Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 25) - Desa yang Hilang Arah Mata Angin


JEJAKMISTERI - Setelah meninggalkan desa Lenggor Jati, kami memutuskan untuk pergi ke desa selanjutnya. Yaitu desa Witiran. Konon katanya di sana dulunya adalah pusat penyebaran agama Islam di kawasan itu, namun sekitar tiga puluh tahunan ini, desa itu berubah menjadi desa tumbal karena saking banyak penduduknya yang melakukan persekutuan dengan jin, syaitan, dan iblis. Begitulah cerita dari kak Ratih.

Selain itu, setelah bertanya-tanya sama penduduk di perbatasan desa Lenggor Jati, sudah banyak para pemuka agama Islam, Kristen, dan Hindu yang ditugaskan ke sana untuk menyebarkan agama-agama mereka supaya meninggalkan kebiasaan musyrik mereka, namun tiada hasil. Bahkan pemuka-pemuka agama itu dibantai dan dibunuh di depan tempat peribadatan mereka masing-masing.

Dan karena itulah, sampai saat ini, tak ada siapapun dari pemuka agama yang berani menginjakkan kaki ke desa itu.

Namun demi mencari keberadaan Mela yang dikabarkan baru kemaren melintasi desa itu, dan karena misi kami untuk saling menolong sesama, jadi mau tak mau, kami harus berangkat ke sana.

“Duh, lamanya,” keluh Andre. “Sesampainya di sana, pokoknya aku harus cari tukang urut deh,”

“Tidak! Apa kau tidak mendengar apapun yang dikatakan kak Ratih dan kak Wisnu soal desa itu? Lagian kita harus segera mencari Mela karena ada seorang petani yang baru keluar dari desa itu mengatakan kalau dia melihat seorang gadis yang penampilannya sama dengan Mela.” Jawabku menolak usul dari Andre.

“Ya mau gimana lagi?” Andre menerima. “Lagian kamu itu kan pemimpin tim ini? Semuanya kuserahkan padamu dah, Leader!”

“Kak Umam, apa kakak yakin ingin mencari keberadaan Mela di desa itu? Setelah mendengar ucapan dari kak Ratih kemaren, sepertinya rumor yang kakak dapat hanyalah hoax semata deh,” kata Cici tiba-tiba nimbrung. Ya aku tahu kalau saat ini dia merasa curiga dan semacamnya. “Untuk memperluas pencarian, bagaimana kalau kita berpencar saja menjadi tiga kelompok. Gimana, kak?”

Aku sempat berpikir dengan saran dari Cici tadi. “Hm... apa kalian yakin? Jikalau di antara kalian ada yang sanggup melindungi kalian aku setuju-setuju saja. Jika tidak... maka sebaiknya tidak usah!”

Mereka saling pandang-memandang, dan tak kusangka kalau mereka bersikeras untuk itu. Dasar mereka ini memang bodoh atau keras kepala.

“Kami nggak masalah kok. Kami bisa jaga diri!” kata Wulan dengan mantap, diikuti yang lainnya. Yang terdiam saat itu tentu aku dan Feby yang menjadi penanggung jawab mereka semua.

“Hah, baiklah kalau itu mau kalian. Tapi biar kami yang atur pembagian regu kalian ya,” jawabku sembari menghela napas. “Aku seorang diri, Feby dengan Cici, Agung dengan Andre, Siti dengan Wulan. Kalian sepakat?”

Tanpa ragu maupun menolak sedikitpun, mereka mengiyakan saja pembagian kelompok itu. Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, kami sepakat untuk bertemu di perbatasan desa Witiran sebelah utara. Dan aku terus mewanti-wanti mereka untuk mengingat nasehat kak Ratih dan kak Wisnu ketika berada di desa itu.

***

Setelah mereka semua pergi, aku memergoki ada seseorang yang sedang memata-matai kami dari belakang pohon sana. Aku yang mempunyai mata batin tidak sulit untuk dapat melihat keberadaannya.

“Kau yang ada di belakang sana, keluar!”

Dan dengan malu-malu, dia pun keluar. Ternyata dia adalah seorang bocah gelandangan yang tertarik dengan kehadiran kami yang dari pandangannya terpancar kalau kami adalah orang aneh. Aku dapat memakluminya sih.

“Anu, siapa namamu?” tanyaku ramah.

“Ri-Rizal, tuan,” jawabnya sedikit ragu menjawab pertanyaanku barusan. “Tuan siapa dan mau apa menuju desa angker itu?”

“Namaku Umam. Aku hendak mencari seseorang yang kabarnya ada di desa itu. Adek bisa bantu?”

