Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 29) - Akhir Keluarga Wiraatmaja


JEJAKMISTERI - Tiba-tiba dari arah hutan Alas Ireng, terlihat ribuan orbs yang melesat pergi menuju ke suatu tempat di desa Witiran, seperginya orbs-orbs itu dari hutan Alas Ireng, tiba-tiba terjadilah gempa dan seluruh hutan Alas Ireng pohon-pohonnya ambruk ataupun terbakar, hingga menutupi jalan.

Mela pun merasakannya, dan langsung bilang. “Darling... darling dalam bahaya besar!”

Feby dan yang lainnya terkejut mendengar penuturan tiba-tiba dari Mela. Saking paniknya Mela, membuat kwalahan semua teman-teman yang bermaksud menenangkannya.

Tapi syukurlah, Mela berhasil ditenangkan.

“Oke, setelah kau tenang, aku ingin bertanya padamu, Mela,” kata Feby yang barusan menghela napas panjang. “Apa maksudmu kalau kak Umam dalam bahaya, he?”

Namun, Mela tetap meracau tak jelas, “Darling... dalam bahaya, dalam bahaya.”

Semua teman-temannya bingung atas racauan Mela tadi. Mereka semua tak mengerti apakah benar yang dikhawatirkan oleh Mela itu atau malah firasat semata.

Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba ada seseorang yang berucap salam kepada mereka.

Ya, dia adalah Kyai Ghofar, kyai yang mereka temui di desa Lenggor Jati kemaren.

“Assalamu’alaikum,” sapa kyai Ghofar berucap salam.

“Wa’alaikum salam... eh, kyai? Kok kyai ada di sini?” balas Andre, yang tak menduga kalau kyai Ghofar muncul.

“Iya, saya habis ke desa seberang. Diundang oleh teman-teman tim ruqyah di sana untuk membantu orang yang kesurupan genderuwo,” jawab kyai Ghofar ramah. “Ngomong-ngomong kenapa adek-adek ini berada di sini? Sudah malam loh,”

“Kami menunggu kedatangan teman kami, kyai. Sudah tiga hari tiga malam kami berpisah dengannya,” kata Feby menjelaskan. “Sekarang harusnya mereka sudah ada di sini, namun kami masih tak ada kabar mengenai mereka. Dan kata Mela, Umam dan yang lainnya dalam bahaya.”

Kyai Ghofar mengangguk-angguk. Kemudian dia menengok ke arah Mela. Melihat tatapan dari kyai Ghofar, Mela langsung mundur ke belakang tubuh Feby.

“Ada apa Mela?” tanya Feby sembari menoleh ke arah Mela di belakangnya.

“Ah, enggak kenapa-napa. Hanya saja Mela takut dengan tatapan kyai itu.” Jawab Mela merinding.

“Tenang saja kok. Kyai Ghofar bukanlah orang yang jahat. Dialah yang telah menyelamatkan kami semua dari teror Lusman kemaren.” Kata Feby mencoba menenangkan Mela.

Tak beberapa lama kemudian, akhirnya Mela pun kembali tenang. Setelah itu, dari belakang kyai Ghofar muncul lima pemuka agama dari tiap-tiap agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu).

Mereka semua datang atas perintah dari kyai Ghofar sendiri untuk menyelidiki aura yang mengerikan yang tiba-tiba muncul di desa Witiran ini, sekaligus mereka ingin kembali mengembalikan desa Witiran ini seperti desa sedia kala, yaitu desa tempat penyebaran agama.

“Anu, kyai. Mereka siapa?” tanya Andre.

“Oh, mereka adalah pemuka dari setiap agama. Aku mengundang mereka ke mari untuk membantuku menyelidiki akan aura jahat yang barusan kami rasakan di desa Witiran ini, sekaligus ingin mengembalikan desa Witiran sebagai desa yang religius.” Jawab kyai Ghofar panjang lebar.

“Kyai, tolong kami... tolong ikutlah kami untuk menyelamatkan teman-teman kami!” pinta Wulan sembari memohon. Bahkan dia sudah mulai meneteskan air matanya. “Jikalau kak Umam dan Cici tewas, kami semua tak ada artinya berada di zaman ini.”

