Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU JIWO (Part 1)

Cerita ini saya adaptasi dari kisah nyata.

Menceritakan tentang seseorang yang menjadi korban pesugihan, dimana, secara sengaja lelaki yang ada di dalam cerita, mengambil uang yang sudah di ritualkan untuk mencari tumbal pesugihan.

Tapi karena ketidaktahuan-nya itulah, malapetaka datang bertubi-tubi menyambangi lelaki yang sudah beristri tersebut. Dan yang paling mengerikan dari kisah ini, istrinya yang tidak tahu menahu asal uang yang di dapat sang suami, harus menerima kenyataan pahit.

Dimana sangat istri harus memberikan seluruh hak-nya sebagai istri kepada si pelaku pesugihan. Bahkan dirinya harus menjalani pernikahan gaib.


Prolog
Hujan gerimis masih samar terdengar, bersamaan dengan suara teriakan malang seorang lelaki. Sedangkan lengkingan parau yang sedari tadi menyayat hati itu tak mampu membuat perempuan yang ada di hadapannya bergeming.

Ia hanya mampu melihat, menyaksikan kejadian yang tengah terjadi. Rumah sederhana yang dikelilingi kebun dan ladang itu tampak masih kokoh. Sedang yang ada di dalamnya terdapat lelaki yang sedang berusaha mencoba membebaskan diri dari tali yang membelenggunya.

Berjuang untuk menyelamatkan hidup istrinya.
Dia sendirian menyaksikan tubuh istrinya sedang digerayangi oleh sosok yang sangat dirinya kenal. Hatinya terasa tercabik-cabik, jiwanya meronta, melihat kejadian nyata di depannya.

"Saya mohon, Pak! Jangan istriku! Ini semua kesalahan saya. Jadi biarkan saya yang menanggungnya." teriaknya sambil memohon.

Keringatnya tak henti bercucuran, yang mana seluruh tubuhnya kini sudah basah.

Lelaki itu kembali berteriak, memohon, kepada sosok lelaki yang kini mulai mendekat ke arah wanita yang berdiri dengan tatapan kosong.

"Maturnuwun banget, Kang. Mari iki bojo sampean wes murni dadi bojoku. Opo wae sik sampean pingin bakal tak kabulke"

(Terimakasih sekali, Kang. Setelah ini istrimu murni jadi istriku. Apa saja yang kamu inginkan, bakal saya kabulkan) ucap sosok lelaki itu dingin.

"Nduk, bukaen klambimu." (Nduk, buka pakaianmu) sambung lelaki masih dengan ucapan dingin.

Dan benar saja, setelah kalimat itu terucap, wanita itu mulai perlahan membuka kancing bajunya satu persatu, seolah menuruti perintah dari lelaki itu.

Tak lama kemudian, pakaian yang di kenakan sang wanita pun terlepas. Menampilkan kemolekan dari tubuh sang wanita yang begitu menggoda. Tampak senyuman tipis menyungging menghiasi ujung bibir si lelaki.

Ia pun segera melakukan usaha terakhirnya untuk menyetubuhi sang wanita dengan di saksikan oleh suaminya sendiri. Jiwanya benar-benar terguncang hebat kala sosok lelaki itu berkali-kali melakukan adegan tak terpuji.

Perbuatan ketidaktahuannya yang di lakukan sang lelaki, menimbulkan akibat yang begitu pahit harus dirinya terima. Karena masalah ekonominya, membuat mata dan hati Yadi buta, tanpa memikirkan akibat yang akan dirinya hadapi. Mengambil tumpukan uang dari korban kecelakaan tunggal.

Beberapa saat Yadi memandang diam tubuh sang istri yang kini terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang bertilam kain putih transparan. Pecahan-pecahan memori pun kembali menyusup dari dalam kepala, mengusik hati nuraninya.

Sebenarnya dari lubuk hatinya, Yadi merasa sangat bersalah sudah mengambil yang bukan hak nya. Namun lagi-lagi dengan alasan ekonomi, setan berhasil membisikkan, membuatnya serakah.

Terjadi jeda beberapa saat, ketika Yadi mulai tersadar sepenuhnya. Dirinya terbangun dengan tubuh yang sudah terbasahi oleh keringat. Sampai tak lebih dari lima tarikan nafas, Yadi memalingkan wajahnya ke arah warni yang sedang terlelap di sebelahnya.

Rasa takut dan khawatir sudah mulai memenuhi benaknya, berharap semua yang ia lihat di mimpinya tidak terjadi.

Setengah jam kemudian, Yadi memaksa tubuhnya untuk bangkit. Tulangnya terasa nyeri dan linu, seakan apa yang baru dimimpikan barusan seolah nyata.

Ia kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk menunaikan hajat rutinnya.

Selesai membuang hajat, Yadi hendak merebahkan tubuhnya kembali, namun tertahan oleh satu rasa penasaran yang sedari tadi mengganggunya.

Dengan langkah tertatih, ia pun berjalan ke arah lemari yang terletak di sebelah ranjangnya. Sejenak terdiam sebelum membuka pintu lemari. Sampai pada lima tarikan nafas berikutnya, setelah yakin dan mantap. Yadi membuka pintu lemari.