“Sebaiknya tuan lupakan untuk mencari orang itu, dia takkan pernah kembali. Hal yang terbaik yang bisa tuan lakukan adalah memanggil teman-teman tuan sebelum mereka memasuki desa anger itu atau... nyawa mereka takkan bisa ditolong lagi,”

“Apa maksudmu?” tanyaku menyelidik. “Apa telah terjadi sesuatu yang teramat buruk selain rumor-rumor yang dikatakan orang?”

Bocah itu mengangguk. “Iya, tapi untuk lebih jelasnya ayo kakak ikut aku sebentar. Ada seseorang yang kuingin kakak untuk temui sekarang. Nggak usah takut kok, tempatnya ada di perbatasan desa Witiran sebelah selatan, lima puluh meter dari sini.”

Tanpa ragu lagi, aku pun mengikuti dek Rizal untuk pergi ke tempat yang ia maksudkan itu. Pikiran-pikiranku terus terbayang-bayang siapakah orang yang ingin aku menemuinya. Apa itu Mela? Ah, kurasa tidak.

Sesampainya di sana, aku melihat sebuah masjid tua yang terlihat sudah lama tak terpakai. Yang membuat miris adalah di setiap tembok masjid, terdapat ceceran-ceceran darah yang sudah mengering lama sekali.

Di sana, aku bertemu dengan seorang gadis yang lagi terbaring tak sadarkan diri.

“Cici!?”

Aku bergegas membangunkannya, namun tetap tak bisa bangun, karena roh-nya sudah tak berada di jazad. Tapi aku masih merasakan adanya detakan jantung dan nadi, walaupun terkesan lemah.

Bocah itu mendatangiku. “Ini semua terjadi malam tadi. Temanmu itu terkena guna-guna dukun desa Witiran yang sedang mencari tumbal. Dia berjalan kemari tanpa punya kesadaran apapun. Untunglah aku sedang ada di tempat, sehingga mampu membawanya ke mari supaya tidak jadi tumbal dukun santet itu.”

“Tunggu dulu! Lalu Cici yang bersama kami tadi itu siapa?”

“Itu demit Brajadh, tuan. Jarang ada seorang indigo pun yang bisa melihatnya, jadi mustakhil buat tuan merasakan dan menyadarinya.” Jawabnya menjelaskan. “Demit Brajadh itu berasal dari India, tuan. Di sana demit itu sering dipelihara sebagai ingon-ingon atau penjaga gaib,”

“Lalu, apa yang harus dan bisa kulakukan sekarang?”

“Sebaiknya tuan beristirahat di sini dulu menunggu esok hari sembari menjaga teman tuan yang terbaring di sana. Besok akan saya antar tuan untuk menemui seorang tetua di desa itu. Darinyalah tuan bakal mendapat pertolongan untuk menyelamatkan teman-teman tuan.”

Malam semakin larut, kami putuskan untuk segera menyalakan api unggun di depan masjid itu. Di sana kamipun mengobrol untuk mengusik kebosanan.

“Hm... nak Rizal, apa nak Rizal punya keluarga?”

“Punya. Itu dulu. Ayah dan ibu saya dibantai oleh warga sini. Mereka menuduh ibu bapak saya sebagai ahli dukun, yang membuat wabah besar melanda desa sini tujuh belas tahun lalu,” jawabnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. “Adik perempuan saya diperkosa bergilir oleh sepuluh dalang pembunuhan waktu itu, sehingga ia merasa trauma dan akhirnya pergi dari desa ini dan menuju ke hutan Alas Ireng. Setelah itu, saya tak mendapati kabar lagi darinya.”

“Maaf telah menanyakan hal yang sensitif seperti itu, Zal,” kataku berempati padanya. Sungguh betapa suramnya kehidupan anak ini. “Hm... kalau boleh, biarkanlah aku membantu untuk menyelesaikan masalah yang ada di desamu, nak Rizal. Dan aku pula akan membawa dan menyelamatkan adik perempuanmu itu supaya kalian berdua bisa hidup bersama sebagai satu keluarga, ya?”

Bocah itu sedikit melirik padaku dengan tatapan sinis. “Baik sekali anda berani ngomong begituan, tuan? Padahal anda tidak tahu siapa dan apa yang dilakukan adik saya, namun saya tetap menghargai setiap pertolongan yang akan tuan kasih,”

***

Malam pun berlalu. Ketika aku hendak menunaikan shalat Subuh, bocah yang menemaniku dari kemaren telah menghilang entah kemana. Aku pun sedikit curiga kalau dia adalah jin, demit, atau sebangsanya, namun aku tak merasakan ada aura seperti itu padanya. Itu sudah pasti kalau dia memang masih manusia.

Tak mau kepikiran terus, aku pun segera membersihkan masjid itu, setidaknya yang bisa kupakai untuk shalat Subuh. Setelah selesai, aku bergegas mencari tempat untuk berwudhu. Dan benar-benar beruntung karena di belakang masjid itu ada air yang mengalir dari atas dan membasahi sungai kecil di sana (air terjun kecil).

