Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 30) - Tersesat di Kampung Gaib


JEJAKMISTERI - Entah mengapa tiba-tiba dunia hampa gaib terpecah, aku tidak tahu. Namun menurut penuturan Surti, ketiga peliharaan jin dan juga majikannya telah tiada, sehingga tidak ada yang mengontrol dunia hampa gaib tersebut.

Mendengarnya, aku tersentak kaget. Apakah ketiga jin kuat dan juga petinggi keluarga Wiraatmaja itu tewas ditangan Ki Sugeng? Pikirku.

Namun menyadari akan kekuatannya, itu bukan mustakhil lagi. Kini yang menjanggal di hatiku ialah apa dan bagaimana caranya untuk mengatakan semua ini ke Restu dan juga kak Ayu. Pastinya mereka berdua akan bersedih mendapati kabar ini.

Sekeluarnya aku dari dunia itu, aku mendapati Mela yang berjalan mendekatiku setelah melepas gendongannya ke Feby. Dia memelukku dan menangis, mengutarakan rindunya padaku. Tak kuasa aku marah padanya.

Setelah itu, kudapati mayat kek Herman, Pak Hendro, dan kak Anton yang sudah terbujur kaku dengan luka yang mengenaskan, ditambah lagi keempat pemuka agama yang kematiannya sungguh membuatku tak kuasa untuk melihatnya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,” ucapku melihat jasad-jasad mereka dengan sendu. “...kek Herman, Pak Hendro, dan kak Anton, sekaligus keempat pemuka agama lain... semoga amal ibadah kalian diterima di sisi Tuhan, karena kalian telah berjuang demi menyelamatkan kami semua. Amin!”

Di sisi lain, aku melihat pertengkaran hebat antara Restu dan Ayu yang mati-matian menghakimi Surti.

“Sudah puas kamu, Surti... sudah puas!?” bentak Restu yang terus-terusan mendorong Surti sampai terjatuh. “Ini semua pasti ulahmu, ‘kan? Kamu dan mahagurumu yang telah membuat malapetaka di keluarga kami!”

Kak Ayu pun menimpali. “Kalau kau ingin menghancurkan keluarga ini... ayo bunuh kami sekalian, biar keluarga Wiraatmaja tidak pernah ada lagi di muka bumi. Ayo!!”

Kami semua bisa memaklumi kesedihan dan kemarahan mereka berdua. Menjadi satu-satunya orang yang selamat, bukanlah sesuatu yang mengenakkan.

“Penjaga~!” panggil kak Ayu dengan teriakan. Ketiga orang penjaga pun keluar dari dalam rumah, “Bawa dan pancung Rizal di hadapan gadis itu. Biar dia merasakan rasanya kehilangan orang-orang yang ia sayangi...”

Namun ketika mereka berdua sudah kelewat batas, kami segera menghentikannya.

Dengan cepat, ketiga penjaga tadi membawa keluar Rizal yang masih dirantai tangannya. Tatapan Rizal menatap sendu ke arah adiknya, Surti, begitupun sebaliknya.

“Kak, apa yang kakak lakukan...?” sahut Restu yang sepertinya tak terima jikalau Rizal harus dipancung untuk menebus dosa Surti pada keluarga Wiraatmaja. “Tolong hentikan semua ini, kak... aku mencintai Rizal, kak!”

Kak Ayu geram mendengar kata-kata ’cinta’ yang terlontar dari mulut adiknya. Dia pun segera menampar keras Restu sampai terduduk.

“Apa kau bilang... kau mencintai Rizal!? Dasar... emang kakak akan merestui kalian setelah apa yang diperbuat oleh adiknya, Res? Nggak akan...!!”

Kami semua hendak menghentikan perbuatan kak Ayu yang sudah kelewat batas itu, namun beberapa penjaga keluar dari dalam rumah dan langsung mengacungkan parang mereka ke arah kami semua.