Di carinya sesuatu yang membuat rasa penasarannya semakin membuncah. Sampai pada tumpukan baju paling belakang, apa yang ia cari ternyata ada di sana. Sebuah kantong plastik warna hitam.

Matanya melirik bungkusan yang kini sudah ada dalam genggamannya. "Untungnya masih ada." ucap Yadi lega.

Apakah Yadi akan percaya atas apa yang baru saja di alami itu bakal terjadi? Tidak! Untuk sementara Yadi masih berpikir kalau itu hanyalah bunga mimpi saja.

Yadi mengada-ada alasan demi membenarkan apa yang barusan ia alami dalam mimpinya. Yadi pun bergegas untuk kembali menutup pintu almari dan menyimpan kuncinya.

Bersamaan dengan itu, petir dan kilat dengan suara gemuruh mulai menggelegar, menandakan hujan akan segera turun.

Tak hanya alam, bahkan sosok yang kini sedang berdiri di sudut kamarnya, melihat dan menyaksikan Yadi sedang tersenyum bahagia, seakan dia sedang merencanakan sesuatu dengan tumpukan uang yang ada dalam kantong tersebut. Sekali lagi tanpa ia sadari,-

bahwa malapetaka akan segera menyambangi, menuntut ganti nyawa setelah apa yang akan Yadi lakukan dengan uang itu....

***

Cerita SEWU JIWO, dimulai...

Pagi itu tak seperti biasanya, Yadi melajukan sepeda besinya sedikit lebih kencang. Ia tak peduli dengan suasana alam yang masih berkabut dan ramai oleh beberapa warga sekitar yang sedang berjalan hendak ke sawah.

Matanya terlihat fokus ke depan, menatap jalan sambil sesekali berteriak memberi isyarat agar di beri jalan pada laju sepedanya.

Kurang lebih 20 menit, Yadi membelokkan sepedanya, memasuki jalanan sedikit lebih lebar. Pedal semakin digenjot membuat sepedanya melesat lebih cepat.

Hingga tak lebih dari sepuluh menit, Yadi memelankan sepedanya saat matanya melihat tak jauh lagi sebuah pasar ramai yang menjadi ladang dirinya mengais rejeki.

Namun sebelum ia memasuki lahan parkir, Yadi mendadak menghentikan sepedanya. Manakala dirinya yang hampir saja tertabrak mobil kijang yang melaju cepat dari arah belakang, kalau saja Yadi tak cepat-cepat menarik tuas rem, mungkin akan lain cerita.

***

Di sebuah bangunan penuh ukiran dan berhalaman luas, bercat dominasi warna coklat tua. Seorang lelaki tua sedang duduk bersama satu lelaki muda di halaman depan. Mereka seperti sedang membicarakan suatu hal yang sangat penting.

Berkali-kali juga si lelaki tua itu tampak menimbang atas keputusan yang akan ia ambil. Sampai akhirnya, kemantapan dan keyakinan si lelaki tua di sambut oleh raut wajah si lelaki muda yang begitu serius mendengarkan.

Sampai ketika si lelaki tua itu berdiri, menatap tajam lelaki di hadapannya sebelum menghembuskan nafas panjang dan berucap.

“Le, rencana Bapak sudah bulat, hanya dengan cara ini satu-satunya yang bisa meneruskan persekutuan dengan leluhur.” Berat dan tegas suara yang terdengar. Wajahnya tak berpaling masih menatap tajam ke arah anaknya.

“Tapi Pak. Nanti kalau Bapak meninggal, saya sama siapa di sini?” lirih, suara si lelaki muda menjawab. Seperti tertekan rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti jiwanya.

“Tenang, Le. Masih ada Mbah Kardi yang mau mengurus semuanya, termasuk mengurus dirimu.” Jawab si lelaki tua yang dikenal orang paling kaya, Sukirman.

“Yowes, Bapak berangkat dulu, mumpung jam segini orang-orang lagi sibuk berangkat ke pasar.” sambung Sukirman sambil berlalu menuju ke arah garasi mobil.

Kendaraan minibus keluaran tahun 2004 yang menjadi tunggangan setianya, kini melaju, meninggalkan rumah bak istananya, menuju ke sebuah pasar kecamatan. Satu hal yang harus dirinya lakukan,-

yaitu menabrakkan kendaraannya dan menunggu siapa yang akan mengambil bungkusan hitam yang sudah ia siapkan di jok belakang. Tak lupa, kembang setaman juga sudah ia siapkan sedari tadi di rumahnya, setelah melakukan sebuah ritual pemujaan,-

guna meneruskan persekutuan yang sudah ia lakukan sejak lama. Sebuah tradisi keluarga.

Hingga mobil kijang warna hitam itu keluar dari sebuah gang, memasuki jalanan aspal lebih lebar dan sepi. Pedas gas ia injak dalam-dalam agar laju kendaraannya semakin melaju kencang.

Sampai tak lebih dari satu kilometer mobil itu melaju kencang, setelah Sukirman menyalip seorang pesepeda berkeronjot, yang tampaknya akan menuju ke pasar. Buru-buru Sukirman membanting setirnya ke kiri.