Setelah selesai, aku bergegas untuk masuk ke dalam masjid untuk sholat. Dan keanehan yang pertama pun terjadi. Tiba-tiba tubuh Cici yang semula berada di belakang tempat imam, tiba-tiba mundur sampai ke barisan makmum paling belakang atau bersebelahan dengan pintu masjid. Ku tak menghiraukan terus hal itu, karena itu sudah wajar buatku. Karena waktu kecil aku juga pernah mengalaminya. Dipindahkan oleh jin muslim yang hendak menunaikan ibadah di masjid.

Keanehan kedua terjadi ketika "Allahuakbar..." sesaat setelah takbir ada seseorang yang menepuk pundakku, pertanda ingin bermakmum padaku, untung saja aku belum membaca Al-Fatiha. Aku pun segera merubah niatku untuk menjadi Imam, bacaan surat Al-fatiha pun kunyaringkan bahkan sampai pada ayat "Wa lad dollin...".

Makmumku menjawab "Amieeen..." dengan serentak. Rupanya yang bermakmum padaku lumayan banyak, pria dan wanita. Itu bisa aku ketahui dari bergemanya suara amien dan suara khas laki-laki serta perempuan.

Aku tak menaruh curiga, begitu pun saat rakaat kedua. Makmum yang mengamini sama seperti di rakaat pertama. Sholat Subuh` berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang aneh sampai saat aku menyelesaikan sholat dan salam. Saat aku menoleh ke kanan dan kekiri untuk salam, aku bisa melihat makmumku melalui pintu kaca yang mengelilingi Masjid, makmumku terdiri dari 2 shaff itu laki-laki dan perempuan, namun saat aku berbalik hendak bersalaman... mereka lenyap.

“Oalah, mereka dari bangsa jin muslim toh,” ucapku yang tak merasa takut sekalipun, karena seperti yang sudah kukatakan tadi kalau pengalaman seperti ini sudah sering terjadi padaku. Bahkan diriku sempat didatangi oleh jin muslim yang menyamar jadi pocong ketika tidur mushola sebelah rumah.

Dan kemudian keanehan ketigapun terjadi. Inilah sebuah keanehan yang bikin aku heran setengah mati. Setelah aku menengok ke belakang dan tak mendapati siapapun, tiba-tiba dari arah tempat imam ada seorang kyai tua yang menepuk pundakku. Aku langsung kaget seketika. Posisiku yang bersilah membuatku tak mampu berlari langsung karena ketakutan. Keringat dingin dan hawa lembab menambah suasana horor yang aku rasakan. Sial, kakiku kesemutan membuatku tak mampu berlari.

“Assalamu’alaikum nak,” sapanya.

“Wa’alaikum salam, kyai.” Jawabku. Dia pun menolongku untuk berdiri. “Terima kasih, kyai!”

“Sama-sama,” jawabnya singkat. “Ngomong-ngomong aden ini siapa? Mau apa datang ke desa ini dan siapa nona yang terbaring di belakang sana?” kyai tua itu langsung memberondongku dengan beberapa pertanyaan.

“Saya Umam, kyai. Dan gadis di sana itu bernama Cici,” kataku memperkenalkan diri dan juga diri Cici. “Aku datang ke desa ini karena dapat kabar dari seseorang kalau di sini adalah desa tumbal. Jadi kami berkeinginan untuk menyingkirkan persepsi itu dan menolong sesama.”

“Nama saya Abdurrahman, saya adalah seorang imam di masjid ini dulunya. Kalau boleh kukasih saran, mendingan aden segera pergi dari desa ini. Desa ini merupakan desa yang bengis kepada siapapun yang hendak melaksanakan apapun yang berbau peribadatan,” jawab kyai Abdur sembari memberi nasehat. “Jamaah saya banyak yang dibantai di masjid ini dulunya, jadi setiap seminggu sekali saya datang ke mari sekaligus berziarah ke kuburan-kuburan mereka.”

Dari kiyai tersebut aku mendapatkan kenyataan bahwa di Masjid tersebut biasa digunakan sebagai pondok pesantren gaib serta pusat menimba ilmu dari bangsa jin setelah dibiarkan terbengkalai selama beberapa tahun.

“Anu, sekarang kyai tinggal di mana?” tanyaku penasaran.

“Oh, saya tinggal di hutan sebelah barat, sekilo dari sini, nak. Saya tinggal di sana untuk menghindari kejaran-kejaran para cawang di desa ini. Kalau aden berkenan, kapan-kapan aden boleh mampir kok,” jawabnya ramah. Hal itu sedikit menjawab keraguanku tentang kyai itu. “Jikalau aden ingin melanjutkan misi aden di desa itu, saya hanya bisa memberimu satu saran saja. Cari kediaman Pak Hendro Wiraatmaja dan kau akan tahu rahasia yang ada di desa ini.”

