Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI ALAS ROBAN (Part 3 END)


“Oalah mas, iku duduk warung, iku bekase omahe dukun” (Oalah mas itu bukan warung, itu bekasnya rumah dukun) Jelas Pria ini.

“Omae mbah Suryo mbiyen ta” (rumahnya mbah suryo dulu ta) sambung Pak Slamet.

“Bener, Pak met” Jawab singkat pria tetangga pak Slamet.
Setelah itu mereka diam sesaat, tercengang mendengar penjelasan orang kampung asli yang barusan datang. 

“Wes mas, sak iki sampean istirahat neng omahku wae disek” (sudah mas, sekarang kamu istirahat dirumahku saja dulu) Ajak pemilik toko dengan panggilan pak Slamet, tangan pak Met langsung menggandeng pergelangan tangan Handy dan menuntunnya masuk rumahnya. 

“Mas, entenono neng kene diluk, maringene melu aku nang alas” (Mas, tunggu sebentar disini, habis ini ikut aku dihutan) Pinta pak Slamet kepada pria muda yang baru datang.

Setelah itu Handy masuk ke rumah bersama pak Slamet, rumah pak Met sendiri berada tepat disamping tokonya. 

Handy saat itu juga disuruh duduk diruang tamu. Pak Slamet berdiri sejenak melihat kondisi Handy yang sudah basah kuyup kedinginan dan ketakutan, dan badan Handy juga masih bergetar. 

Setelah itu pak Met masuk kedalam rumah untuk mengambil segelas air putih dan keluar lagi ke ruang tamu, saat itu juga pak Slamet menyuruh Handy untuk minum.

“Mas sampean ombe sek” (mas kamu minum dahulu) Pinta Pak Slamet. 

Diruang tamu pak Slamet Handy meraih gelas dari tangan Pak Slamet dan langsung meminumnya sampai habis, selesai minum seketika itu juga Handy mulai sadar. Seperti halnya orang normal yang biasa, termasuk semua kondisi panca indranya. 

“Loh iki nang endi pak, iki duduk desoku ta pak?” (Loh Ini dimana pak, ini bukan desa saya ta pak) Kata Handy yang sadar dan bingung melihat keadaan sekitar.

“Duduk. Iki nang daerah sekitare alas Roban mas, Batang Jawa Tengah mas” (Bukan. Ini di daerah sekitar alas roban mas, Batang Jawa Tengah) Jelas pak Slamet yang heran melihat keadaan Handy.

“Loh, tak kiro iki kampungku ndok Suroboyo” (Loh, saya kira ini kampung saya di Surabaya) Jawab Handy yang masih memandang sekitarnya.

Handy berhenti bertanya dan diam sejenak, ia mulai merasakan hal yang aneh dimulutnya. 

Tangan Handy meraih sesuatu benda dalam mulutnya, saat jari telunjuknya keluar dari mulut. Jarinya mendapati sedikit lumpur, Mulutnya juga merasakan menjadi bau seperti bekas air comberan.

“Hueeekkk…hueekkkk... hueekkkkk..” (suara mual mau muntah dari mulut Handy) 

“Ayo le nang jeding sek” (Ayo nak ke kamar mandi dulu) Respon Pak Slamet dengan cepat.

Handy berjalan cepat diikuti pak Slamet dari belakang, dikamar mandi Handy memuntahkan air kotor bekas air comberan bercampur air liur, sedikit lumpur hitam. 

Muntahan Handy berisi potongan-potongan daging dan sayur busuk. Setelah semua dikeluarkan ia disuruh berkumur-kumur oleh pak Slamet.

“Sak jane mau bengi mangan opo nang warung njero alas le” (sebenarnya tadi malam makan apa diwarung dalam hutan nak) Tanya pak Slamet penasaran.

“Aku mek ngombe kopi tok pak” (saya cuma minum kopi saja pak) Jawab Handy dan mengingat-ingat lagi apa yang ia makan.

