Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU JIWO (Part 3) - Pucuk Kembang


Lelaki tua itu menatap Yadi tajam. Sinar matanya mencerminkan rasa iba dan khawatir, membuat Yadi sepersekian detik hanya terdiam sambil menatapi penuh selidik. Sebelum lelaki tua itu berkata kepada Yadi.

"Pucuk kembang sriti, bakal menjadi pintu kematian hidupmu! Putuskan pucuk itu sebelum menjadi bunga mekar di dalam jiwa istrimu. Jangan di pakai apalagi di makan gebyarnya dunia yang kamu anggap bisa membuatmu bahagia.-

Karena itu sejatinya tawaran untukmu bersekutu atau mati!” ucap sang lelaki tua pada Yadi.

"Apa maksudnya, Mbah?" sahut Yadi tak mengerti, meski ia tau kalimat per kalimat, namun ia bingung dengan tujuan sang lelaki tua berbicara seperti itu padanya.

"Sebenarnya kamu sudah tahu isi dalamnya rumah Sukirman, sudah tahu keadaan yang ada di sana, tapi tidak tahu apa isinya. Sekali lagi saya ingatkan, putuskan, kembalilah kepada yang kuasa, jangan sampai kamu menjadi pajangan seperti yang lainnya.”

Lagi, ucapan bernada nasehat dan satu peringantan, terlontar dari bibir tua sang lelaki. Namun hal itu malah semakin membuat Yadi bingung tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Sampai sang lelaki tua itu pergi, Yadi hanya tertegun dengan pikirannya sendiri.

***

“Permisi Kang. Mbak Warni ada?” tanya sosok perempuan tua setelah pintu dibuka oleh si pemilik rumah.

“Ada Mbok. Simbok siapa, ya?” jawab lelaki bersarung dengan pakaian berlogo partai.

“Saya Mbok Ratmi. Saya di suruh Kang Yadi untuk jemput Mbak Warni.” Jawabnya kembali.

“Oh iya Mbok. Sebentar saya panggilkan Warni dulu. Monggo masuk dulu Mbok.”

“Ndak usah Kang, di sini saja.”

Lelaki itu kemudian masuk. Tak lama, lelaki yang biasa di panggil Tejo itu keluar bersama Warni.

Sebentar Tejo menatap wanita tua di depannya, ada guratan keganjilan ketika pandangan mereka saling menatap. Seakan ada hawa lain yang menyelimuti dari sosok perempuan yang baru saja menyebut namanya Ratmi tersebut. Namun keganjilan Tejo berangsur berubah,-

manakala Warni yang tiba-tiba menyapa Mbok Ratmi dengan sapaan keakraban. Hal itu membuat Tejo percaya, dan membiarkan Warni pergi bersama Mbok Ratmi.

Sebentar matanya mengamati sambil menyandarkan tubuhnya di gawang pintu, sebelum bergerak menghempaskan pelan pintu kayu setelah sosok Warni dan Mbok Ratmi menghilang.

***

Jalanan kota yang masih dihiasi aktivitas para manusia, terlihat ramai. Namun langit dan alam telah tersebut malam, hal itu tak membuat mereka-mereka mengendurkan semangat. Tapi lain hal dengan Yadi, keramaian malam itu seakan mempengaruhi jwa dan pikirannya.

Terhantui ribuan tanda tanya yang belum terjawab.
Laju kendaraan semakin ia pacu, ketika telah melewati jalanan ramai serta pasar yang biasa ia jadikan ladang mencari nafkah. Dirinya ingin segera sampai di rumah saudaranya,-

bertemu dengan Warni dan akan mencoba menceritakan semuanya. Namun hal aneh dan janggal lagi-lagi harus Yadi alami, manakala ketika ia sampai. Dirinya sudah di sambut oleh Tejo di depan rumah dengan wajah berkerut menandakan keheranan.

“Loh, Kang? Kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanya Tejo yang berdiri di ambang pintu.

“Balik lagi? Maksudnya, Kang? Kan saya mau nginep di sini sama Warni.” Yadi yang belum mengerti, menjawab dengan mengerutkan keningnya.

“Loh gimana sih? Tadi si Warni sudah di jemput, katanya kamu yang nyuruh, Yad.” Jawab Tejo.

Yadi bingung, ia kemudian menanyakan hal yang sama, lantaran memang Yadi sendiri tidak menyuruh satu orang pun untuk menjemput Warni.

“Coba susul di rumahmu, mungkin lagi sampai mereka. Soalnya tadi yang jemput Warni itu Mbok Ratmi katanya.”

Baru saja Tejo selesai bicara, dari arah dalam muncul wanita paruh baya atau istri Tejo.

Dari istri Tejo itulah Yadi mendapat penjelasan lengkap tentang satu hal ganjil begi dirinya. Di mana ia mendapat penjelasan jika Warni telah kembali kerumahnya sendiri bersama seorang perempuan tuan yang mengaku atas perintah Yadi sendiri.

Belum sempat Yadi mau menjelaskan dan menceritakan, Yadi pun memilih untuk segera kembali ke rumahnya, berharap Warni baik-baik saja.

Tak berapa lama, Yadi memacu kembali motornya, meninggalkan rumah Tejo yang sedikit tersusupi rasa curiga dengan perasaan bertambah kalut.

Marah, khawatir, bingung bertumpuk menjadi satu. Akal dan nalarnya seakan hanya terfokus pada pertanyaan siapa wanita yang menjemput Warni.
Karena seingatnya, selain istri Tejo, dirinya tak mempunyai lagi saudara perempuan di daerah itu.

semakin panjang ia memikirkan, semakin besar rasa ingin tahunya akan sosok yang sudah menjemput Warni. Hal itu juga yang membuat Yadi semangat untuk menarik gas motornya.

Sesampainya Yadi di rumah, ada satu hal yang membuat Yadi menghentikan langkahnya.

Tubuhnya seketika merinding bahkan tangannya yang sudah memegang handle pintu, ia urungkan untuk menekan. Beberapa menit lamanya Yadi berdiri terpaku seakan tak percaya. Di samping juga rasa penasaran, kala mendapati sesuatu yang aneh dari dalam rumahnya.

"Gak mungkin! Itu bukan suara Warni!" gumam lirih Yadi, saat dengan jelas mendengar satu suara merdu yang tengah menembangkan sebuah lirik berirama, dan berbahasa jawa kuno.

Lirik-lirik yang semakin lama semakin nyaring masuk gendang telinga Yadi, terdengar merdu namun asing baginya. Entah karena suara sang penembang atau karena iramanya, bagi Yadi tembang Jawa itu membuatnya merinding dan merasa ada kengerian menyayat di dalamnya.

Tak berapa lama tembang langgam Jawa kuno itu berhenti. Menyadarkan Yadi jika dirinya telah lama berdiri di depan pintu. Tapi tiga tarikan nafas kemudian, Yadi kembali di buat terkejut ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya.

Bukan hanya itu saja. Yadi lagi-lagi terperanjat ketika satu suara wanita lembut dari dalam, seperti telah mengetahui keberadaannya.

"Masuklah...."

Untuk ketiga kalinya suara itu seperti memanggil Yadi yang masih berdiri, antara ragu dan takut, Yadi melangkah maju.