Membiarkan kendaraan yang ia tumpangi menabrak beton pembatas jalan dengan kecepatan penuh hingga ringsek di bagian depan. Melontarkan tubuhnya keluar dan membentur aspal dengan keras.

Kejadian itu begitu cepat, sampai tubuh Sukirman terpental jauh keluar. Membiarkan seseorang yang akan menolong dan mengambil bungkusan yang ada di dalam mobilnya. Siapa pun itu. Karena dengan itu, rencana Sukirman berjalan lancar.

***

“Braak...Pyarrrr....”

Yadi menarik nafas dengan cepat, dia panik, mobil kijang yang baru saja menyalip dari belakangnya, tiba-tiba saja menghantam keras pembatas jalan yang ada di sebelah kiri.

“Astaga!” seru Yadi terkejut mendengar suara benturan keras dan melihat satu sosok terlempar keluar dari mobil yang menabrak beton pembatas.
Yadi seketika berlari menghampiri sosok yang terlempar. Wajahnya tegang menyaksikan kecelakaan tunggal yang belum tahu siapa korbannya.

Sampai sejenak Yadi terdiam, matanya awas guna memastikan sosok terlentang yg samar terlihat dari sorot lampu penerangan jalan. Tak lama, Yadi tertegun sambil meneliti seksama,-

sampai akhirnya rasa kagetnya membuncah ketika dengan jelas matanya menangkap sosok itu, sosok yang amat ia kenal.

"Pak Sukirman!" ucap Yadi lirih menyebut nama sosok yang terbaring di depannya dengan mata melotot.

Tak seberapa lama, orang-orang sekitaran yang beraktifitas di pasar berdatangan membantu mengangkat tubuh Sukirman. Meski ada kejanggalan di mata Yadi, namun sejenak ia tepis mengingat saat itu ramai orang.

Selang beberapa menit, akhirnya tubuh Sukirman di pinggirkan. Menyisakan rasa ngeri dalam diri Yadi, melihat luka dan darah dari tubuh Sukirman, yang jelas-jelas ia saksikan terbentur keras kala terlempar dari dalam mobil.

Rasa penasaran Yadi semakin membuncah, menyulut saat dirinya tergerak untuk mendekati mobil kijang milik Sukirman yang tampak ringsek di bagian depan.
Lama Yadi mengamati mobil dari luar. Menatapi dengan seksama demi menjawab rasa penasarannya.

Hingga tanpa terasa ia lebih mendekat dan melihat ke dalam mobil. Sepintas biasa, seperti isi dalam mobil pada umumnya. Namun sebentar kemudian, Yadi sedikit terlonjak kala mendadak hidungnya membaui satu aroma wangi bunga beraneka dari sudut belakang.

Sedikit ragu Yadi saat itu. Sebab bau tak lazim yang ia cium, begitu santer menyusup. Sampai akhirnya, satu perasaan aneh mengalahkan kakinya yang ingin bergerak menjauh, malah balik naik dan masuk ke dalam mobil.

Tertegun Yadi seketika. Melihat satu kantong hitam tergeletak di ujung jok belakang, asal dari sumber wewangian bunga yang menusuk. Lagi-lagi, perasaan ragu sebentar bertarung dalam batin Yadi. Antara bisikan untuk mengambil dan membiarkannya.

Dan kembali, jiwa Yadi terkuasai rasa penasaran hingga perlahan tangannya tergerak meraih bungkusan dan membukanya.

Mata Yadi seketika terbelalak, melihat isi dari bungkusan kantong hitam yang baru di bukanya.

Tampak expresi wajahnya sebentar berubah, demi tumpukan uang yang ada di kantong hitam milik Sukirman, dalam jumlah yang besar.
Segera Yadi menutup bungkusan itu dan memasukan ke dalam lipatan perutnya bertutup jaket yang biasa ia kenakan.

Yadi segera turun, dan tepat di saat itu, beberapa lelaki tegap berseragam polisi datang mendekat. Sejenak berbasa-basi, Yadi pun berlalu mendekati sepedanya.

Sebelum Yadi mengenjot sepedanya, dirinya sempat bersitatap dengan seorang lelaki tua, yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti tengah memberi satu isyarat padanya, tentang satu hal yang telah ia lakukan. Namun, isyarat itu tak berpengaruh apapun buatnya.

Hati dan pikirannya telah terasuki, di kuasai oleh tumpukan uang milik orang lain, yang ia anggap sudah mati, yang baru sekilas ia lihat, tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya, bakal ia terima di kemudian hari.

Binar kebahagiaan terpancar dari raut wajah sangar Yadi, manakala ia pulang dengan membawa tumpukan uang yang terbungkus dalam sebuah kantong hitam. Uang yang seharusnya tak ia ambil.

Di samping bukan miliknya sendiri, juga dirinya tak menyadari bila dari tumpukan uang itulah, malapetaka bakal datang bertubi-tubi. Namun godaan serta bisikan dari hatinya untuk menguasai, membuat akal sehat Yadi mati.

Tak mampu membendung hingga membuatnya berpikir pendek lalu memanfaatkan kesempatan di balik kematian seorang lelaki kaya raya yang meninggal akibat kecelakaan tunggal penuh kejanggalan.