Setelah muntahan selesai dikeluarkan semua, kondisi Handy sudah agak baikkan. Ia juga langsung berkumur-kumur berulang kali. 

“Oalah, yo wes. Ayo balik nang ngarep” (oalah Ya sudah ayo kembali kedepan) Perintah Pak Slamet.

Setelah itu Pak Slamet berjalan lagi ke ruang tamu mengantar Handy, sampai di ruang tamu Handy langsung duduk dengan tubuh lemas dan gemetar. 

Pak Slamet masuk kembali kedalam rumah untuk mengambil sesuatu, sesaat ia keluar membawa air putih lagi dan makanan. Saat itu juga Handy disuruh minum lagi dan makan. Sambil makan pak Slamet menemani Handy duduk disampingnya. 

“Mas due nomere keluargane seng iso di hubungi” (mas punya nomornya keluarganya yang bisa dihubungi) Tanya pak Slamet.

“Wonten pak, tapi di HP. HP kulo bateraine telas ten jok motor” (ada pak, tapi di Hp. Hp saya baterainya habis di jok motor) Jelas Handy.

“Yo wes sampean jupuk diluk, terus dicas disek” (Ya sudah kamu ambil sebentar, terus dicas dulu) Pinta Pak Slamet lagi.

“Nggih pak” (Ya pak) Jawab Handy.

Handy langsung keluar mengambil Hpnya di Jok motor tuanya.

Selanjutnya ia masuk kedalam rumah Pak Met lagi dan mengecasnya ditembok samping tempat duduk Handy. Saat itu juga ia melanjutkan makan. Selesai makan, sambil mengisi baterai rasa ngantuk dan capek makin melanda Handy. 

Sekian puluh menit sambil bercerita dengan pak Slamet, Pak Slamet sendiri merasa kasihan dan segera menyuruh Handy untuk menghubungi keluarganya dirumah. 

“Sampean telpon sek keluarga nang omah mas, sak iki konkon nyusul sampean nang kene” (Kamu telpon dulu keluarga dirumah mas, sekarang suruh jemput kamu disini) Pinta pak Slamet.

“Nggih pak” (ya pak) Jawab Handy.

“Iki alamate” (Ini alamatnya) Pinta pak Slamet, saat itu juga pak Slamet memberikan catatan kecil alamat lengkap rumahnya. 

“Wes sampean istirahat sek nang kene, aku sak iki tak golek’i koncone sampean nang alas. Ojok lali telpon seng ndok omah le”

(sudah kamu istirahat dulu disini, saya sekarang tak mencari teman kamu dihutan. Jangan lupa telpon yang dirumah nak) Pesan pak Slamet.

Pak Slamet kembali keluar rumah, dia mengajak sopir, kernet dan satu orang tetangganya untuk pergi kehutan. Dipagi yang masih buta mereka berempat menyusuri jalanan hutan jati sudah mulai sedikit bercahaya,-

sekian kilometer jalanan mereka tempuh. Laju kendaraan mereka langsung berhenti di lokasi kejadian yang sudah diketahui oleh pak Slamet dan tetangganya.

***
Pak Slamet adalah salah satu orang pintar dikampungnya, dan sangat mengenal betul tempat daerah sekitar alas roban. 

Pak Slamet turun dari motor terlebih dahulu, ketiga orang dibelakangnya masih sibuk memarkirkan motor dilokasi bekas rumah mbah Suryo. Pak Slamet langsung berdiri mengahadap hutan. 

Mulut pak Slamet langsung komat-kamit membaca mantra dengan kedua telapak tangan menengadah keatas. Dengan lantang pak slamet seusai berdo’a, ia berteriak kearah hutan… 

“Mbah balekno arek iku, opo durung cukup wong seng kok sesatno” (Mbah kembalikan anak itu, apa belum cukup orang yang kau sesatkan)

Tiba-tiba angin dari arah hutan mulai berhembus, menggoyangkan daun-dun pohon jati yang hijau didepan pak Slamet beserta rombongan. 