Di saat kami terdiam, tak berani ikut bicara, entah mengapa aku malah berani untuk mengatakan uneg-unegku atas perilaku kak Ayu barusan.

“Dendam tak akan melahirkan kedamaian... dendam akan hanya melahirkan kebencian, kesengsaraan, dan juga keputusasaan,” seruku, membuat emosi kak Ayu semakin meluap-luap. Dengan cepat, salah satu penjaga menghantam perutku dengan gagang parang, membuatku tersungkur seketika.

“Darling...” sahut Mela berteriak.

“Kak Umam,” imbuh Feby cemas.

“Hmph, apa yang kau tahu akan perasaanku saat ini, pemuda dari masa depan? Menjadi salah satu orang yang selamat dari kejadian kelam yang menimpa keluarganya adalah sesuatu yang tak bisa kuterima. Oleh karena itu, untuk melampiaskan hasrat kebencianku, maka aku akan mengorbankan Rizal supaya adik perempuannya tahu akan rasanya kehilangan orang-orang yang disayanginya.” Jawab kak Ayu yang terlihat mulai tak waras dan rada gila.

Kak Ayu dengan segera merebut sebuah parang dari salah satu penjaganya, dan hendak menebas kepalaku. Namun sebelum parang itu mengenai kepalaku, tiba-tiba terasa aura kegelapan yang begitu pekat muncul.

Di saat itu, entah bagaimana parang yang dipegang oleh kak Ayu tiba-tiba beralih ke tangan Mela, yang dengan cepat langsung merangkul tubuh kak Ayu dari belakang dan mengarahkan parang itu ke lehernya.

“Hentikan sikap bodohmu, Wiraatmaja...” Mela menatap muka kak Ayu dengan tatapan jahat, seolah dia ingin menghancurkan tubuhnya sampai berkeping-keping. “...Sekali saja kau melakukan hal bodoh ini untuk menyakitinya, aku tak segan-segan akan membunuhmu!” celetuk gigi geraham Mela mengandung ribuan ancaman, yang langsung membuat kemarahan dan kesedihan kak Ayu luluh seketika, seperti keduanya tak berdaya di hadapan tatapan yang begitu mengerikan Mela.

Sementara teman-temanku hanya terdiam, tak mampu bergerak sedikitpun.

“Mela... hentikan semua ini!” kataku menyuruh Mela untuk melepaskan kak Ayu.

“Tapi... tapi, dia mau melukaimu, darling. Aku tidak bisa membiarkan wanita ini mendapat perhatianmu.” Jawab Mela yang masih enggan melepaskan kak Ayu.

“Mela... apa kau ingin aku membencimu?”

Mela terus melirik ke sana ke mari, seolah memikirkan sesuatu untuk menjawab pertanyaanku barusan. Aku tahu kalau di dalam pikirannya saat ini sedang berkecamuk, antara melepaskan sehingga aku tak membencinya, atau menggorok leher kak Ayu dan membuatku membencinya.

“Tidak..., aku... aku,” sahut Mela yang masih ragu-ragu itu. Kyai Ghofar dan Pendeta Sutarno pun masih tertegun akan apa yang bisa kulakukan untuk menenangkan gadis yandere itu.

“Oh, kalau begitu, ketika kita kembali ke masa depan nanti, aku akan membatalkan pertunangan kita dan aku akan memilih untuk menikahi Dela,” pancingku terus.

“Tidak... jangan dia, pokoknya jangan sama dia.” Jawabnya yang mulai luluh. “Dia adalah gadis yang tomboy, genit, stalker, suka cari perhatianmu, dan selalu menghalangiku untuk mendekat ke darling. Aku tak suka dia, tak suka!”

“Nah, kalau begitu cepat lepaskan kak Ayu. Dia sudah tak berbahaya buatku kok!”

