Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI ALAS ROBAN (Part 1)

Mereka yang selalu menjadi misteri di jalur tengkorak Pantura "Alas Roban"


Kegiatan libur semester ialah hal yang ditunggu-tunggu bagi pelajar, khususnya Handy dan Tyo teman akrab satu kelas serta satu bangku. Mereka adalah siswa disalah satu SMA yang berasal dari kota pahlawan. 

Kegemaran dan hoby mereka berdua ditahun 2011 adalah bermain otak atik motor tua serta touring luar kota, diusia yang masih belia hobinya cukup menguras kantong kedua orang tuanya. 

Kedua orang tua mereka juga senang dengan kegiatan anaknya, yang terpenting masih dalam koridor kegiatan yang positif dan tidak menganggu prestasi di sekolahnya. Saat liburan kenaikan kelas XI menuju kelas XII telah tiba. 

Dihari minggu mereka berdua berkumpul dirumah Handy terlebih dahulu. Mereka berdua berencana ikut Touring ke Jogjakarta bersama teman sekampung Handy. Kebetulan informasi dari teman-teman didaerah sekitar rumah Handy ada rombongan delapan orang yang mau ikut touring ke Jogja. 

Mereka masing-masing menggunakan satu motor diisi dua orang. Saat masih dirumah Handy, teman-teman dilingkungannya datang satu persatu untuk berkumpul. Sepuluh orang ini menyepakati Hari keberangkatan ditentukan berangkat dari kampung Handy,-

mereka menyepakati untuk berangkat hari selasa sore sehabis dhuhur sekitar jam satu siang.

***

Selasa sore jam 1, ternyata belum ada yang datang. Handy yang sudah siap dengan Tyo menunggu sampai jam empat. 

Perlahan tapi pasti rekan mereka yang delapan orang baru berkumpul di rumah Handy. Meski agak telat mereka tetap berangkat bersama, semua rombongan berangkat dengan penuh semangat bahagia. 

Keberangkatan mereka berbekal seadanya, waktu dijalan sempat berpapasan dengan satu club motor yang sama tapi beda rombongan. Saat rombongan berjalan menuju Jogja, mereka dua kali berhenti untuk istirahat dan mengisi BBM. 

Selain itu mereka juga membantu teman satu club motor yang mogok, padahal mereka belum saling kenal. Tapi rasa persaudaraan sesama pemilik motor tua yang menyatukan mereka untuk saling bantu membantu. 

Perjalanan penuh canda tawa dan keseruan diantara para pemuda ini saat di jalanan, waktu terus berjalan seperti roda mereka yang terus melaju. Sesampainya di Jogjakarta mereka langsung menuju pantai Parang Tritis, tempat yang akan dijadikan berkumpulnya club motor ini. 

Saat mereka sampai lokasi waktu menunjukkan sudah malam hari, semua anggota rombongan ini memutuskan untuk menginap di areal tepi jalan sekitar pantai. Begitu juga anggota club motor tua ini ikut bergabung, sedang club motor dari kota lain juga mulai berdatangan dimalam hari. 

Suasana semakin malam semakin ramai dan riuh, saling sapa dan saling berbagi, makanan, minuman dan rokok adalah kebiasaan mereka saat acara seperti ini.

Malam hari itu mereka habiskan untuk nongkrong dipinggir jalan, bukan untuk istirahat melepas lelah. 

Jiwa muda mereka untuk mengenal satu sama lain dari lain daerah juga sangat kuat. Hal ini membuat anggota club dari kota pahlawan begadang malam itu. Padahal pagi hari akan diadakan acara orkes dangdut untuk memeriahkan acara mereka, tapi semua anggota club merasa tidak peduli. 

Mereka berpikiran hanya kebahagian bisa bekumpul bersama teman-teman sesama satu club motor.
Pagi menjelang, Handy dan Tyo sudah berada dipantai. Pikiran mereka gelisah dan tak nyaman pagi itu, keduanya merasa ada sesuatu yang mengganjal dari diri mereka. 