Lelaki yang juga sangat ia kenal. Bahkan nama besar dari Sukirman, sebagai seorang juragan berlimpah harta, terdengar dan terkenal di beberapa Kecamatan sekitaran kabupaten itu.

Membuat sesiapapun kala berhadapan dengannya akan tertunduk, merasa kecil, tergerus dengan sandang dunia yang tersemat di balik nama Sukirman. Tanpa tau seperti apa laku Sukirman sendiri, ketika mendapatkan harta dunianya yang membuat silau orang-orang di sekitarnya.

Kembali ke Yadi, guratan bahagia masih terus tersungging dari sudut bibir dan tiap lekuk kulit wajahnya. Ia yang tengah duduk di kursi tamu, sambil menselonjorkan kedua kakinya di atas meja, tak menyadari jika di belakangnya,-

ada sosok wanita yang sudah mendapinginya beberapa tahun, tengah terdiam memperhatikan penuh rasa heran akan sikapnya.

"Mas... Mas Yadi kenapa, kok kayak lagi seneng banget?" tanya sang wanita yang tak lain istri dari Yadi, kala tak tahan lagi dengan rasa penasaran melihat sikap suaminya.

Yadi sedikit tergelak kaget, mendengar suara lembut istrinya, yang kini sudah berdiri tepat di belakang sambil menyentuh bahunya. Membuat sedikit rasa suka citanya memudar.

Namun, tak berapa lama, perasaan itu kembali memancar bahkan lebih terlihat jelas, saat tanganya mengeluarkan sebuah bungkusan yang terselip di perutnya.

"Apa itu, Mas?" tanya Warni, istri Yadi semakin terheran.

"Ini rezeki besar yang aku dapatkan hari ini. Dan ini juga yang membuat aku bahagia....," jawab Yadi pelan, penuh antusias disertai senyum tawa mengembang.

Warni sendiri awalnya hanya mengerutkan kening.

Menatap penuh selidik ke arah bungkusan kantong hitam yang tengah di buka perlahan oleh tangan suaminya. Tak lama, Warni pun terhenyak, melebarkan dua bola matanya,

menatap lekat isi dari bungkusan yang berupa beberapa tumpukan uang masih terikat.

"Ya ampun, Mas. Ini beneran uangmu, Mas?" ucap Warni seolah masih belum percaya dengan apa yang di lihatnya.

"Iya," jawab Yadi singkat.

Hari itu, kebahagiaan seketika menyeruak dalam rumah sederhana Yadi.

Warni, istri Yadi tak henti-hentinya berdecak kagum dan memuji sang suami. Tanpa bertanya asal usul dari mana suaminya mendapatkan uang sebanyak yang dirinya belum pernah miliki.

Ia tersenyum, tertawa riang sembari merencakan penggunaan uang itu untuk kebutuhan hidup mereka. Tanpa tau apa yang bakal dirinya alami setelah hari itu.

***

Di samping Yadi dan Warni sedang merasakan binar kebahagiaan, namun tidak untuk di tempat lain, tepatnya di kediaman Sukirman berada. Siang itu selepas pemakaman Sukirman, lelaki seumuran Yadi atau anak Sukirman yang biasa di kenal Kang Supri, merenung di halaman depan.

Walaupun berwajah sangar dan gagah, namun kalau sudah berurusan dengan kematian orang tuanya, anak mana lagi yang tak akan bersedih.

“Kopi apa Teh, Kang?”

Yono sebenarnya lebih memilih kopi, karena secangkir kopi panas selalu bisa mengusir rasa kantuk yang sekarang sudah mulai menggelayuti. Tapi Yono tahu sopan santun, dia tahu dengan siapa sedang bicara dan dimana posisinya berada.

Alih-alih berkata sebenarnya, Yono hanya tersenyum menanggapi tawaran Supri.

“Ndak usah repot-repot, Kang. Saya cuman sebentar kok ini...” sambil mengambil duduk di samping Supri, Yono berucap. Tapi sepertinya Supri tak terlalu mempedulikan basa-basi itu.

“Mbah, kopi dua!” teriak Supri kepada Mbah Kardi, ketika ia melihat kakek tua itu melintas. Buru-buru Yono mengutarakan apa maksud kedatangannya.

“Jadi gini, Kang. Semua pesanan Alm Pak Sukirman sudah saya siapkan. Kira-kira mau di pakai kapan ya, Kang?”

Supri diam sejenak. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Oh sudah siap semua ya berarti, Kang.....”

Supri terlihat ingin melanjutkan pembicaraan, tapi terlanjur terpotong ketika Mbah Kardi berjalan keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi.

“Kang, dengarkan saya. Saya tidak mau amanat yang Bapak titipkan, gagal. Jadi sekarang tolong dikabarkan kepada anak muda untuk kerja bakti.”
Sore itu akan di adakan kerja bakti untuk membersihkan gudang di belakang rumah.

Setelah itu, malamnya akan dilaksanakan ritual tarik sukmo. Supri butuh beberapa orang untuk membereskan barang-barang yang tak terpakai yang ada di dalam gudang belakang rumah.

