TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 3)
JEJAKMISTERI - "Aduh!" suara perempuan Cumiik mengejutkan Prabowo. Tak lama, dari balik rumpun tanaman pisang itu muncul sesosok nenek bercaping yang mengacung acungkan sebilah arit(sabit) ke arahnya sambil berteriak teriak seperti orang yang sedang marah. Sepertinya batu yang dilempar oleh Prabowo tadi tanpa sengaja mengenai orang tua itu.
Prabowo tak bisa mendengar dengan jelas apa yang diteriakkan oleh nenek itu. Selain jarak yang lumayan jauh, suara gemericik air sungai juga mengaburkan pendengarannya. Namun karena didorong oleh rasa bersalah, akhirnya Prabowo bangkit dan bergegas menyebarangi sungai untuk menghampiri sang nenek.
"Duh, maaf ya Mbah, tadi batunya mengenai simbah ya? Aku ndak tau kalau...."
"Sampeyan itu siapa? Dan ngapain bedhug bedhug (bedhug = waktu tepat tengah hari) begini di kali tempuran sana?" seru si nenek dengan nada sedikit keras, khas gaya seorang nenek yang sedang memarahi cucunya.
"Saya Prabowo Mbah," sahut Prabowo sopan.
"Kamu bukan warga desa sini ya? Jangan sekali kali ke kali tempuran kalau pas siang hari bolong begini. Bahaya!" ujar si nenek sambil memasukkan setumpuk rumput kedalam keranjang. Sepertinya nenek itu sedang mencari rumput untuk pakan ternak.
"Bahaya? Bahaya kenapa Mbah?" tanya Prabowo heran.
Nenek itu sejenak menghentikan kesibukannya, lalu menoleh dan menatap ke arah Prabowo. "Kamu mau digondhol dhemit?!"
"Dhemit?!"
"Kali tempuran itu angker! Pamali kalau siang bolong begini keluyuran disana! Edan saja kalau Bayan Desa Kedhung Jati itu mau membangun bendungan di kali tempuran itu! Cari penyakit saja!" setengah menggeruru nenek itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Keranjang penuh rumput itu ia angkat ke atas punggung lalu ia gendhong dengan menggunakan kain jarik.
Prabowo berniat untuk membantu. Namun sepertinya bantuannya tak terlalu dibutuhkan. Dengan sigap nenek itu berjalan menyusuri pematang dengan membawa beban yang Prabowo yakin tidak ringan itu. Luar biasa. Orang desa memang pantas diacungi jempol. Di usia yang setua itu, masih begitu lincah menyusuri pematang sawah yang licin dengan beban berat di punggungnya.
"Pulanglah! Kalau mau main di kali, nanti saja agak sorean, atau kalau enggak ya besok pagi saja!" seru si nenek lagi tanpa menoleh.
"Fyiuhh! Ada ada saja," gumam Prabowo sambil tersenyum. Ternyata benar kabar yang ia dengar selama ini. Warga disini rata rata masih mempercayai mitos dan takhayul.
Prabowo menatap kepergian si nenek sampai menghilang di balik rimbunan pohon bambu yang menjadi pembatas desa. Ia lalu berbalik dan bermaksud untuk kembali ke batu besar tempat ia duduk tadi. Namun langkahnya terhenti, saat ekor matanya menangkap sesosok perempuan tengah duduk diatas batu besar itu. Seorang perempuan bergaun putih dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai dipermainkan angin.
Prabowo memicingkan matanya, berusaha mepertajam pandangannya. Tapi karena jarak yang terlalu jauh, Prabowo tak bisa melihat dengan jelas wajah perempuan itu. Tapi Prabowo yakin, perempuan itu masih muda. Dan menilik dari pakaian yang dikenakannya, jelas itu bukan warga biasa. Atau justru bukan warga desa ini? Penasaran, Prabowo lalu bergegas menyeberangi sungai dan menghampiri perempuan itu.
