Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 26) - Ilmu Hitam Palasik dan Keluarga Wiraatmaja yang Bengis


JEJAKMISTERI - Setelah berpamitan dengan Rizal, kami berdua, aku dan Cici meneruskan perjalanan untuk mencari teman-teman kami yang saat ini telah memasuki desa Witiran, desa tumbal jika lebih spesifik menyebutnya.

Sesampainya di sana, kami lihat desa ini seperti desa pada umumnya, tak ada yang aneh dan mencurigakan. Di pasar banyak sekali penjual dan pembeli yang melakukan jual-beli dengan normal, di beberapa tempat ada beberapa ibu rumah tangga yang membuka toko dan warung, dan sebagian yang lainnya bertani dan berternak seperti biasanya.

Justru hal inilah yang begitu mengganjal di hatiku.

Tiba-tiba di salah satu toko, ada seorang nenek-nenek yang melambai ke arah kami begitu sampai di depan rumahnya. Tak merasa aneh dan curiga sedikitpun, Cici menghampiri nenek itu, dan aku mengikutinya dari belakang sembari terus waspada.

“Kalian mau kemana, cucu?” tanya nenek berusia 69 tahun bernama Sumatri itu ramah. “Aku tahu kalau kalian berasal dari luar desa, sebaiknya kalian mampir dan istirahat dulu di rumah nenek dan baru melanjutkan perjalanan esok hari,”

Aku langsung menyerobot apa yang akan Cici katakan, “Maaf, nek! Kita tak bisa. Kami berdua harus segera mencari teman-teman kami di sini,”

“Oh, begitu,” jawab nenek itu menyeringai. “Kalau begitu, bagaimana dengan kamu, cah ayu?”

Tak ada petir, tak ada hujan, tiba-tiba Cici mengiyakan permintaan nenek itu. Tatapannya seperti kosong, bahkan matanya tak berkedip sama sekali.

Dia seperti terkena guna-guna.

“Iya, nek. Saya akan tinggal di sini,” jawab Cici tiba-tiba. “Kalau kakak nggak suka, kakak bisa pergi kok!”

Karena tak ingin meninggalkan Cici sendirian bersama dengan nenek mencurigakan itu, dengan terpaksa aku menarik kata-kataku barusan dan sepakat untuk menginap di rumah nenek itu sampai besok.

Kami memasuki rumah itu, yang terlihat seperti rumah pada umumnya, ya walaupun di dalam rumah banyak hal-hal klenik seperti keris, patung dan topeng menyeramkan, dan lain-lain. Serem abis dah!

“Gini lo, cu. Aku mengajak kalian berdua tinggal di sini karena nenek di sini tak punya keluarga lagi untuk menemani nenek di usia yang senja ini. Jadi, begitu melihat ada orang lain yang tidak dari desa datang ke mari, nenek bersikeras untuk menawari kalian tempat tinggal, gratis pula!” kata nenek itu menjelaskan maksudnya tadi. Setelah itu, nenek itupun pergi, katanya sih ke dapur untuk menyiapkan makanan.

Dan inilah saat yang tepat untuk mengajak Cici ngobrol.

“Ci, apa-apaan sih kamu? Bukankah kita sudah diwanti-wanti untuk tidak menerima tawaran apapun dari penduduk desa sini,” kataku lirih yang sedikit kesal dengan Cici. “Kalau terjadi apa-apa, aku tak bisa melindungimu loh!”

“Tenanglah, kak Umam. Nenek itu baik kok. Lagian di rumahnya tidak ada yang mencurigakan sama sekali,” jawabnya yang seolah tidak terjadi apa-apa.

Justru omongan Cici barusan menimbulkan keresahan dan kecurigaan kalau nenek tua itu telah mengguna-guna Cici.

Waktu itu, aku dan Cici ditawari untuk menempati kamar yang sama, yaitu kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu. Sementara nenek tua itu berada jauh dibelakang, sekitar dapur katanya.

Dari siang hingga malam aku tak pernah melihat nenek tua itu keluar dari kamarnya, semakin membuat keresahan dan kecurigaanku tak tertahankan. Setiap kali aku ajak Cici untuk meninggalkan rumah itu dalih-dalih mengajaknya jalan-jalan, tetap saja dia menolak. Hal itu membuatku harus menyelidiki ada apa di sini.

Ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam, dan Cici telah tertidur pulas, aku berinisiatif untuk menyelidiki akan hal ini. Begitu aku keluar dari kamar, semua pusaka-pusaka yang berupa keris, tungku ritual, dan sebagainya tiba-tiba hilang tak berbekas.

Apa nenek tua itu sedang melakukan ritual? Pikirku.

Aku pun terus menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah itu, berharap ada sebuah petunjuk akan keganjilan atas nenek dan rumahnya ini. Lagi-lagi yang kutemui hanyalah kehampaan, kekosongan. Tidak ada hal yang mencurigakan di setiap ruangan yang ku jelajahi, membuatku sedikit berpikir kalau diriku terlalu parno.

Dan ketika aku menuju ke kamar nek Sumatri, kejadian ganjil yang aku curigaipun terjadi. Dari dalam kamar itu, aku mendengar suara seperti binatang yang sedang mengunyak-ngunyah daging dengan lahapnya.

Aku sedikit bergidik ngeri saat ingin membuka kamar itu. Tak berhenti sampai di situ, begitu aku membalikkan badan, sesosok hitam besar yang penuh bulu langsung memegang kedua kakiku dan menghantamkan tubuhku ke lantai sampai diriku tak sadarkan diri.

***

Keesokan paginya aku tersadar di kamar dengan rasa masih pusing dan tubuhku terasa sakit sekali. Kulihat Cici sudah bangun kala itu. Dia langsung menatapku penuh kegeraman, yang tidak bisa kutebak karena apa.

“Kak, kenapa kakak kemaren pingsan di depan kamar nek Sumatri?” tanyanya sewot. “Kakak nggak macam-macam kan saat tinggal di sini? Nek Sumatri itu sudah berbaik hati mau nampung kita di sini, harusnya kita tahu diri lah,”

“Cici, dengar ya. Ada yang aneh dengan nenek dan rumah ini. Aku hanya melakukan tugasku sebagai penanggung jawab di sini, dan diriku tak ingin hal-hal buruk terjadi pada kalian semua.” Jawabku membela diri. “Aku kemaren mendengar suara binatang buas sedang mengoyak-oyak daging, begitu mau kubuka, tiba-tiba dari belakang muncul genderuwo yang langsung membantingku ke tanah sampai tak sadarkan diri. Paham?”

“Alah, kakak pasti bohong, ‘kan? Mana mungkin nenek baik hati seperti itu punya ingon-ingon kaya gituan,” kata Cici masih ngeyel, bikin kesel aja. “Asal kakak tahu, yang membawamu kemari adalah nenek yang kau tuduh itu. Tau!”

Tak mau berdebat lagi yang hasilnya sudah pasti, aku pun hendak keluar untuk mencari angin segar. Namun tak jadi karena dikejutkan oleh ketukan pintu yang langsung disambar oleh Cici. Ternyata itu adalah nenek Sumatri.

“Gimana, cu, kondisimu sudah baikan?” tanya nek Sumatri itu ramah padaku. “Kalau belum, nenek akan carikan mantri di sekitar sini. Mau?”

“Eh, nggak usah, nek. Saya sudah baik-baik saja kok.” Jawabku yang menolak pertolongan nenek itu dengan lembut dan ramah pula.

“Oh ya, cu. Nanti kalian nginep di sini lagi, yah?” pinta nek Sumatri tiba-tiba. “Karena nanti adalah malam jum’at kliwon dan diakhir bulan, warga di sini akan mengadakan upacara aneh, jadi lebih aman jika kalian ada di sini malam ini. Bisa?”

Tentu saja aku menolaknya. Karena aku sudah memastikan memang ada yang aneh dan disembunyikan oleh nek Sumatri itu. Aku tak bisa mengambil resiko untuk terus di tempat ini dan membahayakan nyawa kami berdua.

Belum juga aku menjawab, tiba-tiba Cici main serobot saja. “Boleh, nek? Kalau diperbolehkan, kami setuju-setuju saja. Iyakan, kak?”

Tentu saja kala itu aku hanya mesam-mesem saja, karena percuma juga mengajak Cici untuk menolak ajakan nenek tadi. Dengan berat hatipun, aku mengangguk pertanda setuju. Mungkin dengan ini aku masih punya kesempatan untuk membongkar keanehan-keanehan lain di rumah ini.

Setelah puas, nenek itu keluar dari kamar dan berjanji akan membawakan makanan dan minuman yang kami minta. Kami waktu itu minta nasi kuning dan juga air putih biasa, dan dengan entengnya pula, nenek itu menyanggupi.