Dengan berat hati, Mela pun akhirnya melepaskan kak Ayu. Berbeda dari sebelumnya, yang dipenuhi oleh kemarahan dan kesedihan, kini kak Ayu hanya terdiam, terduduk, penuh ketakutan mendapati nyawanya barusan tinggal selangkah lagi akan melayang.

Untung saja Mela masih bisa ditenangkan dengan cara lama itu. Dela adalah sahabat baikku dan Mela waktu kecil, kami sering main bersama saat usia kami menginjak tujuh tahun. Berbeda dengan Mela yang lengket, Dela adalah gadis yang begitu suka membuatku khawatir padanya, sehingga aku selalu menolongnya, atau bisa dikatakan kalau Dela itu orangnya suka cari perhatian, meskipun mereka sama-sama mempunyai sikap kekanak-kanakan dan juga sifat yandere, walaupun Dela mempunyai sifat yang jauh lebih gila dari Mela.

Tiba-tiba terdengar suara sirine polisi yang datang ke tempat kejadian. Ternyata ada salah seorang warga yang meminjam telepon kades setempat untuk menelepon polisi.

Polisi datang membawa empat unit mobil, dan berisi tiga puluh enam polisi di dalamnya. Waktu itu, pihak kepolisian, dibawah kepemimpinan Ir. Trenggono, ayah dari Ir. Rio di masa depan segera mengumpulkan keterangan-keterangan dari kyai Ghofar, pendeta Sutarno dan kami semua.

Sempat terbesit di hati kami kalau si Surti akan dipenjara. Namun mengetahui kalau dia bukanlah si pembunuhnya dan juga karena masih dibawah umur, si Surti pun bebas setelah memberikan penjelasan ke kepolisian bersama dengan Rizal.

Dengan datangnya polisi, kondisi yang sempat memburuk, kini pun mulai stabil. Walaupun kisah kali ini banyak berisi akan air mata kehilangan, namun akhirnya berakhir dengan akhir yang baik.

***

Keesokan harinya, Cici pun akhirnya berhasil sadar. Dengan cepat, Andre lah orang pertama yang langsung menyerobot kami semua dan menemui Cici di kamarnya.

Maklum saja, Andre itu pacarnya.

Setelah itu, kami pun masuk, menanyakan kabarnya. Dan syukurlah kondisinya sudah membaik, sehingga ia bisa keluar dari ranjang tidurnya yang empuk dan nyaman itu.

Aku menatapnya dengan senyuman palsu karena hal itu. Untunglah dia sama sekali tak mengingat apapun ketika dia tinggal di rumah nenek palasik itu, sehingga aku dengan mudah menyembunyikan apa yang telah terjadi padanya.

Di sisi lain, aku mendapat sebuah surat dari kyai Ghofar yang mengatakan untuk terus waspada kepada Mela, karena tidak menutup kemungkinan kalau Mela akan menusukku dari belakang. Dia pun juga berpesan untuk tidak membuat amarah Mela meluap-luap seperti tadi, karena kami semua tahu kalau energi supranatural yang dimilikinya terlalu besar dan bisa saja lepas kendali jikalau Mela merasa marah ataupun sedih.

Aku mengerti semua itu, dan memantapkan diriku untuk menjaga Mela dan semua temanku kali ini. Aku tak ingin peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu, terjadi pula hari ini, di mana aku harus kehilangan Astrid dan juga seluruh teman-temanku.

Di kamar Cici, kamipun mendiskusikan mengenai kemana tujuan kita selanjutnya. Dan karena petuah suara misterius itu, yang jadi prioritas saat ini adalah bertemu dengan Mbok Ruqayah untuk menyembuhkan Cici dari ilmu palasik yang diwariskan nek Sumatri padanya, walaupun begitu, aku masih tak memberitahukan hal ini ke teman-temanku.

“Oh ya, kak Umam, setelah aku terbangun di masjid tua kemaren, lalu apa yang terjadi padaku sehingga aku bangun di tempat aneh ini?” tanya Cici polos.

