Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 27) - Ikatan Batin Restu Wiraatmaja


JEJAKMISTERI - Tak berlangsung lama, tiba-tiba kejadian anehpun terjadi. Nenek Sumatri yang dipastikan sudah tak bernyawa itu, tiba-tiba kepala dan organ-organ dalamnya terlepas dari tubuhnya. Membuatku bergidik ngeri sekaligus ingin muntah.

Ternyata benar rumor itu kalau...

Nenek Sumatri adalah sesosok Palasik!

“Akhirnya kau menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya, Sumatri,” ujar pak Hendro memunculkan senyum liciknya. “Namun jangan harap kali ini aku akan melepasmu seperti ayahku dulu. Karena aku lebih bengis daripadanya,”

“Hihihi... jangan harap kau bisa mengalahkanku, Hendro!” sahut kuyang Sumatri itu dengan tawa remehnya.

Dan akhirnya pertarungan mereka berdua di mulai. Pak Hendro dengan keris pusakanya berhasil beberapa kali menusuk-nusukan keris ke tubuh kuyang itu. Kuyang Sumatri juga sama. Dia beberapa kali berhasil melancarkan serangannya sampai mengenai tubuh pak Hendro.

Pertarungan ini terlihat seimbang di kedua sisi. Sampai aku melihat ada gerakan mencurigakan dari kuyang Sumatri itu. Dia seperti melambat dan membiarkan dirinya terkena serangan bertubi-tubi dari pak Hendro.

Dalam keadaan bengong, memperhatikan pertarungan mereka berdua yang seru, tiba-tiba kuyang Sumatri melesat mendekatiku sampai 60 cm dari mukaku.

Dengan senyum liciknya, dia bilang, “Hihihi... kau sudah terlambat, cu! Gadis itu sudah menjadi wadahku yang selanjutnya. Dia telah mewarisi seluruh ilmu kanuraganku. Hihihi...”

Aku pun segera menoleh ke arah Cici. Sudah kulihat badan dari kuyang Sumatri itu ternyata secara pelan-pelan bergerak sendiri, walaupun tanpa kepala dan organ tubuh lainnya. Tangannya terus-terusan menyentuh dadanya sambil mengalirkan sebuah energi hitam yang tak kasat mata.

Dalam keadaan demikian, sajadah hijau yang kusimpan di tas ranselku, langsung keluar dan membelit kuyang Sumatri itu, dan tak lama kemudian, kuyang itu meledak, hancur berkeping-keping. Sementara itu, pak Hendro yang sempat terkecoh, menebas tubuh nek Sumatri yang tanpa kepala dan organ-organ dalam itu sampai hancur berkeping-keping pula.

“Dasar nenek busuk,” umpat pak Hendro geram. “Tak kusangka dia akan memikirkan cara itu untuk mewariskan ilmunya ke gadis ini!”

Tak mau menunggu lama, dan tak punya pilihan lain, pak Hendro pun segera mengayunkan kerisnya untuk menebas tubuh Cici yang masih tak sadarkan diri itu. Akupun bergegas menghalanginya, sehingga tebasan keris Naga Kembang itu menyayat tangan kiriku sampai berdarah-darah.

“Apa yang kau lakukan!?” tanyanya geram. Dia menatapku layaknya sudah ingin membunuhku saja. “Gadis ini sudah tak tertolong lagi. Jika aku tidak membunuh gadis ini sekarang juga, maka dia akan membawa teror yang jauh lebih berbahaya pada siapapun, bocah!!”

“Aku tak bisa membiarkanmu untuk melukai temanku! Dia masih hidup, tau!” jawabku yang berani membentak kepada pak Hendro saat itu.

Pak Hendro yang waktu itu geram karena ada yang coba menghalanginya, bergegas mendekatiku dan menjambak rambutku dan menghajarku dengan pukulan-pukulan kegeramannya. Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah bertahan akan pukulan demi pukulan yang dilakukan oleh pak Hendro padaku.

Tak beberapa lama kemudian, Cici yang semula diam, tiba-tiba mengerang-erang seperti kesakitan. Dia seperti ingin mencekik dirinya sendiri. Dia meronta-ronta yang dengan itu memaksa kami untuk menenangkan dirinya.

Sajadah hijau kembali melesat, membungkus lehernya, yang dengan itu, Cici kembali tenang. Namun di dahinya tiba-tiba muncul sebuah simbol aksara yang sama sekali tak kumengerti. Kata pak Hendro, itu adalah sebuah bukti kalau Cici telah menjadi penganut ilmu palasik.

Tepatnya Ratu Palasik.