Setelah ia pergi, aku bergegas keluar rumah untuk mencari udara segar, sekaligus jalan-jalan supaya tubuhku yang sakit kemaren, biar cepat sembuh. Tak terduga, kalau saat itu aku bisa bertemu dengan Rizal kembali yang lagi asyik mencari rumput untuk kambing-kambingnya.

“Lho, Rizal. Kamu merumput yah?” tanyaku yang langsung mengagetkannya.

“Oh, tuan Umam. Iya, ini saya lakukan untuk memberi ternak kambing saya,” jawabnya lugu. “Kok tuan Umam masih di sini? Gimana kabar dengan teman-temannya?”

Aku langsung menghela napas panjang. “Ya itulah, yang kini membuatku resah, dek Rizal. Belum lama kami berdua sampai di sini, sudah terkena sandungan yang begitu berat,”

“Sandungan? Sandungan apa, tuan?”

“Itu tuh. Kamu lihat di ujung sana ada sebuah rumah. Di sana ada seorang nenek yang bernama Sumatri menawari kami untuk tinggal di rumahnya selama dua hari. Tentu saja aku langsung menolaknya karena curiga, namun temanku yang bernama Cici tak ada petir tak ada panas, langsung mengiyakan permintaan dari nenek itu, dan beginilah jadinya.”

“Astagfirullah, kakak tinggal di rumah nenek itu!? Kakak berani!?” sahutnya yang benar-benar tak percaya. “Pokoknya kalian berdua harus segera keluar dari rumah itu segera sebelum maghrib. Bahaya, kak, bahaya...”

“Iya sih, sebenarnya aku juga agak ganjil berada di rumah itu, namun aku tak bisa berbuat apapun untuk mengajak Cici keluar dari rumah itu. Aku takut kalau dia sedang berada di pengaruh nek Sumatri,” jawabku menjelaskan. “Memangnya siapa sih nek Sumatri itu?”

“Saya sih, nggak tahu persisnya kak. Namun kata orang-orang di sini ia mempunyai ajian kekal abadi. Ada pula yang berspekulasi kalau dia adalah kuyang, kak,”

Aku pun langsung bergidik ngeri mendengar cerita dari Rizal. Aku pun berencana untuk membongkar semua keburukan dari nenek tua itu supaya Cici bisa melihatnya sendiri. Dan dengan itu pula, aku minta ke Rizal untuk ikut membantuku supaya kami berdua bisa keluar dari rumah nenek itu.

Dan entah mengapa, dia setuju-setuju saja.

Sore harinya, aku habiskan sore itu untuk membaca koran-koran yang tergeletak di atas kursi ruang tamu. Nek Sumatri dan Cici saat itu sedang keluar sebentar karena ingin membantu nenek itu di ladang belakang rumah.

Di saat itulah, keganjilan-keganjilan terjadi. Ada sekelebat bayangan hitam yang keluar masuk kamar nek Sumatri. Aku biarkan saja, karena bayangan itu tak bersifat mengganggu.

Ku teruskan untuk membaca koran harian itu, sampai ada seorang nenek bungkuk yang berjalan dengan tongkat kayu yang sudah rapuh. Kupikir itu adalah nek Sumatri, namun setelah kutelisik, ternyata bukan.

“Pergi dari sini, anak muda! Nanti malam akan terjadi kekacauan di sini,” ujar nenek tua itu. “Bawa temanmu dan segera pergi dari sini, sebelum kau terkena kehancuran itu. Pergi! Pergi!”

Belum sempat aku bertanya apa maksudnya, nenek bungkuk itu sudah menghilang. Hal ini semakin membuatku parno dan berkeinginan untuk segera meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Namun apa dayaku, Cici masih bersikeras untuk menginap di sini lagi.

Aku harus gimana?

Tak lama kemudian, nek Sumatri dan Cici pun datang dengan membawa dua bungkus nasi kuning dan juga sebotol air mineral yang barusan mereka beli. Kami memakannya dengan lahap, dan selesai makan, kami ketiduran di kamar. Duh!

Ketika pukul sepuluh malam, dari jendela kamarku, terdengar suara ketukan-ketukan pelan yang langsung membangunkanku. Setelah ditengok, dia ternyata Rizal, membuatku merasa lega.

“Kak, kok dari tadi kakak belum keluar dari sini?”