Yadi merasa seperti ada kekuatan yang terkandung dalam suara itu, membuatnya tak peduli lagi dengan pintu yang kembali tertutup dengan sendirinya.

Yadi terus melangkah. Mengabaikan semerbak harum kembang yang tajam menusuk, menuruti satu kekuatan yang menarik dirinya hingga sampai di depan kamarnya sendiri.

Antara terpana, terkejut, dan tak percaya, Yadi saat itu. Mulutnya spontan ternganga, matanya melebar, mendapati satu sosok wanita cantik yang tengah duduk di belakang tubuh istrinya.

Sosok wanita itu sebentar menatap Yadi. Kemudian mengulas seutas senyum, sebelum jari telunjuknya yang lentik, memberi tanda pada Yadi untuk mendekat.
Lagi-lagi Yadi tak mampu menolak. Ia pun perlahan mendekat ke arah sosok wanita ayu berbalut kemben batik melilit sebatas dada.

Kakinya kembali terpaku saat dirinya tinggal berjarak tak lebih dua meteran dari sosok itu.
Matanya terus menatapi wajah ayu sang wanita. Tanpa memperdulikan sosok Warni yang juga berada di dekatnya.

Tak lama, sosok wanita ayu berselendang kuning ke emasan yang tersampir di pundak, bangkit. Tangannya yang baru saja menyisir, merapikan, rambut panjang Warni, beralih meraih pundak Yadi. Terasa dingin dan membeku tubuh Yadi. Namun ia tak mampu menghindar.

Apalagi, saat wajah cantik tanpa cela sosok itu mendekat ke arah wajahnya, Yadi merasakan seluruh persendian tubuhnya bergetar.

"Aku ingin istrimu menjadi pengantin dan abdiku. Sebagai gantinya, aku akan memberikan semua yang kamu mau, termasuk jika kamu menginginkan diriku," bisik sang wanita lembut, di telinga kiri Yadi.

Tak ada reaksi apapun dari Yadi. Ia bagai seonggok patung bernyawa yang hanya mampu menatap tanpa bisa berucap. Namun beberapa saat kemudian, naluri sebagai seorang suami tetiba saja tergolak dalam jiwa Yadi.

Melihat sang istri yang telah berubah bak seperti seorang ratu, atau lebih tepatnya berdandan layaknya calon mempelai wanita, lengkap dengan hiasan khas Jawa, membuatnya berkeinginan untuk menghampiri dan bertanya.

Yadi berusaha sekuat mungkin untuk membuka mulut di hadapan sosok Warni. Tapi sia-sia, semakin ia berusaha, semakin otot urat saraf dalam tubuhnya terasa kencang dan kaku.

Rasa cemas dan khawatir seketika menyeruak pikiran Yadi. Kala dari arah pintu muncul sesosok lelaki bertelanjang dada. Sosok itu kemudian di sambut sang wanita cantik, sebelum duduk bersanding bersama Warni.

Tak lama, sang wanita ayu berjalan mengelilingi sosok lelaki dan Warni yg telah duduk berdampingan sembari melantunkan sebuah tembang seperti seorang sinden. Selang beberapa menit, wanita ayu itu terdiam, memejamkan matanya sebentar di hadapan Warni dan lelaki bertelanjang dada.

Saat ia kembali membuka mata, perlahan tangan halusnya melepas selendang dari pundak dan meletakkan di atas kepala keduanya seraya berucap beberapa kalimat.

Menyaksikan kejadian itu nyata di depan mata, Yadi merasakan satu kengerian. Sebab, sosok lelaki tua yang duduk di sebelah lelaki muda yang bersanding dengan istrinya, adalah sosok Sukirman dan Supri.

Sukirman, Lelaki yang ia tau telah meninggal dan baru beberapa jam yang lalu sempat bertemu Supri di kediamannya.
Ingin sekali ia berontak guna mencegah, tapi kekuatan dan tenaga di tubuhnya seperti hilang tertelan pancaran mata sang wanita ayu.

Sampai pada titik terakhir upacara yang Yadi belum mengetahui tujuannya, di mana sosok Sukirman membawa pergi Supri dan istri Yadi dan melewati tempatnya berdiri, Yadi masih tak mampu untuk bergerak.

"Mulai saat ini, istrimu telah menjadi abdi sekaligus pengantinku. Tugasku menyambung Trah Abdi Sasongko telah selesai. Dan sekarang, aku ingin menjadikan kamu sebagai pengikut setiaku, kemarilah...."

Mendengar ucapan lembut wanita ayu, seketika tubuh Yadi bagai tersengat aliran listrik. Ia mampu menggerakan kaki dan bagian tubuh lainya. Menyahuti perintah wanita ayu dengan satu anggukan, sebelum melangkah pelan mendekat, meski ada bisikan di batin yg menyuruh untuk menolak.

Yadi kemudian terduduk di tepian ranjang. Matanya tak lepas memandang wajah ayu berhias senyum merekah, yang semakin menambah daya pesona sosok itu.

Tak lama, Yadi terbaring. Menuruti dorongan kecil jari-jari tangan sang wanita yang telah berposisi di atas tubuh Yadi. Kapan persisnya Yadi tak mengetahui. Ia hanya tau bila tubuhnya serta sang wanita sudah tak terbungkus apa-apa.

Namun, sebelum sesuatu hal sakral lebih jauh terjadi, di awali dengan satu bisikan menyentak kuat dalam bathin, tiba-tiba saja dari tubuh Yadi seperti mengeluarkan sesuatu yang menghantam dan mendorong tubuh sosok wanita ayu hingga terpental dan jatuh dari atas ranjang.

Tepat di saat itu Yadi tersadar. Ia buru-buru mengenakan kembali pakaianya. Sesegera melompat dari ranjang, berdiri menjauh dari sosok wanita yang sedang meraung kesakitan setelah jatuh terjengkang oleh kekuatan yang Yadi sendiri belum tau asalnya.

Sejenak suasana dalam kamar di rasa panas oleh Yadi. Berbanding balik dengan keadaan beberapa menit yang lalu. Sama halnya dengan yang terjadi pada sosok wanita itu. Jika awal Yadi merasa terpesona akan paras dan wangi tubuhnya, kini sebaliknya.

Tak hanya rasa takut, rasa jijik teramat sangat juga langsung menghinggapi perasaan Yadi, yang melihat perubahan wujud sosok wanita itu. Di mana, sekarang Yadi melihat sosok tua berambut acak-acakan, berbau anyir busuk,-

berasal dari kulit wajahnya yang mengelupas dan mengeluarkan lendir. Tapi, yang paling membuat Yadi seketika menggigil ketakutan dari perubahan sosok itu, adalah dua bibirnya yang menganga lebar serta bola mata putih rata tanpa setitik hitam pun menempel.

"Rupanya dugaanku benar! kamu bukan saja Geteh tutupan! tapi juga mempunyai Tali Wongso," ucap sosok wanita yang telah berubah mengerikan, dengan suara beratnya.

"Si-siapa kamu sebenarnya?" jawab Yadi ketakutan.
Mendengar pertanyaan Yadi, sosok wanita itu tertawa nyaring.