Ketiga rekannya yang dibelakang merasa ikut merinding dan takut.

“Ha..ha..ha..haa..ha…” (suara tawa keras dari dalam hutan)

Pak slamet kembali berdo’a dengan khusuk, dia meminta pertolongan kepada yang kuasa. 

Sekian menit suasa hening, hingga kendaraan pun yang melintas tak terdengar suaranya. Dari semak-semak pohon jati yang besar tiba-tiba ada suara gesekan lirih…

“kresekkkkk… srekkk” 

“Pak iku enek uwong” (pak itu ada orang) Teriak sopir dibelakang pak Slamet, dengan tangannya menunjukkan sosok manusia yang duduk tergeletak tak berdaya bersandar di bawah pohon jati. 

Pak Slamet dan yang lain saa itu juga langsung mengarahkan pandangan ke sosok pria muda yang duduk tergeletak.

“Iku bocae, ayo cepet pir gowoen muleh” (itu anaknya, ayo cepat pir bawa pulang) Perintah pak Slamet dengan nada cepat.

Respon sigap mereka bertiga langsung mendekati anak muda ini dan membopongnya, Tyo langsung ditaruh ditengah jok. Dihimpit tubuh kenek dan sopirnya pak Slamet. 

Mereka dengan cepat melaju kembali ke rumah pak Slamet, sedang pak Slamet sendiri dengan tetangganya mengikuti sopirnya dari belakang.

Sampai dirumah Tyo langsung dibaringkan diteras rumah pak Slamet, ketiga orang tadi juga ikut duduk menunggui Tyo sejenak. 

Pak Slamet masuk kedalam rumah mengambil minyak kayu putih dan sebotol air mineral. Lalu pak Slamet langsung mengoles lubang hidung Tyo yang tengah terbaring, sekian detik Tyo sadar dan mulai membuka matanya. 

“Iki nek ndi” (ini dimana) Tanya Tyo yang masih terbaring dan bingung akan keberadaannya.

“Iki nek omahku mas, sekitar alas roban.” (ini di rumahku mas, sekitar alas roban) Jawab pak Slamet yang duduk disampingnya.

“Wes iki sampean ombe disek” (sudah ini kamu minum dahulu) Pinta Pak Slamet sambil menyodorkan botol air mineral.

Perlahan Tyo bangkit dan mulai meminum air dari dalam botol secara perlahan. Kejadian sehabis minum Tyo, sama dengan yang dialami oleh Handy sebelumnya. 

Tyo merasa ada hal aneh dimulutnya. Setelah minum ia muntah-muntah dengan mengeluarkan cairan yang sama persis dengan Handy. Setelah muntah Tyo disuruh kumur-kumur dan minum lagi air dari botol yang ia pegang. Kondisi Tyo perlahan mulai sadar dan membaik. 

Pagi itu dirasa sudah selesai masalahnya, pak Slamet menyuruh Tyo untuk segera masuk kerumah.
Pak Slamet juga saat itu menunjukkan temannya Handy sudah didalam rumah sedang istirahat. 

Pak Slamet sendiri merasa pagi itu masih banyak pekerjaan, ia memulai membuka tokonya dan membantu menurunkan barang di truk bersama anak buahnya.

Sekilas pak Slamet melihat dari depan rumah, kedua pemuda ini sudah tenang didalam rumahnya. 

Untuk sementara waktu pak Slamet membiarkan Tyo dan Handy di ruang tamunya untuk istirahat dahulu. Sambil menunggu ada keluarganya yang dari Surabaya yang menjemput mereka.

Tyo yang sudah diruang tamu Pak Slamet, duduk disebelah Handy yang tengah tidur. 

Ia memandangi temannya ini sedang tidur dengan pulas, tapi Tyo yang kesal mencoba membangunkan Handy.