Kyai Ghofar dan para pemuka agama lainnya tersenyum melihat permintaan dari Wulan tersebut. Mereka pun akhirnya sepakat untuk menolong kami untuk menyelamatkanku dan juga Cici.

Dan mereka pun berangkat.

***

Kembali lagi di mana kek Herman, Pak Hendro, dan juga Anton bertarung melawan Ki Sugeng. Pertarungan seru terjadi dan dari pihak keluarga Wiraatmaja seperti terdesak dan tak bisa melakukan apapun untuk menyerang Ki Sugeng.

Setiap kali serangan kek Herman, selalu berhasil dimentahkan oleh Ki Sugeng, bahkan ajian Kilat Segoro yang mampu membuat Surti terdesak, tak berarti apapun bagi Ki Sugeng, malah dengan itu, Ki Sugeng berhasil mendaratkan tendangannya ke arah dada kek Herman dan juga Pak Hendro.

Dengan cepat, kek Herman dan pak Hendro mengeluarkan kedua pusaka mereka berupa keris dan godo, yang dinamai sebagai keris Ronggo Sukmo dan juga Godo Mayit.

Pusaka itu dengan cepat memenggal kepala dan juga dada Ki Sugeng yang waktu itu seperti terkejut, mendapati kalau kuncup keluarga Wiraatmaja mempunyai kedua pusaka dari selat sunda itu.

Setelah menebas tubuh Ki Sugeng, dari tubuhnya tiba-tiba keluar asap hitam yang teramat pekat, yang langsung menyelubungi dunia hampa gaib. Membuat mereka tak bisa melihat apapun lagi.

“Ah, akhirnya kita bisa juga menebas tubuh dan kepala dukun sialan itu.” Ujar kek Herman puas bukan main. Dia merasa begitu lega setelah berhasil mengalahkan si dukun mahasakti itu.

Setelah kabut itu menghilang beberapa menit kemudian, mereka dikejutkan bahwa orang yang mereka tebas ternyata tidak lain adalah Anton, anak sekaligus cucu mereka sendiri.

“Ayah,,, kakek, kenapa...?”

Anton langsung ambruk seketika, tak bernyawa. Sesaat kemudian, Ki Sugeng kembali muncul di belakang mereka berdua.

Dengan sigap, Ki Jokoro Nula, Ki Jokoro Geni, dan Ki Jokoro Kala langsung mengibaskan tangannya, sehingga Ki Sugeng dan Surti terpental sangat jauh, sejauh mata memandang.

Kek Herman dan juga Pak Hendro masih belum siap untuk melanjutkan pertarungan ini, karena mereka masih terpaku dengan jasad calon pewaris keluarga Wiraatmaja itu.

***

Di dunia hampa gaib ini berbeda dari dunia gaib pada umumnya yang berupa hamparan sejauh mata memandang, namun di sini, seperti hutan rimba di dunia jin.

Aku melangkah ke sana dan ke mari untuk menemukan keberadaan Ki Sugeng itu, namun sepertinya aku memang dipisahkan oleh Ki Sugeng sendiri supaya tidak ikut campur urusannya.

“Ki Sugeng... bagaimana bisa dia ada di sini?” gumamku lirih sembari menelusuri setiap pepohonan hutan. “Apa dia Ki Sugeng dari masa depan... atau dari zaman ini, ya?”

Setelah cukup lama, aku akhirnya berhasil sampai di sebuah air terjun yang begitu indah, sampai membuatku terkagum. Namun ketika aku ingin menikmati airnya, sajadah hijau itu menghadang langkahku, seolah aku dilarang untuk mandi ataupun sekedar minum di air terjun gaib itu.

Tak berlangsung lama, aku menemukan seseorang yang tengah tergeletak, tak sadarkan diri di pinggir air terjun itu. Dengan cepat, aku bergegas untuk mendekatinya.

Dan setelah sampai, ternyata dia adalah si Surti, adik dari Rizal. Mengapa dia sampai tak sadarkan diri di sini? Pikirku.

“Hoi... hoi... ayo bangun. Hoi!”