Memperlebar mulutnya yang tak berahang. Kemudian, perlahan tubuh ringkihnya bangkit, melangkah setengah terhuyung mendekati Yadi.
"Kamu tak perlu tau siapa saya. Tapi yang harus kamu tau, bahwa dari darahmu itu yang akan melanggengkan Trah Sasongko Jati pada Sang Ratu.

Dan perlu kamu ingat! Meski aku tak bisa menguasaimu, namun istrimu tak akan bisa selamat. Hanya ada dua pilihan bagimu, BERSEKUTU ATAU MATI!" jawab sosok wanita bergaun putih lusuh tegas, dan di akhiri tawa melengking.

Mendengar penuturan sosok itu, Yadi terhenyak semakin ketakutan. Apalagi ketika mendengar lengkingan tawanya semakin mengeras, mendadak tubuhnya goyah, telinganya terasa berdengung begitu sakit, hingga membuatnya roboh ke lantai dan melihat hanya gelap di sekitar.

Namun sebelum matanya tertutup rapat, ia sempat melihat samar kemunculan empat sosok hitam berambut panjang menyapu lantai. Ke empat sosok itu membawa dan memikul sebuah keranda kayu berukir tanpa penutup.

Mereka kemudian memapah serta menaikan sosok wanita renta berbola mata putih rata ke dalam keranda, segera meninggalkan kamar dan dirinya yang terkapar sendiri tanpa daya.

Rintihan lirih mengawali kesadaran Yadi. Matanya perlahan terbuka, memandang terang keadaan dalam kamar yang tertembus paparan sinar penguasa langit di waktu siang.

Terasa ngilu di rasakan Yadi pada beberapa bagian tubuhnya. Membuatnya menunda untuk bangkit dari ranjang.

Sejenak ia terdiam, mengumpulkan seluruh kesadaran dan memutar kembali memori ingatannya tentang kejadian yg dirinya alami semalam.

Tak berapa lama, raut wajah Yadi berubah. Gurat ketakutan dan kecemasan seketika menyelubung, membuat tekadnya untuk bangkit dari pembaringan.

Namun, belum sempat kakinya menginjak lantai, satu sosok buru-buru masuk dan membaringkan kembali tubuhnya.

"Kamu jangan banyak gerak dulu. Istirahat saja, kalau mau apa-apa, bilang!" ujar sosok lelaki yang baru saja membaringkan tubuh Yadi.

"Di mana Warni, Kang? dan sejak kapan, Kang Tejo di sini?" sahut Yadi balik bertanya pada lelaki yang tak lain Tejo, satu-satunya saudara dekat yang ia miliki.

"Aku sama Mbakyumu sedari td pagi di sini. Warni yang menghubungi dan memberi kabar kalau kamu pingsan," jawab Tejo sembari duduk di tepian ranjang.

Yadi sebentar terdiam. Matanya menerawang ke atas langit kamar. Mengingat kembali peristiwa mengerikan yg dirinya alami semalam.

Lalu, matanya beralih ke arah Tejo. Namun belum sempat ia berucap, dari arah pintu satu sosok perempuan muncul dengan sebuah nampan di tangan.

"Mas, kamu sarapan dulu. Biar cepet pulih." Lembut, kalimat yang terucap dari bibir wanita yang baru saja masuk.

Tapi bagi Yadi, kelembutan suara sosok yang tak lain adalah Warni istrinya, di rasa begitu berbeda. Ada ketakutan tersendiri ketika tatapannya bertemu. Apalagi, saat Warni tersenyum sembari mengerlingkan mata kirinya, Yadi melihat satu keanehan.

"Yasudah. Kamu makan dulu, Yad."
Tejo, yang sedari awal Warni masuk hanya diam, akhirnya beranjak keluar untuk memberi kesempatan Warni mengurus Yadi. Padahal, kepergiannya saat itu sangat tidak di inginkan oleh Yadi.

Dengan telaten tangan Warni menyuapkan makanan pada Yadi. Semuanya terlihat wajar meski tanpa ada obrolan apapun di antara keduanya. Hingga sampai suapan terakhir, barulah beberapa kalimat meluncur dari bibir Warni, mengawali satu pembicaraan.

"Mas Yadi gak usah takut! Ragaku masih utuh milikmu, walau sukmaku sudah tergadaikan. Tapi satu yang sangat aku sesalkan, mulai detik ini Mas Yadi tak bisa lagi menyentuhku!" ucap Warni bersama dengan perubahan raut di wajahnya.

Yadi terhenyak dan sedikit terkejut. Ia sama sekali tak mengerti ucapan Warni. Kulit wajahnya mengkerut, matanya menciut menatap ke arah wajah muram Warni, menandakan satu penjelasan yang ingin dirinya dengar dari bibir istrinya.

"Apa maksudmu? Apakah kejadian semalam itu ... itu...."

Yadi yg tak sabar menunggu penjelasan Warni, akhirnya membuka suara. Namun, ia sendiri tak mampu untuk melanjutkan satu pertanyaan yg di rasa sangat memukul jiwanya.

Tentang kebenaran satu kejadian yang dirinya lihat jelas semalam.

"Benar, Mas. Apa yang kamu lihat tadi malam benar adanya. Tapi kenapa kamu terkejut? Bukankah ini akibat perbuatanmu sendiri? Bukankah semua ini kamu yang memulainya?

Kamu yg lalai, Mas! Kamu yg serakah, Mas!" tajam dan tegas jawaban yg meluncur dari bibir Warni. Membuat Yadi lagi-lagi terhenyak membisu.
Belum lagi sempat Yadi yang ingin membuka mulut mengucapkan sebuah kalimat, Warni terlebih dulu bangkit dan beranjak dari sisi ranjang kamar.

Langkahnya begitu cepat meninggalkan Yadi, yang hanya mampu termangu tanpa bisa mencegah.
Menyesal! itulah yang tiba-tiba membersit dalam hati Yadi. Bagaimanapun, semua yang baru saja di ucapkan,

di tuduhkan Warni pada dirinya tak dapat ia pungkiri, tak dapat ia sanggah, karena memang awal dari semua masalah yang terjadi, adalah keserakahannya.

Memikirkan itu, membuat Yadi tersedu, terisak, menangis tertahan. Bathinnya berontak, menolak semua yang terjadi, tapi sekali lagi, semua telah terlambat.

***

Waktu terus bergulir. Kegarangan sang surya yang menguasai langit beberapa jam lamanya, tampak mulai meredup. Sinar kuasanya yang mampu menerangi alam raya, terlihat memudar.

Apalagi, ketika gumpalan awan-awan hitam mulai muncul meneror, membuat pantulan cahayanya kian meredup dan tertutup, membuat suasana baru di jagad berpenghuni manusia.

Hal yang sama tengah di rasakan oleh Yadi. Siratan mendung menggumpal, terlihal dari pancaran bola matanya.

Meski tubuhnya mulai pulih, tapi jiwanya kini yang gelap tanpa cahaya.

Selagi ia duduk meratap dalam diam di sudut kamar, dua langkah kaki terdengar menghampiri dari ruang depan. Berhenti sebentar di depan pintu,

sebelum akhirnya mendekat setelah salah satu pemilik langkah itu menyapa sebelumnya.
Tejo dan seorang lelaki tua berkopiah lusuh yang datang menghampiri. Keduanya kemudian duduk di sisi kanan dan kiri, tanpa meminta ijin dahulu pada Yadi.