“Han tangi… tangi…tangi…” (Han Bangun…bangun… bangun) Kata Tyo dengan menggoyangkan kaki Handy pelan.

“Loh awakmu wes nang kene Yo” (Loh kamu sudah disini Yo) Jawab Handy mulai membuka mata dan bangkit untuk duduk.

“Jiancok, gateli awakmu… jare golek bantuan malah turu nang kene” (Jiancok, kurang ajar kamu.., katanya cari bantuan malah tidur disini) Kata Tyo dengan kesal, wajah masih awut awutan dan bekas tanah liat yang masih sedikit menempel dibibirnya. 

“Wong golek bantuan mau bengi kok mumet muteri warung, gendeng ancene awakmu iki Han, aku mau bengi iku yo ijek sadar titik” 

(orang cari bantuan tadi malam kok berputar mengitari warung, gila memang kamu ini Han. Aku tadi malam itu ya masih sadar sedikit) Lanjut ucap Tyo yang marah.

“Sek yo... sek yo, sabar tak jelasno disek! aku anggite yo gak nangis-nangis ta mau bengi iku golek bantuan. 

Prasaanku yo wes pokok mlaku golek kampung Yo, akhire iso sampek kampung iki”

(sebentar…sebentar... sabar tak jelaskan dulu, aku anggapanmu ya tidak menangis-nangis tadi malam itu cari bantuan. Perasaanku ya sudah pokoknya jalan cari kampung Yo, akhirnya bisa sampai kampung ini) 

Dihari yang masih pagi Handy yang baru terbangun menjelaskan perjalannya sampai ia bisa tertidur dirumah pak Slamet, akhirnya Tyo sendiri juga memahami usaha dan apa yang dialami Handy semalam. Selesai itu Tyo yang baru datang diberi makan sama istri pak Slamet. 

Selesai makan mereka berdua pagi itu langsung mandi dan kembali istirahat sambil menunggu jemputan datang dari keluarga Handy.

Waktu terus berjalan hingga esok hari telah tiba, sekitar jam delapan kakak Handy sudah sampai dirumah pak Slamet. 

Sebut saja nama kakak Handy adalah mas Bram, Kakaknya Handy berangkat sendirian menjemput adiknya di perkampungan sekitar Alas roban yang berada Batang dengan membawa mobil. Mas Bram bisa sampai lokasi Handy berada, berbekal alamat yang di sms oleh Handy kemarin. 

Dipagi yang cerah itu mereka sudah berkumpul diruang tamu pak Slamet.

Mas Bram mengawali pembicaraan dengan basa-basi dengan pak Slamet, mas Bram sendiri sudah merasa adiknya ditolong menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam. 

Saat itu juga mas Bram menganggap pak Slamet sendiri sebagai saudara. Ditengah perbicangan mereka mas Bram penasaran dengan lokasi adiknya sekarang berada, karena lokasi acara mereka di Jogja. Dengan lokasi sekarang mereka tersesat sangat jauh dan tidak masuk akal. 

Mas Bram juga penasaran tentang warung yang menyesatkan adiknya. Dengan semua rasa itu mas Bram menanyakan hal yang terjadi pada adiknya dan temannya…

“Kok iso pak yo, sampe jebus mriki arek loro iki, padahal acarae neng Jogja” (kok bisa pak ya, sampai tiba disini anak dua ini. Padahal acaranya di Jogja) Tanya mas Bram sambil menyulut rokok.

“Iso ae mas, kemungkinan adek sampean iki wes diincer genderuwone kene pas setane liwat soko Jogja.” 

(bisa saja, kemungkinan adik kamu ini sudah diincar hantu sini sewaktu hantunya melintas dari Jogja) Jelas pak Slamet.

“Oh ngunu pak yo, terus warung iku asline biyen piye pak?” (oh begitu pak ya, terus warung itu aslinya dulu bagaimana pak) Tanya mas Bram yang semakin penasaran.

