Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 31) - Terror di Kampung Gaib


JEJAKMISTERI - Aku mulai curiga dengan tingkah Ella barusan, namun karena keinginannya begitu, kamipun setuju mengajaknya untuk pergi tanpa menyelamatkan teman-temannya.

Karena ada sesuatu yang janggal di sini, aku terus mengawasi Ella dari dekat.

Sesampainya di pertigaan yang dimaksud oleh Restu, kami kebingungan mendapati ketiga rute jalan tidak ada bedanya. Semua mengarah ke kampung gaib Plesiran Londo. Kami bisa tahu karena ada petunjuk jalan terbuat dari batu yang mengatakan kalau jalur itu mengarah ke desa mati.

Pertama-tama, kami mengira kalau ini semua cuman ilusi semata, namun Ella mengatakan kalau Ki Bradjamana sudah mengetahui kehadiran kami dan ingin menjebak kami di kampung gaib untuk selamanya.

Aneh! Bagaimana Ella tahu?

Tiba-tiba terdengar suara yang datangnya entah darimana. Suara itu terdengar seperti suara seorang kakek-kakek berusia lebih dari delapan puluh tahunan.

“Hahaha... tak kusangka kalian bisa sampai sejauh ini, manusia dari masa depan. Ternyata manusia-manusia di masa depan penuh dengan potensi, ya?” suara itu terdengar menggelegar. “Ah, tak kusangka ada si pembunuh Mbok Titin, atau dikenal sebagai Nyi Ireng di sana rupanya?”

Semua orang hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan siapa yang dimaksud oleh suara itu. Sementara Mela hanya bersembunyi di belakang tubuhku sambil memegang erat lenganku.

Apakah Mela yang membunuhnya??

Dan suara itupun menghilang.

“Suara siapa itu tadi?” tanya Wulan ketakutan. Pastilah, Wulan adalah anak yang paling penakut dibandingkan kami semua. “Ayo kita semua cepat pergi dari sini. Aku merasa bahaya akan segera datang,,,”

Kabut tiba-tiba muncul dan menutupi pancaran sinar matahari.

Aku memegang dagu dan berpikir. “Ella, apa kau kenal dengan suara itu?”

Dia mengangguk. “Iya, aku kenal dia. Dia adalah Ki Bradjamana, penguasa kampung Plesiran Londo.” Jawabnya datar, tak ada emosi ketakutan dari mukanya. “Pastinya, Ki Bradjamana sudah mengetahui akan kedatangan kita.”

Lagi. Aku merasa ada yang janggal dengan Ella. Kenapa namanya tadi tidak disebut oleh Ki Bradjamana sebagai satu-satunya orang yang berhasil kabur dari kampung gaib itu?

“Sekarang apa yang akan kita lakukan, kak?” tanya Cici.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang ini. Kabut ini bukanlah ilusi sehingga aku tak bisa menghilangkannya dengan doa, dan ada tiga jalur yang mengantarkan kita ke tempat yang sama,” jawabku sambil berpikir keras mencari solusi. “Tidak ada cara lain lagi selain kita harus pergi ke kampung Plesiran Londo!”

Semua kaget mendengarnya, terkecuali Ella yang sedari tadi cuman murung saja. Andre dengan geramnya langsung mengangkat kerah bajuku.

“Apa kau serius, kak Umam!?” tanya Andre yang marah mendengar keputusanku barusan. “Apa kau ingin membawa kami semua ke dalam jurang kematian, he!?”

“Andre, hentikan...!” pinta Cici dan Mela, namun Andre masih beringas.

“Jadi apa maumu, Andre? Bukankah kita mengikuti Test of Faith ini karena kita sudah tahu akan resiko yang ada?” jawabku yang mulai tersulut emosiku dengan perilakunya kepadaku. Benar-benar bocah yang tak tahu sopan santun kepada ketuanya sendiri. “Lalu gimana? Bagaimana cara kita untuk keluar dari sini? Kalau kau tahu caranya, ayo silahkan katakan saja!”

Andre pun mendecik kesal. Feby segera turun tangan kala itu. “Sudah hentikan kalian berdua. Pertengkaran kalian di sini tak akan bisa mengubah situasi kita saat ini!”

Mendengar teguran dari Feby, akhirnya dengan berat hati Andre mau melepaskan kerah bajuku.

Ya, tidak ada jalan lain lagi untuk bisa keluar dari sini, kecuali terus maju menuju ke kampung Kabut Mati.