Yono mengangguk, walau dia masih belum mengerti kenapa harus secepat itu, padahal hari yang di tentukan masih beberapa hari lagi. Tapi kalimat Supri berikutnya, mungkin sedikit banyak menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Yono. Yaitu tentang keamanan.

“Mbah, menurut sampean gimana? Apa ini terlalu cepat atau lebih baik? Saya khawatir kalau harus menunggu lama.” Supri kemudian bertanya ketika Mbah Kardi muncul dari dalam ruangan, hendak ikut duduk mengobrol.

“Saran simbah, jangan terlalu buru-buru. Karena kita belum tahu, apakah uang itu sudah di pakai atau belum. Sejatinya akan terjadi akad perjanjian kalau si penemu uang itu sudah membelanjakan uangnya.

Jadi tunggu besok. Kalau memang sudah di pakai, air kendi yang ada di dalam kamar Bapakmu akan berubah menjadi merah darah.” Jawab Mbah Kardi menjelaskan.

Yono, dan beberapa orang lainnya, mereka berkumpul di depan rumah Supri sore itu ketika Yono selesai mengirimkan pesan singkat setelah mendapatkan mandat dari Supri. Hingga tak butuh waktu lama, setelah adzan isya berkumandang, acara kerja bakti sudah selesai.

***

Malapetaka di mulai setelah Yadi dan Warni baru saja pulang dari berbelanja. Pukul sembilan malam, saat mereka baru saja masuk dan mengemasi barang belanjaannya. Mereka dikejutkan oleh bebauan wangi memenuhi dalam rumahnya.

Bagi Warni, bau itu terasa asing, tapi bagi Yadi, ia ingat betul jika aroma itu pernah ia cium sebelumnya.
"Mas, ini bau wangi apa kok aromanya aneh?" tanya Warni sambil mengusap hidungnya, setelah baru saja selesai mengepaki barang belanjaannya.

"Bau apa sih, Dek? Aku gak nyium bau apa-apa lho," jawab Yadi seolah tak menghiraukan.
Namun dalam benaknya, Yadi sebenarnya juga merasa aneh. Sebab sangat jelas badinya, aroma itu sama persis dengan bau yang pernah ia cium di dalam mobil Sukirman sewaktu kecelakaan.

Terjeda sejenak, mereka berdua sempat terdiam. Sambil menyesapi wangi bunga kamboja bercampur barus yang masih tercium, sebelum akhirnya menghilang perlahan. Meski suasana dalam rumah kembali tenang, namun tidak pada suasana hati dan pikiran Yadi.

Ia merasa jika bau wangi itu ada kaitannya dengan kematian Sukirman. Tapi, demi melihat Warni bahagia, ia pun menghiraukan rasa janggal dalam benaknya.
"Mas, kamu mau minum kopi, ndak?" tanya Warni yang melihat suaminya terdiam.

"I-iya, Dek," sedikit terbata Yadi mengiyakan tawaran istrinya.

Warni segera bergegas menuju dapur setelah mendengar jawaban suaminya. Jari-jarinya kemudian menakar gula dan kopi ke dalam gelas.

Akan tetapi, ketika ia hendak melangkah kembali ke tempat suaminya, Warni sedikit terjingkat dan mundur selangkah kala satu siutan angin dingin menerpa wajahnya.

Tak hanya rasa dingin yang membuatnya terkejut, melainkan satu aroma yang sama sempat ia cium beberapa menit yang lalu, kembali tercium pekat. Warni merinding, sempat ingin meninggalkan dapur dan memberi tahu suaminya, tapi ia urungkan.

Manakala, ketika Warni mengangkat cangkir berisi kopi tersebut, tetiba saja dari arah belakang ada sentuhan yang membuatnya terperanjat.
Tapi keterkejutannya tergantikan oleh seulas senyum mengembang,-

ketika tahu bahwa yang baru saja menyentuh dan merengkuh dari belakang adalah sosok Yadi. Apalagi, saat Yadi mempererat pelukan dan menghembuskan nafasnya ke leher Warni, tampak mata Warni terpejam seperti tengah menikmati.

"Mas, geli Mas.” ucap Warni lirih masih dengan mata terpejam.

"Nanti saja Mas, ini kopinya di minum dulu," sambung Warni yang tak mendengar jawaban Yadi, tapi malah merasa suaminya semakin agresif. Yadi pun akhirnya menghentikan aksinya dan mengendurkan dekapan pada tubuh Warni.

Kemudian perlahan ia melepaskan pelukannya serta beranjak meninggalkan Warni.
"Lho mau kemana, Mas? ini kopinya taruh mana?" tanya Warni saat melihat sosok suaminya mulai melangkah namun tak menuju ke ruang depan, melainkan ke arah belakang.

"Mas?" panggil Warni, ketika Yadi tak menjawab dan terus berjalan tanpa menghiraukan dirinya.
Tepat sebelum tubuh Yadi menghilang keluar dari pintu belakang, ia berhenti sejenak dan memalingkan wajah sebentar.

Menatap penuh arti sambil tersenyum ke arah Warni sebelum meneruskan langkahnya ke luar.
Aneh! pikir Warni tiba-tiba. Ia tertegun sebentar memikirkan sikap tak biasa suaminya. Sedikit ada keraguan meluncur dalam jiwanya, tapi cepat ia tepis.