“Kamu kelelahan dan pingsan di tengah jalan menuju kampung Witiran ini. Apa kamu tak ingat?” jawabku bohong. Tak mungkin aku menceritakan kejadian di saat Cici berada di nek Sumatri.

“Lalu, tujuan selanjutnya kita ke mana?” tanya Siti dan Wulan.

“Ah, aku akan mencari obat di tempat nenek buyutku. Tempatnya tak jauh dari sini. Kalian mau ikut?” jawabku merayu mereka untuk mau ikut. Dan syukurlah, mereka pun setuju. Kalau aku mengatakan hanya ingin mengajak Cici seorang, pastinya mereka bakal curiga.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara ketukan pintu, yang setelah dibuka ternyata adalah Restu dan Rizal.

Mereka ingin berterima kasih pada kami semua yang telah menyadarkan seluruh penduduk sini, sekaligus memberitahu kalau warga kampung Witiran ini ingin mengadakan acara tahlilan akbar atas meninggalnya keluarga Wiraatmaja dan juga sebagian penduduk desa.

Tapi kami menolak, karena perjalanan selanjutnya adalah perjalanan yang penting... untuk menyelamatkan Cici dari genggaman ilmu palasik.

Ya, yang tahu mengenai Cici hanyalah aku dan juga Rizal. Dia pun dapat memakluminya dan mengizinkan kami pergi jikalau persiapan kami sudah selesai.

“Ah, sayang sekali... kalian tak bisa ikut mendoakan arwah kakek, ayah, dan juga kakakku,” kata Restu resah dan sedih mendapati kami tidak bisa ikut tahlilan bersama. “Apa kepergian kalian tak bisa diundur sampai besok gitu? Kami, keluarga Wiraatmaja sangat berharap kehadiran kalian malam ini. Please?”

“Maaf sekali, Restu. Kami harus melanjutkan perjalanan kami. Ini sangat penting.” Jawabku mencoba menolak permintaan dengan sedikit paksaan.

“Mhm, bolehkah kita untuk tidur di sini semalam lagi?” pinta Cici tiba-tiba. Kami semua terkejut mendengar Cici mengatakan itu. Dan setelah mengambil keputusan ulang, akhirnya kami akan tinggal semalam lagi di kampung ini untuk ikut tahlilan akbar.

Setelah puas, Restu pun segera angkat kaki dari sana, diikuti oleh semua teman-temanku yang ingin keluar mencari angin segar. Meninggalkanku dan juga Rizal di kamar sendiri.

“Bagaimana keadaannya, tuan? Tanya Rizal langsung ke topik utama. “Apakah ilmu palasik itu sudah mendiami tubuh non Cici dengan sempurna?”

“...Aku tidak tahu. Tapi berkat sajadah hijau itu, aku masih bisa mengendalikan penyebarannya.” Jawabku datar, penuh dengan keseriusan dan kekhawatiran. “Aku tidak tahu apakah ilmu itu sudah terpaten di dalam tubuhnya, namun yang terpenting saat ini ialah menyembunyikan hal ini padanya dan juga teman-teman. Aku mendapat firasat kalau hanya nenek buyutkulah yang sanggup menyembuhkan Cici saat ini.”

Kami terdiam cukup lama setelah itu.

“Lalu, bagaimana dengan si Surti?” tanyaku.

“Dia shok atas peristiwa kemaren, namun syukurlah, dia masih hidup,” jawab Rizal lega. “Jadi gadis loli itu yang selama ini kau cari, ya tuan? Aku tak menyangka kalau dia gadis yang seperti itu. Namun, ada sesuatu yang harus kukatakan mengenai dirinya. Dia sangatlah berbahaya!”

Sebelum mendengar kata-kata yang akan aku katakan, Rizal sudah pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian di dalam kamar.

“Ya, aku tahu itu...” gumamku.