Tidak ada yang bisa kulakukan saat itu untuk menolongnya. Aku sempat ketakutan untuk menceritakan semua ini kepada teman-temanku yang lain, terlebih Andre. Dengar-dengar sih, Andre dengan Cici saling berpacaran.

Kemudian, dari semak-semak muncul tiga orang jawara yang ternyata adalah penjaga keluarga Wiraatmaja. Pak Hendro pun memerintahkan mereka untuk membawaku, Cici, dan Rizal untuk ikut bersamanya.

Tak punya pilihan lain, akupun menurutinya.

“Aku dan yang lain mau di bawa ke mana?” tanyaku yang waktu itu dongkol karena shok mendapati apa yang telah terjadi dan menimpaku. Ketiga jawara sudah mengeluarkan parangnya. “Apa kalian akan membunuhku?”

Pak Hendro sedikit menoleh ke arahku. “Apa maksudmu, bocah? Meski keluarga kami terkenal akan kebengisannya, namun kami tak bisa sembarangan untuk membunuh orang!”

“Sebenarnya apa yang terjadi di antara keluarga Raden Hendro Wiraatmaja dengan nek Sumatri. Apakah kalian punya dendam pribadi?” tanyaku yang masih dalam keadaan kalut. “Kalau kuingat-ingat, nek Sumatri pernah mengatakan kalau ayah Raden, yaitu Herman Wiraatmaja pernah membantai anak dan cucunya,”

“Hmph, ceritanya panjang, nak! Yang bisa kukatakan saat ini adalah nini Sumatri itu pernah menjadi pengasuh bayi di keluarga kami. Dan dia bekerja cukup lama, yaitu lima belas tahun.” Jawab pak Hendro dengan nada yang kurang mengenakkan. “Sampai saat dia berniat untuk menjadikan kakak perempuanku, Irene Wiraatmaja sebagai wadal untuk menyempurnakan ilmu palasiknya. Dan rencananya itupun berhasil, kakakku tewas di tangan nenek sialan itu.”

“Lalu?”

“Sebelumnya kami tidak ada yang menduga kalau nenek tua yang sudah melayani keluarga kami selama lima belas tahun itu tega menghianati kami. Dan selanjutnya, kau pasti sudah tahu, bukan? Kami menggorok leher anak dan cucunya untuk balas dendam sekaligus mencegah nenek tua itu mewariskan ilmu palasiknya ke anak keturunannya,”

***

Setelah berjalan menyusuri jalan makadam cukup jauh, kami akhirnya sampai di villa keluarga Wiraatmaja. Di sana, aku dipaksa untuk menghadap ke aula utama villa yang di sana sudah ada seorang kakek-kakek berusia sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh tahunan juga beberapa orang gadis cantik dan pemuda yang ganteng.

“Oh, dia ini toh orang yang berasal dari masa depan, seperti apa yang kau lihat di dalam mimpimu, Restu?” tanya kakek tua itu yang ternyata dia adalah Raden Herman Wiraatmaja, ayah dari pak Hendro. “Melihat penampilan dan wajahnya, memang benar-benar berbeda dari orang-orang yang pernah kita temui di masa ini,”

“Iya, kakek. Dia orangnya,” jawab Restu Wiraatmaja dengan kalem dan penuh hormat ke kakeknya itu. “Dia adalah orang yang tepat untuk mengetahui siapa yang mempunyai aura membunuh yang bahkan sampai dirasakan oleh seluruh desa Witiran beberapa hari lalu,”

Tiba-tiba Ayu menyela ucapan Restu. “Apa kau yakin, Restu? Kita harus benar-benar yakin kalau dia takkan membelot dari kita nantinya!”

“Iya, itu benar, kak. Oleh karena itu, untuk memastikannya, maka dia harus jadi pengantinku.” Jawab Restu dengan memunculkan senyum lebar indahnya. “Hai pemuda, apa kau bersedia untuk menikah denganku dan jadi pengantinku?”

Mendengar tawaran itu, aku dengan halus menolaknya. Pasalnya aku sudah bertunangan dan selain itu, aku memikirkan apa yang dikatakan kyai Abdurrahman padaku beberapa hari lalu.

“Maaf, Nona Restu, saya tidak bermaksud lancang atau semacamnya, namun saya dirasa tak pantas menerima tawaran berharga itu. Lagian, saya juga sudah bertunangan,” jawabku dengan sedikit menundukkan badan memberi penghormatan penuh padanya.

Restu ketika mendengar jawabanku itu langsung tersentak kaget. Dipikirnya, tiada seorang lelakipun yang sanggup menolak tawaran indahnya tersebut, karena sudah banyak pemuda-pemuda ganteng dan kaya yang datang dari berbagai penjuru desa dan kota yang siap melamarnya.