“Iyo Mas, iku asline bekase omae mbah Suryo, mbah Suryo mbiyen terkenal dukun sakti neng daerah kene” (Iyo mas, itu aslinya bekas rumahnya mbah Suryo. Mbah Suryo dulu terkenal dukun sakti daerah ini) Jelas pak Slamet.

“Tapi wonge iku pas urep joyo-joyone sekitar tahun 1948 an, jare bapakku mbiyen pas jek urep mas. Mbah Suryo dulu terkenal dukun seng hubungane karo kerajaan siluman ulo neng alas. Mbah Suryo biyen omae pancen nang kunu, urep dewean nang tengah alas. 

Tapi sekitar tahun 1953, mbah Suryo dikabarno wes mati. Soko kabar iku kabeh wong kampung seng cedak alas iki marani omae, pas soko omae mayite mbah suryo iku wes gak enek, sampek sak iki gak tau ditemokno mayite” 

(Tapi orangnya itu sewaktu hidup jaya-jayanya sekitar tahun 1948 an, kata bapakku dahulu sewaktu masih hidup mas. Mbah Suryo dulu terkenal dukun yang berhubungan dengan kerajaan siluman ular dihutan. Suryo dahulu memang disitu, hidup sendirian ditengah hutan. 

Tapi sekitar tahun 1953, mbah Suryo dikabarkan sudah meninggal. Dari kabar itu semua orang kampung yang dekat hutan ini mendatangi rumahnya, sewaktu sampai rumahnya mayat mbah Suryo sudah tidak ada. Sampai sekarang belum pernah ditemukan mayatnya) Sambung pak Slamet.

“Kok iso pak met” (Kok bisa pak Met) Sambung mas Bram.

“Yo gak ngerti mas jenenge jaman biyen, mbah Suryo ngelakoni ilmu opo wae wong kene yo podo gak ngerti. Terus maringunu omae mbah Suryo seng ditinggal sue sue tambah wingit, akeh seng diwedini demit nang kunu. 

Akhire wong kampung mbiyen kompak ngerubuhno omae, maksute uwong-uwong mbiyen ben aman dalanan alas iku. Tapi sak joke omae dirubuhno, malah tetep sering kejadian uwong-uwong diganggu. 

Kadang wong kampung kene karo wong liwat liyane sek sering ditemoni karo mbah Suryo neng dalan iku. Kadang-kadang wonge yo melu liwat terus ngampirno wong neng bekas omae. Yo koyok kejadiane adik sampean iki” 

(Ya tidak tahu mas namanya jaman dahulu, mbah suryo menjalankan ilmu apa saja orang sini ya sama-sama tidak tahu. Terus habis itu rumahnya mbah Suryo yang ditinggal lama kelamaan tambah angker, banyak yang ditakuti hantu disitu. 

Akhirnya orang kampung dahulu kompak merubuhkan rumahnya, maksudnya orang-orang dulu biar aman jalanan hutan itu. Tapi setelah rumahnya dirubuhkan, malah tetap sering terjadi orang-orang diganggu. 

Terkadang orang kampung sini sama orang lain yang melintas masih sering ditemui sama mbah Suryo dijalan itu. Kadang-kadang orangnya ya ikut melintas terus mengajak mampir orang di bekas rumahnya dahulu. 

Ya kayak kejadiannya adik kamu ini) Jelas cerita pak Slamet.

“Loh pak, paling mbahe seng ngajak mangan aku wingi sore iku” (Loh pak, paling kakek yang ngajak makan saya kemarin sore itu) Sahut Handy.

“Mungkin mas. Mangkane ati-ati mas liwat kene, dungo seng akeh. Ambi ojok liwat alas pas surup. (mungkin mas, makanya hati-hati mas lewat sini. Berdo’a yang banyak. Jangan melintas hutan waktu menjelang malam) Kata Pak Slamet.

“Dadi uangker pak met daerah alas iku” (Jadi angker pak met daerah alas itu) Tanya Mas Bram.