Entah apa yang terjadi saat itu pada dua pemuda asal kota pahlawan ini, semakin siang semakin mereka tidak betah dilokasi. Padahal acara pembukaan belum dimulai, keadaan touring kali ini tidak seperti touring-touring yang mereka alami sebelumnya. 

Hari itu memang menjadi touring terjauh untuk kedua sahabat, karena sebelumnya hanya touring di sekitar daerah Jawa Timur saja. Hari beranjak semakin siang, chek sound dan persiapan alat diatas panggung sudah siap digelar dipantai. 

Informasinya acara sekitar jam sepuluh lebih akan dimulai. Tapi Handy tidak berkehendak demikian, ia yang masih duduk disebelah panggung bersama Tyo tiba-tiba berkata. 

“Yo ayok muleh, atiku wes ora enak” (Yo, ayo pulang. Hatiku merasa sudah tidak enak) Pinta Handy yang berdiri disamping panggung.

“Podo Han, aku yo wes kroso gak enak iki” (Sama Han, aku ya merasa tidak enak ini) Jawab Tyo.

“Yo wes ayok langsung moleh” (ya sudah ayo langsung pulang) Sambung Handy.

“Tapi gak pamitan neng arek-arek sek ta” (tapi tidak pamitan ke anak-anak dulu ta) Sergah Tyo.

“Gak usah, engko nek pamit malah gak oleh muleh tambahan karo arek-arek” (tidak perlu, nanti kalau pamit malah tidak boleh pulang malahan sama anak-anak) Jawab Tyo yang sudah gelisah ingin pulang. 

Mereka berdua berjalan diam-diam dari sebelah panggung menuju parkiran motornya, mereka mengambil motor dan menuntunnya dengan perlahan. 

Siang itu mereka berjalan menuntun motornya terlebih dahulu berdua melewati kerumunan anggota club motor, seakan-akan anggota club yang lain melihat motornya mogok.

“Nang ndi Han” (kemana Han). Tanya salah satu anggota club yang menggenalnya. 

“Sek ape mbenakno motor iki nang ngarep” (sebentar mau memperbaiki motor ini didepan) Jawab Handy sambil menunjuk kearah jalan. Padahal waktu keluar pantai pikiran mereka sudah mulai kosong, gelisah dan kacau, mereka sudah tidak sadar akan apa yang dilakukan. 

Mereka berdua seperti terkena hipnotis, sampai dijalan mereka langsung menaiki motor tua itu dan melanjutkan perjalanan pulang secara diam-diam. Sekitar jam sepuluh pagi mereka mulai mengendarai motor tuanya diatas jalan raya. 

Perasaan Handy melajukan motor kearah Jawa Timur, mereka melaju berdua sekian jam hingga terasa bahan bakar mereka mau habis. Merasakan hal ini, tarikan motor sudah tersendat-sendat, saat itu juga Handy mengurangi kecepatan sambil mencari SPBU terdekat. 

Sekian meter mereka melihat SPBU, spontan tangan Handy membelokkan motornya disebuah SPBU kecil. Handy langsung ikut antrian paling belakang di Box bertuliskan Premium, Tyo sendiri langsung turun dari boncengan dan pergi ke kamar kecil. 

Selesai buang hajat Tyo berjalan keluar, ia duduk jongkok dipintu keluar SPBU untuk menunggu Handy. Waktu Tyo duduk ia melihat rombongan konvoi club motor yang sama dengan mereka melewati depannya. 

“Whoi bareng” teriak Tyo dengan keras dengan melambaikan tangannya, tapi rombongan ini hanya melambaikan tangan dan tetap berlalu pergi. Tyo memandang ke mereka semakin menjauh dan menghilang di jalanan, sedang Handy masih antri di SPBU. 

Sekian menit akhirnya Handy datang dengan mengendarai motor tuanya, Merasa mereka berdua sudah tertinggal jauh karena mengisi bahan bakar di SPBU. Tyo dengan cepat berdiri di belakang boncengan Handy… 

“Ayo cepet budal, perasaanku tambah gak uenak iki” (ayo berangkat perasaanku sudah tambah gak enak ini) Ucap Tyo dengan memaksa.