***

Malam hari, kami semua ikut acara tahlilan akbar yang diadakan tepat di depan kediaman Wiraatmaja. Acara tahlilan itu berjalan dengan khusuk dan nikmat karena datangnya para penceramah-penceramah yang diundang dari berbagai desa untuk mendoakan arwah-arwah yang tewas kemaren malam.

Sebelum acara dimulai, Si Surti terus-terusan bersujud ke arah kami semua, meminta maaf atas kejadian yang menimpa kemaren. Dengan sigap, aku langsung mengangkat kepalanya dan menyuruhnya untuk tidak melakukan perbuatan bersujud lagi. Karena kami bukanlah Tuhan yang layak disembah dan dimintai pengampunannya.

Dan semoga amal ibadah mereka semua diterima oleh Allah SWT dan dosa-dosanya diampuni oleh-Nya.

Mulai dari saat itu, Rizal dan adiknya akan tinggal di samping kediaman Wiraatmaja. Di sana ada seseorang baik hati yang rela meminjamkan rumahnya untuk dihuni kedua anak yatim-piatu itu.

***

Keesokan paginya, kami semua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum pergi, kak Ayu mengingatkan sesuatu kalau akan ada bahaya besar di depan sana. Dan sebelum kami bertanya akan bahaya apa, kak Ayu sudah kembali masuk ke kediamannya.

“Pokoknya kalian harus hati-hati saja. Aku tak ingin membawa balik mayat-mayat bocah macam kalian kemari.” Kata kak Ayu ketus. Dia pun berlalu.

“...Firasat kak Ayu selalu benar. Jadi, aku memohon pada kalian untuk mematuhinya.” Sahut Restu mewanti-wanti.

“Iya, kami tahu. Tapi bahaya apa yang ingin disampaikan oleh kak Ayu?” tanyaku kesal. Ingin mendapat kepastian, eh, malah puzzle-puzzle membingungkan.

“Di ujung perbatasan desa ini ada tiga jalur. Pertama, jalur yang menuju ke desa lain, jalur kedua yang menuju ke sungai brantas, dan ketiga adalah jalur menuju kampung gaib,” jawab Restu yang seperti takut untuk menjelaskan. “Apapun yang terjadi, kalian jangan sampai memasuki kampung itu. Kalau bisa, jikalau kalian mendengar suara gamelan di malam hari dan tidak ada bintang maupun bulan, sebaiknya kalian...”

“Katakan saja!” paksa Andre.

“Tidak tahu. Tidak ada jalan lain untuk selamat. Setiap bulan ketiga di awal tahun, jalur ketiga selalu muncul dan gerbang kampung gaib itu terbuka. Oleh sebab itu, aku mewanti-wanti kalian untuk berhati-hati dan apapun yang terjadi jangan sampai kalian menyeberangi jembatan yang ada di jalur ketiga tersebut, walaupun kalian diperlihatkan penampakan-penampakan yang membuat kalian rindu akan seseorang!”

“Apa nama kampung itu dan bagaimana kisahnya?” tanyaku penasaran. Sebelum berangkat, lebih baik jika kami mencari banyak info terlebih dahulu. Buat jaga-jaga. “Kok kelihatannya kalian takut untuk memasuki kampung itu?”

“Kampung Kabut Mati yang biasa dikenal oleh orang-orang sini, tapi kalau nama sebenarnya adalah kampung Plesiran Londo, itu yang dikatakan oleh para tetua sini,” jawab Restu ragu untuk memberitahukan, “Kalau asalannya aku tak tahu. Tapi, mendiang kakek mempunyai buku sejarah kampung itu di dalam perpustakaan. Kalau mau, biar Rizal yang membawakannya pada kalian.”

“Lha, kok aku, non? Bukankah yang punya kunci perpus itu kamu toh?” sahut Rizal mengelak.