***

Dalam perjalanan, aku masih saja terdiam, menelisik keadaan dan terus mengawasi Ella. Ada yang aneh padanya, namun aku tak bisa mengatakan apa itu. Yang pasti untuk menjaga keselamatannya dan teman-temanku yang lain, aku harus terus mengawasinya.

Semakin dalam kami menuju jalur ketiga, kabutnya semakin lebat dan menghitam. Membuat kami hampir tak bisa melihat jalan.

Untuk mencegah situasi semakin kacau, aku perintahkan untuk terus berpegangan tangan, mereka pun setuju, terkecuali Ella yang menolak ideku barusan. Katanya sih, dia sudah terbiasa menyeberangi kabut hitam ini.

Tak mau mengandai-andai yang aneh-aneh, kubiarkan saja, sampai kami tiba di sebuah jembatan gantung yang terlihat sudah reyot itu. Menelisik usianya sih, kukira jembatan ini sudah berusia seratus tahun lebih, tanpa adanya perbaikan sama sekali, sempit pula. Membuat kesan horror bagi siapapun yang hendak menyeberanginya.

Kami menyebrangi jembatan itu perlahan demi perlahan, supaya tidak terjatuh ke dasar jurang. Dan setelah usaha yang cukup keras dan tak ada gangguan apapun, kami bisa menyebrangi jembatan itu dengan selamat.

Begitu sampai, kami segera melihat-lihat kondisi desa. Ternyata benar kalau desa itu adalah desa mati, karena tidak ada siapapun yang hidup di sana, bahkan kami tak menemui satu binatang melata pun.

Namun terjadi sesuatu yang janggal ketika kulihat desa itu dengan mata batinku. Waktu di sana yang harusnya siang, tapi yang kulihat adalah kegelapan malam. Ketika mata batinku kututup, suasana kembali normal. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk membuka mata batin mereka supaya mereka bisa melihat apa yang aku lihat.

“Gila, kok di sini malam ya?” tanya Agung terkejut.

“Kita ini sekarang ada di alam jin. Di dunia manusia siang, di sini malam, begitupun sebaliknya,” jelasku yang sudah berpengalaman akan dunia gaib. “Ingat, kita harus segera keluar dari sini sebelum malam datang!”

“Kenapa?” tanya Wulan.

“Entah, aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Namun perasaanku berkata demikian,” jawabku tak tahu. “Selama di sini, aku harap tidak ada di antara kita yang terpisah. Karena kita tidak tahu apa yang akan kita alami dan hadapi di tempat ini, mengerti?”

Mereka semua mengangguk, pertanda mengerti. Setelah itu, kami putuskan untuk mencari jalan keluar dari tempat ini secepat mungkin, bahkan Feby sudah menanyakan adanya jalan keluar atau tidak pada Ella, namun dia hanya menggeleng, tak tahu.

“Tidak ada jalan untuk bisa keluar dari desa ini!” kata Ella pelan, dia seperti merasa sendu dan kebingungan. “Aku sudah menyusuri hampir ke seluruh tempat ini dalam sepuluh hari, namun tidak ada siapapun, tidak ada jalan keluar. Semua seperti menghilang, lenyap!”

“Lalu, bagaimana kau bisa keluar dari sini dan menemui kami, hm?” tanyaku memancing Ella untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Aku sudah tahu kalau dia masih terus menutup-nutupi sesuatu dari kami. “Bagaimana bisa kau keluar dari tempat yang katamu tidak ada jalan keluar ini? Dan mengapa orang yang bernama Ki Bradjamana mengetahui kedatangan kita dan bisa sampai menyiapkan jebakan untuk kita?”

“Jebakan? Jebakan apa?” tanya semuanya, terkecuali Mela. Sepertinya dia sudah tahu apa yang ada di sini.

“Kita selama ini sedang diawasi oleh sesuatu. Aku tak tahu itu apa, tapi yang pasti makhluk gaib yang terasa begitu kosong, sehingga aku tak bisa melihatnya, bahkan dengan mata batinku sekalipun.”

“Aku tak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari sini. Suatu saat entah bagaimana aku menemukan sebuah tempat yang mengarahkanku ke luar desa ini, tapi aku tak tahu di mana?” jawab Ella yang seperti kebingungan itu.