“Siapa kamu?” tanyanya ketus.

“Kenalkan, namaku Umam. Aku datang dari masa depan. Kau, Surti, adiknya Rizal, ya?”
Surti pun menelisik, “Bagaimana kau tahu? Aku bahkan baru pertama kali bertemu denganmu.”

“Kita sudah pernah ketemu tadi. Di kediaman keluarga Wiraatmaja.”

Tiba-tiba, Surti bangun dan mengarahkan kerisnya ke arah leherku. Dengan cepat, sajadah hijau itu langsung mengikat tangan Surti yang tengah memegang keris, sampai keris itu terjatuh.

“Kau berasal dari keluarga Wiraatmaja, itu berarti kau juga musuhku!!” ujar Surti sembari menatapku dengan tatapan garang dan tajam, seolah ingin membunuhku.

“Eh...bukan, aku bukan musuhmu.” Jawabku yang mencoba menjelaskan kalau aku bukan musuh Surti. “Aku adalah teman Rizal, teman yang pernah ditolongnya kemaren lusa.”

Untunglah saat itu, Surti mau mendengar penjelasanku sehingga kami tidak harus bertarung untuk membuktikan diri. Sajadah hijaupun kembali ke pangkuanku lagi.

Aku bertanya bagaimana bisa dia terdampar di hutan jin ini, padahal tadi kulihat dia berada di dekat Ki Sugeng. Dia pun menceritakan kalau dirinya habis terkena kibasan tangan dari Ki Jokoro Kala.

“Apa hubunganmu dengan Ki Sugeng sebenarnya?” tanyaku sedikit ketus padanya. Aku harus mengorek informasi yang lebih darinya untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus kuambil. “Mengapa kau bisa bersekutu dengan manusia, dukun paling kejam seantero nusantara itu?”

“Dia yang merawatku dan membesarkanku. Sejak aku terpisah dari kakak, aku dirawat olehnya dan bahkan aku diajari berbagai ilmu hitam yang sangat hebat darinya.” Jawab Surti sedikit ragu untuk menceritakannya. “Kurasa dia adalah orang yang baik,”

Entah mengapa aku tersulut emosi begitu mendengar kata ‘baik’ keluar dari mulutnya. “Baik, he? Apa kau tidak tahu kalau di masa depan, dia adalah dukun yang paling ditakuti dan selalu menyebar teror di mana-mana. Bahkan setiap pemuka agama selalu dibantainya tanpa ampun. Dia lah satu-satunya yang telah membunuh teman-temanku juga teman-teman kakakku di masa depan. Dan dialah satu-satunya orang yang mementik perpecahan antara setiap keluarga bangsa!!”

Si Surti seperti mengelak dariku, sepertinya dia barusan merasa ketakutan dengan emosiku yang sempat meluap-luap itu.

“Aku tak bisa membiarkan orang itu hidup. Aku akan membunuhnya sebelum sekte Rembulan Iblis Merah miliknya menimbulkan kekacauan di masa depan.”

Tiba-tiba Surti tertawa mendengar ancamanku dan juga emosiku. “Benarkah? Kalau kulihat dengan indraku, aku tidak bisa merasakan kau mempunyai ilmu kanuragan apapun. Bagaimana bisa kau membunuh guruku nantinya?”

Emosiku yang sempat meluap dan berapi-api, kinipun redup, menyadari kalau ilmu kanuraganku saat ini sedang disegel, dan aku sekarang hanyalah seorang manusia biasa, yang bahkan bisa dengan mudah Surti bunuh.

***

Balik lagi di mana puncuk pimpinan keluarga Wiraatmaja berada.

“Anton, cucuku...” kata kek Herman yang menangis di hadapan jasad cucu kesayangannya itu. Begitu pula dengan pak Hendro.

“Anton, putraku. Tenang saja. Kematianmu ini akan kubalas dan akan kuakhiri pertarungan ini sampai di sini.” Umpat pak Hendro penuh dengan kegeraman.

Tiba-tiba, terdengarlah suara tertawaan yang mencekik dari setiap penjuru dunia hampa gaib. Tidak salah lagi kalau itu adalah suara Ki Sugeng.