Ia memilih untuk mengangkat segelas kopi dan akan menaruhnya di meja ruang tamu.
Mata Warni menciut, keningnya berkerut, ketika dirinya baru saja keluar dari dapur dan melihat suaminya sudah duduk menyandar di kursi tamu.

"Mas Yadi kok sudah di sini?" batin Warni.
Warni buru-buru meletakkan segelas kopi dan duduk di samping sosok Yadi. Menatap sebentar, sebelum menawarkannya.

"Ini Mas kopinya.”

“Mas, tadi ngapain di belakang?" sambung Warni setelah beberapa saat suaminya hanya terdiam.
"Kebelakang? Kapan? Aku di sini dari tadi, gak kemana-mana," sahut Yadi dengan mimik serius dan sedikit heran.

"Kamu jangan bohong deh, Mas. Tadi kamu beneran kebelakang kan? sehabis meluk-meluk aku."

Warni yang menganggap suaminya bercanda, mulai meninggikan suaranya. Berharap suaminya hanya mengerjainya.

Tapi sekali lagi, Yadi menjawab dan memastikan jika dirinya benar-benar tak kemana-mana. Membuat Warni bingung dan di landa gelisah. Ia mengingat betul semua kejadian yang baru saja menimpanya.

"Lalu siapa yang tadi aku lihat di dapur, Mas?" kali ini suara Warni bergumam lirih. Seperti tertekan rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti jiwanya.

"Mungkin kamu tadi sedang berkhayal, Dek. Sudahlah gak usah di pikirkan. Toh, kamu juga gak kenapa-kenapa," jawab Yadi mencoba menenangkan. Walaupun dirinya sendiri juga mempercayai satu keganjilan dari cerita istrinya.

Setelah sedikit tenang, mereka berdua kembali mengulas rencana dalam menggunakan uangnya. Begitu antusias dan semangat, mengindahkan hal ganjil yang mereka alami, setelah kedatangan uang itu.

Hingga akhirnya, Yadi yang sudah merasakan kantuk kemudian meninggalkan Warni yang masih sibuk dan larut dalam angan-angan keinginannya.

Entah berapa lama Warni terhanyut dalam khayalannya sendiri, tetiba saja ia bangkit dan beranjak menuju kamar mandi untuk menunaikan hajat rutinnya. Setelah menuntaskan hajatnya, Warni hendak kembali ke kamar.

Namun langkahnya terhenti, manakala pintu kamar mandi yang baru saja terbuka, matanya menangkap satu sosok tengah berdiri dalam posisi membelakangi.

“Astaga! Ngagetin aja Mas.” ucap Warni terkejut. Ternyata sosok yang tengah berdiri itu adalah suaminya.

Namun sosok Yadi hanya terdiam sambil tersenyum, tak membalas ucapan Warni. Sampai sosok Yadi yang menatap lekat tubuh Warni dari ujung kaki sampai ujung rambut, membuat Warni sendiri merasa begitu aneh dengan sikap suaminya.

Jantung Warni terpompa begitu cepat ketika dengan perlahan sosok Yadi berjalan mendekat.

Malam itu, entah mengapa, ia merasakan hal lain saat berada tepat di hadapan sosok Yadi.

Sebentar kemudian tubuh Warni terasa tegang ketika dengan lembut tangan Yadi merengkuh serta memeluknya. Warni tak mampu menolak, meski ada bisikan untuk menghindar. Tak lama, Warni benar-benar merasakan hal aneh dan ganjil.

Dari tubuh suaminya yang begitu dingin hingga wajahnya yang pucat pasi. Namun semua itu hanya mampu Warni ucap dalam hati.

Sejenak ia berpikir untuk lepas dai dekapan sosok Yadi, namun sia-sia. Bahkan tanpa ia sadari, pakaiannya sudah terlepas.

Entah berapa jam Warni membisu, karena setelah itu yang ia rasakan seluruh tulang di tubuhnya terasa nyeri dan ngilu. Tak ada rasa nikmat atau apa pun seperti biasa dirinya rasakan. Membuatnya meyakini jika sosok yang telah menggaulinya bukanlah suaminya.

Lagi-lagi semua itu hanya mampu Warni ucap dalam hati, manakala langkahnya yang tertatih sampai ke dalam kamar dan melihat tubuh suaminya masih terbaring di kasur. Keinginan untuk menceritakan semua keganjilan dan memalukan yang baru saja ia alami, hanya mampu ia pendam.

Ia takut juga tak ingin membuat suaminya murka bila tahu dirinya di gauli oleh makhluk yang menyerupai suaminya sendiri.

Pikirannya berkecamuk. Sesekali ia pun mengingat kembali sosok yang menyerupai suaminya, yang belum sekalipun dirinya dengar bersuara.

Tak ada perbedaan secara fisik, akan tetapi, tampak sekali jika sosok itu bertenaga lima kali lipat dari lelaki di sebelahnya.
Mengingat semua itu, seketika membuat tubuh Warni merinding ketakutan. Ia merapatkan tubuhnya pada sosok Yadi asli.