“Lalu setelah itu, kyai?”

“Laksanakan sholat-sholat wajib di rumahnya. Namun, jangan sampai kau terpedaya akan kecantikan Restu Wiraatmaja, putrinya. Dia adalah sebuah pancingan. Dan siapapun yang dinikahkan dengannya, itulah tumbalnya.” jawab kyai Abdurrahman tegas.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah kesadaran dari Cici di belakang sana. Aku pun langsung menoleh ke arahnya, dan syukurlah ia akhirnya tersadar juga. Namun ketika kubalikan pandanganku ke tempat di mana kyai Abdurrahman berada, dia sudah tiada, menghilang entah kemana. Yang tersisa di sana hanyalah sebuah sajadah warna hijau yang menurut perasaanku kalau diriku disuruh untuk membawanya.

Ku ambil segera sajadah itu dan bergegas menemui Cici yang telah sadarkan diri itu.

“Lho, kak Umam? Kenapa aku ada di sini? Di mana yang lainnya?” tanyanya sedikit dongkol.

“Ayo Cici, kita harus segera menyelamatkan teman-teman yang lainnya. Mereka semua dalam bahaya,” jawabku tergesa-gesa. Aku pun bergegas menarik tangan Cici dan beranjak meninggalkan masjid tua itu.

Sesaat setelah kami keluar dari masjid, tiba-tiba bocah yang bernama Rizal itu keluar dari semak-semak sembari membawa dua bungkus nasi kuning dan sebotol air putih.

Tahu kalau nasi kuning dan air itu tak mengandung guna-guna atau apapun, kami pun mengiyakan ajakannya untuk makan bersama. Di saat kami sedang asyik makan, aku pun membuka pembicaraan sekaligus menanyakan kepada Rizal apakah benar kalau ada gubuk di sebelah barat hutan yang dihuni oleh seorang kyai bernama kyai Abdurrahman atau tidak.

“Dek Rizal, apa kau kenal dengan seorang kyai bernama Abdurrahman?” tanyaku membuka pembicaraan. “Aku tadi sempat didatangi oleh seorang kyai bernama Abdurrahman yang tinggal di hutan sebelah barat, jaraknya kira-kira sekilo dari sini. Apa itu benar?”

Rizal langsung tersentak saat ia makan, sampai membuat sendoknya terjatuh karena kaget. “Kau bertemu dengan kyai Abdurrahman? Kyai Abdurrahman!?”

Aku mengangguk. Obrolan kami sedikit menarik minat Cici untuk bertanya, namun ia masih urungkan karena tak ingin mengganggu obrolan kami berdua.

“Ada apa, Rizal? Memangnya kyai Abdurrahman itu siapa?”

“Dia adalah penghulu desa ini, atau lebih enak jikalau dia disebut sebagai pendiri dari desa ini. Itu terjadi sudah lama sekali, lebih dari tiga ratus tahun yang lalu,” jelas nak Rizal. “Menurut kabar, dia juga sebagai salah satu penyebar islam di kawasan sini. Kyai Ghofar dan Kyai Umar pun tahu ceritanya. Kata ayah, dulu kyai Abdurrahman mati syahid saat melindungi santri-santrinya saat perang melawan Belanda, namun aku tak tahu persis sih,”

“Kyai Ghofar? Kau tahu dia?” tanyaku yang kini terkejut.

“Iya, dulunya aku berguru padanya bersama dengan adikku. Itu saat kyai Umar masih hidup. Begitu adik perempuanku dikeluarkan dari sana karena hamil hasil pemerkosaan itu, aku pun juga ikut. Walaupun tak lama kemudian, kami harus terpisah juga,”

Selesai makan, kami memutuskan untuk pamit ke Rizal. Dengan berat hati, dia pun merelakan kepergian kami dan mewanti-wanti untuk tidak pergi ke villa kediaman keluarga Wiraatmaja, karena di sana adalah pusatnya kegiatan kegaiban di desa ini, selain itu, keluarga Wiraatmaja dikenal sebagai keluarga yang bengis.

Kami pun mengangguk, pertanda mengerti. Kucoba rahasiakan keinginan kami untuk pergi ke keluarga itu, karena tak ingin membuat Rizal itu khawatir.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, kami berdua sampai di desa Witiran, yang konon merupakan desa terangker dan terbengis di wilayah sini.

Dan kini, ada sedikit perubahan rencana. Selain harus mencari Mela, kami dipaksakan untuk mengungkap rahasia yang diutarakan oleh kyai Abdurrahman tentang keluarga Wiraatmaja dan juga harus mencari dan menyelamatkan teman-teman kami yang saat ini tengah dalam bahaya besar.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close