“Hahaha... bocah-bocah Wiraatmaja ternyata begitu lemah, hahaha....”

“Bukankah anak dan cucu kalian mati itu karena ulah kalian sendiri? Mengapa kalian menuntut balas padaku. Hahahah....”

Dengan cepat, tanpa disadari, melesatlah jarum-jarum hitam darah yang langsung menembus tubuh Ki Jokoro Nula, Ki Jokoro Geni, dan Ki Jokoro Kala, membuatnya menjerit penuh kesakitan dan langsung tumbang seketika, tewas.

Dari tempat kosong, tiba-tiba muncul partikel-partikel kecil yang langsung terfokus ke satu titik. Dari sanalah terbentuklah sebuah tubuh manusia, yang dikenal sebagai Ki Sugeng.

“Hahaha... tak kusangka ketiga peliharaanmu itu mampu menendangku.” Gelak tawa Ki Sugeng membuat amarah mereka berdua memuncak.

“Biadab!!” Kek Herman dan Pak Hendro langsung melesat menyerang Ki Sugeng dengan membabi buta.

Namun sial, dengan sekali ayunan tangannya yang tiba-tiba menjadi tajam setajam pedang, Ki Sugeng berhasil memotong kaki kiri dan tangan kanan keduanya.

Mereka pun menjerit kesakitan mendapati tangan kanan dan juga kaki kirinya telah terpotong-potong seperti itu. Yang bisa mereka lakukan sekarang ini hanyalah terbaring, tak berdaya.

Namun, ketika Ki Sugeng akan mengakhiri pertarungan ini, tiba-tiba melesatlah keenam orang yang menghalangi langkahnya,

Ya, mereka adalah rombongan kyai Ghofar dan para pemuka agama lainnya.

“Astagfirullah,” ucap kyai Ghofar yang mendapati kedua pimpinan Wiraatmaja tersungkur, sekarat dengan kondisi yang mengenaskan. “Kalian semua tolong bantu bawa kedua orang Wiraatmaja itu keluar dari dunia hampa gaib ini. Biar aku dan pendeta Sutarno yang mengatasi ini.”

Pemuka agama lainnya pun sepakat dan kemudian melesat menembus dunia hampa gaib ini.

“Ah, siapa kau kakek tua?” tanya Ki Sugeng penuh kegeraman melihat mangsanya sudah pergi menjauh.

“Aku adalah kyai Ghofar dan di sebelahku ini adalah pendeta Sutarno. Kami hanyalah hamba Tuhan yang ingin menyebarkan agama-agama kami di kampung Witiran ini,” jawab kyai Ghofar ramah. “Jadi, dukun sepertimu tidak perlu lagi berbuat kerusakan untuk menyesatkan warga-warga sini, ‘kan?”

Mendengarnya membuat telinga Ki Sugeng panas. “Bedebah! Kau berani menentangku!?”

“Atas Izin Tuhan, kami berdua akan mengusirmu dari sini, supaya kampung ini aman dan nyaman untuk dakwah kami.” Sahut pendeta Sutarno ramah.

Dan dimulailah pertarungan seru itu. Awalnya kyai Ghofar melemparkan tasbihnya, yang diikuti oleh pendeta Sutarno yang juga melempar kalung salibnya. Kedua kekuatan itu langsung beresonasi yang langsung membuat langkah Ki Sugeng terhenti untuk sementara.

Namun, kedua senjata kyai Ghofar dan juga pendeta Sutarno sama sekali tak berefek pada Ki Sugeng, yang dengan mudahnya melemparkan kembali kedua pusaka itu melesat mengarah ke jantung mereka masing-masing.

Untunglah, kyai Ghofar sigap, yang langsung menghindar dan menolong si pendeta. Dengan begitu mereka berdua berhasil terselamatkan.

“...Dasar pemuka agama bedebah. Tiada gunanya kalian memuja dan mengagung-agungkan Tuhan kalian. Bahkan kalian sendiri sering diuji oleh-Nya dengan ujian yang dirasa lebih sulit bagi kalian untuk menerimanya.” Kata Ki Sugeng ketus, mencoba memprovokasi keduanya. “Berlatih ilmu hitam jauh lebih menyenangkan ketimbang itu semua. Kalian berdua pastinya akan membenarkan ucapanku barusan suatu hari nanti.”

