Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI ALAS ROBAN (Part 2)


Tapi anehnya pria ini kepalanya hanya menghadap minuman kopi di atas meja yang berada didepannya dengan kepala setengah tertunduk. Sehingga wajah pria ini tidak terlihat sama sekali, karena penerangan dari lampunya sangat redup. 

Pria ini memakai kaos loreng lengan pendek dan celana pendek warna hitam. Sedang topi caping sawahnya beserta sabit ditaruh di meja sebelah kanan kopinya. 

Sedang disebelah kiri warung ada dua orang yang bermain catur diatas kursi kayu panjang, tapi kedua orang ini hanya diam memandangi catur. Keduanya memakai baju lengan panjang jaman dahulu dengan celana panjang berbahan kain. 

Didepan mereka masing-masing ada secangkir kopi hitam, mereka duduk saling tertunduk memandang catur hingga Handi dan Tyo tidak bisa melihat wajahnya juga.

Handi dan Tyo yang tidak bisa melihat mukanya dia mencoba bertanya dari tempat duduknya. 

Tapi Handi melempar pertanyaannya terlebih dahulu kepada kakek-kakek yang duduk sendirian…

“Pak seng dodol niki pundi?" (Pak yang jualan ini mana?) Tanya Handy yang sudah duduk tegap.

Merasa tidak ada jawaban dari kakek ini,

Handy lalu bertanya kepada kedua orang pria yang sedang bermain catur didepanya sebrang meja, yang berada tepat dihadapannya. 

“Pak seng dodol niki pundi?” … "pak seng dodol niki pundi?" (Pak yang jualan ini mana?, Pak yang jualan ini mana?) Tanya Handy lagi…

Sekian menit dan berkali kali Handy bertanya pada dua orang ini dan semua orang yang ada warung secara bergantian. 

Tapi semua pria ini hanya diam membisu. Semua pria disini aneh karena tidak menghiraukan Handy yang bertanya kepada mereka.

“Han, kok ambune menyan yo warunge” (Han kok bau kemenyan ya warungnya) Celetuk dan Bisik Tyo pelan.

“Podo, menengo ae gak penak nek krungu karo seng due warung des” (sama, diam saja tidak enak kalau terdengar sama yang punya warung des) Sahut Handy dengan berbisik ditelinga Tyo.

Lama kelamaan Handy merasa jengkel, Tyo juga merasa ikut jengkel juga karena temannya tidak direspon.

“Golek ono melbu ae han bakule” (cari masuk saja Han penjualnya) Pinta Tyo yang duduk dengan memandang langit-langit warung. 

Saat itu juga Handy memutuskan masuk ke dalam warung sendirian. Sampai diruang belakang Handy mendapati ruang gelap, hanya sedikit cahaya dari lampu depan warung yang mengenainya. 

Ternyata dalam nuansa cahaya redup, samar-samar ada seorang perempuan tua bersanggul kecil sedang berdiri menghadap sebuah meja, ia berpakaian kebaya dan sewek. Mirip pakaian orang jaman dahulu, Tapi posisinya wanita ini membelakangi Handy. 

Wanita ini kepalanya setengah menunduk, dengan kedua tangan tetap terjuntai kebawah. Wanita tua ini hanya diam memandangi meja itu. Memang meja itu berisi toples-toples berisi kopi dan lain-lain. 

Sedang disebelahnya ada satu laki-laki tua yang sedang duduk dan menumbuk kopi, menghadap kesamping. Tapi kegiatan yang dilakukan pria itu tidak ada suaranya sama sekali. 

Padahal gerakan tangannya yang naik turun memegang alat penumbuknya mengenai lumpang (tatakan kayu untuk menumbuk biji kopi), hanya gerak bayangan hitam pria itu yang terlihat.

Handi berjalan mendekat dibelakang nenek tua ini dan berbicara… 

“Mbah tumbas kopi setunggal teh anget setunggal” (mbah beli kopi satu teh anget satu?) Ucap Handy dengan tenang tapi sedikit mulai takut.

Setelah memesan pada wanita tua dan pria tua itu, mereka hanya diam tanpa jawaban, sampai ia bicara berulang kali tapi juga tidak ada jawaban. 

Terakhir ia berbicara agak keras, karena Handi merasa wanita itu tuli. Sampai ia berteriak-teriak memesan pun tetap tidak ada jawaban dari wanita ini. Sekian menit ia yang merasa ada yang lebih aneh lagi dengan warung ini, tapi ia juga merasa sudah capek langsung kembali kedepan. 