Dalam kebingungan itu, kami mendengar suara gamelan yang ditabuh yang terdengar begitu dekat dari tempat kami berada. Itu sudah bisa dipastikan kalau sekelompok jin yang sedang Ngunduh Mantu. Kejadian ini persis dengan apa yang dikatakan Restu padaku. Oleh karena itu, kami putuskan untuk diam, sampai suara gamelan itu menghilang.

Sebelum aku sempat berkata, tiba-tiba dalam sekejap mata, aku merasa kalau kami sudah dipindahkan ke tempat tertentu. Ketika aku hendak memanggil teman-temanku, tidak ada sahutan ataupun balasan dari panggilanku tersebut.

Apa aku dipisahkan dari mereka??

Ketika aku melangkah selangkah ke depan, tiba-tiba kabut hitam yang menyelubungi desa itu lenyap. Dan dari sana, aku melihat bahwa desa ini begitu hidup, bagaikan desa pada umumnya.

Aku tahu kalau yang kulihat ini adalah desa para jin. Meskipun mereka terlihat seratus persen mirip manusia, namun aku meyakini kalau mereka bukanlah manusia.

Terkadang manusia hanya bisa melihat apa yang ingin mereka lihat, tidak apa yang harusnya ia lihat.

Aku menyusuri tempat-tempat itu. Tak terasa aneh sama sekali dari mereka, hanya saja pakaian mereka yang terlihat kusuh dan kuno banget. Seperti era kerajaan. Mendapati kehadiranku di tempat mereka, mereka langsung menatap sinis ke arahku. Tak kupedulikan, karena aku harus mencari semua teman-temanku saat ini yang pasti mereka dalam masalah besar.

Tak begitu jauh dari sana, aku bertemu dengan Ella yang tengah menyadarkan salah satu gadis, yang kuperkirakan adalah temannya sendiri.

Saat itu, kulihat tatapan gadis yang bernama Nanda itu kosong, telinganya seperti tuli, tak bisa mendengar setiap ucapan Ella. Dan yang paling menghebohkan ialah perutnya buncit, seperti seorang ibu hamil.

“Ella, siapa dia?” tanyaku. “Apa dia temanmu?”

Ella mengangguk, “Iya. Dia adalah Nanda, teman terbaikku.

“Lalu, apa yang terjadi padanya?”

Ella menggeleng, tak tahu.

“Harusnya kau sudah tahu, Ella. Nanda ini telah disetubuhi oleh genderuwo. Dia sudah tidak bisa diselamatkan.”

Ella hanya meracau bagai orang yang hilang ingatan ataupun kebingungan. “He? Hm...?”

Tak mau hal yang lebih buruk terjadi, aku paksa menarik Ella untuk menjauhi temannya itu. Namun, sajadah hijau yang aku simpan dalam ransel, merasa enggan dan iba untuk meninggalkan Nanda di sini seorang diri.

Itu berarti masih ada cara untuk menyelamatkannya. Walaupun dengan itu, aku tahu kalau diriku harus merebut balik Nanda dari tangan genderuwo yang telah menghamilinya.

Dan itu bukanlah perkara mudah, karena pertama kita tidak tahu genderuwo yang mana, dan yang kedua adalah sekuat apa genderuwo itu.

***

[Andre POV]
Sementara itu, di sisi lain desa itu. Aku tiba-tiba merasa kalau kabut itu menelanku barusan, dan ketika aku membuka mata, aku sudah berada di sebuah tempat yang asing. Yaitu kuburan kuno, karena kulihat sudah tua dan di papan nisannya semua tertulis antara tahun 1775an sampai 1883.

“Cok! Kenapa aku bisa ada dikuburan!?” umpatku kesal. Walaupun kutahu tidak ada yang akan mendengar umpatanku itu. “Woy... woy, aku belum mati, cok!”

Aku terus berjalan pelan-pelan meninggalkan tempat pemakaman kuno itu, sambil terkadang menengok ke belakang, berharap kalau tidak ada sesuatu yang muncul ataupun bangkit dari kuburan tersebut.

Tiba-tiba, dari arah kuburan itu terdengar suara gemuruh yang begitu keras dan kuperhatikan tanah yang ada di sana terbelah, memunculkan sesuatu dari dalam kubur. Aku tak tahu apa itu, tapi, itu sudah menandakan kalau aku harus segera pergi dari sini.

