Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 28) - Dukun Mahasakti


JEJAKMISTERI - Namun, beberapa menit kemudian kelima bagian tubuh si Surti tiba-tiba bergerak-gerak sendiri dan langsung kembali menyatu tanpa bekas luka apapun, bahkan kondisinya jauh lebih segar dari sebelumnya. Sementara itu, dilihatnya para penjaga tubuhnya sudah kering kerontang, seperti hawa kehidupannya disedot habis.

“Hahaha... kau takkan bisa membunuhku, kakek tua.”

Dengan tanpa mengurangi ketenangannya, kek Herman pun bergumam, “Oh, ajian serat jiwa dan ajian pancasona ya? Hohoho...!”

Dengan cepat, Surti kembali menyerang kek Herman dengan keris Bathara. Meski itu adalah salah satu pusaka terkenal, tetapi jikalau yang menggunakannya tidak cukup cekatan, hasilnya akan tetap sama saja.

Dengan mudahnya, kek Herman bergerak ke belakang untuk menghindari tusukan dari keris itu, ketika mentok, dia langsung bergerak ke kiri. Dengan ilmu meringankan badan miliknya, tidak sulit baginya untuk menghindari serangan keris itu.

Tak hanya itu, diapun malah berhasil melancarkan serangannya, menendang pergelangan tangan si Surti sehingga keris itu terlepas dari tangannya. Kemudian kek Herman mengambil alih keris itu dan menodongkannya ke muka si Surti.

“Cih! Aku tak punya urusan denganmu, kakek tua. Bebaskan kakakku supaya pertarungan tak berarti ini bisa cepat selesai.” Kata Surti menggeram mendapati ilmu kanuragannya kalah jauh dengan kek Herman. Dan dengan cepat tendangan kek Herman berhasil menghantam tubuh si Surti sampai ia terpental, tergeletak, dan memuntahkan darah segar.

Jujur dengan kemampuannya saat ini, mustakhil dia bisa menang melawan kek Herman.

Tetapi, di saat yang tak terduga itu, dengan memakan rasa putus asanya, dia melakukan hal yang benar-benar diluar nalar.

“Mahaguru, datanglah! Tolong muridmu ini!”

***

Sementara itu, di penjara bawah tanah, aku dan kak Ayu mendapati Restu dan Rizal sedang ngobrol akan sesuatu di dalam penjara. Mereka berdua tak sadar kalau bahaya sedang terjadi di luar sana.

“Restu, Rizal, gimana kabar kalian?” tanyaku yang terlihat khawatir, terlebih ke Rizal, karena peristiwa semalam. “Kau kemaren terkena sadukan tongkat Nek Sumatri karena aku. Aku merasa bersalah karena itu.”

“Aku baik-baik saja kok, tuan. Setelah terkena pukulan dari nek Sumatri kemaren, aku seperti kebingungan, aku hampir tak bisa mengingat apa yang terjadi kemaren, bahkan aku hampir tak mengenalimu juga Restu. Tapi untunglah Restu ada di sini sekarang untuk menolongku. Berkatnya, aku sudah sedikit baikan,” jawab Rizal yang sedikit AFK (away from keyboard). Aku mengira mungkin karena benturan kemaren.

“Apaan sih, Zal. Tentu saja aku akan menolongmu, karena kau adalah teman baikku.” Sahut Restu, kulihat pipinya sedikit merona kala itu.

Aku melirik ke arah Restu. “Ah,. Jadi Rizal ini ya, pria yang kau sukai itu, Res? Pantesan kau begitu care padanya...”

Muka Restu langsung merona. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menyilangkan kedua tangannya ke depan. “Apa-apaan sih kamu!? Nggak, tentu saja nggak!”

Di saat itu, tiba-tiba kak Ayu yang awalnya diam melulu, kemudian dengan sinis menatapku. Dia sepertinya merasakan ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

“Nak Umam, apa kau merasakannya? Ada hawa jahat yang sedang menuju ke kediaman Wiraatmaja. Hawa jahat hampa yang begitu kuat, aku bisa merasakannya dari jarak sejauh ini.” Tanya kak Ayu tiba-tiba sembari menoleh ke atap, ke kiri dan ke kanan.

Aku bergegas untuk memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi dengan mata batinku. Dan apa yang dirasakan oleh kak Ayu memang benar adanya. Ada sebuah kekuatan jahat sedang menuju ke mari.