Saat berbalik arah, Handy melihat pria tua ini mengganggukkan kepalanya pelan. Saat itu juga Handy merasa permintannya sudah diketahui oleh penjual. Ia terus berjalan kedepan dengan perasaan kesal dan sedikit takut, sampai disamping Tyo, Handy langsung duduk dikursi kayu. 

“Asem tenan… hah… mbuh... aneh warung iki kabeh podo mbideg nek ditakoni” (Asem tenan…huh mbuh… aneh warung ini, semua diam kalau ditanya) Ucap Handy disamping Tyo.

“Terus pie iki kopine karo tehe Han? aku yo ngelak pengen ngeteh pisan” (terus bagaimana ini kopi sama tehnya Han? Aku juga haus pengen ngeteh juga) Kata Tyo dengan sedikit jengkel kepada Handi.

“Uwes Yo, mbahe mok mantuk tok pas terakhir dibengok’i, penting isok leren sek neng kene Yo. awakku rasane kesel pol. Kaet mau nyetir neng dalan.”

(Sudah Yo, kakeknya Cuma mengangguk saja waktu terakhir diteriaki. Penting bisa istirahat dulu disini Yo. Badanku rasanya capek, dari tadi mengemudi dijalan) Sambung Handy dengan posisi setengah badannya disandarkan didinding yang terbuat dari papan kayu. 

“Yo wes lungguh-lungguh sek ae nang kene” (Ya sudah duduk-duduk dulu saja disini) Ajak Tyo yang sama-sama menyandarkan tubuhnya didinding warung.

“Yo yo…" (Ya…yo) Jawab Handi dengan menatap langit-langit yang gelap, sesekali memejamkan matanya untuk mengurangi rasa lelahnya. 

Waktu terus berjalan, warung yang bercahaya remang-remang itu tetap sepi dan sangat sepi. Hanya suara rintik hujan yang terdengar mengenai tanah. Sekian lama mereka yang masih berdua duduk bersandar,-

mereka dikagetkan kedatangan wanita tua yang memakai kebaya hijau dan sewek kain warna coklat muda itu. Handy dan Tyo langsung segera berbenah dan duduk tegap selayaknya pengunjung warung, dengan mata kepala mereka berdua saling bertatapan curiga penasaran. 

Wanita ini membawa dua minuman, cangkir kecil berwarna hijau putih dengan tatakan kecil warna putih pekat berisi kopi. Satunya gelas agak besar warna bening tanpa tatakan berisi teh. 

Kedua tangan nenek yang terlihat coklat dan sedikit keriput langsung meletakkan sajian kopi dan teh didepan mereka tanpa bicara sepatah katapun. Kepala wanita tua ini tetap tertunduk saat melayani Handy dan Tyo. 

Handy yang duduk ditempatnya, kembali menegakkan pandangannya ke arah kopi didepannya. Perasaannya senang malam itu pesanannya ternyata benar-benar dibuatkan oleh nenek tua ini. 

Lalu pandangan Handy bergeser sedikit mengarah ke wanita tua ini, waktu itu wajah Handy sedikit tertunduk melihat dibawah. Handi melihat kaki wanita tua tanpa alas kaki itu berjalan, tapi kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali. 

"Deggg..." jantung Handy langsung berpacu mulai cepat, rasa ketakutannya dengan cepat menjalar disekujur tubuh.

Wanita ini kembali masuk kedalam lagi tapi sambil melayang pelan dan tenang, dengan kepala tetap tertunduk. 

Handy meraih gelas berisi kopinya dengan tangan bergetar dan meminumnya sampai habis, begitu juga dengan Tyo yang mengambil tehnya dengan tenang dan langsung meminumnya sampai habis. Malam itu Tyo tidak melihat kaki nenek pemilik warung yang tidak menginjak ditanah. 

Sesudah minum Handy masih takut gemetaran, padahal ia berniat menghabiskan minuman untuk meredakan ketakutannya. Perlahan Handy menggerakkan badannya kearah Tyo untuk bersiap melarikan diri. 