“Yo ayo cepet ndang numpak des” (ya ayo cepat naik des) Sambung Handy serta menunggu Tyo naik dibelakang motornya. 

Handy langsung memasukkan kendaraan dijalan raya beraspal kembali.
”Arek-arek mau kok wes ora ketok yo?” (anak-anak tadi kok sudah tidak kelihatan yo) Kata Tyo yang dibelakang.

“Sopo yo” (Siapa Yo) Sahut Handy dari depan. 

“Arek-arek sak club motor karo awak dewe Han” (anak-anak yang satu club motor sama kita Han) Jawab Tyo.

“Beneran Yo” Tanya Handi yang penasaran.

“Iyo… Han banterno motore des, ngomong ae selak keri iki” (Iya Han kencangkan motornya des, bicara saja bisa ketinggalan ini) bentak Tyo dari belakang.

“Iyo cuk, rame ae. Aku nggur takon” (Iya cuk, ramai saja. Aku cuma nanya) sahut Handy yang memulai menambah kecepatan. 

Merasa kesal, motornya langsung dipacu dengan kencang, dengan kecepatan penuh motor Handy melaju Tapi belum bisa menyusul rombongan didepannya. Sekian lama mereka menyusuri jalan raya sampai akhirnya dari jauh mereka melihat areal hutan jati yang lebat didepan. Tapi teman-teman mereka tetap belum terlihat.

“Piye iki, arek-arek mau sek gurung ketok” (gimana ini anak-anak tadi masih belum kelihatan) Tanya Handy dari depan dengan keras. 

“Wes melok’o dalan gede ae gak popo” (sudah ikuti jalan raya saja tidak apa-apa) Jawab Tyo dari belakang.

“Ya wes” (ya sudah) Jawab Handi didepan.

Dengan saran dan masukan dari sahabatnya Tyo, akhirnya Handy menurutinya tapi ia sedikit ngawur untuk mengambil jalan raya. 

Handy yang gelisah dan bingung berpikir hanya untuk mengikuti jalan raya yang berada didepannya. Padahal mereka saat itu sudah salah jalur untuk pulang, Kebingungan dan ketidaksadaran mereka dari pantai Parang Tritis membuat Handy mengendarai motor secara asal. 

Dijalan raya yang disamping kanan kiri rumah telah habis, kini mereka mulai memasuki hutan jati yang lebat. Jalan mulai menanjak dan banyak belokan serta turunan tajam. Mereka melaju dengan kecepatan sedang meski sesekali kendaraan lain lewat dan menyalip mereka dari belakang. 

Saat tanjakan tajam motor mereka dipacu untuk melewatinya, tapi motor mereka tidak kuat menaiki tanjakan. Melihat keadaan ini Tyo langsung turun dari motor dan mendorong motor Handy dari belakang. 

Hal itu mereka lakukan berulang kali, sampai mereka berjalan sekitar lima kilo meter. Diremang cahaya mulai redup tertutup daun jati yang lebat dan rimbun, ada seorang kakek tua sendirian naik motor yang sama dengan Handy. 

Kakek itu seperti habis ikut konvoi, perlahan kakek ini menghampiri mereka dari samping dengan mengurangi kecepatan motornya.

“Kenek opo le” (kena apa nak) Tanya kakek tua yang masih mengendarai diatas motor tuanya dengan pelan disamping Tyo. 

“Mboten kiat motore damel nanjak mbah” (tidak kuat motornya buat naik ketanjakan mbah) Jawab Tyo yang mendorong dengan nafas ngos-ngosan .

“Ayo bareng aku salah siji, ben gak mlaku” (ayo sama saya salah satu, biar tidak jalan) Tawar kakek yang memakai helm dan telihat sembulan beberapa rambutnya yang memutih.

“Nggih mbah matur nuwun” Sambung Tyo yang melepaskan tangannya dibelakang motor Handy. 