“Iyo mas, malah mbiyen akeh korban-korban wong mati jaman londo pas alas dibuka gawe dalan pantura iku. 

Terus jamane petrus yo akeh mayet-mayet seng gak dikenal ditemokno wong kampung nek njero alas. Nang alas iku yo akeh kerajaan-kerajaan demite” (iya mas, malah dahulu banyak korban-korban meninggal jaman belanda waktu hutan dibuka buat jalan pantura itu. 

Terus jamane petrus ya banyak mayat-mayat yang tak dikenal ditemukan orang kampung didalam hutan. Dihutan itu ya banyak juga kerajaan-kerajaan setan) Jelas singkat pak Slamet. 

“Sering mas nang dalanan alas iku enek warung tapi jebule warung demit, soale pasukan kerajaan-kerajaan jin neng alas podo saingan golek korban” 

(sering mas di jalanan itu, ada warung tapi ujung-ujungnya warung setan, masalahnya pasukan kerajaan-kerajaan jin dihutan saling bersaing mencari korban) Kata pak Slamet lagi.

“Oh ngonten pak nggih” (oh begitu pa ya) Sambung mas Bram sambil manggut-manggut mencerna penjelasan panjang pak Slamet.

“Iyo mas” (Iya mas) Jawab singkat pak Slamet.

“Nggih pun pak matur nuwun sanget kulo tak pamit riyen” (ya sudah pak, terima kasih banyak, saya pamit dahulu) Ucap mas Bram yang mau pulang.

“Yo mas ati-ati.” (Ya mas, hati-hati) 

Waktu semakin siang, mas Bram manaikkan motor adiknya kedalam mobil. Tyo dan Handy juga langsung ikut masuk di dalamnya. Perjalanan siang itu dimulai, perjalan Panjang yang melelahkan beberapa kali mas Bram menghentikan mobilnya untuk istirahat dan mengisi bahan bakar. 

Malam hari sekitar jam sebelas malam, laju mobil mas Bram diarahkan ke rumah Tyo dulu untuk mengantarkannya pulang.

Sampai didepan rumah Tyo ternyata bapaknya sudah berdiri menunggu didepan rumah. Sebutan bapak Tyo dirumah biasa dipanggil pak Joyo. 

Mobil mas Bram berhenti dan ia mulai keluar dahulu, tapi Tyo yang duduk dibelakang mobil mulai memperlihatkan kelakuan aneh. Suara Tyo mulai menggeram dan berubah suaranya menjadi wanita, sejenak berhenti suara itu berganti menjadi pria. 

Tyo yang kerasukan langsung membuka pintu mobil dan berlari menjauh dari rumahnya. Saat itu juga pak Joyo, mas Bram dan Handy langsung mengejar.

Sekian puluh meter pelarian Tyo berakhir, Tyo langsung ditangkap dan diseret mas Bram dan Handy. 

Ia dibawa masuk kedalam rumah, kebetulan pak Joyo adalah orang pintar di daerahnya. Saat Tyo sudah ditenangkan didalam rumah, pak Joyo mencoba mengeluarkan sosok wanita terlebih dahulu yang bersarang ditubuh Tyo. Sekian menit wanita ini berhasil keluar tapi Tyo masih belum sadar. 

Akhirnya pak Joyo yang penasaran, membiarkan Tyo tidur sebentar dan setelah itu pak Joyo menempelkan tangannya ke kening anaknya. Selesai itu Tyo langsung bangun, tapi suaranya berubah menjadi seorang pria. 

Merasa penasaran apa yang terjadi dengan anaknya selama beberapa hari ini. Pak Joyo mulai mengintrogasi sosok yang ada dalam tubuh anaknya, tapi kaki dan tangan Tyo tetap dipegangi oleh Handy dan mas Bram. Karena saat kesurupan Tyo hanya ingin lari dan berontak keras untuk pergi. 