Sewaktu ia memegang tangan Tyo, bersiap untuk menyeret temannya dan mengajaknya pergi dari warung. Kepala Handy menoleh dahulu kepada Tyo, ia bermaksud bicara dan memberi kode untuk lari. Tapi saat wajah Handy sudah mengahadap temannya, 

Tyo langsung tertawa kecil melengking “Hi..hi..hi..hi” tapi suara tawa Tyo sudah berubah menjadi suara perempuan.

Handy yang kaget dan tak percaya, langsung memegang kedua bahu Tyo dan menggerak gerakkan tubuh Tyo maju mundur dengan kedua tangan yang masih bergetar... 

“Yo sadar… sadar... sadar” Kata Handy yang sudah panik dan ketakutan.

“Kenek opo koen…” (kena apa kamu) Kata Handy lagi, yang semakin ketakutan.

“Yo… kenek opo koen” Ucap Handy lagi dengan mulai melepas pegangan kedua tangannya di bahu Tyo.

“Ojok guyon… Ojok guyon… iki nang tengah alas” (Jangan bercanda…jangan bercanda ini ditengah hutan) Bentak Handy keras…

Tapi Tyo tetep tertawa dengan suara wanita yang melengking, seketika itu juga Handy yang panik langsung melayangkan bogem mentahnya kewajah Tyo. 

“Buuugggghhh” Tyo yang terkena bogem mentah langsung jatuh tersungkur dibawah meja.

Seketika tubuh Tyo tersungkur ke tanah, darah segar dari hidungnya pun ikut mengucur. Rembesan darah itu turun sampai dagu Tyo. Lalu Tyo bangkit berdiri lagi dengan mata melotot. 

Menatap tajam Handi dengan kemarahan…

“HAHAHAHAHAHAHA” (ia kali ini tertawa dengan suara pria yang lantang dan besar, suara tertawanya yang menggema memecah dalam keheningan malam)

Anehnya semua pengunjung diwarung itu hanya diam seperti sedia kala. 

Mereka tetap tidak ada yang bergerak sedikitpun dan merespon keadaan mereka. Dalam kondisi panik serta cahaya yang remang-remang kekuningan, kedua tangan Handy memegangi kepalanya yang ikut menjadi berat. Handy merasa tambah panik, takut, bingung dan lelah semua menjadi satu. 

Saat itu juga Handy langsung bangkit berdiri dan meminta bantuan kepada pengujung pria didepannya. Tubuhnya bergeser maju membelakangi Tyo yang tetap berdiri tertawa. Handy mendekati pria yang tetap diam itu dengan melepaskan genggaman erat dikepalanya... 

“Pak tolongi kancaku pak” (pak tolongin temanku pak) Ucap Handy keras kearah pria tua yang sendirian.

“Pak... tulungono kancaku pak...” (Pak tolongin temenku pak...) Kata Handy semakin keras.

Merasa usahanya gagal, saat itu juga ia semakin panik, dan lari keluar dari warung. 

Sampai diteras warung langkahnya terhenti, ia kembali lagi sampai kedepan pintu warung dan menoleh kearah dua pria yang bermain catur. Sedang didalam kepala Handy bingung memikirkan mau berbuat apa lagi demi menolong temannya. 

“Pak tulungono koncoku pak” (Pak tolongin teman saya Pak) Pinta Handy yang keras dan konyol dipintu warung. Kali ini ia masih tidak mendapat respon, Handy yang panik secara tak sadar berteriak meminta nenek dan kekek yang berada didalam warung. 

“Mbah tulungi kancaku mbah” (mbah tolongin temanku mbah) Teriak Handy dari depan pintu.

Teriakan Handy lagi-lagi tidak ada yang merespon, merasa diwarung tidak ada yang menolongnya, 

Handy langsung menatap kearah Tyo dan berbicara pada temannya yang kerasukan.
“Entenono neng kene Yo, aku tak golek bantuan sek” (tunggu disini Yo, aku mau cari bantuan dulu) Ucapnya dengan nada cepat, penuh ketakutan dan seluruh tubuhnya sudah bergetar. 

Handi pun berjalan dengan cepat keluar menuju motor yang diparkir dibawah pohon jati. Tyo yang tadinya berdiri kearah dalam warung, kini ia berdiri menatap Handy dari dalam dan tetap tertawa dengan suara laki-laki. 

Handy langsung memegangi motor dan menghidupkannya, sambil melirik temannya yang tetap tertawa.