Hatinya menjerit, menangis dan berharap hal itu tak terulang lagi. Sampai akhirnya, rasa takut serta lelah di tubuh dan pikiran, mengantarkan ia ke dalam lelapnya alam mimpi.

***

Tak ada yang tahu kejadian yang menimpa Warni, sekalipun Yadi. Jadi, mari kita mundurkan alur sedikit, di satu jam sebelumnya, di mana jam dinding rumah masih menunjukkan pukul dua belas nyaris dini hari.

Di salah satu ruangan khusus, tepatnya di ruangan yang baru sore tadi di bersihkan oleh beberapa warga.

Tampak seorang lelaki duduk termangu di kursi kayu. Matanya menerawang, melamun dengan dagu tertopang.

Suara binatang malam yang sedang bernyanyi itu tak dipedulikannya sama sekali. Mungkin karena terlanjur tenggelam jauh ke dalam pikirannya sendiri.

Lelaki itu adalah Supri. Dan saat itu dia sedang bingung. Bingung dengan apa yang akan dia lakukan, manakala Mbah Kardi yang baru saja memberikan kabar bahwa air dalam kendi itu sudah berubah warna. Kepalanya mendadak berat, mengingat keputusan yang dia ambil sendiri siang tadi.

Ya, harus Supri akui bahwa keputusan itu ia ambil dalam keadaan berkabung, emosi dan kurang pertimbangan. Yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana mempercepat ritual Sewu Jiwo.

Semuanya sudah terlampau kacau, apalagi Supri sudah menyanggupi pesan dan amanat dari mendiang Bapaknya, Sukirman. Kalau di diamkan saja, bukan tidak mungkin nyawanya bakal terancam.

Apalagi Supri adalah keturunan terakhir, mau tak mau, Supri harus segera melakukan ritual Tarik Sukmo dan menanamkan Sewu Jiwo pada korbannya.

Sampai di satu titik, tak ada solusi lain muncul dari bibir Mbah Kardi. Maka, dengan kemantapan jiwanya, Supri segera menuangkan air kendi yang sudah berubah warna merah itu pada cawan yang sudah di siapkan oleh Mbah Kardi sebelumnya.

“Le, setelah kamu meminum air kendi ini, jangan kaget kalau nanti tubuhmu mengejang dan mati rasa, itu berarti perjanjian darah dengan leluhur sudah di terima. Maka cepat-cepat pakai jubah hitam itu dan tanamkan Sewu Jiwo pada si korban.”

Mbah Kardi yang sedari tadi terdiam, mulai angkat bicara sambil menjelaskan.

Terjingkat Supri seketika setelah mendengar penjelasan dari Mbah Kardi. Itu berarti Supri harus merasakan mati suri sebelum melakukan ritual.

Tidak! Supri menggeleng. Antara percaya dan ragu dari penjelasan Mbah Kardi. Namun setelah beberapa kali menimbang, Supri kemudian bangkit dan berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan tempat akan memulai ritual.

Di sana, sejenak kaki Supri terhenti di depan pintu. Pandangannya menatap sekeliling menyaksikan beberapa sesaji yang sudah siap. Apalagi, sekarang ruangan itu sudah dipenuhi asap putih yang berasal dari dupa dan kemenyan menyala yang ada di setiap sudut ruangan.

Pemandangan itu membuat Supri bergidik ngeri, pasalnya ia baru pertama kali ini melihatnya. Semasa Sukirman masih hidup, tak pernah sekalipun Supri menyaksikan ritual yang di lakukan Bapaknya, padahal Sukirman sudah mewanti-wanti, bahwa kelak Supri akan meneruskan ritual ini.

Dan sekarang, apa yang ada di hadapannya, nyata di lihatnya. Nyata akan ia lakukan untuk meneruskan pemujaan iblis demi tradisi keluarga yang belum sekalipun terputus.

“Pak. Mulai sekarang saya akan meneruskan tradisi ini.” Setelah masuk ke dalam dan menatapi lukisan Bapak dan Ibuknya, Supri membuka pakaiannya. Matanya melirik jam dinding di atas pintu yang menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit.

Malam itu kegelapan merangkak perlahan, diiringi suara lolongan anjing yang menggema memenuhi udara. Supri duduk bersila di ruangan, tepat di hadapannya yang berjarak sekitar empat langkah, Mbah Kardi dengan setelan pakaian serba hitam juga ikut bersila.

Menghadap beberapa sesaji berbungkus daun pisang yang diletakkan di atas tampah bambu.

“Ndak usah takut, Le.” Suara Mbah Kardi berat, tebal dan bergetar. Tapi Supri baru kali ini merasakan setiap kata yang meluncur dari mulut Mbah Kardi seakan mempunyai energi yang berbeda.

Membuat Supri yang mendengarkan nyalinya menciut.

Supri menggeleng ragu. Mbah Kardi tersenyum, kepalanya manggut-manggut, sepertinya dia tahu kalau Supri berbohong. Di samping Supri merasakan ada hawa yang berbeda,

dia juga memilih untuk menundukkan pandangan, hanya supaya tak beradu mata dengan Mbah Kardi.

“Sudah siap, Le?” tanya Mbah Kardi tiba-tiba.

“Su-sudah, Mbah.” Jawab Supri terbata, seakan jiwanya merasakan ketakutan yang luar biasa.