Penolakan itu juga membuat Raden Herman geram. Dia pun menyuruh salah satu penjaga untuk memancungku di depan villa.

“Kurang ajar, kau bocah! Kau berani menolak keinginan cucuku. Padahal tidak ada seorang lelakipun yang sanggup menolak ajakan cucuku barusan. Tau!!” kek Herman itu murka sambil menunjuk-nunjukku. “Penjaga, cepat kalian pancung pria ini di depan villa, biar masyarakat sini bisa melihat pecundang ini!!”

“Hentikan, kek! Biarkan dia untuk tinggal di sini dulu selama beberapa hari. Dan jika dia tetap bersikeras, maka dirikulah yang akan memancung kepalanya,” kata Restu dengan nada mengancam.

Aku tak bisa apa-apa untuk menolak tawaran Restu yang ini. Setidaknya untuk beberapa hari ini aku akan selamat dari hukuman pancung.

Aku pun diajak berkeliling oleh Restu. Dia sepertinya ingin semakin mengenalku dan mendekatkan hubungan kami. Tentu saja aku tak sanggup menolaknya.

“Ah, terima kasih kau telah menolak lamaranku, pemuda ganteng. Kalau tidak, kau bakal jadi tumbal untuk kejayaan keluarga ini,” ujar Restu tiba-tiba saat kami berdua sampai di taman belakang villa. “Lagian, kau bukanlah tipe-ku. Kalau kau tadi menerima tawaranku, pastinya setiap hari aku akan direndung rasa sedih dan penyesalan.”

“Lalu, kenapa tadi kau mengatakan hal itu kalau kau tidak mencintaiku, Restu?” tanyaku keheranan. Pastinya Restu punya alasan tersendiri untuk menyembunyikan perasaannya.

“Itu harus kulakukan, karena sebentar lagi sudah jatuh tempo dan tuan kami, menginginkan tumbal seorang pemuda yang dirasa cocok, dan dirimulah orang yang cocok itu, pemuda!” jawab Restu dengan nada sedikit resah. “Jika tidak menumbalkan seseorang saat bulan purnama minggu depan, kami semua akan mati oleh demit pesugihan itu!”

Aku terdiam cukup lama mendengar kata-kata Restu barusan.

Sampai...

“Pemuda, gimana kabar Rizal. Apa dia baik-baik saja?” tanya Restu dengan nada dingin dan penuh kekhawatiran. “Sudah lama aku ingin menemuinya, namun ayah dan kakekku selalu mengawasiku ketika aku ingin keluar dari villa.”

“He, bukankah Rizal tadi dibawa ke sini juga oleh pak Hendro? Apa kau tidak tahu?” jawabku yang kaget mendapati kalau Restu tidak tahu kalau Rizal telah dibawa ke keluarga ini. “Kemaren malam dia ikut membantuku untuk menolong temanku dari ritual ilmu palasik dari nek Sumatri. Sayangnya, ia langsung pingsan setelah terkena pukulan dari tongkat nenek tua sialan itu!”

“Hee, benarkah itu? Itu berarti sekarang ini dia sedang ada di penjara bawah tanah. Aku harus menemuinya sekarang,” Restu bergegas meninggalkanku sendirian di taman itu. “Untuk temanmu itu, dia sudah menjadi Ratu Palasik sekarang. Kau harus lebih berhati-hati padanya sekarang! Padahal kau bisa menyelamatkan gadis itu dengan membunuhnya kemaren,”

Begitu Restu pergi.

Tiba-tiba aku meneteskan air mata. Aneh, air mata apa ini?

“Dia seperti seorang gadis yang pernah kukenal dan kucintai dulu. Seseorang yang pernah membuatku membuka mata akan keindahan dunia. Seseorang yang selalu ada di sampingku dan mendukungku,” gumamku pelan dan sedih. “Astrid... ah, jangan-jangan dia benar-benar ibunya Astrid.”

***

Waktu berjalan cepat, cahaya mentari yang menyengat di waktu siang, kini telah menutup mata sehingga digantikan oleh bulan. Selama itu juga aku terus berada di dekat Cici yang masih terbaring dan belum sadarkan diri itu.

Sempat aku kepikiran mengenai teman-temanku yang lain, yang entah sekarang ada di mana dan juga Mela. Aku terus berpikir-pikir mengapa dia meninggalkanku di kediaman kak Ratih saat itu. Apa aku telah berbuat sesuatu yang membuatnya kesal?