"Hai!" sapa Prabowo sambil memamerkan senyum termanisnya. Benar dugaan Prabowo, perempuan itu masih muda. Sangat muda malah. Dan begitu cantik. Prabowo sampai terbengong sesaat ketika gadis itu menoleh dan tersenyum ke arahnya.
"Boleh ikut duduk disini?" sedikit gugup Prabowo berbasa basi.
Gadis itu hanya mengangguk, masih dengan memamerkan senyum manisnya yang mampu membuat dada Prabowo berdesir. Bagaimana tidak. Senyum tipis dari bibir mungil kemerahan dan tatapan lembut sepasang mata bening berbulu lentik itu, ia yakin laki laki manapun akan langsung terpesona saat melihatnya.
"Sedang apa?" tanya Prabowo lagi setelah duduk disamping gadis itu. Aroma wangi yang lembut menyeruak kedalam indera penciuman Prabowo, terbawa angin yang bertiup sepoi sepoi. Wangi kembang Semboja.
"Ah, enggak kok. Cuma sekedar menikmati pemandangan saja," masih sambil tersenyum gadis itu menjawab. Suaranya terdengar begitu merdu, membuat jantung Prabowo semakin berdebar tak menentu.
"Nggak takut sendirian disini?" tanya Prabowo lagi.
"Kenapa harus takut?" gadis itu menatap Prabowo dengan mata beningnya yang melebar.
"Kata orang tempat ini angker," jawab Prabowo.
"Kata siapa?" tanya gadis itu lagi, sambil mengalihkan pandangannya ke tengah sungai.
"Kata simbah pencari rumput tadi."
"Oh, Mbah Sumi to," gadis itu kembali tersenyum.
"Ndak usah didengerin. Dia itu agak begini." sambung gadis itu sambil memiringkan jari telunjuknya di kening.
"Gila?"
"Agak stress, gara gara dulu cucunya mati kalap di kali ini."
"Kalap?"
"Iya. Kalap! Tenggelam saat mandi di kali ini bersama teman temannya. Mungkin tak begitu pandai berenang dan tanpa sengaja masuk ke bagian sungai yang dalam! Celakanya, teman teman yang mandi bersamanya bukannya menolong, tapi malah pada kabur ketakutan!"
Prabowo begidig ngeri. Gadis itu menceritakan kejadian tragis itu dengan nada sangat ringan, seolah kejadian itu sudah biasa terjadi di tempat ini.
"Sering ya ada kejadian seperti itu?" tanya Prabowo.
"Enggak juga sih. Tapi pernah beberapa kali. Karena itulah orang orang lalu menganggap kalau sungai ini angker. Padahal kamu lihat sendiri kan, pemandangannya begitu indah. Airnya juga sejuk dan jernih."
"Sepertinya kamu sering kesini ya?"
"Bukan sering lagi, aku memang tinggal disini."
"Tinggal disini?!"
"Eh, maksudku tinggal di desa ini, bukan tinggal di kali ini." gadis itu meralat ucapannya.
"Oh ya? Kukira tadi kamu bukan warga sini."
"Kenapa bisa berpikir seperti itu?"
"Kamu terlalu cantik. Eh, enggak, anu, maksudku, penampilanmu agak beda dengan gadis gadis desa yang sudah kutemui. Pakaian yang kamu kenakan terlalu bagus untuk ukuran orang desa. Kulitmu juga terlalu putih dan..."
"Jangan menilai orang dari penampilan," lagi lagi gadis itu tersenyum. "Nggak semua gadis desa itu berkulit gelap dan berpakaian kumal. Sedikit sedikit kami juga tau kali cara merawat diri."
Prabowo hanya nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa yang dikatakan oleh gadis itu memang benar. Dan ia sudah salah menilai.
"Oh ya, kita belum sempat kenalan, aku Prabowo," Prabowo mengulurkan tangannya, yang segera disambut oleh gadis itu.