“Klak…gluk…gluk…gluk…” Motor tua Handy pun tetap tak bisa dinyalakan lagi, kakinya berkali-kali mengayuh dengan cepat stang stater motornya… Tapi motor itu tetap belum mau diajak kompromi.

“Cok cepetan.., uripo goblok…” (Cok cepetan.., hiduplah bodoh).m Umpat Handy serta tangan kanannya memukul spedometer motor tuanya. 

”Aku arep dipateni iki, uripo Plak.. plak…plak… hu…hu..hu” (aku mau dibunuh ini, hiduplah dan suara bunyi spedo meter yang berkali-kali digampar Handi, ia pun mulai manangis ketakutan..)

Saat usahanya gagal disertai tangisannya semakin keras, 

Tiba-tiba ada suara motor pengguna jalan lain lewat didepan Handy, mereka melaju pelan dan mengamati Handy. Sedang mata Handy langsung berhenti menangis, Handy juga saat itu ikut memandang pengendara ini,-

sekian detik ia amati ternyata mereka satu club motor yang sama dengan Handy…

“Mas mandeko sek…tulungi aku” (Mas, berhenti dulu... tolongi aku) Pinta Handy dengan suara keras sedikit sesenggukan, serta tangannya ikut melambai kearah dua orang ini. 

Pengendara ini seketika melihat dan mendengar Handy, mereka langsung menurunkan kecepatan dan mengarahkan motornya kearah Handy. Mereka juga merasa Handy adalah salah satu bagian club motornya. Dua orang pengendara motor ini berhenti tepat disampingnya. 

“Kenek opo mas motore?” (kena apa mas, motornya) Jawan pria yang memegang kendali motor dan masih duduk diatas motornya.

“Mogok mas” Jawab Handy mulai berdiri, dan memelas penuh harap. Serta sesenggukan tangisnya yang sudah mereda.

“Ambek sampean tulungi koncoku neng njero warung iku mas,” (sama anda tolongin teman saya didalam warung itu) Pinta Handy Sambil menunjuk Warung dibelakangnya. Pinta Handy.

“Warung endi mas” (warung mana mas) Jawab pria yang dibelakang pemegang kendali motor, mata mereka sambil melihat tempat lokasi belakang Handy.

“Iku lo mas” (itu lho mas) Jawab singkat Handy yang sudah berdiri dan menunjukkan warung dibelakangnya. 

“Gak enek warung mas neng kene, omae sampean endi asline” (Tidak ada warung mas disini, rumah kamu mana asalnya) Jawab orang yang dibonceng pengendara motor, ia sambil mengamati berkali-kali warung yang disebut Handy. 

Tapi yang mereka lihat hanya hutan lebat dan gelap, yang dipenuhi tumbuhan pohon jati.

“Suroboyo mas, iku mas sebrang dalan. Ngguri sampean iku” 

(Surabaya mas, itu mas sebarang jalan. Belakang kamu itu) Jawab Handy dengan tangan kanannya menunjukkan rumahnya yang disebrang jalan. Handy sendiri merasa hutan disebrang jalan itu sudah rumahnya. 

“Iki alas roban mas duduk Suroboyo” (Ini hutan roban mas bukan Surabaya) Tegas pengendara yang ikut bingung dan mulai takut.

“Mosok!!! Temenan mas tulungi aku mas, kancaku neng njero warung ngguriku, omahku yo nang ngarep iku” (masak!!! beneran mas tolongi saya mas, teman saya didalam warung belakang saya, rumah saya ya didepan itu). Ucap Handy meyakinan pengendara lain serta menunjukkan lagi lokasi dengan jari telunjuknya.

“Wah gendeng arek iki, piye iki?” (wah gila anak ini, bagaimana ini) Kata pengendara yang sedang memegang motor. 

“Wes ayo ditinggal ae, paling arek iki demite kene” (sudah ayo ditinggal saja, paling anak ini setannya sini) Sambung pria yang dibonceng.

Penjelasan Handy kepada pengendara lain yang tak bisa dicerna akal sehat membuat mereka juga ikut ketakutan malam itu,-

mereka lama-lama ikut takut saat melihat tingkah polah Handy. Kedua pengendara motor tua ini langsung melesatkan motornya kejalan raya untuk pergi meninggalkan Handy…

“Mas ojok tinggal aku, tulungi aku… hu…hu…hu...” 

(mas jangan tinggal aku, tolongin aku hu...hu...hu...)
Teriaknya yang sudah mulai pupus harapannya dengan mulai menangis lagi.