“Cici... sekarang apa yang harus kukatakan pada teman-teman mengenai kondisimu saat ini? Mengapa setiap nasib buruk selalu terjadi kepada orang-orang yang berada di sisiku. Apa ini kutukan?” gumamku lirih memandang ke arah Cici yang masih terlelap. “Seharusnya aku tak memaksakan dirimu untuk mengikutiku ke desa ini, Ci. Memang seharusnya aku harus menyelesaikan semuanya sendirian,”

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dan mengerikan akan terjadi. Ku coba diriku untuk mengamati apa yang bakal terjadi di sini, namun tetap tak bisa, karena ilmu kanuraganku telah disegel.

Tak lama kemudian, aku melihat bola api berwarna merah darah seukuran kepala manusia terbang melesat menuju ke aula utama villa. Tak salah lagi, itu adalah santet kiriman yang di masaku sudah punah. Santet Loro Geni.

Tak mau mengambil resiko, dan tahu kalau keluarga Wiraatmaja sudah mengantisipasi serangan ini, aku bergegas untuk duduk bersila dan membacakan doa-doa penangkal santet dan doa pelindung dari angkara murka.

Untunglah, si penyantet itu tergolong lemah, sehingga santetnya bisa kuatasi dengan doa-doaku saja, dan keluarga Wiraatmaja tak perlu turun tangan mengatasi ini. Namun, ketika aku pikir semua sudah selesai, muncul bara api yang langsung menghantamku.

Aku menjerit kesakitan, bara api itu mulai membakar seluruh tubuhku, setelah berhasil membakar seluruh pakaianku sampai jadi abu. Namun alhamdulillah, tiba-tiba sajadah hijau yang membelit leher Cici itu bergerak dan langsung membelitku, dan anehnya lagi, bara api dari santet itu langsung padam.

Setelah selesai, sajadah hijau itu kembali membelit leher Cici.

Tak mau ada yang melihatku dalam kondisi telanjang seperti ini, aku bergegas mengambil pakaian gantiku di tas, dan segera kukenakan. Setelah selesai, aku bergegas untuk keluar dan memberitahu Restu soal ini.

Tak kutemukan Restu di mana-mana, bahkan aku sempat bertanya ke Ayu, kakaknya, namun dia juga tak melihat Restu dari tadi. Karena sempat teringat kalau Restu berkeinginan untuk menjenguk Rizal di penjara bawah tanah, aku putuskan untuk segera ke sana.

Yang jadi masalahnya, aku tak tahu letak penjara itu berada. Namun, syukurlah kak Ayu bersedia menemaniku untuk mencari penjara itu.

Dan tiba-tiba puluhan, bahkan ratusan bola api pun pada bermunculan. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang kuyakini adalah banyak orang yang merasa sakit hati dengan keluarga Wiraatmaja ini.

***

Sementara itu, di aula utama, kek Herman sedang berdiskusi dengan anggota keluarga lain tentang masalah ini. Mereka menduga kalau serangan santet ini berasal dari sekelompok sekte pemuja setan, di sana sering dikenal sebagai sekte Getih Ireng.

Memang sudah lama sekte itu membenci keluarga Wiraatmaja, apalagi kemaren, Pak Hendro berhasil membunuh salah satu pemimpin mereka. Nek Sumatri.

“Hendro, penyerangan sekte Getih Ireng sudah tak bisa kita biarkan. Kalau mereka terus menyerang seperti ini, maka keluarga ini lama-kelamaan bakal musnah oleh sekte sesat itu!” gerutu kek Herman ke pak Hendro karena kurang sigap dan hanya bersikap defensif.

“Tenang saja, ayahanda. Aku sudah memprediksi hal ini setelah diriku menghabisi salah satu pemimpin mereka. Nini Sumatri kemaren malam,” jawab pak Hendro sembari tangannya ia tekuk di belakang punggungnya sembari menatap jendela luar. “Jadi, semua tanggung jawab ini ada dalam pundakku. Setelah serangan malam ini berakhir, aku sendiri yang akan memimpin untuk menghancurkan sekte pemuja setan itu!”

Kek Herman terkejut mendengar kalau pak Hendro membunuh nek Sumatri. “Apa? Kau membunuhnya? Kenapa? Apa kau tak tahu akan konsekuensinya, Hendro!?”

“Itu tak bisa dihindarkan, ayahanda. Nini Sumatri berniat untuk mewariskan ilmu palasiknya kepada seorang gadis yang datang dari masa depan dengan pemuda itu. Aku tak bisa mengambil resiko apabila gadis itu akan membunuh kita semua nanti.” Jawab pak Hendro tenang dan kalem, seolah tak akan terjadi apa-apa.

