Asal Usul Desa Tegalgubung Cirebon
Tegalgubung adalah salah satu desa di Cirebon yang terkenal karena memiliki pasar sandang tradisional terbesar se Asia Tenggara, tidak sulit untuk menemukan desa ini sebab letaknya dijalan Nasional Pantura Jawa Barat. Secara administratif Tegalgubung berada dibawah pemerintahan Kecamatan Arjawinangun Cirebon.
Dinamakan Tegalgubung karena mula-mula pendiri desa itu mencangkul tanah untuk keperluan pembuatan tempat hidup baru disertai dengan pembuatan gubug sebagai tempat istirahatnya, sebab itulah daerah itu kemudian dinamakan Tegal Gubug.
Orang yang mula-mula mendirikan Tegalgubung menurut legenda masyarakat setempat adalah Syekh Muhyidin Abdurahman, ada juga yang menyebutnya Ki Surapati. Tokoh ini dipercayai sebagai tokoh yang berasal dari Timur Tengah.
Ki Surapati ini menurut legenda masyarakat setempat adalah salah satu Panglima tentara Kesultanan Cirebon yang turut serta dalam penaklukan Kerajaan Talaga, selepas penaklukan Ki Surapati kemudian pulang kembali ke Cirebon, namun ditengah-tengah perjalanan ia beristirahat dan membangun gubug di tempat itu. Karena pembuatan gubug di tempat itu dimulai dengan cara di tegal (di cangkul tanahnya), maka untuk kemudian tempat itu dinamakan Tegal Gubug.
Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing, majalengka) dan kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi, majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukkan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk islam.
Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di negeri Telaga dan Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan kesaktian tinggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan kesultanan Cirebon, karena masih ada pepatih yang masih belum memeluk Agama Islam.
Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syekh Suropati atau Ki Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Bagdad).
Yang nama aslinya yaitu Syekh Muhyiddin Waliyullah atau Syekh Abdurrahman, yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sebagai santri (murid) Sunan Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok penduduk jawa barat, namun tak jarang pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan tersebut.
Namun berkat kesaktian ilmunya yang sakti mandraguna, mereka dapat ditaklukkan dan mereka mau memeluk Agama Islam.
Lalu atas jasa dan ilmu kesaktiannya, Syekh Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pepatih unggulan atau panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati.
Setelah pemberian gelar tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorang pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-Qur'an yang berjumlah banyak diperuntukkan sebagai pedoman di Negeri Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan, perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putri cantik, barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan di jodohkan atau dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut, Ki Suro hanya ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelumnya mereka saling mencintai.
Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamukannya dengan jamuan istimewa sambil menyerahkan kitab suci Al-Qur'an. Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona melihat putri Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan menjadi istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengantarkannya ke keraton Cirebon.
Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil, ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro meminta beristirahat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka malanjutkan perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding yang seru pada akhirnya Nyi Mas Rara Anten dapat dikalahkan.
Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki Pancawala kepada Sunan Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawala yang menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Ratu Antra Wulan.
Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka membangun pedukuhan atau perkampungan disebuah tegalan ditengah-tengah hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.
Pedukuhan itu atas izin dan restu Sunan Gunung Jati, dan diberi nama "Tegal Gubug" yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :
1. Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami.
2. Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu.
3. Tegal Gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bambu, yang sekitarnya terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. (sekitar akhir abad ke 15) pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng syekh syarif hidayatullah (sunan gunung jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh rekan-rekannya.
Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan atau perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyarakat, yang ketika itu masih mempercayai (menganut, menyembah) Agama Nenek Moyangnya yaitu : Animisme (aliran atau kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme (aliran atau kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.
Selain sumber cerita dari mulut ke mulut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya Desa Tegalgubung ini juga kisahnya pernah terekam dalam beberapa Naskah Kesultanan Cirebon diantaranya Babad Cirebon dan Naskah Mertasinga.
Dalam Naskah Mertasinga dijelaskan bahwa dahulu pemimpin Tegalgubung itu adalah orang yang dijuluki dengan nama Ki Gede Tegalgubung. Ki Gede ini adalah murid dari Sunan Gunung Jati. Ki Gede Tegalgubung dijelaskan sebagai orang yang turut berkiprah dalam menaklukan Kerajan Sindangkasih.
Akan tetapi dalam perjalananya menaklukan Sindangkasih itu ia malah berkonflik dengan Ki Gede Susukan. Konflik diantara keduanya adalah soal hak rampasan perang.
Penaklukan Sindangkasih oleh Cirebon dipimpin oleh Ki Gede Susukan dan Tegalgubung, sehingga ketika Sindangkasih dapat ditaklukan rampasan perang sebenarnya menjadi hak keduanya, harus dibagi, akan tetapi yang terjadi antara Ki Gede Susukan dan Ki Gede Tegal Gubug ini tidak demikian, keduanya malah berebut dan mengangap diri masing-masing sebagai orang yang paling berjasa dalam menaklukan Sindangkasih.