Restu pun tersenyum mendapati kepolosan Rizal. “Dah, ini kuncinya. Buku itu ada di meja no.45. cepat ambil sana!”

Tanpa menunda lagi, Rizal segera mengambil buku yang dimaksud dan menyerahkannya padaku. Karena waktu sudah mulai siang, kami putuskan untuk segera meninggalkan kediaman Wiraatmaja dan menuju ke desa Glondong, tempat mbah buyutku berada.

Di dalam perjalanan, aku sibuk membaca apa yang tertulis di dalam buku itu. Dan akhirnya dapat kusimpulkan sementara kalau desa itu jadi desa mati karena desa itu pernah diserbu oleh ribuan setan darah yang dipimpin oleh seorang dukun cacat yang mukanya penuh borok dan nanah, bernama Ki Bradjamana.

Setelah tiga puluh menit berjalan, kami pun akhirnya sampai di perbatasan desa Witiran. Dan sesuai yang dikatakan oleh Restu, kalau di sana ada tiga jalur yang menghubungkan desa Witiran dengan desa yang lain.

Karena lelah, kami putuskan untuk mengambil istirahat di pos ronda di mana Feby menemukan keberadaan Mela. Dan seperti biasa, pos ronda yang harusnya banyak pangkalan ojek disekitarnya, malah sepi, tak berpenghuni.

Di saat kami melepas lelah, tiba-tiba dari suatu tempat di luar tugu perbatasan, muncul seorang gadis yang terlihat sama seperti kami, pakaiannya pun sama. Aku menelisik kalau dia adalah gadis yang datang dari masa depan pula, dan mengikuti Test of Faith ini.

“T...Tolong saya... kelompokku, mereka... tersesat di dalam kampung gaib di tengah hutan itu!” kata Illa panik. Suaranya ngos-ngosan, mungkin akibat habis berlari. “Aku m‒mohon...”

Illa pun pingsan seketika. Aku dan Agung mengangkat tubuhnya dan kami baringkan di pos ronda.

“Sebelum kamu bertindak, biar kuperjelas. Kalau ini semua adalah jebakan untuk memancing kita mendatangi kampung itu...” ujar Feby yang sudah mengerti apa yang akan kulakukan. “Oleh sebab itu, kita tak mungkin bisa menyelamatkan rekan-rekan gadis itu. Itu menurutku!”

“Iya, darling. Sebaiknya kita tak usah mempedulikan gadis ini dan segera pergi dari sini. Kalau dia mau ikut, silahkan saja!” Mela seperti biasanya mengajukan saran yang bertolak belakang dengan apa yang kupikirkan. “Kalau perlu, kita tinggalkan saja semua orang di sini dan kita pergi berdua, menyelamatkan diri!”

“Apa!?” sahut semuanya. “Setelah apa yang kami lakukan untuk mencarimu, kamu tanpa rasa berdosa sedikitpun mau meninggalkan kami semua? Jahat kamu, Mela!”

“Aku tak peduli sama kalian semua. Yang aku pedulikan hanyalah darlingku semata. Aku melakukan ini untuk terus menjaganya tau!” jawab Mela ketus.

Setelah terlibat cek-cok yang cukup panjang, Ella pun akhirnya tersadar. Kali ini berbeda dari dia yang sebelumnya, dia berpikir balik untuk ikut bersama kita menuju desa selanjutnya dan meninggalkan teman-temannya yang tersesat di kampung gaib itu.

“Ah, enggak apa-apa. Mungkin saja sudah terlambat bagi kalian untuk menyelamatkan mereka juga. Kami tersesat di sana sudah lebih dari sepuluh hari!” kata Ella yang terasa datar itu.

Aku mulai curiga dengan tingkahnya barusan, namun karena keinginannya begitu, kamipun setuju mengajaknya untuk pergi tanpa menyelamatkan teman-temannya.

Karena ada sesuatu yang janggal di sini, aku terus mengawasi Ella dari dekat.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close