Aku semakin merasakan kalau sebuah bahaya besar akan mendatangi keluarga ini. Untuk itu, aku mewanti-wanti Restu dan kak Ayu untuk bersembunyi di sini sembari menjaga Rizal. Mereka seperti tak tahu apa-apa dengan maksudku, namun mereka mengiyakan permintaanku saat itu.

Aku kembali ke tempat Cici berada. Di sana, dia terlihat sedang meronta-ronta kesakitan, bahkan dia sudah hampir mencekik lehernya sendiri. Sajadah hijau itu kembali melesat ke pangkuanku, seolah dia tak sanggup lagi untuk menghambat sesuatu yang jahat di dalam diri Cici tersebut.

“Cici, tenanglah, tenanglah!” kataku sembari mencoba menyemangati dan menenangkannya supaya bisa bertahan dari goyangan iblis yang ada di dalam tubuhnya. “Ingatlah Tuhanmu, Ci. Ingatlah Dia!”

Aku membuka kedua tanganku dan mengadahkannya ke atas. “Ya Allah, Ya Rabb-ku. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Raja dari segala Raja. Yang berkuasa atas Kehidupan dan Kematian. Aku memohon akan kewelasasihan-Mu. Tiada Daya dan Upaya yang sanggup menghalau ketentuan-Mu. Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tolong sembuhkanlah temanku ini dari jeratan setan dan iblis yang kini menghuni jasadnya, Ya Allah, sedangkan dia adalah jiwa yang murni. Amiin.”

Setelah itu, aku mengambil wudhu di luar, dan kembali ke kamar untuk menunaikan salat tahajud dua rokaat dan melakukan Qiyamul Lail lain, seperti berdzikir. Karena di sana tak kutemukan Al-Qur’an pun untuk kubaca.

Kondisi Cici pun sedikit tenang setelah itu. Aku bersyukur masih ada Tuhan yang Dialah sebaik-baik penolong, tanpa kenal waktu, syarat, lagi kekal abadi.

Tiba-tiba terdengar suara yang entah darimana asalnya. “Temuilah Mbok Ruqayah, nak! Hanya dia yang Insya’allah bisa menyembuhkan pengaruh sesat ilmu Palasik itu. Temuilah dia dalam kurun waktu kurang dari sepuluh hari. Dan mudah-mudahan, Allah SWT meridhoi perjalananmu ini.”

Dan suara itu tak terdengar lagi.

“Ya, Allah, barusan itu suara siapa?” gumamku lirih. “Mbok Ruqayah, ya? Bukankah itu adalah istri dari Mbah Jayos. Di masaku, dia telah tiada, dia dipanggil Tuhan ketika usiaku baru tiga belas tahun. Di masa ini, pastinya dia masih hidup, ‘kan?”

Balik lagi di penjara bawah tanah, di mana Rizal sedang diobati oleh Restu dengan obat yang sangatlah sederhana, dari daun-dedaunan. Dia merawatnya dengan telaten. Itu terlihat oleh kak Ayu yang melihat akan kepedulian Restu pada pria penggembala kambing satu ini.

“Rizal, kau ini benar-benar ceroboh, ya? Sudah tahu kalau nenek Sumatri mempunyai ilmu kanuragan yang sangat tinggi, eh malah kau sok-sokan mau membantu pemuda dari masa depan itu.” Gerutu Restu manja. Dia membalut luka Rizal dengan lembut. “Kau itu selalu bikin aku khawatir saja. Setidaknya khawatirlah kepada perasaanku juga!”

“Maaf, maaf, Non Restu. Saya hanya tak tega melihat tuan Umam terus tinggal di rumah dukun Palasik itu. Itu saja kok.” Jawab Rizal dengan mantap. “Lagian, dialah yang membuka mata saya untuk terus berjuang demi teman-temanku. Kau juga termasuk, Non Restu.”

Tak beberapa lama kemudian, datanglah kedua penjaga yang memberi kabar kalau yang menyerang keluarga Wiraatmaja adalah si Surti, adik dari Rizal itu sendiri.

Kaget, Rizal pun segera memaksakan dirinya untuk menemui adiknya di luar, namun segera dicegah oleh kak Ayu.

“Mau kemana kau, Rizal?” tanya kak Ayu sinis, diapun segera menghadangnya untuk pergi. “Apa kau tahu kalau adik perempuanmu sudah membuat kekacauan di luar sana. Keluarga kami, keluarga Wiraatmaja adalah keluarga paling berkuasa di daerah sini. Tidak mungkin kami bisa memaafkan adikmu setelah apa yang terjadi malam ini, nak Rizal. Setidaknya hanya dirimulah, orang yang takkan menerima murka keluarga ini.”