Kali ini Supri tak bisa menahan diri untuk tidak melihat apa yang sedang terjadi, ketika telinganya mendengar sebuah suara yang tak asing di telinga.

“Mbeeeek.” Entah dari mana datangnya, tapi kini seekor anak kambing berwarna hitam legam tampak berjalan mendekat ke arah Mbah Kardi sedang bersila. Membuat Supri menelan ludah. Bagaimana bisa ada kambing, sedangkan sedari tadi ia bersama Mbah Kardi.

Tanpa berlama-lama, tangan Mbah Kardi mengambil sebilah parang yang tergeletak di atas meja. Supri kemudian menoleh ke arah kambing itu yang masih berjalan mendekat ke arah Mbah Kardi, seakan tangan Mbah Kardi merayu, kambing itu semakin mendekat.

“Malam ini simbah akan memohon kepada leluhur Gusti Agung untuk memulai ritual ini. Bakar menyannya, Mas Supri!”

Supri kemudian maju. Dia menuruti perintah Mbah Kardi dan dalam sekejap, bau kemenyan memenuhi ruangan.

Nyaris bersamaan, Mbah Kardi memeluk anak kambing hitam itu yang masih menurut, sedangkan tangan satunya mendekatkan ujung parang tepat ke arah perut sang kambing.

Supri sudah tak sanggup, dia berusaha bangkit tapi ucapan Mbah Kardi buru-buru menahannya.

“Jangan pergi, Mas. Jangan takut. Ini semuanya demi kamu dan Bapakmu.”

Malam itu kian mencekam. Parang diayunkan dengan sangat cepat membuat perut anak kambing hitam itu terbelah. Darah membanjiri sesajen dan gelas cawan yang terbuat dari bambu.

Si kambing mengembik, sebelum akhirnya meregang nyawa untuk selamanya. Sedangkan cawan yang sudah terisi dengan darah kambing itu, Mbah Kardi angkat tinggi-tinggi sambil melantunkan sebuah mantra sebelum menyuruh Supri untuk meminumnya.

Namun sebelum Mbah Kardi meminta Supri untuk meminum, jari-jari Mbah Kardi masuk ke dalam perut kambing itu dan menarik keluar isi perutnya. Usus, hati dan jantung. Semuanya terberai keluar.

Sebelum Mbah Kardi melakukan sesuatu yang tak pernah Supri lupakan untuk seumur hidupnya. Mbah Kardi memasukkan isi dalam perut kambing itu ke dalam mulutnya mentah-mentah.
Mbah Kardi berdiri dan berjalan ke arah Supri sedang bersila.

Kemudian darah yang awalnya membanjiri tampah bambu itu, di angkatnya dan di siramkan ke tubuh Supri. Amis dan prengus, itulah aroma yang setidaknya menggambarkan mimik wajah Supri yang mulutnya mengerucut, mencoba menahan bau tak nyaman itu.

“Mas Supri, sekarang minumlah darah kambing ini!” ucap Mbah Kardi sambil memberikan gelas cawan.

Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Supri dengan tangan gemetar mengambil gelas cawan bambu itu, dan meminumnya sebelum tubuhnya kejang hebat.

Tak lama, tubuh Supri merasakan panas yang luar biasa, kemudian ambruk dan kejang-kejang.
Dalam situasi seperti itu, bukannya Mbah Kardi panik atau menolong Supri, melainkan Mbah Kardi menatap tajam ke arah tubuh Supri terkejang sembari membacakan sebuah mantra jawa.

“NIAT INGSUN AMATEK AJIKU TARIK JIWO. DIJABAH MARANG GUSTI KANG ANGGADHA JIWO. AMERGO INGSUN ANYEKSENI. SIRO KANG KASEBUT RATUNING JIWO. SIRO KANG KASEBUT JAGADE JIWO. SIRO KANG KASEBUT SEGORONE JIWO. RATUNIRO, RATUNING JIWO. JAGADNIRO, JAGADE JIWO, SEGORONIRO, SEGORO JIWO.

KULO NYUWUN PASUGIHAN SEWU JIWO.

Selepas Mbah Kardi merapal mantra, secara bersamaan tubuh Supri berhenti mengejang. Supri kemudian bangkit, tapi kali ini wajah dan tatapannya berbeda. Seakan ada satu makhluk lain yang bersemayam di dalam tubuh Supri.

Ia kemudian berjalan mendekat ke arah jubah hitam yang tersampir di tembok, mengambilnya dan memakainya.

Mbah Kardi kemudian merapal mantra untuk yang kesekian kalinya, yang membuat tubuh Supri kembali mengejang hebat.

Tak lama, Supri sudah berada di dalam sebuah rumah sederhana. Tepat di hadapannya, satu suara guyuran air menghentikan aktifitas orang yang ada di dalam kamar mandi. Kemudian pintu terbuka, menampakkan seorang perempuan ayu.

Dengan kemampuannya yang sekarang di miliki Supri dan atas bantuan Mbah Kardi, Supri berhasil menanam Sewu Jiwo kepada Warni, istri Yadi yang tak tahu menahu akan akibat perbuatan suaminya sendiri.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close