Makhluk-makhluk yang ada di kuburan kuno tadi yang berjumlah puluhan, kalau tidak ratusan itu segera mengernyitkan senyum mereka ke arahku dan entah mengapa ketika aku berlari kencang, mereka langsung berbondong-bondong mengejarku. Aku tak tahu makhluk apa saja yang mengejarku di belakang, namun aku harus segera menyelamatkan diri, kalau tidak, pasti aku akan mati.

Namun ketika aku tiba di sebuah pertigaan jalan, aku sudah tidak mendapati mereka semua mengejarku. Mereka semua lenyap, tanpa suara.

“Cok, tempat macam apa ini!?” umpatku lagi. “Kalau begini, mending aku tidak mengikuti tes sialan ini. Enakan di rumah, makan dan minum tersedia, nongkrong woles-woles aja. Nggak kaya sekarang yang terus-terusan dikejar oleh demit-demit seperti itu.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seorang gadis yang lirih. Suara tertawa itu seperti datang dari seseorang yang kukenali dan suara itu seperti menertawakanku.

Tubuhku merinding seketika. Jujur, suara tertawa itu jauh lebih horror ketimbang demit-demit yang mengejarku tadi. Aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu sampai aku melihat Mela yang melihatku dari kursi panjang yang ada di depan salah satu rumah di pinggir pertigaan itu.

Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, aku menghampiri gadis aneh itu.

“Mela, kau di sini juga?” tanyaku.

“Iya, sepertinya kita terpisah satu dengan yang lain. Ada seseorang yang sengaja melakukan semua ini,” jawab Mela santai, sama sekali tak terlihat kalau dia panik atau semacamnya.
“Yang paling tak kusuka ialah mereka telah memisahkanku dengan darling. Aku harus segera kembali padanya atau...”

Entah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa lemas, yang langsung membuatku pingsan. Mungkin karena kelelahan setelah lari dikejar demit-demit itu.

Beberapa saat kemudian, aku bisa membuka mataku kembali. Aku tak menyangka aku bisa pingsan tadi.

Setelah terbangun, aku merasakan sebuah sensasi lembut dan halus di bawah kepalaku, yang membuatku nyaman dan tak ingin cepat-cepat bangun. Setelah kuselidik, ternyata aku tertidur di pangkuan Mela, yang kini dia sedang tertidur pulas dalam posisi duduk.

Setelah kuamati baik-baik, Mela cantik dan manis juga ya. Dia memiliki tubuh yang imut, kira-kira 165 cm, badan ramping, punya payudara yang lebih besar dari ukuran rata-rata untuk gadis seusia dan setinggi dirinya.

Sempat aku terpesona melihat semua kelebihannya itu, namun rasa terpesonaku luluh ketika mengetahui sikap dan sifatnya yang begitu menakutkan itu. Apalagi, setelah tahu kalau Mela masa kecilnya diperlakukan seperti itu oleh keluarganya, semakin membuatku eneg. Walaupun aku masih tetap mengaguminya.

Beberapa saat kemudian, muncul sebuah angin yang berhembus begitu kencang, sehingga membangunkan Mela dari tidurnya.

Tiba-tiba di sana, suasana berubah dari malam ke siang. Hal itu sempat mengejutkanku untuk sesaat, namun kata Mela tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena fenomena ini sudah biasa baginya dan biasa terjadi di alam lelembut.

Dengan menelan rasa ketidakpercayaanku, kami bergegas untuk menyusuri kampung yang tiba-tiba berpenghuni ini. Kulihat setiap makhluk yang ada di sana. Mereka melakukan rutinitas layaknya manusia pada umumnya. Ada yang ke pasar, ada yang lagi makan di warung, dan lain sebagainya.

Di saat itu, aku tidak melihat Mela di manapun. Ku coba mencarinya ke sana dan kemari, bahkan aku sempat menanyakan hal ini ke orang-orang itu, namun mereka hanya tersenyum, tanpa memberikan jawaban apapun.

“Andre... Andre...”

tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggilku. Dari suaranya aku mengenalnya. Iya suara itu berasal dari Mela.

“Sadar, Ndre... sadar...!”

Tiba-tiba, dari seberang aku melihat sesosok manusia, namun mempunyai kepala ular. Dengan cepat, makhluk itu langsung mengejarku kemanapun aku pergi. Yang membuatku heran adalah kemanapun aku bersembunyi, makhluk itu bisa dengan mudah menemukanku.

Aku ketakutan dibuatnya. Apalagi aku sedang seorang diri. Membuatku panik seketika.