“Awakmu iki sopo” (kamu ini siapa) Tanya Pak Joyo yang duduk disamping anaknya.

“Aku ki Darmo” Jawab sosok dari tubuh Tyo yang mengaku bernama Darmo.

“Tekok endi asalmu” (dari mana asalamu) Tanya pak Joyo.

“Teko alas roban” (dari alas roban) Jawab Ki Darmo.

“Lapo koen ganggu anakku” (kenapa kamu mengganggu anakku) Tanya keras pak Joyo.

“Anakmu diincer karo nyi Blorong” (anak kamu diincar sama nyi Blorong) Jawab Darmo.

“Mulai kapan, kenek opo kok diincer” (mulai kapan, kenapa diincar atau disukai) Tanya pak Joyo.

“Sak joke arek loro iki melbu parang tritis, soale arek iki aurane apik terus ijek joko pisan” (setibanya dua anak ini masuk parang tritis, masalahnya anak ini auranya bagus terus masih perjaka) Jelas ki Darmo .

“Lha kok iso digowo sampe alas roban” (Lha kok bisa dibawa sampai alas roban)

“Aku dikongkon gowo nyi blorong nang kerajaan siluman ulo seng dadi nisorane nyi blorong neng alas roban” 

(Aku disuruh bawa nyi blorong ke kerajaan siluman ular yang jadi bawahan nyi blorong di alas roban) kata ki Darmo dengan suara serak.

“Gae opo” (buat apa) Tanya pak Joyo penasaran.

“Gawe ngelayani nyi ratu, ambek ngewangi mbah Suryo nang kono” (buat melayani Nyi ratu, sama bantu mbah suryo disana) Jawabnya Ki Darmo.

“Dadi awakmu seng mbingungno arek iki ket wingenane?” (Jadi kamu yang menyesatkan anak ini dari kemarin lusa) Tanya pak Joyo kembali.

“Iyo, aku seng gowo. Seng nampani neng alas roban mbah suryo, tapi tetep seng ngawal aku… hahahaha” (Iya, aku yang bawa. Yang menerima di alas roban mbah Suryo, tapi tetap yang ngawal saya…hahahaha) Jelasnya Ki darmo dengan bangga .

“Wes sak iki metuo, arek iki anakku goblok” (Sudah sekarang keluarlah, anak ini adalah anakku bodoh) Perintah pak Joyo.

“Emoh” (tidak mau) Tolak Ki Darmo.

“Yo wes nek gak metu koen bakale tak pateni” (ya sudah kalau tidak keluar kamu akan aku bunuh) Ancam Pak Joyo mulai marah.

Kemudian Pak Joyo mengambil senjata dari dalam kamarnya, sambil memegang senjatanya pak joyo juga memegang bagian jari kaki Tyo. Sesaat kemudian sosok bersuara serak dan berat itu merasa kepanasan dan minta ampun. Saat itu juga makhluk itu keluar dari tubuh Tyo. 

Sedang Tyo sendiri langsung pingsan, sekian puluh menit Tyo tidur. Semua keluarganya dan Handy serta mas Bram menunggu Tyo yang masih terbaring diatas karpet, perlahan ia mulai tersadar dan bangun dari tidurnya. 

Ditengah malam itu, Handy dan Tyo disuruh duduk dahulu didepan semua yang hadir dirumah Tyo. Pak Joyo langsung melakukan ritual untuk membersihkan kedua pemuda ini agar tidak dibawa lagi sama makhluk dunia lain. 

Lalu setelah itu bapaknya Tyo, menasehati, dan berpesan kepada Tyo dan Handy untuk tidak pergi lagi ke daerah Jogja dan alas roban jika belum menikah. 

Semenjak kejadian itu mereka berdua tidak pernah lagi menginjakkan lagi ke daerah Jogja dan wilayah Jawa Tengah khususnya alas roban karena masih Khawatir akan keselamatannya.

-TAMAT-
close