Merasa sudah tidak ada pertolongan lagi, Handy berusaha kembali menghidupkan motor tuanya. 

Klak... gluk…gluk…gluk (bunyi suara motornya yang terus dicoba dihidupkan)

“BRAAKKKK…BRAAKKK…BRAAKKK” Suara semua pintu, dan jendela warung yang terbanting dan menutup dengan sendirinya.

Malam terasa semakin mencekam waktu itu, Handy sendiri semakin takut dan berpikir akan berakhir riwayatnya malam itu ditengah hutan.

”Cepetan goblokkkk…aku ape mati iki” (cepat bodoh… aku mau mati ini...) Teriak Handy kepada motornya sehabis mendengar suara dari warung, dan melirik kembali warung dibelakangnya. 

Padahal Ia yang sudah tambah ketakutan dengan menangis, serta badannya mulai lemas dan mau pingsan.

Handy menoleh lagi kearah depan warung, melihat warung yang sudah tertutup hanya suara Tyo yang tertawa kembali berubah menjadi suara perempuan. 

“Hi…Hi…Hi…Hi” suara tertawa yang keras menggelegar dari dalam warung.

Mendengar suara ini, kepala Handy tiba-tiba menjadi berat, matanya juga mulai gelap karena semua rasa sudah menyatu dalam tubuhnya. Keringat dingin pun mulai mengucur dikening dan membasahi bajunya, keringat itu juga menyatu dengan gerimis hujan yang belum berhenti.

“Sreeekkk… sreeekkk… sreeekkk” suara gesekan daun kering pelan yang mengenai sesuatu benda berjalan dari samping warung. 

“Bismilah...” klak…grunggggg (ucap serta ayunan kaki Handi yang keras) seketika motornya nyala saat itu…

”Grungggg…. grungggg… grungggg“ merasa sudah nyala motor tuanya, gas motornya dikencangkan sejadi jadinya… hingga gas yang tertarik sudah habis/mentok. 

Ia menoleh lagi kewarung berniat melihat temannya, tapi ia malah melihat samar-samar disamping warung sudah ada ular yang sangat besar tapi berkepala manusia.

Handy saat itu juga langsung memasukkan gigi persneleng dengan cepat... klak. 

Tubuh Handy dan motornya terhentak maju… saat itu juga Handy melajukan motor digigi awal dan menambah gigi lagi dengan cepat sampai habis Klak… Klak… klak, ia memacu sekencang kencangnya untuk pergi mencari bantuan. 

Handy terus menyusuri jalanan dihutan yang gelap itu sendirian, ia mengendarai motor tua dengan terus menerus melaju tanpa henti. Sekitar satu jam ia memacu kendaraan sendiri tiba-tiba ada benda yang mengenai lampu motornya… ”Duakk”, 

Handy yang gemetar ketakutan tetap berjalan tapi menurunkan kecepatan sambil melihat benda yang ia tabrak. Dari atas motornya ia menoleh kebelakang melihat sekilas, ternyata sebuah kepala seorang pria bersimbah darah,-

kepala yang tergeletak dijalan mengarah ke Handy dan menatapnya dengan tertawa kecil ”hi…hii...hii”.

Handy kembali memandang jalan didepan, ia terus berucap “bismilah” dan berdo’a sebisanya tiada henti. Entah malam itu ia berjalan sejauh sudah sejauh mana,-

karena malam itu ia sudah tak berani turun dari motor kalau tidak menemukan perkampungan. Sekian lama motor berjalan diatas jalan beraspal, suara tarhim subuh berbunyi dan Handy kebetulan mendengarnya. Tidak lama kemudian didepan ia melihat ada sebuah perkampungan. 

Merasa do’anya dikabulkan, Handy langsung melesat masuk ke kampung yang baru dia lihat dari jauh. Waktu pertama kali masuk kampung itu, ia merasa kampung ini adalah kampung tempat asalnya. Saat itu juga Handy mulai menyusuri jalanan kampung ini. 

Pertama disebelah kanan jalan kampung ia melihat ada sebuah rumah mirip rumahnya, Handy dengan perasaan senang mendekati rumahnya. Tapi saat sampai dilokasi ternyata rumahnya berubah menjadi lahan kosong.

Handy yang kecewa memutuskan kembali melajukan motor kembali,-

dijalanan perkampungan itu. Sewaktu sudah jauh disebelah perempatan Handy melihat rumah Tyo.