“Maaf, tadi kakak sempat ketiduran begitu memakan nasi kuning yang diberikan oleh nenek tua itu.”

“Anu, kak. Saya membawa seseorang untuk ikut membantu kakak. Tapi sekarang ini dia sedang dalam perjalanan ke mari,” katanya memberitahu kalau ada seseorang yang berkeinginan menolong kami. Hatiku pun terasa lega. “Hm... Cici di mana kak?”

Aku langsung menoleh ke belakang, tepat di ranjang Cici. Tak kutemukan keberadaan gadis itu. Aku panik seketika. Ku suruh Rizal untuk mencari di luar rumah, sementara aku akan mencarinya di kamar milik nek Sumatri yang begitu misterius itu.

Barusan aku membuka pintu kamarku, langsung terpampang kaki raksasa berbulu warna hitam pekat yang langsung menendangku sampai terpental dan menghantam tembok dalam kamar. Untunglah saat itu aku tidak pingsan.

“Astagfirullah, kaget hamba, Ya Allah,” ucapku dalam kepanikan dan kesakitan itu.

“Hai manusia, jangan ganggu urusan tuanku. Jika kau tetap mengganggunya, maka aku tak segan-segan akan menghabisimu di sini dan sekarang juga. Paham!?” bentaknya menggelegar.

“He-he, memangnya siapa kau, genderuwo? Kau bukanlah Tuhanku yang memutuskan hidup juga matiku. Kau hanyalah demit yang setiap hari harus bermandikan dengan lumpur dosa karena keirianmu dengan Adam as,” jawabku santai menanggapi ancaman dari genderuwo itu. “Andaikata ilmuku tidak disegel, pastinya kau bukanlah apa-apa buatku, genderuwo!”

Aku kembali melangkah ke arah pintu, dan untuk kesekian kali selalu ditendang sampai terpental ke ujung kamar lagi dan lagi. Membuat tubuhku penuh dengan luka hantaman.

Tiba-tiba, aku mendengar suara orang berbisik ke arahku, “Bacalah doa pengusir jin dan sambitkan sajadah hijau yang kuberikan padamu ke arah demit itu!”

Aku bergegas untuk mengambil sajadah hijau di tas ranselku. Sesuai dengan yang dikatakan suara misterius itu, “Allahuma Raja Sulaiman!” aku membacakan doa lain pula. “A’UUDZU BI KALIMAATILLAAHIT-TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ,”

Setelah itu kutebas-tebaskan sajadah hijau itu ke tubuh genderuwo itu, dan akhirnya berhasil. Dia mengerang-erang kesakitan dan akhirnya berubah jadi abu yang terbawa angin.

Tak mau berlama-lama terbuai dengan kemenangan semu, aku bergegas menyusuri setiap kamar yang ada di rumah itu, dan sebanyak itupula aku tak berhasil mengetahui keberadaan Cici. Bahkan, ketika aku cek kamar nek Sumatri. Tak kutemukan Cici di sana, yang ada di sana hanyalah tulang belulang sapi dan benda-benda klenik berupa keris dan semacamnya.

Aku panik seketika tak mendapati Cici ada di kamar nenek tua itu. Dengan segera aku keluar dari rumah dan menemui Rizal. Dan dengan senang hati pula, dia mau menolongku mencari keberadaan Cici saat ini.

Dalam kepanikan itu, tiba-tiba suara misterius itu berbisik padaku lagi. “Bacalah doa Nabi Muhammad SAW saat ia hendak melakukan perjalanan saat Subuh. Insya’allah, Allah SWT akan menuntunmu ke arah tujuanmu,”

Dan tanpa ragu sedikitpun, akupun membaca doa itu. “Samma’a sami’un bihamdillah wa husni bala-ihi ‘alaina rabbana shohibna wa afdhil ‘alaina ‘aizan billahi minan nari.”

Dan tiba-tiba sajadah hijau yang kupegang, melayang-layang ke udara dan melesat jauh menuju ke belakang ladang nek Sumatri. Kami pun bergegas mengikuti ke mana sajadah hijau itu pergi.

Sesampainya di tempat sajadah itu, kami melihat pemandangan yang begitu mengerikan yang telah terjadi. Kulihat tubuh Cici yang pingsan dan setengah telanjang itu dibaringkan di atas altar yang begitu aneh dan mengerikan.