“Minggirlah, Non Ayu! Aku harus segera menemui adik perempuanku. Biar aku yang membujuknya untuk menghentikan kekacauan ini.” Jawab Rizal yang terlihat kalau dia sudah terlalu memaksakan dirinya. Tanpa iba, kak Ayu pun menyuruh kedua penjaga itu untuk kembali memasukkan Rizal ke dalam sel.

Tentu saja hal ini ditentang oleh Restu, namun kak Ayu hanya mengabaikan saja kata-kata yang keluar dari mulut adiknya itu.

***

Tiba-tiba dari arah luar, terdengar suara kilatan petir yang menyambar-nyambar. Aku pikir akan segera ada badai yang datang, mengingat langit malam sudah terlihat mendung. Namun itu semua ternyata salah besar. Aku bergegas keluar dari kamar untuk melihat kondisi.

Suara kilatan itu terjadi di luar sana. Dan suara itu berasal dari aura seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahunan. Dan aku sangat mengenali tubuh tua renta itu.

“Ki Sugeng...!” umpatku kesal, menahan deru amarahku yang sudah sampai ke ubun-ubun.

Ki Sugeng, yang terkenal sebagai dukunnya para dukun hebat, sehingga dia mendapatkan gelar sebagai dukun mahasakti. Bahkan santet-santet kelas atas, seperti Santet Malam Satu Suro, Santet Janur Ireng, Santet Sepertiga Malam, Santet Darah, tidak berarti apa-apa buatnya. Malah santet itu balik mengenai sang penyantet apabila berurusan dengan Ki Sugeng itu, sehingga banyak orang yang menjuluki kalau Ki Sugeng adalah satu-satunya orang yang kebal terhadap santet.

Bagaimana bisa dia ada di sini??

Sesaat setelah datangnya, dari rumah-rumah penduduk, terdengar teriakan dan jeritan Cumiik yang keluar dari setiap penduduk. Mereka keluar dari rumah mereka dengan muka penuh borok dan ada juga yang mengelupas, bahkan ada beberapa orang yang kedua matanya hilang, atau kakinya hilang, atau tangannya hilang. Semuanya punya cerita-cerita sendiri.

“Huh, dasar manusia lemah. Mereka pikir bisa menyantetku. Kau harus berterima kasih padaku nanti, Wiraatmaja, karena orang-orang yang sedang menyantet keluargamu, sudah aku binasakan semuanya.”

Kek Herman dan Pak Hendro terkejut setengah mati. “Apa!? Kau menghabisi sebagian penduduk desa Witiran?”

“Jadi kau sudah tahu, hahaha...! dengan tidak adanya mereka, kurasa pertarungan kita akan semakin menarik karena tidak akan ada siapapun yang mengganggu kita berdua.” Ki Sugeng menatap mereka berdua dengan penuh kengerian, mengakibatkan ketiga orang tersebut bergidik ngeri melihatnya. “Ternyata kau masih terlalu lemah, Surti? Kau bahkan tak bisa mengatasi ketiga kroco itu,” tambah Ki Sugeng sumringah menatap kek Herman, Pak Hendro, dan juga kak Anton.

Sebelum Ki Sugeng melangkah, dari dalam rumah, tiba-tiba keluar tiga demit raksasa yang jauh lebih tinggi dan besar ketimbang empat belas genderuwo. Mereka adalah demit pusaka milik keluarga Wiraatmaja, yang bernama Ki Jokoro Nula, Ki Jokoro Geni, dan Ki Jokoro Kala.

Mereka keluar karena mendapati ancaman serius yang muncul dari diri Ki Sugeng itu. Dengan cepat, Ki Jokoro Nula itupun membawa semua orang yang ada di sana ke dalam dunia hampa gaib, di mana pertarungan seru akan terjadi dan habis-habisan melawan Ki Sugeng.

“Ki Jokoro Nula, apa yang kau lakukan? Mengapa kalian bawa kami semua ke duniamu?” tanya kek Herman sedikit geram, namun segera ditepis ketika melihat wajah Ki Jokoro Nula, Ki Jokoro Geni, dan Ki Jokoro Kala yang sudah berkeringat dingin saking takutnya pada Ki Sugeng.

“Ayahanda, sepertinya guru dari Surti itu teramat berbahaya. Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?” tanya Pak Hendro berbisik.

“Tidak ada cara lain selain bertarung dengannya. Pastinya dia takkan mau membiarkan kita kabur, setelah apa yang kita lakukan ke muridnya, ‘kan? Lagipula, aku cukup penasaran dengan ilmu kanuragan yang ia punya.” Jawab kek Herman merinding mendapati aura hitam yang terus keluar dari tubuh Ki Sugeng.