Seketika itu juga ia mendekat, tapi lagi-lagi yang ia dapati sebuah lahan kosong. 

Handy yang masih panik, bingung dan ketakutan, ia menjalankan motornya kali ini dengan memainkan tarikan gasnya dengan cepat dan sekeras-kerasnya. Dia berharap ada manusia asli melihatnya, dengan laju motornya terus memutari kampung itu berkali-kali. 

Padahal beberapa warga kampung yang melihat Handy, dari dalam masjid dan didalam rumah. Handy seperti orang mabuk atau gila karena berputar-putar kampung tiada henti. 

Sampai akhirnya ia menemukan toko yang mau buka, toko itu di depannya ada truk yang sedang parkir dan membongkar terpal. Mereka yang ada dibelakang truk bersiap-siap mau menurunkan muatan. 

Saat itu juga Handy langsung menuju truk itu berhenti tanpa ragu, ia langsung berhenti tepat didepan truk. Handy turun dari motor dan mencari orang yang bisa dimintai pertolongan. Saat berjalan terhuyung-huyung mencari seseorang dibelakang truk. 

Dibelakang truk ia melihat sopir yang diatas bak sedang ikut membuka terpal. Handy langsung mendongakkan wajahnya dan bicara.

“Pak bade nyuwun tolong” (pak mau minta tolong) cerocos Handy yang tengah berdiri serta masih ketakutan dan gemetar, serta badannya juga ikut mengigil. 

“Rencang kulo ten njero alas pak” (teman saya di dalam hutan pak) Kata Handy lagi dengan cepat disertai bibirnya yang membiru dan bergetar.

“Nang ndi mas?” (dimana mas) Jawab sopir yang menghentikan tangannya membuka tali dan beralih menatap Handy.

“Nok warung njero alas pak” (diwarung dalam hutan pak) Sambung Handy dengan berdiri mengigil.

“Gak enek warung mas, nok njero alas iku” (tidak ada warung mas, didalam hutan itu) Sahut Kenek truk.

“Onok pak koncoku mau, aku tinggal neng njero alas ijenan pak” (ada pak teman saya tadi, saya tinggal didalam hutan sendirian pak) Kata Handy dengan meyakinkan kedua orang diatas truk ini. 

Sampai akhirnya kedua orang diatas truk turun untuk menanggapi Handy, Perdebatan antara sopir, kenek dan Handy semakin ramai. Sopir truk meyakinkan bahwa ditengah hutan tidak ada warung, karena ia sendiri sudah jadi sopir dan sering melewati hutan itu selama bertahun-tahun. 

Semakin pagi, semakin ramai perdebatan tiga orang ini didepan toko sembako.

Mendengar keributan dipagi hari yang semakin menjadi-jadi, pemilik toko yang berada di belakang berjalan keluar. Sampai didepan dia berdiri diam dahulu mengamati perdebatan kenek, sopirnya dan Handy. 

Sekian menit setelah sedikit memahami apa yang terjadi. Pemilik toko mendekat kepada Handy yang masih berdiri gemetar serta menahan sesenggukan sisa tangisnya.

“Enek opo iki? (ada apa ini) Tanya pemilik toko.

“Ikio pak Met, arek iki jaluk tolong. Jarene kancane kesurupan neng warung tengah alas” (Inilo Pak met, anak ini minta tolong. Katanya temannya kesurupan diwarung tengah hutan) Jawab Sopir sembakonya.

Selesai sopir itu berargumen, Tiba-tiba ada orang kampung melintas. 

Kebetulan warga kampung asli dan juga tetangga Pak Slamet, kebetulan bapak muda ini baru saja melewati hutan tersebut. Saat itu juga orang ini mengahampiri kerumunan Handy, Pak Slamet, sopir dan kenek. 

Bapak muda yang penasaran bertanya dan menghela perdebatan diantara kerumunan orang-orang ini.

“Warung endi mas” (Warung sebelah mana mas) Tanya bapak muda dengan penasaran.

“Iku lo pak, warung sak marine tikungan seng nanjak” (Itu lo pak, warung sehabis tingkungan yang menanjak)” Jelas Handy.

“Oalah mas, iku duduk warung, iku bekase omahe dukun” (Oalah mas itu bukan warung, itu bekasnya rumah dukun) Jelas Pria ini.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close