Tiba-tiba dari belakang, muncul nek Sumatri yang langsung menghantam kami berdua dengan tongkat kayunya. Padahal hantaman itu tidaklah keras, namun sudah mampu membuat kami terpental sejauh lima meter, bahkan Rizal pun langsung pingsan dibuatnya.

Itu menunjukkan seberapa kuat ilmu kanuragan dari nenek tua itu.

“Apa yang kau lakukan pada Cici, nenek tua!?” tanyaku penuh kegeraman.

“Hiihi... kau tak perlu khawatir, anak muda. Aku hanya mewariskan ilmu palasikku kepada gadis ini. Dia sangat cocok untuk mewarisi semua ilmuku. Hiiihi,” jawabnya dengan suara cekikikan yang begitu mengerikan. “Kau sudah terlambat seminggu jika kau berpikir bisa menghentikanku saat ini, anak muda!”

Kucoba diriku untuk berdiri lagi dan lagi, namun tak bisa. Entah mengapa tubuhku serasa lumpuh kala itu. Entah apa yang dilakukan nenek tua itu dengan tongkatnya barusan.

“Ayo bangun, bangun... bangun!!” paksaku pada tubuhku sendiri. “Bangun, ayo bangun...!!!”

Namun percuma saja. Tubuhku masih lumpuh. Sementara itu, kulihat nek Sumatri sedang membacakan jampi-jampi ritual untuk mewariskan ilmu palasiknya kepada Cici. Aku jelas-jelas tak tega padanya.

Dalam keadaan yang benar-benar tak berdaya, tiba-tiba dari kejauhan melesat sebuah keris yang langsung menembus tubuh nek Sumatri kala itu. Anehnya, nenek tua itu tidak langsung mati, padahal keris itu menancap langsung ke dadanya.

“S—Siapa di sana?” kata nek Sumatri sembari membalikkan badan, kulihat dia sudah terluka cukup parah. “Tunjukkan dirimu, pengecut!”

“Walah, walah, ternyata kau masih bersembunyi di desa ini ya, Nini Sumatri,” ujar pria misterius itu kejam. Dia layaknya seorang tokoh antagonis di dalam cerita novel. “Padahal ayahku sudah mengusirmu tiga puluh tahun lalu, namun kau masih berani menebar teror di desa ini. Dasar wanita laknat!”

Nek Sumatri tergagap-gagap melihat rupa bapak itu. Sepertinya mereka memang sudah mengenal satu sama lain. “Raden Hendro Wiraatmaja!?”

Dengan segera, orang yang bernama Hendro Wiraatmaja itu langsung menoleh ke arahku dengan tatapan sinis dan antipati padaku. Dan langsung, dia mengeluarkan lima paku yang langsung ia lemparkan ke arahku. Anehnya paku-paku itu tepat menancam ke setiap sendi-sendiku.

Walaupun terasa begitu menyakitkan sampai diriku berteriak keras, namun berkat itu, aku bisa bergerak lagi. Syukurlah, pikirku.

“Hmph, Nini Sumatri, kau masih berani membangkang ke keluarga Wiraatmaja setelah tiga puluh tahun lalu anak dan cucumu kami bantai, he?” ujar pak Hendro itu keji. Dia benar-benar seperti yang dikatakan kyai Abdurrahman padaku. “Padahal ayahku masih berbaik hati untuk tidak menghabisimu saat itu. Inikah balasan yang kau berikan padanya?”

“Cuih! Sampai kapanpun, aku takkan menerima kebaikan busuk Raden Herman Wiraatmaja itu! Kalian itu lebih buruk daripada iblis,” jawab nek Sumatri mengumpat. Sembari meludah ke muka pak Hendro. “Harusnya lebih baik kalian bunuh aku juga, daripada aku harus menerima belas kasihan dari keluargamu itu, Hendro!!”

Dengan segera, pak Hendro langsung mengambil kerisnya kembali dan menebas leher nenek tua itu. Dan tentu saja nenek tua itu langsung tergeletak, bersimbah penuh dengan darah.

Tak berlangsung lama, tiba-tiba kejadian anehpun terjadi. Nenek Sumatri yang dipastikan sudah tak bernyawa itu, tiba-tiba kepala dan organ-organ dalamnya terlepas dari tubuhnya. Membuatku bergidik ngeri sekaligus ingin muntah.

Ternyata benar rumor itu kalau...

Nenek Sumatri adalah sesosok Palasik!

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close