Tak lama, Tejo yang berada di samping kiri, menepuk pelan pundak Yadi, mengangguk sebentar, sebelum memberi isyarat agar dirinya memalingkan wajah guna melihat sosok lelaki tua yang berada di samping kanannya.

"Jangan kamu sesali, Nak Yad. Kamu memang sudah di tandai sejak lama. Oleh karena itu, sekarang yang harus kamu lakukan adalah melawan! Sebab itu akan bisa menyelamatkan banyak nyawa," ucap sang lelaki tua, seraya menatap lekat Yadi.

"Apa maksudnya, Mbah? Dan ada apa sebenarnya dengan diri saya?" jawab Yadi bingung.

"Kamu adalah orang yang sangat di inginkan oleh keluarga Sukirman! Karena hanya dengan wadal darahmu, mereka bisa meneruskan persekutuan dengan penguasa jagad peteng!" terang sang lelaki tua, mulai menjelaskan.

"Saya benar-benar tidak mengerti, Mbah. Dan Kang Tejo, apa juga tau dengan yang saya alami?" tanya Yadi berpaling pada Tejo.

"Maaf, Yad. Aku tau tentang semua ini dari Warni, ia sudah bercerita semuanya," jawab Tejo pelan.
Kali ini Yadi terdiam. Pikiranya melambung pada sosok Warni, yang terakhir dirinya lihat dan sempat berbicara tadi pagi.

"Lalu kemana Warni sekarang, Kang?" tanya Yadi.

"Sementara waktu, dia tinggal di rumah saya bersama Mbakyumu. Nanti kalau sudah waktunya dia akan pulang," jawab Tejo menjelaskan.

"Mbah, saya benar-benar tak tau bila akibat dari mengambil uang milik Pak Sukirman, bisa seperti ini. Saya menyesal sekali...." ujar Yadi kembali, mengungkapkan penyesalannya.

"Dan, tadi. Apa yang Mbah maksud bila saya di tandai, darah saya serta menyelamatkan banyak nyawa. Saya tidak mengerti sama sekali," sambung Yadi dengan suara mulai terdengar parau.

"Nak Yadi. Sudah saatnya kamu harus tau. Kamu adalah Geteh Penutup! orang yang bisa menjadi media sambung sebuah persekutuan antara manusia dengan iblis! Dalam tubuhmu mengalir darah madu yang menjadi incaran para pemuja kekayaan.

Wadal ragamu bisa menjadikan mereka mendapatkan apa saja, termasuk membunuh siapapun yang mereka mau!" jelas sosok lelaki tua berkemeja batik kusam, dengan khas kopiah lusuhnya.

"Mengapa saya, Mbah? Dan apa maksudnya saya ini Geteh Penutup?" bergetar suara Yadi kali ini.

"Karena kamu anak lelaki satu-satunya yang lahir di waktu Apit, tepat satu suro!" jawab sosok lelaki tua sambil melepas nafas panjangnya.

"Sukirman adalah trah ke tiga dari seseorang penganut dan pemilik beberapa persekutuan. Kakek serta bapaknya dulu sangat di segani dan di hormati. Sukirman sebenarnya mempunyai saudara sekandung.

Tapi karena keserakahannya, semua milik saudaranya itu ia rampas, bahkan sampai mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa. Termasuk ayahmu!"

Kali ini, ucapan sosok lelaki tua itu terdengar di telinga Yadi bagaikan sRatmian petir yang menggelegar.

Jiwanya seketika bergejolak, matanya memerah menahan amarah, namun hal itu tak berlangsung lama, oleh sebab, sang lelaki tua segera menyadarkan bila dirinya tengah berhadapan dgn siapa.

"Lalu, apa hubungannya dengan Warni, Mbah? Mengapa Sukirman jg ingin sekali menguasainya?"
Tejo, yang sejak awal hanya mendengarkan, kini ikut andil bertanya. Sebab dirinya juga ikut merasakan keanehan yang ada pada diri Warni.

"Itu karena ingin menuntun Yadi supaya mau bersekutu. Sukirman tau dalam diri Yadi ada satu kekuatan yang tersembunyi. Itu sebabnya dia melakukan berbagai cara. Maka kalian harus bisa menjaga Warni," ujar sosok lelaki tua berpesan.

"Tapi, Mbah. Bagaimana dengan apa yang saya alami dan saya lihat kemarin malam? Apa arti dari upacara layaknya sebuah pernikahan antara Warni dan anak Sukirman yang di lakukan oleh sosok wanita berselendang kuning,

namun berwujud sangat mengerikan setelahnya?" tanya Yadi yang merasa masih terbebani dengan apa yang di lihatnya.

"Upacara pernikahan?" terkejut, sosok lelaki tua seketika memalingkan wajahnya.

Tak lama, Yadi pun menceritakan semua yang di lihat.

Malam di mana dirinya ikut mengalami hal mengerikan yang bersentuhan dengan mahluk dunia lain, pertama kali seumur hidupnya.

"Celaka! Rupanya Ratmi sudah membuka gerbang itu. Sekarang kita harus menemui istrimu. Kita tak boleh terlambat."

Tak mengerti, namun ikut merasakan ketegangan Yadi dan Tejo mendengar penuturan sosok lelaki tua itu. Keduanya pun segera ikut beranjak mengikuti langkah tergesa lelaki yang sudah lama Tejo kenal, tapi baru dua kali bagi Yadi melihatnya.

Ketiganya segera bergegas menuju rumah Tejo yang berjarak lumayan jauh menggunakan dua kendaraan milik Tejo dan Yadi. Dalam perjalanan, Yadi tak henti-hentinya berpikir keras. Mengingat semua ucapan sosok lelaki tua tentang orang tuannya.

Ia sedikit tau ikhwal ayahnya yang dulu pernah ikut bekerja pada seorang kaya raya namun di luar kota. Bahkan, ayahnya lebih sering menghabiskan waktu bersama bosnya drpd bersama ibu dan dirinya.

Itulah mengapa Yadi kemudian berubah menjadi sosok tempramen serta memilih hidup di jalan dan pasar.

"Brakkkk...." Suara benturan terdengar keras, tepat di depan Yadi. Membuatnya harus menghentikan laju kendaraannya mendadak, yang berakibat dirinya terjatuh meski tak keras.

"Ada apa, Kang?" tanya Yadi setelah tau bahwa suara itu berasal dari kendaraan Tejo. Tapi, pada saat itu, Tejo dan lelaki tua terlihat tak mengalami luka, bahkan keduanya berdiri tegak menghadap ke depan dengan wajah tegang.

"Ada yang sengaja menghalangi jalan kita!" jawab Tejo setengah berbisik.

Yadi yang mendengar itu, segera ikut mengarahkan matanya ke depan. Sedikit bingung saat itu dirinya, sebab hanya gelap dan kabut tipis dalam pandangannya.

Namun tak lama, ketegangan langsung menghinggapi raut Yadi. Manakala sapuan angin sedikit kencang tiba-tiba menerpa wajahnya. Mengawali satu suara alunan gamelan, bersama munculnya empat sosok hitam berambut sangat panjang hingga saling mengait dan berserak di tanah.