Ki Sugeng pun akhirnya melangkahkan kakinya mencoba mendekat.

“Apa kalian sudah siap untuk mati setelah apa yang kalian lakukan ke muridku?” Ki Sugeng memulai obrolannya sebelum memulai pertarungan. Dia mengatakannya dengan penuh ancaman. “Jangan harap di antara kalian akan selamat maupun bisa lari dariku, bedebah!!”

Untuk membantu ketiga orang keluarga Wiraatmaja, Ki Jokoro Nula, Ki Jokoro Geni, dan Ki Jokoro Kala memanggil semua anak buahnya, berjumlah ratusan. Yang paling banyak adalah Demit Gawur, Siluman Ular, Siluman Kelabang, Pocong Ireng dan Kuntilanak Hitam. Mereka semua berasal dari Alas Ireng. Tak lupa juga, ada demit Brajadh juga di sana.

Dengan sekali hentakan kaki, Ki Sugeng berhasil membunuh kesemua demit-demit itu dengan tanpa pusaka apapun. Semakin memperjelas kesaktian dan ilmu kanuragan yang dipunyai Ki Sugeng memang benar-benar diluar nalar.

***

Sementara itu, jauh di perbatasan desa Witiran, Feby, Andre, Agung, Siti, dan Wulan sedang menunggu kedatanganku dan juga Cici. Mereka mengeluhkan apa yang terjadi kemaren lusa, di mana tiba-tiba Cici berubah menjadi demit Brajadh setelah mendengar suara Adzan Maghrib. Untunglah mereka bisa melarikan diri, kalau tidak, pastinya mereka sudah mati.

Mereka bahkan harus tersesat berkali-kali ketika menghindari kejaran demit Brajadh, sampai mereka sempat menginap di Alas Ireng segala.

“Untung saja kita bisa lolos dari demit Brajadh itu,” seru Andre lega. “Kalau nggak, pasti kita sudah mati sekarang cok!~”

Mendengar umpatan Andre, membuat yang lainnya sebel dan eneg.

“Kamu tuh jangan Cuma ‘cok, cok’ mulu. Harusnya pria garang dan besar seperti dirimu bisa melawan tuh demit! Garang kok penakut,” ejek Siti kala itu yang akhirnya sudah kembali ke Siti yang sedia kala. “Agung dan Feby saja berani lawan tuh demit... ya walaupun mereka tak berdaya di hadapan demit-demit itu, tapi setidaknya mereka sudah berusaha gitu.”

Mendengarnya, Andre malam semakin geram. “Kau pikir aku pengecut, he!? Harusnya kau saja yang melawan demit-demit itu tadi. Kau kan punya penjaga gaib!!”

“Cukup... cukup!” lerai Feby tiba-tiba. “Aku sudah eneg dengan perdebatan kalian mulu. Yang terpenting saat ini kita harus segera mencari Mela yang menghilang entah kemana, sekaligus menunggu kedatangan kak Umam.”

Mereka berdua pun diam seketika. Siapa juga yang berani mendengar bentakan keras dan garang Feby tadi. Tapi setidaknya dengan begitu, kondisi yang sempat memanas, kini kondusif kembali.

Setelah berjalan selama sepuluh menit, mereka pun sampai di tugu perbatasan desa yang dimaksud, namun sesampainya di sana mereka tidak mendapatiku dan Cici yang katanya akan segera menyusul.

Di samping tugu perbatasan desa, terlihat ada sebuah pos ronda. Di sana terlihat samar-samar ada seorang gadis yang tergeletak. Oleh karena itu, mereka putuskan untuk segera menghampirinya.

Dan setelah dicek, gadis itu ternyata adalah Mela yang entah mengapa tak sadarkan diri.

“Lho, bukankah dia itu Mela. Kenapa dia bisa tergeletak tak sadarkan diri di sini?” tanya Agung kaget dan keheranan melihat Mela yang ternyata berada di sana dan tak sadarkan diri pula. “Ayo kita segera bangunkan dia!”

Sebelum itu, Feby segera angkat bicara ke semua teman-temannya mengenai suatu hal tentang Mela.

“Mela adalah gadis yang teramat misterius. Itulah yang dikatakan Danang dan kak Vita padaku. Sejak kecil dia selalu dikurung dan diasingkan oleh keluarganya di villa kakeknya sampai berusia sembilan tahun, karena suatu alasan tertentu,” kata Feby memulai obrolan, dan yang lainnya pun dengan senang hati mendengarkan sembari duduk beristirahat. “Sikap dan sifat Mela sering tak stabil, maka dari itu, dia selalu mengubah ingatannya sendiri, demi beradaptasi dengan kondisi disekelilingnya. Itulah yang dikatakan oleh Danang juga kak Vita padaku.”