Namun, di saat yang tidak menguntungkan itu, aku yang bahkan jarang mengucapkan lafadz kitab suci, entah mengapa malah bisa menghapal lafadz-lafadz dalam kitab suci yang sering digunakan sebagai pengusir jin.

Tanpa menunda-nunda lagi, aku segera membaca lafadz itu. “A’UUDZU BI KALIMAATILLAAHIT-TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ,”

Dan tiba-tiba siluman ular itupun hangus terbakar dan akupun akhirnya tersadar.

Saat aku tersadar, tiba-tiba kutengok apa yang ada di depanku. Ternyata sebuah jurang yang begitu curam dan dalam. Beberapa langkah lagi aku akan terjun bebas ke jurang itu.

Dengan cepat, Mela menarik tanganku dan bergegas menjauhi jurang itu.

Aku ditarik dalam keadaan yang masih linglung dan bingung tentang apa yang barusan terjadi padaku. Setelah berada di tanah yang aman, Mela kemudian mendorongku sampai terduduk dan kemudian menaiki tubuhku sembari menangis.

“A...Apa yang barusan kau lakukan, he? Kau tak sayang nyawamu?” tanyanya dengan penuh kesedihan.

“Maaf, a... aku tadi sempat berhalusinasi akan sesuatu. Maaf dan terima kasih telah menolongku, Mela.” Jawabku yang tak sanggup menatap muka Mela secara langsung. Setelahnya Mela bangkit kembali dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Sempat terlintas dadaku berdetup kencang ketika melihat tatapan Mela mengarah ke arahku, walaupun dengan tangisnya. Apa yang sudah kulakukan, Andre? Dia bukanlah gadis yang ditakdirkan untukku, lalu mengapa...

Apakah aku mulai jatuh cinta padanya?

Duh, bukankah aku dan Mela sudah sama-sama punya kekasih...?

Tiba-tiba, Mela mengajakku untuk segera pergi dari sana karena suasananya sudah semakin mencekam dan membuatnya takut. Dengan segera kuraih uluran tangannya itu dan bergegas pergi dari sana, membelah jalanan berkabut hitam, yang entah mengapa tiba-tiba semakin bertambah pekat.

***

[Umam POV]
Kembali lagi di sudut pandang si MC.

Aku berusaha untuk terus membacakan lafadz-lafadz Al-Qur’an supaya Nanda bisa tersadar, namun entah mengapa dia masih belum sadarkan diri pula.

Aku yakin kalau saat ini dia sedang berada di bawah pengaruh seseorang, yang pasti dia bukanlah orang yang sembarangan.

Ketika aku menghela napas panjang, aku mendapati sesosok genderuwo yang berada di belakangku, menatapku dengan kegeraman. Dan dibalik itu, aku mendengar suara kereta kuda yang diiringi dengan suara-suara gamelan.

Dan begitu lama, kereta kuda itu sampai di tempatku yang diiringi oleh sekitar dua puluhan prajurit. Aku meyakini kalau sosok yang ada di dalam kereta kuda itu adalah penguasa desa gaib ini.

Kemudian, dari dalam kereta kuda itu, keluarlah seseorang bak ratu kerajaan yang langsung menyapaku dengan senyum lebar yang begitu indah dan menggoda.

“Halo, pemuda tampan. Mau ikut denganku sebentar ke kerajaanku atau tidak, hm?” tanyanya dengan suara begitu halus dan lembut. Jujur, jikalau kalian melihat rupanya, pastinya kalian akan langsung terpesona. “Ah, dia telah menjadi istri dari genderuwo itu. Biarkan dia memenuhi kewajibannya di sini sebagai seorang istri dulu, baru aku akan meminta genderuwo itu untuk melepasnya kembali!”

Mendapati sapaan yang kurang mengenakkan itu, aku segera mencabut pisau yang telah diberi doa-doa oleh Pak Makrus untuk jaga-jaga. Namun dengan cepat pula, ratu demit itu menyuruh pasukannya untuk mengepungku dan juga Ella.

“Bagaimana, anak muda? Kau mau menuruti kemauanku atau tidak?” tanyanya kembali.

Tak punya pilihan lain, aku kembali menyarungkan pisauku, dan mau tidak mau mengikutinya menuju ke kerajaannya.

Aku harap seseorang atau siapapun bisa menyelamatkan kami dari situasi ini. Amin!

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close