Tyo sendiri langsung mendekati kakek tua ini dan menerima ajakannya, sejenak sang kakek berhenti sebentar dan Tyo langsung naik di belakang motornya. Tyo dan kakek tua ini mengendarai motor berdua dengan lancar. 

Sang kakek ini saat memboceng Tyo sempat bercerita bahwa asalnya dari Jawa Timur juga, tepatnya dikota sebelah Tyo. Mereka berdua melaju dahulu sambil berbincang panjang lebar. 

Sedangkan Motor yang dikendarai Handy tadi tidak kuat ditanjakan, sekarang tiba-tiba kuat melewati tanjakan dan bisa mengikuti motor kakek ini dari belakang. Sekian kilo meter jalan yang telah dilalui, kakek ini mengajak mampir disebuah warung untuk makan. 

Sebenarnya Tyo tidak mau tapi kakek ini terus memaksa Tyo, sampai akhirnya dia sebagai penumpang mengikuti keinginan jokinya. Tyo sendiri juga merasa sudah merasa akrab pada kakek ini padahal baru ditemuinya beberapa menit yang lalu. 

Sedang Handy sendiri mengikuti kakek ini dan temannya Tyo untuk mampir diwarung.

Saat sampai diwarung sederhana mereka parkir kendaraan dihalaman warung, lalu mereka bertiga ini masuk warung dan pesan makanan. 

Kedua pemuda yang tidak tahu arah pulang ini, tanpa rasa sungkan mengikuti kakek tua untuk makan diwarung. Suasana diwarung cukup ramai saat sore menjelang maghrib itu. Waktu itu jam diwarung menunjukkan jam 5 sore lebih lima belas menit. 

Mereka makan dengan lahap, karena Tyo dan Handy sendiri sudah merasa kelaparan. Selesai makan mereka keluar, tapi sebelum meninggalkan warung semua makanan dibayar oleh kakek tua baik hati ini. Sampai diluar warung kakek ini langsung duduk diatas motornya sendirian. 

Dia menoleh ke Handy yang sama-sama sudah naik motor tua. Sedang Handy sendiri sudah menatapnya penuh curiga..

“Mbah mulihe ngetan bareng ae mbah” (mbah pulangnya ke timur barengan saja mbah) Pinta Handy.

“Ojok le, aku gupuh-gupuh. Masalahe aku jek enek urusan liyo” (Jangan nak, aku buru-buru. Masalahnya aku masih ada urusan lain) Jawab kakek ini dengan menyalakan motornya.

“Wes tak disek” (sudah saya duluan) Pinta kakek ini dengan melajukan dahulu motornya kejalan beraspal. 

Kakek ini mulai meninggalkan mereka berdua, tapi Handy dan Tyo yang merasa sudah dibantu kakek ini mereka langsung mengejarnya dari belakang. Dengan cepat dua pemuda ini menaikan motor dijalan beraspal, motor yang mendadak normal melaju dengan kencang untuk mengikuti kakek ini. 

Sejauh dua puluh meter kakek itu masih terlihat, tapi saat setelah belokan tanjakan kakek itu tiba-tiba menghilang. Mereka berdua bingung, seharusnya kakek itu didepannya tapi tiba-tiba sudah tidak ada ketika jalan didepannya lurus. 

“Piye iki yo, mbahe kok ilang” (gimana ini yo, kakeknya kok hilang) tanya Handy dengan menurunkan kecepatan serta menoleh kebelakang sebentar.

“Iyoe, gak enek mbahe” (Iya, tidak ada kakeknya) Sahut Tyo yang heran.

“Yo wes babahno terus ae Han, wes bengi iki” (ya sudah biarkan terus saja Han, sudah malam ini) Perintah Tyo dari belakang.

“Yo wes” (Ya sudah) Jawab singkat Handy dengan menaikkan kecepatan lagi.

Tanpa pikir panjang Handy menjalankan saran Tyo dan tetap merasa melajukan kendaraan untuk mengarah ketimur, menuju arah kota kelahirannya. Hari semakin gelap, Motor mereka yang ditumpangi Handi dan Tyo terus melaju di areal hutan dengan pemandangan semakin mengerikan. 

Digelapnya malam hanya beberapa kali mobil dan motor menyalipnya, lampu motor mereka juga redup kekuningan saat itu. Daun-daun jati yang rimbun menutup dengan kegelapan di semua sisi jalan. 

Semakin jauh mereka melaju bau harum bunga kamboja mulai tercium, tapi kadang-kadang bau bunga kamboja itu berganti dengan bau busuk. Rintik hujan lama-kelamaan yang melanda mulai mengikuti dan membasahi jaket tebal mereka,-

kedua sahabat ini tetap tidak berhenti untuk sekedar berteduh atau menahan dingin.

Mereka berdua yang tergolong masih polos akan hal demikian, menganggap hal ini biasa saja. Disisi lain mereka juga tergolong anak nekat yang cepat ingin sampai rumah,-

karena lingkungan mereka yang mendidik karakter mereka menjadi demikian.

Semakin lama dan jauh mereka melewati jalanan hutan ini suasana semakin lembab dan tidak ada kendaraan satupun yang melintas. 

Hingga daun-daun jati tidak terlihat, hanya getaran daun-daun jati yang terkena bulir air sebagai alunan bunyi malam itu. Lama kelamaan mereka merasa hanya kendaraan mereka berdua yang ada dijalanan malam itu. 

Sejauh kira-kira lima belas kilo dari warung pertama saat melintasi jalanan, Handi dan Tyo hanya melihat satu buah warung ditengah hutan tepatnya disisi kiri jalan.
Posisi warungnya berada tepat setelah tanjakan ada belokan sedikit dari arah barat. 

Mereka berdua yang sekilas melihat bangunan reot itu, mereka tidak berpikir curiga sedikitpun akan warung ini. Mereka terus melajukan kendaraan, sampai Handy melihat didepannya ada pertigaan jalan besar, ia melaju lurus mengikuti jalan besar itu. 

Tapi setelah melewatinya mereka kembali melintasi warung reot itu lagi, seperti berputar kembali. Ia memacu kendaraan tuanya sekitar 12 belas kali melewati warung itu. 

Sampai akhirnya Tyo yang kesal memulai menghitung perjalanan ke 13, dengan hitungan pertama dilintasan yang sama, sedang Handy hanya fokus untuk menahkodai motornya. 

Tyo mempunyai inisiatif sendiri, yaitu warung ini dijadikan penanda dan pengingat jika lewat lagi disini.
Yang kedua setelah mereka tetap melewati warung yang sama disisi kiri jalan, Yang ketiga Motor terus berjalan mengikuti jalan raya sampai ada pertigaan lagi. 

Kali ini Handy memilih dijalan yang berbelok, sekian lama memacu motor. Mereka kembali lagi melewati depan warung yang sama ditengah hutan.

“Kok warung iki maneh Han” (kok warung ini lagi Han) Ucap bibir Tyo yang tepat disebelah kanan telinga Handy. 

“Iyo, bener Yo mosok awak dewe salah dalan” (Iya bener yo. Masak kita salah jalan) Jawab Handy dari depan dengan suara kencang.

Ternyata mereka hanya berputar dan berputar di jalan raya yang tak berujung. Lama kelamaan mereka berdua tambah kesal dengan apa yang dialami.

Tyo dibelakang mulai jengkel dan merasa capek serta kedinginan. Tyo sendiri ingin segera beristirahat.

“Eh Han awakmu iso nyetir gak” (eh han kamu bisa nyetir tidak?) Tanya Tyo dengan jengkel .

“Maksudmu piye” (maksud kamu gimana?) Jawab Handy yang masih tak mengerti maksud Tyo.

“Kok kaet mau muter neng dalan iki terus? opo awakmu gak kroso aneh?” 

(Kok kita dari tadi muter di jalan ini terus, apa kamu tidak merasa aneh?) Tanya Tyo dengan serius disamping telinga kananya.

“Iyo yo, aku dewe kroso. Tapi piye maneh aku nggur fokus nyetir delok dalan neng ngarep, soale dalane peteng?” 

(Iya ya, aku sendiri merasa. Tapi gimana lagi aku cuma lihat jalan kedepan, masalahnya jalannya gelap?) Jawab Handy dengan mengurangi kecepatan laju motornya.

“Sek kalem-kalem ae motore, delok’en neng ngarep iku warung seng mesti awak dewe liwati kaet mau” 

(Sebentar pelan-pelan saja motornya, lihatlah didepan itu warung yang pasti kita lewati dari tadi) Jelas Tyo dengan sedikit mengigil.

“Temen ta Yo” (Beneran ta Yo) Sambung Handy.

“Temenan des iku mau wes tak titeni bolak balik, warung iku mesti enek neng siseh kiri dalan. Rupane yo pancet” (beneran des, itu tadi sudah tak ingat bolak balik, warung itu pasti ada disisi kanan jalan) Terang Tyo dengan penuh keyakinannya.

Entah berapa lama mereka berputar putar lagi di jalanan tengah hutan, malam itu mereka tidak bisa melihat jam karena HP keduanya baterainya sudah habis. Hp mereka berdua ditaruh dijok motor, saat mulai meninggalkan SPBU terakhir. 

Waktu motor terus melaju pelan tiba-tiba motor mereka mogok mendadak, tepatnya didepan warung reot yang jadi penanda yang mereka lewati tadi.

Kondisi Mereka berdua malam itu sudah sangat capek, lelah, serta dingin dari hujan gerimis yang menemani mereka digelapnya hutan jati. 

Tubuh mereka berdua juga mulai tambah kedinginan, sedang hati tenaga dan pikiran mereka mulai kacau linglung serta takut. Sambil memegangi motor yang mogok, Handy berkata kepada Tyo yang dibelakangnya… 

“Han leren sek ae neng warung iku yo? Awakku wes kesel kabeh ?” (Han istirahat dulu badanku sudah capek semua) Pinta Handy yang sudah merasa kelelahan.

“Duite ngepres iki Han, iki nggur cukup gae tuku bensin tok” 

(Uangnya ini sudah mepet Han, ini Cuma cukup buat beli bensin) Sahut Tyo dibelakangnya.

“Wes gak popo, tuku kopi ambek teh anget ae” (sudah tidak apa-apa, beli kopi sama teh hangat saja) Sambung Handi.

“Motoku barang wes ora kuat temenan iki?” (Mataku juga sudah tidak kuat beneran ini) Kata Handi dengan serius.

“Yo wes gak popo nek ngunu” (ya sudah tidak apa-apa kalau begitu) Jawab Tyo yang mengikuti permintaan temannya. 

Tak lama kemudian motor mereka dituntun ke kiri jalan menuju warung itu, warung reot itu hanya berdiri sendirian disebelah sisi kiri jalan. Dengan kondisi kelelahan mereka berdua langsung memarkirkan motor tua didepan warung tersebut, tepat dibawah pohon jati besar. 

Saat masuk warung mereka meletakkan helmnya di kursi depan warung, dan membuka kancing jaket tapi mereka tetap memakainya.

Warung ini terbuat dari papan kayu dengan penerangan lampu neon kuning agak redup didalam warung. 

Depan warung ada dua pintu masuk yang sudah terbuka, dan jendela ditengahnya agak besar tapi sedikit terbuka. Lampu neon ini terlihat sudah sangat usang dan lusuh sebagai penerangan satu-satunya di dalam warung ,neon kuning itu tepat berada tergantung diatas meja tengah warung. 

Saat mereka masuk kedalam warung ini, ada tiga buah kursi kayu yang terpisah. Kursi itu masing-masing didepan samping kanan dan kiri menghadap meja yang ditengah. Meja warung ditengah hutan ini berisi beberapa minuman kemasan dan tiga loyan macam-macam jajanan pasar. 

Handy dan Tyo yang capek, langsung duduk meluruskan kaki dikursi sebelah kanan meja. Didepan meja ternyata sudah ada satu orang pengunjung. Seorang pria agak tua seperti pulang dari sawah. 

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close