Diantara rampasan perang dalam penaklukan Sindangkasih oleh Ki Gede Tegal Gubug dan Ki Gede Susukan adalah dua orang wanita kakak beradik bernama Rara dan Riris, dua putri itu kemudian menjadi rebutan antara Ki Gede Tegalgubung dan Susukan. Sehingga duel antara Ki Gede Tegalgubung dan Susukan pun tidak dapat terelakan.
Konflik antara Ki Gede Tegalgubung dan Ki Gede Susukan dalam naskah itu ditutup dengan kisah Sumpah serapah dari Ki Gede Susukan, ia menghimbau pada anak keturunannya agar jangan menikah dengan orang Tegalgubug apabila tidak ingin bernasib sial sebagaima dirinya.
Untuk dapat membaca kisah mengenai konflik Ki Gede Tegalgubung dan Ki Gede Susukan dalam peristiwa penaklukan Sindangkasih, silahkan anda baca dalam artikel kami yang berjudul “Pertarungan Ki Gede Tegalgubug Vs Ki Gede Susukan (Keruntuhan Kerajaan Sindangkasih)”.
Pertarungan Ki Gede Tegalgubung Vs Ki Gede Susukan (Keruntuhan Kerajaan Sindangkasih)
Pada mulanya baik Ki Gede Susukan maupun Ki Gede Tegal Gubung adalah sahabat seperguruan dan keduanya merupakan murid Sunan Gunung Jati yang kemudian ditugaskan memerintah di Desa Susukan dan Tegal Gubung. Meskipun kedua-duanya murid Sunan Gunung Jati, akan tetapi aroma persaingan diantara keduanya dalam segala hal begitu tinggi.
Ketika Cirebon dalam masa kejayaanya, negeri-negeri disekeliling Cirebon menghaturkan sembah bakti sebagai tanda takluk kepada Cirebon, namun demikian disamping ada negeri-negeri yang secara sukarela bersedia dibawah pemerintahan Cirebon, ada juga negeri-negeri yang tidak mau tunduk kepada Cirebon dan memilih berperang ketimbang menjadi bawahan Cirebon, salah satu Negeri itu adalah Sindangkasih. Waktu itu yang yang menjadi Raja di Sindangkasih bernama Dalem Digja.
Melihat gebrakan-gebrakan ambisius Ki Gede Tegalgubung, Ki Gede Susukan tidak mau tinggal diam, belu juga kemudian mengajukan diri kepada Sunan Gunung Jati agar juga di ijinkan untuk dapat menaklukan Sindangkasih. Ki Gede Susukan pun kemudian mendapatkan ijin.
Tentara Cirebon yang dipimpin oleh Ki Gede Tegalgubung dan Ki Gede Susukan kemudian berangkat menuju Sindangkasih. Para tentara Sindangkasih pun tidak tinggal diam, mendengar berita Cirebon akan menyerang, Dalem Digja selaku Raja Sindangkasih mengumpulkan tentara kerajaannya untuk bersiap menghadapi serangan Cirebon.
Perang kemudian pecah, mayat-mayat dari kedua belah pihak bergelimpangan, bau anyir amis darah membumbung dilangit Sindangkasih. Sindangkasih waktu itu seperti gelap tak bermentari. Itulah tanda bahwa seluruh tentara Sindangkasih dapat dikalahkan oleh Cirebon.
Mendapat kabar, seluruh tentaranya tak sanggup membendung tentara Cirebon, sang Raja Sindangkasih pun kemudian melarikan diri dari Istananya, moksa tanpa bekas. Mulailah setelah itu Sindangkasih resmi dibawah naungan pemerintahan Cirebon.
Setelah mendapatkan kemenangan di medan perang, tentara Cirebon yang dipimpin Ki Gede Tegalgubung dan Ki Gede Susukan kemudian merangsek masuk kedalam Istana, dan benar saja keduanya tidak mendapati Sang Raja. Namun demikian didalam Istana keduanya menemukan 2 Putri sang Raja yang tertinggal tidak ikut melarikan diri (moksa). Kedua Puteri Raja itu bernama Raras dan Riris.
Setelah memperoleh kemenangan gemilang, pasukan Cirebonpun kemudian kembali lagi ke Cirebon dengan membawa banyak rampasan perang, dan juga sekaligus memboyong Puteri Raras dan Riris.
Mengingat jauhnya jarak tempuh dari Sidangkasih menuju Cirebon serta kadaan yang tidak memungkinkan karena datanggnya gelapnya malam, Ki Gede Tegal Gubung kemudian membuat perkemahan dan menyuruh seluruh tentara yang telah memenangkan peperangan tersebut beristirahat sebelum melanjutkan peralanan kembali ke Cirebon ke esokan harinya.