"Kurang ajar! Rupanya kita sengaja di sesatkan!" gumam geram sosok lelaki tua setelah menyadari keberadaan mereka.

Tangannya segera memberi isyarat pada Tejo dan Yadi untuk mundur, saat melihat empat sosok hitam bermata merah nyalang mendekat.

Namun baru sekitar dua langkah empat sosok itu berjalan, mereka tetiba berhenti. Terus menatap tajam ke arah Yadi, Tejo dan sang lelaki tua dengan mata besarnya, sebelum satu suara merdu menyanyikan tembang Jawa menggema, dan tawa melengking setelahnya.

"Ratmi! Rupanya kamu yang menghalangi," ucap lelaki tua sengit, saat melihat sosok wanita cantik berselendang kuning yang baru saja menjejak berdiri di hadapannya setelah menghentikan tawa kerasnya.

"Benar, Mbah Jalil? Rupanya ingatanmu masih tajam," sahut sosok wanita berkemben, seraya menjulingkan kedua bola matanya pada lelaki yang dirinya panggil Mbah Jalil.
"Tak akan aku lupa siapa dirimu! Manusia yang rela mengabdi kepada Iblis!" jawab Mbah Jalil tegas.

Namun kalimat tegasnya di tanggapi dengan lengkingan tawa dari sosok Rstmi. MenggRatmikan satu ungkapan meremehkan pada sosok Mbah Jalil, yang rupanya adalah seteru lamanya.

"Wanita itu yang aku lihat kemaren, Mbah."

Yadi, yang ikut terkejut dengan kemunculannya, menyela dalam suasana menegangkan saat itu.

"Dia adalah salah satu penjaga Trah Sukirman. Dia juga yang menjadi gerbang utama tameng sosok seorang Ratu, yang menjadi sesembahan keluarga Sukirman.

Dan wanita iblis ini juga yang telah membunuh seluruh keluarga Andara, termasuk Ayahmu!" terang Mbah Jalil, setengah bergumam.

"Mbah Jalil! Aku harap kamu jangan ikut campur urusan ini! Sayang kalau nyawa tua selembar di tubuh rentamu, harus lenyap sebelum waktunya!"
Nyaring suara sosok Ratmi di barengi tawa sinis. Membuat sesiapapun yang mendengar akan begidik ngeri.

Tak terkecuali Yadi dan Tejo. Sedangkan Mbah Jalil, terlihat hanya diam sembari menatap tajam, seperti tengah mewaspadai sesuatu yang bakal terjadi.

Di saat ketegangan mulai hampir memuncak, tiba2, Ratmi yang sudah bersiap dengan empat sosok mahluk mengerikan di belakangnya,

beringsut mundur seraya mengibaskan selendang kuningnya. Seketika, suasana yang tadinya terang, berubah gelap.

Hal itu sebentar membuat heran Yadi, Tejo, terutama Mbah Jalil. Mereka tak mengerti mengapa dengan mudah, Ratmi menghadang dan juga cepat menghilang.

Namun tak berapa lama, kecemasan tiba-tiba menyirat pada raut wajah Mbah Jalil.
"Cepat! kita harus menemui istrimu. Ini tipu muslihat Ratmi dan iblis junjungannya." Teriak Mbah Jalil, sadar akan sesuatu yang salah dengan keadaan saat itu.

Yadi dan Tejo pun ikut tersadar, setelah tau lokasi tempat mereka saat itu bukanlah sebuah jalan raya yang mengarah ke rumah Tejo. Melainkan sebuah lahan kosong berpagar kawat dengan tumbuhan ilalang setinggi lutut.

Mereka akhirnya bisa keluar dari tempat itu beberapa menit kemudian. Kembali melaju di jalan hitam beraspal dengan keadaan terburu. Yadi yang berada di belakang, hanya bisa mengikuti dengan sabar kendaraan Tejo.

Meski perasaannya di liputi kecemasan luar biasa, namun ia pasrah menuruti semua pesan dan isyarat dari Mbah Jalil.

Hampir 50 menitan menempuh jalanan yang mulai tampak lengang, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah berdinding tembok dengan dominan cat warna putih dan hijau.

Walau terlihat antar rumah saling berdekatan, tapi saat mereka tiba, keadaan sekeliling dan rumah Tejo tampak sepi.

Tejo yang sudah memarkirkan sepeda motornya di halaman tak berpagar, segera berjalan cepat menuju pintu. Tak lama, Yadi segera menyusul.

Hanya Mbah Jalil yang tak mengikuti. Ia hanya berdiri tegak sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling luar rumah Tejo.

Sedetik, dua detik, hingga beberapa puluh detik berlalu dalam hening. Panggilan dan ketukan yang di lakukan Tejo tak mendapat sahutan apapun dari dalam.

Membuat dirinya dan Yadi semakin gelisah penuh kecemasan.

"Kang, dobrak saja pintunya!" seru Yadi yang semakin tak sabar.

"Tunggu dulu, Yad. Aku coba ketuk jendela kamar Mbakyumu."

Tejo, yang masih sedikit bersabar, segera berlalu melangkah menuju sisi kiri rumahnya. Ia berharap ada sang istri yang tertidur di kamar dan terbangun dengan ketukan di jendela.

Tapi, lagi-lagi usahanya tanpa hasil. Meski berpuluh-puluh kali tangannya mengetuk jendela kayu dan

sedikit keras suara panggilannya, namun tetap ada sahutan dari dalam.

Tejo terus saja masih berusaha. Ia kembali berjalan menuju belakang. Mengetuk tiap jendela dan pintu, sembari terus memanggil nama Giyah Istrinya.

Hingga tiba dirinya di belakang, tepat di depan pintu terbuat dari papan bersusun berdiri, telinganya tiba-tiba mendengar suara alunan irama tembang macapat.

Tak hanya suara merdu seorang wanita saja yang di dengar oleh Tejo saat itu. Tapi, satu aroma wangi bunga kamboja pekat,

seketika terasa penuh menjejali indra penciumannya hingga menyesakkan dada.
Ragu dan mulai sedikit takut mrnghinggapi jiwa Tejo, namun demi memastikan, akhirnya ia memberanikan diri untuk melihat ke dalam ruang belakang rumahnya, melalui celah-celah pintu.

Jelas, sangat jelas apa yang bisa di tangkap oleh penglihatan Tejo. Meski hanya dari celah tak lebih selebar sebatang rokok, tapi semua isi di dalam ruangan yang biasa dirinya gunakan sebagai tempat bersantap, sangat terlihat terang.

Namun tak sampai satu menit Tejo mengintip, ia memilih mundur dan setengah berlari meninggalkan tempat itu kembali ke depan. Sesampainya, ia sebentar mengatur nafas sebelum berbicara singkat pada Mbah Jalil dan Yadi yang sudah berdiri menunggunya.

Tak lama, ketiganya segera melangkah beriringan menuju ke belakang, ke tempat di mana Tejo melihat sesuatu yang aneh dan menakutkan.

"Brakkk ... Braakkkk...." keras suara dobrakan dan hempasan pintu kayu setelah di terjang paksa oleh kaki Yadi.