"Gayatri," gadis itu menyebutkan namanya. Nama yang sangat indah. Seindah wajah si pemilik nama. Tangan gadis itu juga terasa sangat lembut dan halus saat bersalaman tadi, membuat Prabowo yakin kalau gadis ini bukan gadis biasa. Mungkin anak orang terpandang di desa ini.
"Oh, jadi kamu yang akan menggarap proyek bendungan yang akan dibangun di tempat ini?" ujar gadis itu setelah Prabowo menceritakan siapa dirinya.
"Ya, begitulah," jawab Prabowo sedikit bangga.
"Sayang sekali ya," gumam gadis itu pelan. Jelas terlihat ada sedikit perubahan pada raut wajahnya. Sepertinya ia kurang setuju dengan rencana pembangunan bendungan itu.
"Kok sayang?"
"Ya. Tempat seindah ini akan diacak acak hanya demi kepentingan segelintir orang, tanpa memperdulikan orang orang sepertiku yang selama ini menjadikan tempat ini sebagai tempat peristirahatan."
"Ah, tenang saja Gayatri. Percayalah, dengan tangan dinginku ini, aku akan merubah tempat ini menjadi tempat yang lebih indah lagi. Nantinya, selain sebagai bendungan irigasi, rencananya aku juga akan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata kecil kecilan gitu. Jadi kamu tak perlu khawatir. Nanti kamu masih bisa kok...."
"Tetap saja, suasananya pasti akan sangat jauh berbeda. Batu besar ini, dan pohon trembesi yang menaunginya ini, sudah menjadi tempat favoritku semenjak aku kecil dulu. Dan kalau sampai nantinya batu ini dihancurkan dan pohon trembesi ini ditebang, aku tak punya tempat lagi untuk menikmati keindahan tempat ini." Gayatri mendesah. Jelas ada nada kecewa pada ucapannya itu.
Prabowo terdiam. Gadis ini sepertinya memiliki sifat yang sedikit sensitif. Dan memang benar, batu besar dan pohon trembesi ini rencananya memang akan ia musnahkan, karena berada tepat di lokasi dimana nanti akan dibangun pondasi bendungan. Ada rasa bersalah yang dirasakan oleh Prabowo.
"Andai aku boleh sedikit meminta, tak apa kalau mau dibangun bendungan di tempat ini, asal batu dan pohon trembesi ini tak di musnahkan," kembali gadis itu mendesah, sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Tapi aku sadar, memangnya siapa aku sampai bisa meminta yang seperti itu? Kali ini bukan milikku, meski sudah menjadi seperti rumah bagiku."
Prabowo kembali terdiam. Begitu juga dengan gadis itu. Suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara gemericik air dan desauan angin sepoi sepoi yang menggoyangkan ranting ranting pohon trembesi itu, membuat sebagain daunnya yang sudah menguning gugur ke permukaan sungai dan hanyut terbawa arus.
Hingga sesaat kemudian, keheningan itu dipecahkan oleh teriakan seorang gadis dari arah desa. Prabowo menoleh. Dilihatnya Halimah, anak Pak Bayan berlari di atas pematang sawah sambil memanggil manggil namanya. Sesekali gadis itu tergelincir dan jatuh kedalam lumpur, lalu dengan sigap kembali berdiri dan berlari.
Deg! Jantung Prabowo berdetak lebih cepat. Hati kecilnya mengatakan kalau ada sesuatu yang tak beres. Bayangan Rokhayah sang istri yang ia tinggalkan sendirian di rumah melintas di benaknya, sampai sampai Prabowo tak menyadari bahwa gadis bernama Gayatri yang duduk di sebelahnya itu kini tak nampak lagi batang hidungnya, menghilang begitu saja bagai ditelan bumi.
"Pak insinyuuuurrrr....!!! Cepat pulaaaannngggg....!!! Tolongin Bu insinyur...., aduh! Gedabruussshhh...!!!" kembali Halimah tergelincir dan jatuh ke tengah sawah berlumpur sebelum menyelesaiakan kalimatnya.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya