terus mengitari ruangan yang kadang menimbulkan decak kagum.

Hingga pandangannya sampai pada lukisan tangan di dinding sisi kiri ruangan itu, hatinya mulai merasakan sebuah kegelisahan.
Sedikit takut Yadi kala melihat empat lukisan yang berjejer di dinding sama rata ukuranya.

Di mana, salah satu dari lukisan itu, di posisi bagian bawah adalah lukisan Sukirman. Orang yang ingin dirinya ketahui ikhwal sebenarnya.
Di balik rasa takut dan gelisah, ada satu lukisan yang berada di posisi paling atas menarik perhatian mata Yadi untuk berlama2 menatapinya.

Lukisan itu seperti nyata, menggambarkan sosok lelaki lebih tua dan berblangkon, selaras dengan baju surjan yang melekat di tubuhnya dan tertulis sebuah nama Ki Rusmoyo.

Entah berapa lama Yadi menatapi sosok lelaki tua dalam lukisan itu, hingga tak menyadari bila di depannya telah berdiri seorang lelaki muda berkemeja batik.

"Apa yang kamu lihat, Kang?" tanya sang lelaki muda, menyadarkan Yadi.

"Ehh ... maaf, Pak," jawab Yadi tergugup mendapati teguran dari sang empunya rumah.
"Apa yang ingin kang Yadi ketahui tentang ayahku?" Kembali Yadi terhenyak kaku, mendengar ucapan sang lelaki muda berjambang tipis yang telah duduk di hadapannya.

Selain dirinya tak menyangka lelaki itu mengenal namanya, juga tentang maksud kedatangannya.
"Maaf, Pak. Bagaimana bapak tau nama saya? Dan dari mana juga bisa tau kalau kedatangan saya...?" ucap Yadi pelan, namun terputus.

"Kang Yadi gak perlu tau dari mana saya bisa tau. Yang jelas sekarang katakan saja, apa yang ingin kang Yadi tau tentang Ayah saya!" sahut lelaki muda memotong ucapan Yadi.

Saat itu juga, dengan memberanikan diri, Yadi akhirnya bercerita tentang awal dirinya melihat kecelakaan yang di alami Sukirman, mengambil tumpukan uang, sampai terjadinya malapetaka terhadap istrinya juga dirinya yang sempat bertemu sosok menakutkan Sukirman.

Sang pemuda yang mendengarkan sesekali menyunggingkan senyum sinis, seakan sudah mengerti tentang apa maksud dari cerita Yadi. Hingga pada titik akhir cerita panjang Yadi, sang pemuda masih terlihat tenang.

Walau keseluruhan cerita Yadi bersinggungan dengan Sukirman, yang tak lain adalah ayahnya, tapi itu seperti tak membuatnya terkejut sama sekali. Malah, Yadi yang baru mengakhiri ceritanya, merasa kikuk atas sikap sang pemuda.

Ia yang mengira bakal akan ada perdebatan dari ceritanya itu, namun sampai detik akhir, sang pemuda seperti tak merisaukan apapun.

"Kang Yadi, datanglah lagi lain waktu. Gunakan saja uang yang sudah kang Yadi dapat. Nikmati saja semuanya, sebab itu sudah menjadi milik kang Yadi sepenuhnya," ucap sang pemuda seraya bangkit dari tempat duduknya.

Yadi sedikit terperanjat mendengar kalimat bernada perintah yg di lontarkan sang pemuda. Dalam benaknya, ia membayangkan tumpukan uang kertas yang tersusun penuh di dalam lemari. Membuatnya sedikit hanyut dalam gelombang angan-angan, tanpa menyadari jk sang pemuda telah berlalu.

Yadi baru tersadar akan dirinya yang masih terduduk sendiri, manakala sapuan angin lembut beraroma wangi sama persis dengan yang pernah ia cium beberapa kali, membuatnya buru-buru bangkit meningggalkan ruangan besar nan mewah itu.

Sesampainya Yadi di pintu utama, ia melihat keadaan langit yang mulai gelap. Menandakan malam mulai menjelma, mengganti sang surya yang tenggelam.
Yadi segera berlalu dengan cepat menuju kuda besi bersuara keras miliknya.

Bersiap menemui Warni istrinya, yang berada di rumah saudaranya. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari halaman rumah Sukirman, tepat di persimpangan sudut batas antara jalan dan pagar rumah, Yadi di kejutkan seseorang yang menghentikan laju motornya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close