Setelahnya, satu pemandangan di bawah redup sinar lampu bulat yang menggantung, membelalakan mata Yadi dan Tejo. Walaupun awal Tejo sudah sempat menyaksikan, tapi tetap saja jiwanya terguncang.

"Giyah!" seru Tejo tertahan.

Panggilannya bersamaan dengan suara Yadi yang menyebut nama Warni. Di mana saat itu, antara Tejo dan Yadi sama-sama terkejut, mendapati istri mereka dalam ruangan dengan keadaan yang berbeda.

Satu sisi Tejo terlihat panik, melihat Giyah istrinya terduduk menyandar pada dinding dengan mata terpejam serta wajah pucat pasi. Di sisi lain, dirinya juga merasa ketakutan menyaksikan keadaan Warni yang sedang duduk menghadap tumpukan bunga kamboja di atas meja.

Yadi yang saat itu ingin mendekati Warni, tertahan tarikan di lengan oleh tangan Mbah Jalil. Ia pun mau tak mau menurut, menahan rasa ingin tau dengan apa yang di lakukan Warni istrinya.

"Koe-koe kabeh wes gak duweni hak marang bocah iki. Kewanen mekso, bakal ilang nyowo-nyowomu!"(Kamu-kamu semua sudah tidak mempunyai hak pada anak ini. Berani memaksa, akan hilang nyawa-nyawamu).

Berat dan tegas suara Warni terdengar. Wajahnya tak berpaling, tangannya masih sibuk dengan untaian bunga kamboja dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Setiap kali mulutnya mengunyah, selalu ia barengi dengan sebuah tembang merdu, terdiam ketika menelan kunyahan bunga kamboja.

Jelas bagi Yadi bila sosok di depannya, itu bukanlah Warni istrinya. Ia yakin jika raga Warni tengah dalam penguasaan sesosok mahluk mengerikan. Terbukti dari kilat tajam matanya yang baru saja tersorot ke arah mereka bergantian.

Apalagi, saat satu gelak tawa di akhiri seringai menakutkan, semakin meyakinkan dirinya serta Tejo dan Mbah Jalil, bila saat itu mereka tengah berhadapan dengan sosok lain, yang menguasai raga Warni.

"Sopo koe! Wani mlebu rogone bocah seng gak enek urusane? Metuo! Ojo kudu tak pekso!" (Siapa kamu! berani masuk raga anak yang tak ada urusannya? Keluar! jangan harus saya paksa!)
Kali ini, Mbah Jalil yang sudah geram, berbalik membentak dan mengancam sosok Warni.

Namun, bukan cuma tak takut, tapi sosok Warni melototkan dua bola matanya seraya bangkit dari tempat duduknya.

"Ngelunjak! seberapa nyalimu berani mau mengeluarkan aku dari tempat ini! apa harumku tak bisa tercium! apa memang matamu sudah tak bisa melihat, ingat,

dengan siapa kamu berhadapan, Jalil!!"

Tak hanya terkejut, Mbah Jalil yang mendengar bentakan keras dari sosok Warni, tersurut mundur.

Kali ini wajahnya mempias setelah merasakan satu dorongan angin tak terlihat. Memaksa ingatannya akan sosok penguasa di salah satu Alas terkenal bagian timur.

"Nyai!" lirih namun terkandung satu rasa takut di dalamnya, saat bibir Mbah Jalil menyebut sebuah nama yang asing bagi Yadi dan Tejo.

"Bagus, kalau sudah ingat kamu! tidak harus saya ingatkan lagi bagaimana dulu kakakmu saya buat undakan tangga Aula pribadiku!

tidak harus saya ulangi lagi kata-kataku apa yang jadi kepastian dari tanda yang sudah tertulis pada Ari-Ari bagian pusar, pada Anak penerus Persekutuan. Kalau masih tidak yakin, akan saya perlihatkan yang seperti ini!"

Pias memucat seluruh wajah Mbah Jalil, Yadi dan Tejo. Tubuh ketiganya dingin terbaluri keringat. Kemudian, mereka terduduk lemah bersamaan dengan jeritan tertahan. Terutama Tejo yang menyaksikan dari mulut dan hidung Giyah istrinya mengalir darah hitam kemerahan, ketika sosok Warni menghentakan kaki kanannya ke lantai.

Tak sampai di situ, suasana yang tadinya dingin terselimuti wangi bunga kamboja, tiba-tiba berubah panas dan beraroma anyir. Manakala sosok Warni menari pelan di iringi suara tembangan khasnya, memunculkan beberapa sosok wanita bergaun putih panjang lusuh.

Sosok yang baru saja muncul, kemudian menyeret tubuh berlumur darah Giyah. Sedangkan sosok Warni masih begitu tenang menari, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah Tejo bagian depan, mengikuti sosok-sosok bermuka hitam dan berambut panjang menjuntai dengan tebaran bau anyir pekat.

"Giyah ... Giyahhh...."

Tejo, yang pertama menyadari jika di dalam ruang makan dan dapur rumahnya telah hening setelah kepergian sosok Warni, segera bangkit.

Pikirannya langsung tertuju pada Giyah istrinya, yang sempat ia lihat di seret menuju ruang depan. Tejo pun segera beranjak meski lututnya masih terasa gemetar. Mencari ke setiap sudut ruang, berharap bisa menemukan dan mendapati sang istri selamat.

Namun, sampai pada ruang depan, ruang terakhir dalam rumanya, ia tak menemukan sosok Giyah. Tak henti-henti Tejo memanggil. Menahan isak dan tekanan bathin yang begitu hebat. Sampai akhirnya ia terkulai dalam tangis, bersamaan tubuhnya yang melemah.

Tak ada reaksi apapun yang di tunjukan Yadi melihat sang kakak tersudut di bibir pintu. Hatinya ikut tersayat, pilu, tapi juga penuh kobaran api dendam. Pikirannya terus tergodok oleh sosok Warni istrinya, yang telah menjelma menjadi sosok lain.

Sosok wanita Iblis, berselimut kecantikan semu.

"Kang, maafkan aku. Tak seharusnya aku menyeret Kang Tejo dan Mbakyu Giyah, ke dalam masalah ini. Tak seharusnya Mbakyu Giyah celaka! maafkan aku Kang," Ratap tangis Yadi akhirnya tak terbendung.

Ia memeluk Tejo yg terlihat begitu syok. Di rengkuhnya lutut sang kakak, menempelkan pd kepalanya sebentar, sebelum bangkit dan mengusap air mata, memperlihatkan kilatan sorot mata tajam.

Entah mendapat pikiran dari mana, Yadi tiba-tiba bertekad untuk mencari Giyah dan Warni. Keberaniannya muncul begitu besar, sampai-sampai tak perduli lagi dengan kerasnya nasehat dari Mbah Jalil.

"Mbah Jalil tolong jaga saja Kang Tejo! Aku harus mencari Mbakyu Giyah dan Warni. Meskipun nyawaku sebagai gantinya!" Dengan tegas, Yadi bersikeras tak mengindahkan larangan Mbah Jalil.

"Itulah yang saya takutkan, Nak Yad. Memang hal ini yang di inginkan oleh trah Sukirman berikut para cenayangnya. Yang mereka inginkan adalah mendapat darahmu dan pancer galangan limo milikmu. Bukan Giyah, bukan Warni!" terang Mbah Jalil, masih berusaha untuk mencegah.