Dalam perkemahaan tersebut, timbulah niat dalam diri Ki Gede Susukan untuk sesegera mungkin bertolak ke Cirebon untuk mengabarkan kemenangannya kepada Sultan Cirebon, kemudian Ki Gede Susukan beserta orang-orang Susukan prajuritnya itu meninggalkan Ki Gede Tegal Gubung yang masih dalam perkemahan.
Sementara itu ketika Ki Gede Susukan pergi berangkat ke Cirebon, Ki Gede Tegal Gubung dalam perkemahannya tak kuat iman melihat kecantikan Putri Rara dan Riris, hinggalah kemudian kedua Puteri Raja Sindangkasih itupun kemudian kehilangan kesuciannya di renggut oleh Ki Gede Tegal Gubug.
Diceritakan kemudian, setelah Ki Gede Susukan seba menghadap Sunan Gunung Jati, beliau dengan bangga mengabarkan akan kemenangannya menundukan Sindangkasih, dan bahkan cenderung membaggga-banggakan dirinya dan pasukannya, serta merasa diri dan pasukannya paling berkiprah atas kemenangan tersebut.
Selalng beberapa lama kemudian Ki Gede Tegal Gubung bersama pasukanya tiba di Cirebon, dan menceritakan segala apa yang terjadi dalam medan pertempuran, Ki Gede Tegal Gubungpun kemudian menyerahkan seluruh harta rampasan perang kepada Sultan tak terkecuali Puteri Rara dan Riris. Namun demikian karena pada hakekatnya Sunan Gunung Jati Sudah mengetahui kabar bahwa Ki Gede Tegal Gubung telah berbuat nista kepada sang puteri, maka Sunan Gung Jati memerintahkan kedua putri itu untuk dibawa serta Ki Tegal Gubung.
Pulanglah kemudian Ki Gede Tegal Gubung sambil membawa serta kedua Puteri kerajaan Sindangkasih tersebut.
Sementara itu, merasa dirinya tak membawa apa-apa setelah penaklukan Sindangkasih, Ki Gede Susukan memohon ijin kepada Sunan Gunung Jati agar supaya salah satu dari kedua puteri itu diperuntukan baginya. Sunan Gunung Jati kemudian tidak memberi jawaban apapun dan hanya menyuruh Ki Gede Susukan untuk meminta sendiri kepada Ki Gede Tegal Gubung.
Setelah mendapatkan jawaban dari Sunan Gung Jati, kemudian Ki Gede Susukan berangkat menuju kediaman Ki Gede Tegal Gubung untuk meminta salah satu Puteri Raja itu, namun demikian Ki Gede Tegal Gubung menolak, karena menurutnya kedua putri itu adalah haknya, dan lagipun Ki Gede Tegal Gubung berniat mengawini keduanya.
Mendengar jawaban Ki Gede Tegal Gubung yang kurag bersahabat dan berwatak tamak itu, kemudian Ki Gede Susukan marah berbesar hingga kemudian menantang Ki Gede Tegal Gubung untuk melakukan perang tanding, dengan syarat jika Ki Gede Susukan Kalah dalam pertarungan, ia rela tidak memiliki salah satu putri, tapi jika Ki Gede Tegal Gubug kalah maka harus menyerahkan salah satu puteri tersebut.
Mendengar tantangan tersebut kemudian gengsi Ki Gede Tegal Gubung sontak melejit, karena baginya seorang kesatria sejati pantang mudur bila di tangtang bertarung.
Pertarungan keduanya kemudian digelar, keduanya saling pukul, tending, banting dan mengeluarkan jurus-jurus silat andalannya, namun demikian ternyata dalam pertarungan tersebut Ki Gede Tegal Gubung berhasil mengalahkan Ki Gede Susukan.
Setelah peristiwa kekalahan Ki Gede Susukan dalam pertarungan merebutkan Putri Rara dan Riris itu, kemdudian Ki Gede Susukan bersumpah, dan member himabaun kepada rakyatnya di Susukan, agar jangan oada orang Susukan yang mau mengawini orang Tegal Gubung dan bagi rakyat Susukan yang melanggar titah ini, maka Ki Gede Susukan mengutuk perkawinan keduanya.
Itulah asal-muasal mengapa orang susukan tidak mau mengawini orang-orang Tegal Gubung.
Kisah di atas merupakan kisah legenda masyhur di Cirebon, kisah ini tertulis dalam Naskah Mertasinga pada pupuh XLX-L.17 Adapun letak Kerajaan Sindang Kasih diperikirakan sekarang berada di Desa Sindang Kasih Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon. Nama Kerajaan Ini disebut-sebut dalam naskah-naskah Cirebon lainnya merupakan Kerajaan bawahan Galuh (Kerajaan Sunda Timur).
~~SEKIAN~~
BACA JUGA : TIRTA KENCANA