“Lalu, apa yang akan kita lakukan terhadap gadis itu, Hendro?” tanya kek Herman memastikan akan sesuatu.

Mendengarnya, Pak Hendro langsung memunculkan senyuman licik dan menyeramkan. “Begitu dia menjadi Ratu Palasik, kita akan memanfaatkannya untuk membunuh semua anggota sekte pemuja setan itu!”

***

Tiba-tiba dari luar, terdengar suara teriakan yang begitu mengerikan dan mengancam. “Herman, Hendro... keluar kalian!!!”

Ternyata suara itu berasal dari seorang gadis berusia lima belas tahunan yang bernama Surti. Gadis itu datang dengan membawa tujuh sosok genderuwo. Dan setelah diselidik, Surti ini adalah adik dari Rizal yang saat ini sedang ditawan oleh keluarga Wiraatmaja di penjara bawah tanah.

Mendapati suara teriakan itu, seluruh penghuni villa keluarga Wiraatmaja keluar, ingin tahu siapa yang secara berani terang-terang ingin menantang keluarga paling berpengaruh di daerah itu.

“Oh, ternyata kau, Surti. Sudah berani kau menginjakkan kaki di sini setelah beberapa tahun lalu kami jadikan pemuas nafsu syahwat penjaga-penjaga di sini,” kata Pak Hendro mengejek. Sepertinya mereka berdua memang punya sejarah satu sama lain. “Apa kau masih belum puas akan kekalahanmu dua tahun lalu, cah ayu?”

Surti pun meludak ke samping mendapati penghinaan itu. “Cuih! Amit-amit, Hendro busuk! Aku tak ingin memulai pertarungan saat ini kalau kau bersedia untuk melepaskan kakakku,”

Tentu saja seluruh keluarga Wiraatmaja tertawa mendengar permohonan itu. “Hahaha ... lucu, lucu! Kalau kau yakin mampu melawan kami, silahkan saja!”

Dengan segera, Surti mengayunkan tangannya ke depan, memberi isyarat kepada ketujuh genderuwo itu untuk menyerang. Dan tanpa basa-basi lagi, terjadilah pertarungan seru antara Surti melawan keluarga Wiraatmaja.

Saat itu, Surti berhadapan head to head melawan pak Hendro kembali, sementara yang lain melawan para genderuwo-genderuwo itu. Yang saat itu masih terduduk santai hanyalah kek Herman semata. Sepertinya ia ingin mengukur ilmu kanuragan si Surti itu sebelum terjun ke medan pertarungan untuk membantu anak-cucunya.

Tak berlangsung lama, terdengarlah suara ledakan yang begitu keras, yang terjadi di tengah pertarungan Surti dengan pak Hendro. Dengan mudahnya, si Surti mampu menendang pak Hendro sampai terpental dan memuntahkan banyak darah.

Iya, kemampuan si Surti saat ini tak bisa dianggap remah.

“Hahaha... bagaimana dengan ilmu kanuraganku saat ini, Hendro!? Kau pasti tercengangkan melihat perkembanganku yang sangat pesat setelah pertarungan kita dua tahun lalu!!” tawa Surti menghina pak Hendro yang sudah hampir sekarat itu. Kek Herman masih memandang si Surti itu tanpa melakukan apapun.

Di saat yang bersamaan, ketujuh genderuwo itupun juga berhasil mengalahkan sembilan orang dari keluarga Wiraatmaja. Membuat si Surti semakin tinggi hati.

Tiba-tiba, tak disangka dan tak terduga, kek Herman itu langsung melesat cepat, secepat kilat yang langsung menebas kepala tujuh genderuwo itu dengan tongkatnya. Tak mau buang-buang waktu, di saat si Surti belum siap, kakek tua itu langsung memutilasi tubuh Surti jadi lima bagian.

Kemudian, kek Herman kembali ke posisinya semula. Seolah tidak pernah bergerak selangkahpun dari tempatnya semula.

Namun, beberapa menit kemudian kelima tubuh si Surti tiba-tiba bergerak sendiri dan langsung kembali menyatu tanpa bekas luka apapun. Bahkan dia jauh lebih segar dari sebelumnya. Sementara itu, dilihatnya para penjaga tubuhnya sudah kering kerontang, seperti hawa kehidupannya disedot.

“Hahaha... kau takkan bisa membunuhku, kakek tua!”

Dengan tanpa mengurangi ketenangannya, kek Herman pun bergumam. “Oh, ajian serat jiwa dan pancasona ya? Hohoho...!”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close