"Aku sungguh tak mengerti, Mbah! Aku tak perduli siapa yang mereka inginkan! Aku hanya mau Istri dan Mbakyuku selamat! masalah ini adalah salahku, jadi memang harus Aku yang menyelesaikannya sendiri," bantah Yadi dengan suara parau.

"Aku tak mengerti apa yang Mbah Jalil maksud dengan keistimewaaan-keistimewaan dalam diri saya. Kalaupun itu benar adanya, aku rela menukarnya, asal Istri dan Mbakyuku kembali dengan selamat!" sambung Yadi seraya berniat untuk ke depan, ke tempat di mana kuda besi satu-satunya terparkir siap menjadi teman dalam perjalanan.

"Aku tau perasaanmu, Nak Yad. Tapi kamu juga harus ingat, bila kamu sampai benar-benar menyerahkan darah dan pancermu, maka Saya pastikan,-

Lima puluh bahkan Seratusan nyawa bakal menjadi mangsa mereka, sampai kelak baru terhenti kembali di Trah ke Enam. Memang bukan satu pilihan bila kamu harus lahir di waktu Apit antara jejer payung dan tegak tenggok. Waktu yang teramat istimewa di bulan istimewa bagi mereka."

"Pergilah, Nak Yad. Pergilah! Itu adalah pilihanmu." Perintah Mbah Jalil akhirnya, mengakhiri perdebatan dengan Yadi.

Akan tetapi, menelisik dari nada dan suara Mbah Jalil, Yadi tau bila itu adalah bukan sebuah perintah mengandung restu.

Melainkan suatu larangan yang tak mampu di paksakan hingga menjadi satu kalimat keputus asaan.

Meski begitu, Yadi tetap memilih pada keputusannya untuk mencari Warni dan Giyah. Ia tau ke mana tempat yang harus di tuju.

Dirinya merasa yakin bila di tempat itulah akan menemukan Istri dan Mbakyunya.

Sementara Yadi telah berlalu bersama geberan mesin bersaring knalpot modif, Mbah Jalil memapah tubuh lemah Tejo dan membaringkan di atas ranjang kamar.

Dirinya sendiri kini merasa lemah tak berdaya, setelah mengetahui sosok Ratu Pambayun sudah turut campur dengan urusan sambung tali Abdi Sasongko jati. Padahal, tak hanya sosok Sang Ratu penguasa Alas bagian timur saja di balik Trah Sukirman,

melainkan ada satu sosok Ratu penguasa Ilmu hitam lagi yang bakal membantu Sukirman. Sebab dirinya tau jika putra satu-satunya Sukirman adalah calon pewaris seluruh persekutuan dari Kakek Buyutnya.

Kembali pada Yadi. Tak sampai satu jam, akhirnya ia membelokan stang motornya di sebuah halaman yang pernah sekali dirinya masuki. Tanpa berlama-lama, Yadi pun segera melangkah mendekati pintu tebal berukir dengan terapit dua buah lampu redup bercangkang kayu mengkilap.

Hati Yadi seketika berdesir saat tangannya ingin mengetuk. Terbayang olehnya kembali isi dalam rumah, mulai pajangan patung-patung yang seolah hidup, hingga empat buah lukisan tangan dengan salah satunya sosok Ayu bak seorang Ratu.

Bersitan rasa nyeri di dada Yadi kemudian menjalar saat bayang-bayang wajah Warni dan Giyah muncul dalam benaknya. Menguatkan hatinya untuk segera bertekad menemukan. Lalu, tanpa ragu lagi tangan Yadi mengetuk keras daun pintu jati bermotif.

Entah kebetulan atau memang telah sengaja di tunggu. Baru saja tiga kali ketukan, tiba-tiba pintu terbuka bersamaan dengan satu suara berat yang mempersilahkan Yadi untuk masuk.

Perasaan gugup pun tak mampu Yadi tutupi. Manakala dirinya tanpa menyahut namun langsung mengayunkan kedua kakinya melangkah masuk. Ada tanda tanya dalam hati Yadi,-

saat sambil berjalan matanya liar mengedar ke tiap sudut dalam rumah, terlihat berbeda dengan keadaan ketika dirinya bertamu waktu itu.

Hal aneh pertama yang menarik perhatiannya, tak terlihat satu pun pajangan Patung-Patung berjejer, seperti yang dirinya lihat dan hafal letaknya, sebelum menuju ke arah satu ruangan besar.

Yadi sempat menghentikan langkahnya untuk menapaki tiga undakan tangga lantai yang akan menuju ke sebuah ruangan besar mirip sebuah aula. Namun, ketika satu suara berat itu kembali terdengar mempersilahkan, Yadi seperti merasakan satu kekuatan yang meringankan kakinya.

Lembab, satu hawa di rasa Yadi begitu menghenyakkan tubuh lelahnya di atas sofa mewah berwarna coklat tua. Membuat desiran kuat dalam hati kembali menyeruak, menciutkan nyali yang dirinya jadikan modal untuk berani mendatangi kediaman Sukirman.

Tak sampai sepuluh tarikan nafas, Yadi yang terduduk sendiri, di kejutkan kemunculan satu sosok lelaki 50an dari arah pintu di sisi kanan ruangan itu.

Hampir saja Yadi saat itu berteriak. Kala melihat dengan jelas sosok yang baru saja muncul dan kini mendekat ke tempatnya.

Derap langkah pelan sosok itu terasa berbalik dengan irama degup jantung Yadi yang semakin kencang terpacu. Seolah mewakili rasa takut yang luar biasa, setelah tau siapa sosok lelaki berjubah hitam itu.

"Jangan takut, Kang Yad. Bukankah kamu datang ke sini untuk mencari Istri dan saudara perempuanmu?" ucap sosok lelaki tak asing bagi Yadi, yang kini telah duduk di hadapannya.

"Iii ... iiyaa, Pak." Gugup, heran dan takut, membaur jadi satu. Menjadikan Yadi tergagap saat menjawab ucapan lelaki itu.

"Tenang saja, Kang Yad. Mereka aman dan selamat," sambung lelaki tua yang Yadi tau, atau bahkan hampir semua orang yang mengenal sosoknya,-

meyakini jika lelaki itu telah meninggal saat kecelakaan. Namun, kini anggapan itu seakan terpatahkan oleh nalar pikiran Yadi. Sebab sangat jelas, bila yang kini ada di hadapannya, adalah sosok Sukirman.

Tak percaya? Mungkin itu menyisip dalam hati Yadi. Tapi mau tak mau, kali ini Yadi harus mempercayainya.

"Mari, ikuti saya!" seru sosok Sukirman yang telah berdiri, membuyarkan kebimbangan Yadi.

Tak ada sahutan, Yadi hanya diam. Akan tetapi, saat sosok Sukirman melangkah ke arah pintu di mana dirinya awal muncul, Yadi bergegas mengikuti.

Yadi benar-benar merasakan betul, bila saat itu dirinya tak lebih bagaikan seonggok patung yang hanya bisa menurut tanpa mampu membantah.