“Hm... apa Mela mengalami kekerasan fisik dan mental saat diasingkan itu?” tanya Wulan yang terlihat sudah iba dan berkaca-kaca.

“Katanya sih, iya,” jawab Feby mengiyakan. “Bahkan dia mendapati perlakuan yang tak manusiawi dari ayahnya sendiri. Menurut penyelidikan kepolisian, mereka mendapati kalau selama ini Mela telah dikurung ke dalam kandang anjing yang terbuat dari besi, dan setiap kali ingin makan, dia hanya diberi makan roti basi, minuman darah busuk, dan di depan kurungannya, selalu terpampang jelas sesajen-sesajen aneh dan mengerikan gitu. Bahkan menurut kabar, Mela sering sekali memakan karpet dan pakaiannya sendiri karena tak mau memakan sesajen dan juga meminum darah busuk itu.”

Mereka semua langsung bergidik ngeri mendengar penjelasan dari Feby tadi. Kecuali Andre dan Agung yang terlihat antusias dan penasaran mendengar cerita kelam Mela.

“Terus, terus...?”

“Sayang sekali hanya itu yang kudapat dari informasi-informasi yang kukumpulkan. Tapi yang jelas, keluarga Immas tidak pernah berurusan dengan polisi sekalipun, padahal mereka telah menyiksa anak kandung mereka sendiri sebegitu kejamnya.” Jawab Feby yang juga heran dan iba saat menjelaskannya. “Tapi beberapa hari lalu, aku mendapat penjelasan dari kak Umam kalau Mela-lah yang membunuh ayah dan juga seluruh keluarga Immas kala itu, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Mela merubah ayah dan seluruh keluarganya sebagai wanita dan menjadikan mereka sebagai pelayan atau abdinya yang dengan setia selalu melayaninya.”

“Gile betul. Bukankah dengan begitu, kita juga terancam akan keberadaan Mela ada di kelompok kita?” tanya Andre yang sudah merasa ketakutan itu.

“Kata kak Umam sih, dia berada dalam kondisi yang stabil beberapa hari ini, jadi kalian tak perlu khawatir gitu,” jawab Feby tenang. “Lagipula, Mela bukanlah orang yang akan melukai sahabatnya sendiri. Itulah yang kak Umam dan aku yakini saat ini.”

Setelah selesai bercerita, Feby bergegas membangunkan Mela yang masih tak sadarkan diri itu. “Mel... Mel, bangun, Mel! Bangun...”

Syukurlah, Mela pun mampu membuka matanya. Dengan segera, Wulan menanyakan bagaimana Mela bisa ada di sini, namun Mela hanya menggeleng. Diapun juga tidak mengerti bagaimana dia bisa ada di sini.

“Mela, kami sudah mencarimu selama sepuluh hari penuh loh. Bahkan, kak Umam saat ini tengah mencarimu di desa Witiran belakang sana.” Kata Wulan memberitahu Mela kalau aku masih mencarinya.

Tiba-tiba Mela tersentak, dan mengangkat kerah baju Wulan. “Dimana Darling, dimana Darling saat ini??”

Dengan cepat, Feby dan yang lainnya berusaha melepaskan tangan Mela dari kerah baju Wulan, dan setelah beberapa menit, akhirnya mereka berhasil juga melepaskan tangannya dari kerah baju Wulan.

“Hey, Mel. Apa yang kau lakukan ke Wulan barusan, he?” bentak Agung seketika. Sepertinya dia sedikit terbakar emosi. “Apa kau tahu kalau selama sepuluh hari ini kami semua selalu mencarimu, dan inikah balasanmu pada kami??”

Mela pun akhirnya menunduk, menyesali perbuatannya barusan. Tapi bagaimana lagi, dia juga terlihat khawatir dan cemas padaku.

Tiba-tiba dari arah hutan Alas Ireng, terlihat ribuan orbs yang melesat pergi menuju ke suatu tempat di desa Witiran, seperginya orbs-orbs itu dari hutan Alas Ireng, tiba-tiba terjadilah gempa dan seluruh hutan Alas Ireng pohon-pohonnya ambruk ataupun terbakar, hingga menutupi jalan.

Mela pun merasakannya, dan langsung bilang. “Darling... darling dalam bahaya besar!”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close