“Diam kau, iblis! Kami semua adalah kepunyaan-Nya, bergantung pada-Nya, dan bersujud karena-Nya. Jadi, orang yang membelot dari-Nya tidak pantas untuk menggurui kami tentang Dzat yang kami sembah.” Sahut kyai Ghofar penuh kemurkaan.

Pendeta Sutarno pun mengangguk, dia membenarkan apa yang barusan dikatakan oleh kyai Ghofar.

“Ah, sudahlah. Sebaiknya kuakhiri saja di sini pertarungan kita. Aku mau mengejar mangsaku itu!”

Tiba-tiba tak terduga, Ki Sugeng melesat menuju pendeta Sutarno yang langsung memotong kedua tangan dan juga kakinya. Dan kemudian, melesat ke arah kyai Ghofar yang langsung memotong kaki kiri dan juga tangan kirinya.

Sebelum mereka berdua menjerit, Ki Sugeng sudah menghilang.

***

Sesaat setelah ia pergi, terdengarlah suara jeritan yang begitu keras dari dunia hampa gaib. Bahkan suara itu terdengar jelas di luar dunia hampa gaib sana.

Kondisi mereka semakin memburuk dan memburuk, karena mulai kehabisan darah. Namun, sebelum mereka tak sadarkan diri, terdengar suara langkah kaki pelan dari segala penjuru.

Setelah ditelisik, ternyata suara kaki itu berasal dari kaki telanjang seorang gadis. Kyai Ghofar dan pendeta Sutarno sangat mengenali siapa gadis itu.

Ya, dia adalah Mela.

Tanpa bicara apapun, mereka berdua melihat sebuah hologram jam di bagian yang habis ditebas oleh Ki Sugeng, dan entah mengapa tiba-tiba bagian-bagian yang sudah terpotong-potong itu kemudian menyatu kembali.

“...Apa kau menyembuhkan kami?” tanya pendeta Sutarno kagum bukan main melihat fenomena seperti ilusi sihir yang terjadi di depan matanya.

“Tidak. Aku hanya memutar waktu di sekitar bagian tubuhmu yang terpotong-potong itu, pendeta.” Jawab Mela ketus. Seperti bukan dia yang biasanya. “Kalau sejarah berubah karena hal ini, entah apa yang bakal terjadi di masa depan.”

Dan ajaib, tiba-tiba bagian tubuh yang terpotong-potong itu kini menyatu kembali, seperti sebelum bertarung dengan Ki Sugeng.

Ketika mereka berdua hendak mengucapkan rasa terimakasih mereka, tiba-tiba Mela sudah tidak ada lagi di sana, alias menghilang dalam kedipan mata.

***

Sementara itu, di lain sisi, Ki Sugeng sudah berhasil membunuh keempat pemuka agama lainnya dengan sangat mengerikan. Tubuh mereka dimutilasi, mata mereka dicolok, dan kelima indera mereka belah. Yang kini menyisakan kek Herman dan juga Pak Hendro yang tengah terbaring lemas, tak berdaya.

“Apa kalian tahu kalau aku selalu menyelesaikan misiku. Jadi bersiaplah untuk kematianmu, bocah-bocah Wiraatmaja!” ujar Ki Sugeng yang tertawa puas. “Sekarang tidak ada lagi yang akan melindungimu maupun menyelamatkanmu lagi. Mereka semua sudah kubunuh. Hahahaha....!”

Dengan terbata-bata, kek Herman menjawab, “B—biadab kau, Ki Sugeng!!”

“Sebaiknya kau bunuh kami sekarang, supaya penderitaan kami ini cepat selesai!” tambah pak Hendro menatap Ki Sugeng dengan tatapan kosong.

“Baiklah, akan kukabulkan permohonan kalian berdua.” Ki Sugeng sudah bersiap-siap dengan mengangkat tangan ke atas, hendak menebas kepala kedua orang Wiraatmaja itu dengan tangan kanannya.