Tak ada sedikitpun keberanian yang muncul dalam jiwanya. Semuanya seolah terkebiri oleh satu hawa yang mengandung kekuatan, serta mampu mengendalikan lecutan amarahnya.

"Mbakyu! Warni!" seru Yadi, ketika baru saja masuk ke dalam sebuah ruangan sedikit lebih kecil, namun berhawa lebih lembab. Matanya tak lepas menatap di salah satu ranjang. Di mana, di atasnya terbujur dua tubuh milik Giyah dan Warni.

"Mereka tak apa-apa. Mereka akan baik-baik saja, asal kamu bersedia menjadi Abdi Tunggalku!" ucap sosok Sukirman, seakan tau kekhawatiran di wajah Yadi.

"Kamu hanya perlu menemani Anakku ketika nanti tiba saatnya. Untuk sekarang, Aku hanya butuh kesediaanmu dengan berikat bersama Anakku."

Lagi, satu ucapan sosok Sukirman, menghenyakkan Yadi.

Ia sama sekali tak mampu membantah, pikirannya semakin berkecamuk, antara bingung dan takut.

"Sekarang, pilihan ada di tanganmu. Bila kamu bersedia, silahkan ambil salah satu cawan itu, dan minumlah air di dalamnya. Jika tidak, silahkan tinggalkan tempat ini."

Belum sempat mampu berkata apapun, Yadi kembali di hadapkan dua pilihan. Di mana, di setiap pilihan yang bakal dirinya ambil, ia merasakan satu beban teramat berat.

Yadi memberanikan diri melangkah sebelum menentukan pilihan. Ia mendekat ke arah sebuah ranjang lebar berkasur empuk terbalut kain putih. Tempat di mana tubuh Giyah dan Warni terbaring tanpa selimut, berjejer dengan mata terpejam.

Tak lama, ia pun mengalihkan pandangannya ke arah sisi sebelah kiri ruangan itu. Menatap lekat pada sebuah kursi goyang dengan seseorang di atasnya. Yadi akhirnya memilih mendekat ke arah meja yang terletak tepat di hadapan seorang lelaki di atas kursi goyang.

Meski belum jelas wajah dari sosok itu, namun dalam benak Yadi, seperti mengenalinya.
Aroma wangi dupa, seketika menyapu hidung Yadi. Manakala ia sudah berada di tepi kursi yang terkadang mengeluarkan suara berderit saat bergerak naik turun.

Sempat ia ragu untuk lebih maju mendekati meja bertilam kain hitam, dengan tiga cawan di atasnya. Sejenak ia pun memalingkan wajah, melihat sebentar ke arah sosok Sukirman yang menyunggingkan senyum tipis,-

sebelum akhirnya ia meneruskan maju dan meraih salah satu cawan berwarna kuning ke emasan.
Wangi dan terlihat kental isi air di dalam cawan yang sudah dalam genggaman tangan Yadi. Matanya melirik ke arah sosok lelaki yang berada di kursi, sebelum menuangkan air cawan ke mulutnya.

Tiba-tiba tubuh Yadi seperti terhentak, kala air dalam cawan masuk ke mulut dan mengalir menuju dalam perut. Hal itu bersamaan dengan berhentinya gerak kursi yang bergoyang dan terdengarnya satu lenguhan. Seolah menjadi sebuah isyarat,-

atau terdapat satu ikatan bathin antara air yang telah terminum Yadi, dengan diamnya sosok di kursi itu.

Tak berapa lama, setelah Yadi menguasai pikirannya, ia melihat sebuah senyum dari bibir sosok lelaki yang pernah menemuinya dua hari lalu di rumah yang sama.

Senyum itu terus mengembang, menggema seantero lingkup ruangan. Beriringan dengan lebatnya kepulan asap putih beraroma menyengat, dari terbakarnya puluhan biji dupa yang berada di bawah kursi.

Tubuh Yadi seketika terasa menggigil. Saat sosok yang dirinya tau adalah anak tunggal Sukirman, meraih salah satu dari dua cawan berisi air yang tersisa, dan meminumnya. Tak hanya itu, Yadi pun merasakan hawa panas menyergap dadanya, ketika dengan lahap sosok anak Sukirman,-

menyantap aneka bunga warna warni di atas meja. Gelak tawanya terus menggema, setelah menelan kunyahan bunga, tanpa memperdulikan keberadaan Yadi. Hingga akhirnya, Yadi memilih mundur, melangkah, menjauhi sosok itu.

Sesaat suasana terasa hening, kala sosok lelaki itu berhenti, setelah menghabiskan aneka bunga satu tampih kuning berukuran sedang. Sosok itu kemudian berjalan mendekat ke arah Sukirman, yang berdiri tak jauh dari tempat Yadi.

Kemudian, sosok berperawakan kekar dengan wajah pucat pasi, membungkuk serta bersujud di kaki Sukirman. Kepalanya sebentar menempel di lantai, sebelum terangkat kembali, dan menengadah ke atas.

Saat itu, tak ada satupun yang di mengerti oleh akal naluri Yadi. Tentang apa, maksud tujuan dari semua yang ia alami dan saksikan. Ia hanya menyadari jika yang telah dirinya pilih adalah salah. Namun hal itu, ia lakukan dengan berkeyakinan demi sebuah penyelamatan.

Meski ia sendiri belum tau pasti, apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Yadi akhirnya sedikit berlega hati, setelah Sukirman memberinya ijin untuk meninggalkan tempat itu. Ia pun segera bergegas keluar,-

ingin segera mengetahui kalimat janji dari mulut Sukirman yang menjamin keselamatan Giyah dan Warni istrinya.

Dirinya tak perduli lagi dengan hawa lembab rumah itu. Tak perduli dengan puluhan pasang mata mengawasi dari tiap celah saat dirinya melangkah.

Serta, tak lagi mengindahkan suara-suara wanita menembang di sertai alunan gamelan, ketika tubuh dan kakinya telah menginjak halaman berumput tipis, di depan rumah mewah Sukirman.

Yadi segera menghidupkan kendaraannya. Menarik tuas gas dan buru-buru meninggalkan kediaman Sukirman. Tempat pertama yang ia tuju bukanlah rumahnya sendiri. Melainkan rumah Tejo. Ia ingin memastikan bahwa Giyah benar-benar telah selamat seperti yang di ucapkan Sukirman, setelah dirinya menuruti semua syarat ikatan perjanjian.

Satu hal aneh, sebenarnya di rasa Yadi ketika dalam perjalanan, atau tepatnya saat dia keluar dari gerbang halaman rumah Sukirman. Ia merasakan betul, jika ada sesuatu yang mengikuti dirinya.

Perasaan itu semakin di perkuat dengan bau wangi yang terus tercium sepanjang perjalanan. Dan tak lama, keyakinannya terbukti saat dirinya baru sampai di halaman rumah Tejo, dari dua buah kaca Spion kendaraannya,-

matanya melihat jelas sesosok wanita berkebaya merah berdiri di belakang, tengah menatapi dirinya dengan tatapan dingin. Belum sempat Yadi mendekati pintu, tetiba saja suara gebrakan mengejutkannya.

“BRAAAAK!”
“Cepat masuk!” Seraut wajah tua milik Mbah Jalil, langsung menghias di depan pintu, menyambut Yadi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close