Sebelum itu terjadi, tiba-tiba tangan kanan Ki Sugeng pun terbelah menjadi dua bagian. Sebuah tangan memedi kemudian menembus perutnya, dari bawah, muncul tangan memedi yang berubah menjadi puluhan paku yang langsung menusuk kaki Ki Sugeng, seluruh inderanya tiba-tiba terasa panas dan mengeluarkan asap serta darah segar.

“A...Apa yang terjadi!?”

Tiba-tiba muncul seorang gadis, yaitu Mela di hadapan Ki Sugeng. Dalam kesakitannya, tangan kiri Ki Sugeng tiba-tiba meleleh seperti timah yang dipanaskan dengan suhu yang sangat tinggi. Dan inilah saat di mana Ki Sugeng menjerit kesakitan.

“Aarrgh...,Sakit! Sakit!!!”

“Sugeng... Sugeng,” kata Mela datar. “Meskipun kau tidak mempan dengan santet, namun kau bukanlah orang yang kebal dengan santetku.”

“Santet apa ini!?” tanya Ki Sugeng yang sudah mulai kehilangan kesadarannya. “Bagaimana orang yang kebal akan santet bisa terkena dampak santet ini!?”

“Santet Wartasuro!” jawab Mela ketus. “Apa kau ingat sekarang siapa aku sebenarnya, hm?”

“N—Ndoro Ayu, maafkan hamba... maafkan hamba!”

Namun Mela tidak iba dan membiarkan demit Wartasuro itu mencincang-cincang tubuhnya sampai menjadi debu yang beterbangan.

Kemudian, dia menoleh ke arah kedua orang Wiraatmaja itu.

“Jadi kalian yang telah merawat Ki Jokoro Nula dan kedua saudaranya, ya? Aku berterima kasih pada kalian berdua,” kata Mela datar.

“Siapa kau? Ada hubungan apa dengan tuan kami?” tanya kek Herman lemah.

“Mereka adalah abdiku, abdi dari gadis lotus hitam.” Jawab Mela datar, sorot matanya sama sekali tak menunjukkan ada emosi di dalamnya.

“Kau...” ucap mereka berdua yang kemudian tewas.

Mela waktu itu bisa saja dia menghidupkan keduanya, namun tidak ia lakukan, karena sesuai takdir yang terjadi, ini adalah akhir dari keluarga Wiraatmaja.

Sementara putri-putrinya akan hidup damai sampai kodrat takdir mempertemukan mereka kembali di masa depan.

Mela kemudian berjalan menjauh dari kedua mayat tadi setelah dia menutup kesemua mata mereka yang tadinya masih terbuka, melotot.

Ketika tiba di suatu tempat, dia menggigit jari telunjuknya sampai mengeluarkan darah yang menetes. Dari darah itu, terciptalah Ki Sugeng kembali.

“Sekarang, apa kau sudah tahu apa dosamu padaku, Ki Sugeng!?” tanya Mela, yang menatap Ki Sugeng dengan tatapan penuh murka. “Kalau kau tidak mengatakannya, aku akan membunuhmu sebanyak tiga kali, seperti apa yang telah kau lakukan kepada Ki Jokoro Nula dan kedua saudaranya.”

Dengan cepat, Ki Sugeng bersujud di depan Mela, memohon ampun. “Maafkan hamba, Ndoro. Saya tak menyangka kalau diriku yang lama sampai tega menghabisi ketiga peliharaan Ndoro.”

“Ada lagi...” sahut Mela.

“Apa itu, Ndoro?”

“Kehadiranmu... kehadiranmu di waktu ini benar-benar mengubah masa depan, Ki Sugeng. Apa kau tak tahu konsekuensinya??”

Ki Sugeng bingung mau menjawab apa. Dengan cepat, Mela langsung mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah Ki Sugeng, yang dengan cepat langsung mencabik-cabik seluruh tubuhnya sampai tak bersisa.

“Sesalilah perbuatanmu itu, Ki Sugeng... dan selamat bertemu empat puluh hari lagi dari sekarang. Di kerajaan Mangkupati!”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close